Tuesday, December 23, 2025

HANYA BAYANG-BAYANG 20

 HANYA BAYANG-BAYANG  20

(Tien Kumalasari)

 

Sekar duduk mendekati sang adik, menepuk-nepuk bahunya dengan lembut. Puspa yang semula tidak begitu dekat dengan dirinya, beberapa bulan terakhir ini mendadak begitu baik dan kelihatan sangat menyayanginya seperti saudara kandung, walau saudara beda ibu. Hal itu membuatnya senang, apalagi kata bik Supi perangai Puspa juga sangat berubah sangat baik, bahkan kepada bik Supi yang hanya seorang pembantu.

“Puspa, ada apa? Katakan apa yang membuat kamu sedih, agar apa yang membebani kamu menjadi berkurang,” kata Sekar lembut.

Tiba-tiba Puspa merangkulnya erat sekali, sambil menangis di dadanya. Sekar membiarkannya sambil mengelus punggungnya, berharap sang adik menjadi lebih tenang.

“Ayo berbagi, Puspa. Katakan ada apa?”

“Mbak, ibu mbak ….”

“Ibu kenapa? Sakit? Atau bapak kenapa-kenapa?” tiba-tiba timbul rasa khawatir di hati Sekar.

Puspa tampak sedang berusaha menenangkan hatinya. Sekar mengambil tissue dan mengusap air mata sang adik.

Suasana senyap itu kemudian dihiasi dengan suara isak Puspa yang masih terdengar perlahan.

”Apa yang terjadi?”

“Ibu … “

Sekar tampak menunggu apa yang akan dikatakan sang adik.

“Apakah Mbak percaya kalau aku mengatakan bahwa ibu selingkuh?”

Sekar membelalakkan matanya. Perkataan Puspa sebenarnya tidak begitu mengejutkannya, walau ia memang terkejut. Terkejut atas kebenaran yang semula melibat perasaannya akhir-akhir ini, terutama ketika melihat sikap ibu tirinya yang begitu dekat dengan si sopir. Tapi benarkah sopir itu yang dimaksud Puspa? Atau ada yang lain?

“Selingkuh dengan siapa? Kamu sangat yakin?”

“Priyadi.”

Nah, kan? Itu seperti sebuah sketsa yang tergores di angan Sekar dan suaminya, lalu sekarang diperjelas menjadi sebuah gambar yang nyata.

“Kamu yakin?”

Puspa mengangguk, lalu sambil terisak dia menceritakan penemuannya.

“Aku benci ibu Mbak, aku sangat benci, walau dia adalah ibu kandungku.”

Sekar mengelus lagi bahu adiknya.

“Apakah kamu ingin mengatakannya pada bapak?”

“Mana mungkin Mbak, bapak kan tidak begitu sehat. Kalau hal ini terdengar oleh bapak, apa tidak akan membuatnya jatuh lalu sakitnya semakin parah?”

“Kamu benar.”

“Aku benci ibuku Mbak, aku benci.”

“Kamu berani menegur ibu?”

“Aku enggan bicara dengan ibu. Ibu jahat. Ibu tega membohongi bapak yang sedang sakit.”

“Puspa, kamu itu kan sedang menghadapi ujian. Aku tahu ini sangat berat, tapi tidak boleh mengganggu kuliah kamu.”

“Pernahkah Mbak berpikir bagaimana perasaanku sebagai seorang anak?”

“Mbak sangat mengerti, ini sebuah kejahatan. Mbak juga merasa sakit, karena bapak kita dikhianati. Bapak yang begitu menyayangi ibu, begitu mempercayai ibu, tak seharusnya diperlakukan begitu. Apa kamu melihatnya di jalan Ternate seperti yang mbak katakan waktu itu?’

Puspa mengangguk.

“Rumah siapa ya itu?”

“Aku tidak tahu. Tapi Priyadi seperti masuk ke dalam rumahnya sendiri.”

“Tak mungkin Priyadi punya rumah sebagus itu. Yang mungkin adalah, rumah itu justru milik ibu. Atau ibulah yang membangun rumah itu, karena rumah itu seperti baru saja selesai dibangun. Masih terlihat tumpukan material yang tampak di halamannya.”

“Iya, benar. Berarti kalau itu rumah ibu, ia pasti mempergunakan uang bapak. Ya kan mbak?”

