Saturday, May 31, 2025

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 25

 CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  25

(Tien Kumalasari)

 

Saraswati menatap abdi setianya dengan pandangan aneh. Tangannya yang masih memegang pintu almari dilepaskannya.

“Apa yang kamu bicarakan, Mbok?”

“Sesungguhnya, den mas memang memiliki selir.”

Tak urung mbok Manis harus berterus terang. Semuanya sudah terbuka, walau belum lebar benar. Sekarang mbok Manis ingin membuka semuanya, agar Saraswati mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.

“Apa kamu tadi menyebut nama seorang perempuan?”

“Perempuan itu adalah Arum.”

Gemetar Saraswati ketika mendengarnya. Ia terduduk di kursi, tak percaya apa yang didengarnya.

“Jadi sebenarnya perempuan itu memang bermaksud menyakiti aku? Sementara anaknya seharusnya hidup mulia di sini, aku sayangi bagai anak sendiri, ternyata dia membawanya kabur karena mengadakan hubungan dengan suamiku?” kata Saraswati dengan nada marah.

“Den Ayu, banyak hal yang Den Ayu tidak mengetahui. Sebenarnya Arum tidak bermaksud mengkhianati Den Ayu. Dia melarikan diri karena menghindari gangguan Den Mas yang memaksanya selama dua bulan sampai dia melarikan diri.”

“Omong kosong apa kamu Mbok? Melarikan diri menghindari den mas? Lalu kemudian sudah menjadi selirnya?” geram Saraswati.

“Dua hari dalam pelariannya, den mas menemukannya di jalan, lalu dipaksanya untuk mengikuti.”

“Dan dia mau kan? Senang kan?”

“Tidak sepenuhnya benar. Pada suatu hari den mas Aryo sakit. Karena Arum juga merasa tidak enak badan, lalu diperiksa juga, dan ketahuan bahwa dia hamil.”

“Barangkali memang sudah jodohnya,” sengit ucapan itu terdengarnya.

“Arum terpaksa melakukannya demi bayi yang dikandungnya. Tapi dia mengatakan setelah bayinya lahir, dia akan minta cerai.”

“Itu yang dikatakannya? Aku harus percaya? Atau karena merasa bahwa keinginan bercerai itu lalu bisa membuat kemarahanku reda? Aku benci dan marah bukan karena ada perempuan yang harus menjadi maduku, tapi aku benci karena dikhianati, dan dibohongi.”

“Den Ayu, Tangkil juga tahu kalau sebenarnya Arum membenci den mas Adisoma.

“Oh ya, jadi sebenarnya kalian sudah tahu semuanya, dan sama sekali tidak mau mengatakannya padaku? Ya Tuhan, kalau saja aku tidak ketemu Sinuhun, pasti kebohongan itu akan berlanjut sampai Arum punya anak banyak dan menjadi pewaris keluarga Adisoma.”

“Apa Den Ayu tahu, den mas Aryo sesungguhnya memang putra den mas Adisoma.”

Saraswati membelalakkan matanya. Ada lagi sebuah rahasia yang baru saja dia mendengarnya.

Lalu mbok Manis menceritakan tentang hubungan Arum dan Adisoma ketika sedang berada di kampungnya, lalu mengenal dan menjadi dekat. Saat itu Arum benar-banar jatuh cinta pada Adisoma karena dimanjakannya. Tapi ketika Arum hamil, Adisoma meninggalkannya.

“Lalu Arum datang kemari, ingin mengabdi, tapi sebenarnya dia sedang mendekati suamiku kan?”

“Baik Arum maupun den mas sama-sama terkejut ketika ketemu di sini.”

“Benarkah?”

“Pada suatu malam den mas memasuki kamar Arum dan memperkosa dia.”

“Memperkosa itu bukankah melakukannya dengan memaksa?”

