MAWAR HITAM 22
(Tien Kumalasari)
Ketika Sinah berjalan agak jauh, lalu masuk ke dalam sebuah mobil, ada becak berhenti di depan rumah Dewi. Sinah melihatnya tapi ia tak menyapanya. Ia tak harus bertemu Dewi. Ia tahu memang sekarang saatnya Dewi pulang. Hampir setiap hari begitu. Sinah melihat jam yang melingkar di tangannya, hampir jam tiga siang. Benar apa yang dikatakan mbok Randu. Kira-kira jam dua Dewi baru keluar dari kampus. Tapi ia lupa menanyakan di mana Dewi kuliah. Sinah belum menjalankan mobilnya. Ketika Dewi sudah masuk ke halaman rumah, mobilnya bergerak perlahan. Ia mendekati tukang becak yang tadi membawa Dewi pulang, lalu bertanya, dari mana penumpangnya tadi menaiki becaknya.
Sinah menuju pulang dengan rasa puas.
Mbok Randu terkejut ketika sedang mengunyah roti pemberian Sinah, tiba-tiba Dewi sudah ada di belakangnya.
“Enak rotinya Mbok?”
Mbok Randu terkejut. Tergopoh ia meraih tas kuliah bendoronya, sambil masih mengunyah rotinya.
“Ini tadi roti pemberian Sinah, Den Ajeng.”
“Sinah? Sinah ke sini lagi?”
“Iya, sekarang jualan roti. Ada-ada saja anak itu. Disuruh pulang kampung, lebih suka keluyuran di jalanan.”
“Simbok beli roti dari dia?”
“Saya hanya mau beli satu saja, kan di rumah banyak makanan, tapi kemudian oleh Sinah diberikan gratis.”
“Gratis? Jadi nggak bayar?”
“Namanya gratis ya nggak bayar, Den Ajeng. Itu sebabnya saya tadi bilang diberi Sinah.”
“O, begitu? Coba tadi menunggu aku pulang, pasti aku akan beli lebih banyak.”
“Datang hanya menawarkan roti, omong-omong sebentar lalu kabur lagi.”
“Apa dia sudah ketemu simboknya di Solo?”
“Katanya sih belum. Belum punya uang untuk ongkos, katanya.”
“Cuma ke Solo saja, kalau dari sini kan tidak mahal”
“Dia bilang, hasil jualan hanya cukup untuk makan. Padahal yu Manis sudah sangat merindukan anaknya.”
“Tentu saja Mbok, biarpun sudah tahu kalau Sinah jelas keadaannya, tapi kalau bisa ketemu kan senang ya Mbok.”
“Dasar Sinah itu kan orangnya suka semaunya. Simboknya sendiri bilang begitu. Susah diatur dari sejak dia masih kecil.”
“Semoga ada yang mengingatkanya dan membuatnya mau menemui orang tuanya.”
“Saya ke belakang dulu, menata meja untuk Den Ajeng makan.”
“Iya, aku ganti baju dulu Mbok. Simbok masak apa?”
“Tadi Den Ajeng minta dibuatkan oseng daun kates kan?”
“O iya, lama sekali tidak makan oseng daun kates. Sama layur goreng kan?”
“Iya, Den Ajeng. Beli ayam juga, tapi belum saya masak.”
“Setiap hari ayam, bosan Mbok. Aku makan masakan Simbok itu saja, tapi mau ganti baju dulu.”
“Baiklah, Den Ajeng.”
***
Hari itu Andira sudah boleh pulang ke rumah. Ia latihan berjalan dengan walker yang langsung dibelikan sang ayah.
“Mas Andra tidak ke kantor?”
“Kamu gimana sih, ditungguin suami malah seperti mengusir gitu?” canda Andra.
“Bukan mengusir. Mas Andra itu kan seperti bapak, gila kerja. Mana senang kalau hanya duduk-duduk begini? Kan aku sudah ada di rumah.”
“Biar saja, hari pertama setelah dari rumah sakit, lebih baik aku di rumah saja dulu. Nggak suka ya?”