“Mungkin. Aku tak berani menuduhnya kalau tidak menemukan bukti.”

“Dengan cara apa ibu meminta uang kepada bapak, seandainya benar itu ibu yang membangun atau membelinya?”

“Nah, itu pertanyaan sulit.”

Puspa tampak berpikir tentang sesuatu.

“Aku pasti akan menyelidikinya. Aku ingin menghentikan perbuatan terkutuk itu tapi jangan sampai ketahuan bapak.”

“Tapi Puspa, sebaiknya kamu mengutamakan kuliah kamu dulu.”

“Tapi aku terganggu Mbak.”

“Kamu harus bisa. Menghentikan perbuatan ibu itu aku kira tidak akan mudah. Aku yakin sudah terjadi selama bertahun-tahun.”

Puspa terdiam. Dadanya terasa agak lega setelah mengutarakan semuanya kepada sang kakak.

“Sekarang ayo makan, lihat, mienya sudah menjadi dingin.”

Puspa mendekatkan piring mie dan siap menyendoknya. Ia memang lapar. Tadi dia enggan sarapan bareng di rumah, karena malas berdekatan dengan ibunya.

Walau sudah tidak lagi panas, mereka tetap menikmati mie dengan sayuran dan telur yang dimasak Sekar.

“Mbak tahu tidak, Priyadi menitipkan anak perempuannya di kantor bapak.”

“Maksudmu bekerja di kantor bapak?”

“Ya, menjadi asisten sekretaris. Aneh bukan? Ibu malah usul agar sekretarisnya digantikan Nilam saja. Untunglah bapak tidak mau.”

“O, itu mungkin yang aku lihat ketika aku ketemu bapak di kantor. Perempuan, cantik. Aku melihatnya baru sekali itu, tapi aku lupa bertanya pada bapak karena aku sedang tergesa-gesa.”

“Mbak tahu apa kata ibu tentang perempuan itu? Ibu ingin mengangkat anak.”

“Haa, anak angkat?”

“Ini memperkuat dugaanku tentang hubungan tak wajar itu.”

“Puspa, yang aku pikirkan adalah, jangan-jangan anak Priyadi itu dijadikan alat untuk suatu maksud yang buruk. Misalnya, mengetahui rahasia perusahaan, atau keinginan untuk menguasai, atau entah apa, yang jelas pasti maksud yang tidak baik.”

“Aah, iya Mbak.”

“Ya sudah, begini saja. Simpan semua masalah itu dengan baik, kamu fokus pada kuliah kamu, segera selesaikan, lalu kita akan memikirkan masalah ini bersama-sama. Tapi diam-diam saja dulu, jangan sampai bapak mendengarnya.”

Puspa mengangguk. Tapi sejak saat itu Puspa sering berada di rumah kakaknya. Ia menyelesaikan tugas akhirnya dengan tenang, tanpa harus berinteraksi dengan sang ibu.

***

Srikanti heran, jarang melihat Puspa ada di rumah. Ketika dia ngedumel, bik Supi mengatakan kalau non Puspa mengerjakan sekripsi di rumah non Sekar.

“Mengapa harus ke sana? Apa rumah sebesar ini tidak cukup untuk tidur, belajar, atau mau melakukan apa saja?”

“Saya tidak tahu Nyonya, katanya di sana lebih tenang. Kan non Sekar hanya sendirian di rumahnya? Kalau non Sekar ke kantor, rumah itu sepi, sehingga bisa belajar dengan tenang.”

“Ada-ada saja. Sejak kapan Puspa dekat dengan Sekar?”

“Bukankah non Sekar itu kakaknya?”

“Kamu tahu apa? Kalau nggak tahu itu jangan ikut bicara.”

“Lha tadi kan Nyonya bertanya.”

“Sudah diam. Itu Priyadi datang, buatkan minuman.”

“Baik, Nyonya.”

Bik Supi segera ke belakang untuk membuatkan minum untuk sopir kesayangan nyonya majikan.

Srikanti ke arah depan, bersiap untuk bepergian.

Tapi tiba-tiba ponselnya berdering, dari tuan Sanjoyo.

“Sri, kamu masih di rumah?”

“Iya Mas, ini mau bepergian, mumpung Priyadi datang.”