“Benar Den Ayu. Arum menolaknya. Sejak malam itu Arum membenci den mas karena dianggap laki-laki yang tidak bertanggung jawab, dan kemudian malah memperkosanya. Jadi Arum kemudian memutuskan untuk melarikan diri karena merasa tersiksa, dan tidak tega mengkhianati Den Ayu. Apa daya, dalam pelarian itu den mas menemukannya, lalu dicarikannya rumah untuk tempat tinggal. Arum tak berdaya karena dia ternyata hamil. Tapi dia sudah mengatakan bahwa akan meminta cerai begitu dia melahirkan."

“Mbok, kamu begitu mengetahui secara sangat jelas, dari mana semua itu? Dan ternyata kamu tega merahasiakan semuanya terhadapku? Kamu, bahkan Tangkil juga?” tanya Saraswati kesal.

“Sebenarnya semua adalah kebetulan. Dan saya tidak mengatakan kepada Den Ayu karena saya takut Den Ayu akan terluka.”

“Pendapat yang sangat aneh. Lalu aku menjadi kelihatan seperti wanita bodoh, yang mengasihi dan mencintai seorang pengkhianat, bukankah kamu dan Tangkil kemudian mentertawaiku?” Saraswati mengusap air matanya.

“Maaf Den Ayu, sesungguhnya setiap saat saya menangisi Den Ayu, tapi tidak berani berbuat apa-apa. Tangkil diam karena diancam oleh den mas Adisoma.”

“Jadi kalau aku melihat kamu berlinang air mata sambil menatapku, adalah karena kasihan kepadaku?”

“Kasihan tapi tidak berani berbuat apa-apa.”

“Bagaimana kamu bisa mengetahui semuanya dengan jelas?"

“Sinah yang memberi tahu saya, ketika dia sedang di pasar dan melihat den mas sedang mengantarkan Arum ke sebuah toko roti.”

Lalu mBok Manis menceritakan semuanya, sehingga dia menemukan alamat Arum, lalu bertemu dia di rumahnya.

“Haruskah aku mempercayai cerita itu?”

“Saya hanya menceritakan atas apa yang saya dengar dan saya lihat.”

“Kalau begitu antarkan aku ke rumahnya.”

“Sekarang, Den Ayu.”

“Kita selesaikan dulu bebenah barang-barang ini, baru berangkat ke sana.”

“Den Ayu benar-benar akan pergi?”

“Tempat ini sekarang terasa gerah untuk aku, jadi lebih baik aku pulang saja ke rumah orang tuaku.”

Mbok Manis menunduk lesu. Sesungguhnya ia ingin bendoronya berbaikan lagi.

“Kalau kamu mau, tetaplah ikut bersama aku, tapi kalau kamu lebih suka tinggal di sini, aku tidak akan memaksa.”

“Tidak Den Ayu, kemanapun Den Ayu pergi, saya akan tetap mengikuti.”

“Kalau begitu aku harus berterima kasih atas kesetiaanmu.”

“Sudah berpuluh tahun saya mengabdi, sungguh berat kalau tiba-tiba harus berpisah, Den Ayu.”

“Cepat bantu aku memasukkan semua ini Mbok, lalu kita pergi menemui Arum.”

***

 Arum sedang termenung di kamarnya, setelah menidurkan Aryo. Beberapa hari ini Arum merasa tak enak badan. Perutnya yang membuncit sudah sering terasa kenceng-kenceng. Arum sudah pernah melahirkan, jadi dia tahu bahwa sudah saatnya akan melahirkan. Ia sudah menata barang-barang yang akan dibawa ke rumah sakit saat melahirkan nanti.

Tapi pembantunya heran ketika melihat Arum menata semua bajunya juga.

“Bu, apakah Ibu akan membawa semuanya ini ke rumah sakit?”

“Setelah aku melahirkan aku langsung akan pergi.”

“Pergi? Maksudnya pegi dari rumah ini?”

“Hanya bersiap-siap. Aku akan bercerai setelah melahirkan.”

“Lalu bagaimana dengan mas Aryo dan bayi Ibu nanti.”

“Aku akan membawanya. Tapi kamu jangan mengatakan apa-apa dulu, apalagi kepada suami aku.”

“Ibu akan pergi dengan diam-diam?”

"Tidak diam-diam juga, aku sudah bilang pada suami aku tentang keinginanku bercerai."