“Suka Mas, suka banget. Cuma aku tidak mau dianggap mengganggu.”
“Jangan berkata begitu, masa aku anggap kamu mengganggu?”
“Andira, suami kamu ingin menunggui kamu seharian ini, jadi kamu harus senang dong.” kata pak Sunu.
“Iya, aku senang kok Pak.”
“Dan karena kamu sudah pulang, keadaan kamu baik-baik saja, maka besok aku dan ibumu mau pulang ke Jakarta,” kata pak Sunu lagi.
“Mengapa terburu-buru Pak, Andira pasti senang kalau Bapak dan Ibu tinggal lebih lama di sini,” kata Andra, yang sesungguhnya ingin agar Sinah tak buru-buru ingin bekerja di kantornya. Bukankah janjinya kalau kedua orang tua Andira sudah pulang maka dia boleh mulai bekerja?
“Tidak bisa begitu Andra. Dua hari lagi ibu janjian sama dokter Amin, seorang dokter spesialis kandungan yang terkenal di sana.”
“Iya, ibumu sudah bertelpon tadi, dan janji dua hari lagi ketemu.”
“Ini kan tentang keinginan kami untuk segera memiliki cucu, Siapa tahu dia bisa membantu. Dan pastinya, nanti Andra dan Andira juga diminta untuk ketemu.”
“Tapi Andira kan masih belum bisa berjalan normal Bu?”
“Tidak harus sekarang, setidaknya ibu mau bicara dulu. Lagi pula dia bersedia didatangkan kemari kalau memang kita menghendakinya.”
“Baiklah, kalau begitu. Tapi Bapak dan Ibu harus sering-sering datang kemari.”
“Mengapa tiba-tiba kamu manja, begini? Biasanya kamu tenang-tenang saja kalau bapak sama ibu lama tidak datang kemari.”
“Soalnya lama ditungguin Bapak dan Ibu selama Andira sakit, rasanya tenang dan nyaman, jadinya keterusan. Masa Bapak sama Ibu hanya akan datang kalau Andira sakit saja?”
“Ya bukan begitu. Bapakmu itu lho, yang kebanyakan acara. Katanya sudah pensiun, tapi terus saja ada acara untuk keluar,” keluh bu Sunu.
“Ya tidak apa-apa sih Bu, kalau kita hanya di rumah saja, tidak bersilaturahmi diluaran, nanti bisa pikun. Bagaimana?”
“Huh, alesan,” kata bu Sunu sambil mencibir.
Andra dan Andira hanya tersenyum mendengarkan.
“Aku ingin seperti bapak dan ibu ini Mas, selalu rukun, sejak jaman masih muda dulu. Semoga kita juga bisa begitu ya Mas,” kata Andira sambil bersandar di pundak suaminya.
“Kita juga akan begitu, percayalah,” kata Andra.
Tapi dalam hati ia merasa resah, ada noda dalam pernikahan mereka. Noda yang sangat mengganggu, susah dibasuhnya.
“Bapak sudah pergi ke rumah makan Mawar Hitam itu?” tanya Andira tiba-tiba.
“Sudah. Kamu benar, pemiliknya mirip Sinah.”
“Sangat mirip, bahkan suaranya juga sama,” sambung sang ibu.
“Iya benar. Mas Andra juga pernah ke sana kan? Atau malah sering? Keterusan karena pelayannya cantik-cantik?” goda Andira.
“Apa? Tidak, kamu ngawur,” sergah Andra.
“Mengapa tiba-tiba kamu bicara tentang rumah makan itu? Sebenarnya kamu tertarik?” tanya pak Sunu.
“Jangan. Aku tidak setuju,” potong bu Sunu.
“Lho, aku kan tanya pada Andira, kok Ibu yang menjawab?”
“Kalau Andira suka, aku yang tidak suka. Fokus pada keinginan hamil itu dulu. Nanti memikirkan usaha baru, yang harus dinomor satukan malah diabaikan.”