“Maaf Sri, di kantor sedang banyak pekerjaan, jadi tolong suruh dia kembali dulu ke kantor.”

“Lhoh, mas itu bagaimana? Sudah menyuruh pulang dan aku siap menyuruhnya mengantar aku, malah Mas suruh dia kembali ke kantor.”

“Maaf, tadi stafku salah informasi. Ada pengiriman barang mendadak, membutuhkan tiga orang sopir, jadi cepat suruh Priyadi kembali ke kantor dulu.”

“Apa tidak bisa besok pagi saja?”

“Kamu ini bagaimana? Ini pekerjaan … bukan mainan. Semua yang harus dikerjakan hari ini ya harus dikerjakan hari ini. Kok bisa besok pagi. Mana Priyadi? Biar aku bicara sendiri.”

“Sedang minum di belakang, nanti biar aku yang memberi tahu,” kata Srikanti sambil terus mematikan ponselnya tanpa permisi.

Ia melangkah kebelakang dan melihat Priyadi sedang minum coklat susu kegemarannya. Seperti majikannya saja, itu gerundelan bibik ketika membuatkan minum untuk sopir kesayangan majikan.

“Pri, kamu harus kembali ke kantor,” kata Srikanti sambil memeluk Priyadi dari belakang. Mata bibik terbelalak, tapi kemudian dia cepat-cepat menjauh dari dapur. Jangan sampai mereka tahu kalau dia melihat adegan tak pantas itu.

Srikanti mengeluh panjang pendek ketika Priyadi kembali lagi ke kantor. Apa boleh buat. Priyadi masih sopir tuan Sanjoyo, jadi dia harus mentaatinya.

***

Begitu sampai di kantor, Nilam menghampirinya.

“Jangan kecewa ya Mas, pekerjaan di kantor banyak,” katanya sambil tertawa senang. Dia tentu saja tak suka kalau Priyadi berlama-lama saat mengantarkan nyonya majikan. Nilam pasti tahu apa yang mereka lakukan ketika berduaan.

Tapi tuan Sanjoyo yang ternyata ada di belakangnya mendengar ucapan Nilam.

“Nilam, bagaimana kamu ini, memanggil ayahmu kok ‘mas’?”

Bukan hanya Nilam yang terkejut. Priyadi demikian pula. Ia sudah sering mengeluh dan menegur Nilam agar berhati-hati kalau memanggilnya. Tapi bukan Priyadi kalau tak bisa memberikan alasan. Alasan yang sama ketika Srikanti juga mendengar Nilam memanggilnya 'mas'.

“Ya itulah Tuan, sudah menjadi kebiasaan. Dulu ketika ibunya masih ada, dia melarang Nilam mengakui saya sebagai bapaknya, jadi dia memanggil saya dengan ‘mas’. Tapi setelah berkumpul lagi dengan saya, kebiasaan itu masih sering dilakukannya. Ditegur berkali-kali juga masih sering keliru.”

Tuan Sanjoyo mengangguk-angguk, dan Nilam menundukkan wajahnya dengan senyum tersipu.

“Tidak apa-apa, biar ayahmu awet muda,” kata tuan Sanjoyo.

“Iya Tuan,” kata Priyadi sambil nyengir.

“Segera ke bagian ekspedisi, kamu sudah lama ditunggu,” perintahnya kemudian kepada Priyadi.

“Baik, Tuan.”

***

Karena urung pergi dengan Priyadi, Srikanti mengambil mobilnya sendiri lalu keluar tanpa pamit dengan bik Supi, yang menatap kepergiannya dengan perasaan heran.

“Memangnya kenapa kalau tidak bepergian dengan Priyadi. Seperti orang kecanduan saja,” omel bik Supi, yang tidak menyadari bahwa Puspa ada di belakangnya.

“Siapa yang kecanduan Bik?”

Bik Supi sangat terkejut. Ia menoleh dan melihat Puspa baru saja datang.

“Non, kok tiba-tiba ada di dapur? Bibik juga tidak mendengar suara mobil.”

“Bibik sibuk mengomel jadi tidak mendengar suara mobil.”

“Maaf Non, bibik minta maaf.”

“Siapa yang Bibik omelin kecanduan tadi?”

“Tidak ada Non, bibik hanya asal bicara. Non sudah sarapan? Bibik buatkan nasi goreng dengan udang, dan irisan sosis?”