“Ya ampun Bu, mengapa Ibu mau pergi, sementara bapak begitu perhatian pada Ibu.”

Di rumah itu, Adisoma tidak dianggap sebagai seorang ningrat. Karena si pembantu diminta memanggilnya ibu, maka ia juga menyebut bapak kepada Adisoma yang dianggapnya sebagai orang biasa. Adisoma tidak keberatan dipanggil bapak, toh Arum juga menganggapnya sebagai mas Adi dan bukan den mas Adisoma.

“Mengapa ibu memilih berpisah dengan suami?”

“Aku tidak menyukai suamiku, jangan bertanya alasannya. Dan karena rasa tidak suka itu maka aku memilih untuk bercerai.”

“Lalu ibu mau ke mana?”

“Entahlah, mungkin pergi ke kota lain, agar tidak bertemu suamiku lagi.”

Tapi sementara itu Arum merasa perutnya terasa semakin sakit.

“Aku akan berangkat ke klinik sekarang. Memang hari ini saatnya aku harus kontrol. Apa ini tanda bahwa aku akan melahirkan ya? Dulu pernah merasakannya, tapi apakah sama gejalanya saat melahirkan yang pertama dan kedua?" gumamnya.

Sang pembantu tak menjawab. Dia bahkan belum pernah menikah.

***

Hari itu Adisoma tidak pulang ke rumah Arum. Ia sedang berusaha membujuk sang istri, agar tidak memarahinya lagi.

Saraswati menolak perhiasan, Adisoma akan membujuknya dengan kata-kata yang manis.

Siang hari ketika sampai di rumah, ia melihat sang istri sedang duduk di kamar, terlihat seperti akan bepergian.

“Diajeng mau ke mana?” tanyanya sambil duduk di sampingnya, dan bersikap sangat manis.

“Jalan-jalan.”

“Bagus sekali. Mau jalan-jalan ke mana? Biar kangmas antarkan ya?”

“Tidak usah, aku sama mbok Manis saja. Pengin naik becak.”

“Naik mobil kan lebih enak, nanti kita akan mampir makan di restoran selat yang ada di Singosaren.”

“Aku hanya akan pergi sama mbok Manis.”

“Kalau mau mengajak mbok Manis juga tidak apa-apa kok, biar Tangkil yang setir mobilnya, jadi nanti ketika makan, mbok Manis bisa menemani Tangkil.”

“Tidak, aku tidak mau dengan siapa-siapa, aku hanya mau sama mbok Manis. Lama sekali tidak naik becak, aku ingin naik becak saja.”

“Diajeng, tapi aku ingin mengajak Diajeng jalan-jalan. Lama kita tidak jalan-jalan bersama. Melihat gajah di Kebon Raja?”

“Tidak, waktu kecil sudah sering melihat gajah di Kebon Raja.”

Adisoma lelah membujuk, nyatanya Saraswati tak mau diantarkannya. Karenanya Adisoma membiarkannya ketika kemudian Saraswati sudah menemukan becak lalu berangkat bersama mbok Manis.

“Den Ayu, kita muter-muter dulu, tidak langsung menemui Arum, soalnya nanti kalau den mas mengikuti bagaimana?”

“Iya, aku juga berpikir begitu.”

“Nanti saya suruh tukang becaknya untuk putar-putar dulu saja.”

Dan memang Adisoma mengikuti kemana perginya becak yang ditumpangi istrinya.

“Ternyata memang hanya ingin muter-muter saja,” gumam Adisoma yang kemudian menghentikan kegiatannya mengikuti.

“Dasar perempuan keras kepala. Dibujuk apapun kok tidak mempan,” omelnya.

***

Adisoma menuju pulang dengan hati gundah. Sangat susah menaklukkan hati wanita. Dulu ia sangat bahagia bisa memiliki Saraswati, putri seorang petinggi istana dari Jogya. Ia gadis yang bukan saja cantik, tapi juga baik. Perkataannya lembut, penuh kasih sayang, dan bisa meladeninya dengan sangat memuaskan. 