“Tidak kok Bu, Andira juga tidak ingin,” sambung Andira.
“Ya sudah, aku pikir kamu tertarik.”
“Andira lebih tertarik memikirkan segera punya anak. Ya kan Mas?”
“Iya, tentu saja,” jawab Andra sambil tersenyum.
***
Andra sedang termenung di kantornya, ketika tiba-tiba Satria mengetuk pintu, yang kemudian dipersilakan masuk olehnya.
“Selamat siang Pak.”
“Siang, pak Satria. Silakan duduk.”
“Mau menyerahkan laporan keuangan bulan ini, Pak.”
“Ya, taruh saja dulu, disitu,” kata Andra yang memang sedang sangat gelisah. Kedua mertuanya sudah kembali ke Jakarta pagi tadi. Dia sendiri yang mengantarkan ke bandara. Tak lama lagi ia akan menghadapi masalah dengan hadirnya Sinah di perusahaan itu.
“Bapak seperti sangat lelah. Atau Bapak sakit?” tanya Satria.
“Benar-benar sakit,” keluhnya setelah menghembuskan napas berat.
“Kalau begitu apa tidak lebih baik Bapak pulang dulu dan beristirahat?”
“Tidak usah. Ini bukan sakit biasa.”
“Bapak sedang ada masalah?”
“Berat.”
“Tentang perusahaan ini? Apa kinerja saya membuat Bapak kecewa?”
“Tidak … tidak, bukan masalah pak Satria.”
“Kalau memang saya melakukan kesalahan, mohon Bapak memaafkan dan menunjukkan di mana letak kesalahan saya.”
“Bukan tentang kesalahan pak Satria. Kesalahan saya sendiri.”
Satria menatap tak mengerti. Dia belum lama mengenal Andra, lagipula Andra adalah atasannya, bukan temannya. Ia ingin bertanya lebih jauh, tapi mana dia berani?
Andra menyandarkan kepalanya di sandaran kursi, sesungguhnya ia butuh seseorang untuk berbagi. Terpikir olehnya ingin mengatakan ‘penderitaannya’ pada Satria, tapi ada rasa sungkan yang menahannya. Ia juga belum lama mengenal Satria. Dulu mereka bertemu secara kebetulan, dan hanya sekilas. Ia tertarik pada Satria dan ingin menjadikannya karyawan, karena ia sedang membutuhkan karyawan dan Satria sedang butuh pekerjaan, dan nyatanya pada Satria dia menemukan kriteria yang sangat menarik. Ayah mertuanya juga sudah mengatakan bahwa Satria orang baik, karena dosen Satria adalah bekas mahasiswa ayah mertuanya juga, dan dari dialah sang ayah mertua tahu bahwa Satria orang baik. Tapi untuk menceriterakan sesuatu yang sesungguhnya adalah aibnya sendiri, masih ada rasa sungkan yang mengganggunya.
“Pak Andra, biasanya kalau orang sedang berat memikirkan sebuah masalah, dia akan merasa lebih tenang kalau bisa berbagi. Ada baiknya pak Andra berbagi dengan seseorang, agar bisa meringankan beban yang Bapak sandang,” kata Satria hati-hati. Tapi perkataan itu membuat Satria mengangkat tubuhnya, lalu meletakkan kedua tangannya di atas meja, menelangkupkan kedua telapak tangannya pula di sana.
“Pak Satria memang benar.”
“Itu hal terbaik yang harus Bapak lakukan.”
“Tapi saya tidak punya teman. Maksud saya, teman dimana saya bisa berbagi.”
“Barangkali teman dekat Bapak.”
“Bagaimana kalau saya membagikan beban saya ini kepada pak Satria?”
Satria menatap Andra tak percaya. Masa dia akan mendapat kepercayaan untuk diajak berbincang tentang sesuatu yang membuat Andra begitu gelisah?
“Saya tidak mudah mempercayai seseorang tentang sesuatu yang menurut saya hal ini adalah sangat pribadi.”
“Mengapa Bapak ingin mengatakannya kepada saya?”