“Aku sudah sarapan di rumah mbak Sekar, ini hanya membawa pakaian kotor, Bibik cuci ya.”

“Ya Non, taruh di situ saja, nanti bibik cuci, bibik setrika.”

“Yang kecanduan tadi siapa?”

Bibik kebingungan. Puspa masih mengejar jawaban atas omelannya tadi. Masa ia harus berterus terang kalau tadi mengomeli nyonya majikannya, padahal sang nyonya adalah ibunya non Puspa?”

***

Besok lagi ya.

21 comments:

  1. πŸŒŸπŸ’πŸŒ²πŸͺ΄πŸŒ²πŸ’πŸŒŸ

    Alhamdulillahi Robbil'alamiin....
    HaBeBe_20 sudah tayang.

    Matur nuwun mBak Tien, salam sehat penuh semangat.

    πŸ€πŸ€πŸ™

    πŸŒŸπŸ’πŸŒ²πŸͺ΄πŸŒ²πŸ’πŸŒŸ

    ReplyDelete
  2. Matur nuwun mbak Tien-ku Hanya Bayang-Bayang telah tayang

    ReplyDelete
  3. πŸŒΈπŸƒπŸŒΈπŸƒπŸŒΈπŸƒπŸŒΈπŸƒ
    Alhamdulillah πŸ™πŸ˜
    Cerbung HaBeBe_20
    sampun tayang.
    Matur nuwun Bu, doaku
    semoga Bu Tien selalu
    sehat, tetap smangats
    berkarya & dlm lindungan
    Allah SWT. Aamiin YRA.
    πŸŒΈπŸƒπŸŒΈπŸƒπŸŒΈπŸƒπŸŒΈπŸƒ

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah, suwun mb Tien πŸ™

    ReplyDelete
  5. Alhamdullulah bunda terima ksih cerbungnya..slm seroja unk bundaπŸ™πŸ₯°πŸŒΉ❤️

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah, matur nwn bu Tien, salam sehat selalu

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah.... maturnuwun Bunda ....salam sehat selalu

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " HANYA BAYANG BAYANG ~ 20 " πŸ‘πŸŒΉ
    Semoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin

    ReplyDelete
  9. Alhamdulillah "Hanya Bayang-Bayang 20" sdh tayang. Matur nuwun Bu Tien, sugeng dalu πŸ™

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah Puspa sdah hadir tayang, maturnuwun Bu TienπŸ™semoga ibu tetap sehat,semangat bahagia bersama Kel tercinta...

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah HANYA BAYANG-BAYANG ~20 telah hadir.
    Maturnuwun Bu Tien πŸ™
    Semoga tetap sehat dan bahagia senantiasa bersama keluarga, serta selalu berada dalam lindungan Allah SWT.
    Aamiin YRA..🀲

    ReplyDelete
  12. Alhamdulilah Cerbung HBB 20 sampun tayang .... maturnuwun bu Tien, semoga ibu sekeluarga selalu sehat dan bahagia .. salam hangat dan aduhai aduhai bun πŸ™πŸ©·πŸŒΉπŸŒΉ

    ReplyDelete
  13. Alhamdulillah sudah tayang
    Terima kasih bunda Tien
    Semoga sehat walafiat
    Salam aduhai hai hai

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillah, HANYA BAYANG-BAYANG (HBB) 20 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.

    ReplyDelete
  15. Mtr nwn bun Srikanti sampun rawuh ing HBB 20 sugeng ndalu , mugi bunda tansah pinaringan sehat ..... Aamiin yra

    ReplyDelete

  16. Alhamdullilah
    Matur nuwun bu Tien
    Cerbung *HANYA BAYANG BAYANG 20* sdh hadir...
    Semoga sehat dan bahagia
    bersama keluarga
    Aamiin...



    ReplyDelete
  17. Alhamdulillah
    Syukron nggih Mbak Tien❤️🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  18. Matur nuwun Bu Tien, semoga Ibu sekeluarga sehat wal'afiat....

    ReplyDelete

HANYA BAYANG-BAYANG 20

  HANYA BAYANG-BAYANG  20 (Tien Kumalasari)   Sekar duduk mendekati sang adik, menepuk-nepuk bahunya dengan lembut. Puspa yang semula tidak ...