Tapi ketika tertimpa masalah, Adisoma merasa sangat kewalahan membujuknya. Ternyata dibalik hatinya yang lembut, Saraswati memiliki pribadi yang kuat, sulit ditaklukkan. Iming-iming berlian dan mutiara yang gemerlap tak mampu membuatnya tergiur. Rayuan, dianggapnya angin lalu.

Turun dari mobilnya, Tangkil yang wajahnya masih sedikit sembab mendekatinya. Biasanya Adisoma menyerahkan kunci mobil, lalu Tangkil akan memasukkannya ke garasi. Tapi tidak di siang hari itu.

"Tidak usah, aku masih akan memakainya."

"Oh, baiklah Den Mas."

"Wajahmu itu masih sakit?"

"Sudah banyak berkurang setelah selama beberapa hari mbok Manis mengobatinya."

"Kamu sudah tidak seperti Bagong. Aku minta maaf. Ternyata kamu tidak berkhianat."

"Tidak apa-apa Den Mas, saya bisa mengerti kalau Den Mas merasa panik ketika den ayu mengetahui semuanya."

"Sebenarnya tidak merasa panik juga, aku hanya terkejut."

Tangkil diam dan menundukkan wajahnya.

"Bukankah tidak salah kalau laki-laki punya istri lebih dari dua? Lagipula Arum bukan benar-benar istri. Hanya selir. Tapi Saraswati marahnya sudah melewati batas, menurut aku."

"Mohon ampun Den Mas, barangkali kesalahan Den Mas adalah bahwa Den Mas telah berbohong. Itu yang membuat den ayu marah dan sakit hati."

"Aku sebenarnya juga bermaksud untuk berterus terang, tapi belum kesampaian sudah keduluan dia marah."

"Den Mas kelamaan menunda waktunya."

"Maksudku setelah Arum melahirkan. Aku juga agak pusing memikirkan Arum. Dia bilang setelah melahirkan akan minta cerai. Padahal aku justru akan memboyongnya ke rumah, setelah Saraswati aku beri tahu. Tapi ya sudahlah, nanti akan aku pikirkan lagi. Aku mau pergi dulu, nanti sore saatnya Arum periksa ke dokter kandungan. Sepertinya tidak lama lagi dia akan melahirkan."

Adisoma kembali masuk ke dalam mobil. 

"Entahlah, aku hanya abdi, bisa apa?" gumam Tangkil.

***

Arum sudah sampai di klinik untuk kontrol kehamilannya yang semakin tua. 

Tapi setelah diperiksa, ternyata kandungan Arum hanya kenceng-kenceng biasa. Kata dokter, masih ada waktu beberapa hari bayi itu akan lahir.

Arum hanya diberi obat, lalu dimintanya untuk kembali ketika benar-benar sudah merasa akan melahirkan.

Setelah mengambil obat, dia merasa rasa sakit dan kenceng-kenceng sudah berkurang. Untunglah tidak hujan di siang menjelang sore itu.

Arum segera mencari becak. Biasanya Adisoma ingat kapan dia harus memeriksakan kandungannya, tapi Arum tidak peduli. Ia semakin ingin jauh dari Adisoma, sehingga tak harus bergantung kepada suaminya, walaupun nanti pada suatu hari dia benar-benar sudah saatnya melahirkan.

***

Setelah merasa aman, Saraswati menyuruh becaknya untuk menuju ke tempat dimana Arum tinggal.

Agak jauh, tapi Saraswati senang karena sang suami tidak lagi mengikuti.

“Masih jauhkah Mbok?”

“Memang agak dipinggiran kota Den Ayu, hampir memasuki desa Bacem.”

“Lumayan.”

“Tapi sudah kelihatan, di dekat saung di depan itu rumahnya. Nah yang ada mobilnya itu. Kita sudah hampir sampai.”

Tapi Saraswati mengenali mobil itu. Bukankah itu mobil suaminya?

***

Besok lagi ya.

Friday, May 30, 2025

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 24

 CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  24

(Tien Kumalasari)

 

Tangkil menahan nyeri di punggungnya, sejuta pertanyaan tak menemukan jawaban. Mengapa tiba-tiba bendoro yang dihormati dan dilindungi nama baiknya kemudian menghajarnya? Tangkil berusaha bangkit, tapi Adisoma menendangnya sehingga Tangkil kembali terpental. Ia mengaduh lagi. Tulang punggungnya serasa sudah remuk berkeping.