“Kalau pak Satria tidak keberatan.”
“Kalau saya mendapat kepercayaan dari atasan saya, ini adalah anugerah.”
“Ada seseorang yang memaksa ingin bekerja pada perusahaan ini," kata Andra pada akhirnya.
“Mengapa hal itu menjadi beban bagi Bapak? Kalau Bapak tidak suka, Bapak bisa menolaknya, karena Bapak adalah pemilik perusahaan ini, bukan?”
“Tidak semudah itu.”
“Dia kerabat pak Sunu?”
“Sama sekali bukan.”
Lalu Andra menceritakan semuanya. Semuanya, dari sejak Sinah meminta uang setelah keluar dari rumah sakit, sampai kemudian menjadi pembantu di rumahnya untuk melayani istrinya, sampai kejadian yang kelam itu, dan seterusnya, dan seterusnya, sampai muncullah seseorang bernama Mawar.
Satria tentu saja sangat terkejut. Jadi benar, Mawar adalah Sinah? Ini kejadian yang sangat luar biasa. Ia tak mengira Sinah begitu licik dan begitu pandai memainkan peran sebagai penjahat keji yang bisa memeras seorang pemimpin perusahaan yang dihormati seperti pak Andra.
“Jadi … Mawar itu Sinah?”
“Tapi saya mohon untuk sementara hal ini Pak Satria simpan saja dulu. Jangan sampai bocor kemana-mana. Saya sedang mencari jalan, bagaimana cara menghentikannya.”
“Menurut saya, satu-satunya jalan adalah berterus terang tentang itu semua kepada istri Bapak.”
“Kepada istri saya?”
“Itu satu-satunya jalan untuk menghentikannya. Kalau tidak, Bapak akan selalu diperas olehnya.”
Pernah hal itu terpikirkan oleh Andra, tapi lagi-lagi Andra ketakutan. Bagaimana kalau istrinya marah, kemudian mertuanya melemparkannya ke jalanan?
***
Siang hari itu Dewi keluar dari kelasnya. Perutnya sangat lapar, ia harus segera pulang. Ketika dia berjalan, Listyo berteriak memanggilnya.
“Dew, bareng aku saja, tapi aku masih harus menyelesaikan sesuatu, seperempat jam lagi kelar.”
“Nggak usah Mas, aku lapar sekali nih. Terima kasih ya,” katanya sambil melambaikan tangannya, dan berlalu.
Listyo hanya mengangkat bahu karena tawarannya ditolak.
Dewi terus melangkah keluar. Begitu sampai di gerbang kampus, ia melihat sebuah becak seperti sedang menunggu penumpang. Dengan wajah berseri Dewi menghampirinya.
“Nunggu seseorang Pak?”
“Tidak Den, mencari penumpang.”
“Kalau begitu antarkan aku ya.”
Penarik becak yang semula duduk di joknya segera turun, dan membiarkan Dewi naik ke dalamnya.
“Gading ya Pak,” perintahnya.
Becak itu melaju.
***
besok lagi ya.
Alhamdulillah
ReplyDeleteNuwun jeng Ning
DeleteAlhamdulillah eMHa_22 sudah ditayangkan.
ReplyDeleteTerimakasih bu Tien, semoga sehat selalu dan selalu sehat. Aamiin.
Aamiin Yaa Robbal'alamìn
DeleteMatur nuwun mas Kakek
❤️🌹❤️🌹❤️🌹❤️🌹
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏💐
Cerbung eMHa_22
telah hadir.
Matur nuwun sanget.
Semoga Bu Tien & kelg
sehat terus, banyak berkah
& dlm lindungan Allah SWT.