“Den Mas, ada apa ini?” rintihnya sambil berusaha duduk, menikmati nyeri di sekujur tubuhnya.

“Kamu masih berani bertanya? Penghianat busuk!”

Tangkil terpental lagi.

“Den Mas, saya bisa mati,” rintihnya.

“Mati saja kamu, siapa yang akan menangisi kamu?”

“Den Mas, apa salah saya?”

“Masih bertanya lagi? Tidak sadar apa yang membuat aku marah, membuat aku menghajarmu sampai tulang tuamu menjadi serpihan-serpihan tak berguna.”

“Saya tidak tahu apa yang telah membuat Den Mas marah. Katakan ada apa?”

”Bertanya lagi? Tidak merasa bersalah?” Adisoma menendangnya lagi.

“Hentikan!”

Teriakan itu melengking, memenuhi kebun di dekat taman, ketika tiba-tiba seorang wanita anggun keluar dari taman itu.

Adisoma menatapnya tajam. Sejak kapan istrinya berada di tempat itu?”

“Apakah Kangmas ingin membunuhnya?”

Adisoma terkejut. Bagaimana tiba-tiba Saraswati muncul di taman? Tadi ketika mbok Manis sedang membersihkan meja, ia curiga melihat den mas bergegas keluar, lalu di halaman depan berteriak-teriak memanggil Tangkil. Mbok Manis yang sedikit banyak mengetahui kebohongan den mas, diam-diam mengikutinya, lalu melihat wajah den mas penuh amarah. Sudah pasti amarah itu tertuju pada Tangkil. Den mas mengira Tangkil melaporkan kebohongan den mas kepada istrinya. Sudah pasti Tangkil dikira pelakunya. Mbok Manis merasakannya karena sikap kedua bendoro sudah lain dari biasa.  Karena itu mbok Manis berlari ke kamar Saraswati, mengatakan kalau den mas akan memarahi Tangkil. Ketika Saraswati keluar dari taman, ia melihat sang suami bukan hanya memarahi tapi memukul dan menendang Tangkil, bahkan berkali-kali. Karenanya Saraswati berteriak untuk menghentikannya.

Adisoma menatap istrinya dengan wajah merah padam. Kepalang tanggung, jadi apa boleh buat, pikirnya.

“Mengapa Kangmas menghajar orang tak bersalah?”

Sesaat Adisoma tak bisa mengucapkan kata-kata.

“Aku hanya tak ingin ada orang luar mencampuri urusan kita. Apalagi berusaha merusak hubungan kita. Aku memecat Tangkil mulai hari ini juga,” kemarahan Adisoma tak terkendali.

“Tidak, aku ijinkan Tangkil tetap bekerja di sini.”

“Kamu berani menentang aku, Diajeng?”

“Mbok Manis, bawa Tangkil ke dapur, obati luka-lukanya. Pipiskan beras kencur kalau ada yang memar,” perintahnya kemudian kepada mbok Manis, yang sebenarnya ada di tempat itu tapi tak berani menampakkan diri.

Mendengar titah Saraswati, mbok Manis segera mendekati Tangkil, yang masih meringis menahan sakit, lalu membantunya berdiri, diajaknya ke dapur.

“Kamu menentangku, Saraswati?”

Saraswati tahu, ketika sang suami memanggil namanya, berarti dia sedang marah. Dengan senyuman tipis Saraswati menatap sang suami.

“Apakah karena Kangmas berkuasa maka Kangmas boleh bertindak sewenang-wenang?”

“Manusia busuk itu telah mengkhianati aku, berusaha merusak hubungan kita, dan kamu mempercayainya. Itu sebabnya aku marah sekali padanya,” masih berapi-api ketika Adisoma berkata sambil menuding ke arah mana Tangkil dibawa mbok Manis.

“Mengapa Kangmas menyebutnya manusia busuk? Menyebutnya merusak hubungan kita?”

“Bukankah sikap anehmu itu karena ocehan si mulut lancang itu? Kamu mempercayainya tanpa menanyakan kebenarannya?”

“Apakah ketika Kangmas menghajar Tangkil juga bertanya pada dia tentang kebenaran tuduhan Kangmas itu?"

“Aku tidak perlu bertanya dan itu memang benar adanya, mengapa kamu membelanya Saraswati?”

“Saraswati hanya membela yang benar. Tangkil tidak bersalah, Kangmas yang bersalah.”

“Oh ya? Ocehan Tangkil itu kamu percayai lalu kamu membelanya?”

“Menurut Kangmas Tangkil mengatakan apa pada saya?”

“Aku tidak perlu mengulang kata-kata bohong yang diucapkan bedebah itu.”

“Padahal Tangkil tidak mengatakan apapun pada saya.”

“Buktinya kamu bersikap aneh, seakan marah pada saya. Kalau bukan karena Tangkil yang mengadu, siapa lagi? Mbok Manis tahu apa?”

“Kalau Kangmas tahu siapa yang telah membuat saya marah pada Kangmas apakah Kangmas juga akan menghajar orang itu?”

“Tentu saja, aku akan menghajarnya sampai lumat menjadi debu.”

“Baiklah, Kangmas harus membuktikannya.”

“Siapa orang itu? Pengkhianat busuk perusak rumah tanggaku itu?” Adisoma kembali berteriak.

“Dengar baik-baik. Sinuhun yang mengatakannya.”

“Apa?”

Saraswati mengulaskan senyuman mengejek. Ia melihat suaminya terbelalak menatapnya, seperti tak percaya mendengar apa yang dikatakannya.

“Sinuhun yang mengatakannya. Aku mau melihat, bagaimana Kangmas akan menghajarnya sampai lumat menjadi debu.”

“Sinuhun mengatakan apa? Kamu kan tahu, Sinuhun suka bercanda?”

“Sinuhun tidak akan mengajak aku bercanda. Tapi dari Sunuhun aku tahu bahwa Kangmas tidak sedang mengerjakan atau mengawasi apapun. Intinya, Kangmas telah membohongi saya selama berbulan-bulan,” kata Saraswati kemudian membalikkan tubuhnya lalu masuk ke dalam melalui taman.

Adisoma mengejarnya, lalu memegangi lengannya, tapi dengan sengit ia menepiskan tangannya.

“Jangan begitu Diajeng, ayo kita bicara.”

“Tak ada yang harus dibicarakan, kecuali ceraikan aku.”

“Diajeng, tidak baik perempuan menantang cerai. Pamali.”

“Kalau laki-laki membohongi istri? Bolehkah?”

Saraswati mempercepat langkahnya. Adisoma terpaksa berhenti, lalu melotot ke arah beberapa abdi yang menatapnya, membuat mereka kemudian berhamburan menjauh.

***

Tangkil meringis kesakitan ketika mbok Manis menggosok lengannya yang terkilir dengan minyak urut.

“Aku heran, aku tuh salah apa, coba Mbok? Tahu-tahu dihajar sampai seperti ini.”

“Kamu dituduh mengadu pada den ayu tentang apa yang dilakukan den mas.”

“Aku mengadu apa? Omong saja tidak pernah kecuali ditanya.”

“Memang den mas telah salah sangka. Dikira kamu mengadu.”

“Mengadu tentang apa? Tentang kelakuan den mas itu? Mana mungkin aku berani.”

“Denmas hanya mengira kamu yang melakukannya.”

“Sebenarnya siapa? Simbok ya?”

“Tidak. Aku juga mana berani melakukannya?”

“Lalu siapa? Apa ada orang lain yang mengetahui semua itu?”

“Sinuhun.”

“Aaah, ya. Aku baru ingat. Tadi ketemu Sinuhun kan? Tapi aku tidak mendengar apa yang Sinuhun bicarakan. Bukankah aku meminggirkan kereta agak jauh begitu melihat rombongan Sinuhun? Jadi den ayu mengetahui kebohongan suaminya dari Sinuhun?”