Aamiin🤲. Salam seroja😍
❤️🌹❤️🌹❤️🌹❤️🌹
Aamiin Yaa Robbal'alamìn
DeleteMatur nuwun jeng Sari
Alhamdulilah, maturnuwun bu Tien " Mawar Hitam episod 22" sampun tayang, Semoga bu Tien selalu sehat dan juga Pak Tom bertambah sehat dan semangat, semoga kel bu Tien selalu dlm lindungan Allah SWT aamiin yra 🤲🤲
ReplyDeleteSalam hangat dan aduhai aduhai bun 🩷🩷
Aamiin Yaa Robbal'alamìn
DeleteMatur nuwun ibu Sri
Aduhai aduhai
Alhamdulillah MAWAR HITAM~22 telah hadir.. maturnuwun Bu Tien, semoga panjenengan tetap sehat dan bahagia senantiasa bersama keluarga.
ReplyDeleteAamiin YRA 🤲
Aamiin Yaa Robbal'alamìn
DeleteMatur nuwun pak Djodhi
Matur nuwun mbak Tien-ku Mawar Hitam telah tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteAlhamdullilah..terima ksih bundaqu MH nya..slm sht selalu unk bunda bersm bpk..tetap adihaaii🙏🥰🌹❤️
ReplyDeleteSami2 ibu Farida
DeleteAduhai
Matur suwun bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteAlhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " MAWAR HITAM 22 " sudah tayang
ReplyDeleteSemoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin
Aamiin Yaa Robbal'alamìn
DeleteMatur nuwun pak Herry
Matur nuwun, Bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
DeleteAlhamdulillah Mawar Hitam sudah tayang
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Semiga bunda dan pak Tom Widayat sehat walafiat
Salam aduhai hai hai
Aamiin Yaa Robbal'alamìn
DeleteMatur nuwun ibu Endah
Aduhai hai hai
Terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien dan pak Tom selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal'alamìn
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
ReplyDeleteAlhamdullilah
Matur nuwun bu Tien
Cerbung *MAWAR HITAM 22* sdh hadir...
Semoga sehat dan bahagia bersama keluarga
Aamiin...
Aamiin Yaa Robbal'alamìn
DeleteMatur nuwun pak Wedeye
Waduuhhhhh jangan2 Bagus yg myamar
ReplyDeleteAlhamdulillah
Syukron nggih Mbak Tien ❤️🌹🌹🌹🌹🌹
Sami2 jeng Susi
DeleteAlhamdulillah, MAWAR HITAM(MH) 22 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamìn
DeleteMatur nuwun ibu Uchu
Alhamdulillah MH dah tayang, semoga Sinah segera terbongkar,.....eh gak ya Bu,klau terbongkar cepat tamat, diperpanjang lagi penayangannya🫢😀 biar lebih panjang ceritanya......Sehat dan bahagia sll bersama suami tercinta Bu Tien . Maturnuwun 🙏
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamìn
DeleteMatur nuwun ibu Tatik
Diperpanjang ceritanya...
ReplyDeleteNuwun ibu Tatik
DeleteTerima kasih Mbu Tien... apakah beca itu suruhan Sinah untuk mencelakai Dewi... sinah².... tp Dewi org baik, psti sllu ada penolong baik....
ReplyDeleteSehat sllu mbu Tien bersma kelyarga trcnta
Aamiin Yaa Robbal'alamìn
DeleteMatur nuwun pak Zimi
Gading itu nama Rumah Makan ya?
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
Nama kampung
DeleteSami2 MasMERa
Matur nuwun Bu Tien, semoga sehat wal'afiat dan bahagia selalu...
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamìn
DeleteMatur nuwun ibu Reni
Terima kasih Bunda, cerbung Mawar Hitam 22...sdh tayang.
ReplyDeleteSehat selalu dan tetap semangat nggeh Bunda Tien.
Syafakallah kagem Pakdhe Tom, semoga Allah SWT angkat semua penyakit nya dan pulih lagi seperti sedialakala. Aamiin
Saat nya berubah Satria ( Baja Hitam ) akan segera membuka topeng Sinah si Mawar Hitam..😁
Waduh....Jagad Dewa Bathara...arep ana lelakon apa ya iki, Dewi di gondhol Bagus...numpak becak 🤭😳
Aamiin Yaa Robbal'alamìn
DeleteMatur nuwun pak Munthoni