“Iya.”

“Tuhan menunjukkan kuasaNya. Sepandai-pandai tupai melompat, akhirnya terjatuh juga. Sepandai-pandai menyimpan bangkai, akhirnya berbau juga.”

“Kamu benar.”

“Lalu bagaimana selanjutnya ya Mbok? Terjadi keributan pasti, di dalam.”

“Entahlah. Aku juga sedih memikirkannya.”

***

Tapi tak terdengar suara ribut, teriakan marah, ataupun ada barang yang terlempar seperti pada umumnya kalau suami istri lagi marahan. Saraswati seorang istri yang lembut hati. Ia utarakan apa yang ada di dalam hatinya, dengan tanpa berteriak atau luapan amarah. Ia juga tak ingin menangis dihadapan sang suami. Ketika ia sedang kembali duduk di dalam kamarnya, tiba-tiba Adisoma yang beberapa saat lamanya tidak muncul, tiba-tiba muncul dengan membawa sekotak perhiasan berbungkus beludru merah maroon.

“Diajeng, tadi aku mampir ke toko perhiasan di Secoyudan, membeli ini untuk Diajeng. Lihatlah, pasti Diajeng suka,” katanya sambil meletakkan kotak perhiasan itu di pangkuan sang istri.

Tapi Saraswati mengangkat kotak itu dan dikembalikannya kepada Adisoma tanpa membukanya terlebih dulu.

“Diajeng, buka dulu. Kamu pasti suka.”

“Tidak, perhiasanku masih banyak, terkadang bingung mau memakai yang mana. Berikan saja pada perempuan yang Kangmas sukai.”

Adisoma menerima kotak itu kembali dengan perasaan kesal. Perhiasan itu tadi ingin diberikannya pada Arum, Arum menolaknya. Sekarang ketika diberikan kepada sang istri, dia juga menolaknya. Sejak kapan wanita tidak menyukai perhiasan?

“Susah-susah aku membelinya, demi cintaku pada Diajeng, tapi Diajeng menolaknya?”

“Janganlah bicara tentang cinta. Di sini sudah tidak ada cinta,” kata Saraswati sambil berpindah tempat duduk, menjauhi Adisoma.

“Siapa bilang tak ada cinta? Aku sangat mencintai Diajeng.”

“Ketika cinta sudah ternoda, maka cinta itu tak lagi bernama cinta. Jangan membujukku lagi. Kembalikan aku ke tempat di mana Kangmas mengambilku.”

“Diajeng, jangan begitu.”

“Kangmas tidak mendengarnya? Aku sudah mengatakan bahwa aku meminta cerai. Aku tak ingin mengulanginya, aku mau pulang.”

”Diajeng. Aku memang bersalah, aku minta maaf. Tapi jangan pergi meninggalkan aku.”

“Kangmas tidak usah merayu lagi. Baiklah, aku maafkan perbuatan Kangmas, tapi aku tak bisa melupakan kebohongan itu.”

“Aku sudah minta maaf.”

“Sudah aku maafkan.”

“Diajeng, aku akan memberi tahu tentang perempuan itu.”

“Tidak. Aku tidak mau tahu, tidak mau mendengarnya,” kata Saraswati sambil keluar dari kamarnya.

Adisoma terpaku di tempatnya berdiri. Tidak disangka, wanita lemah lembut yang sangat dicintainya itu sangat keras hati. Alangkah susah mengendapkan kemarahannya. Tapi tidak, Adisoma tak ingin melepaskan istrinya. Walaupun ada Arum yang telah memberikan satu orang anak dan satu lagi masih di dalam kandungan, tapi dia tetap mencintai Saraswati. Jangan sampai ia kehilangan. Karena itulah dikejarnya sang istri yang berjalan cepat ke arah keputren, dimana dulu Dewi tinggal.

“Saraswati, tunggu sebentar, dengarkan aku mengatakan sesuatu.”

Tapi Saraswati sudah masuk ke dalam kamar, lalu menguncinya dari dalam.

Adisoma ngeloyor pergi dengan lunglai. Ketika berjalan kembali ke dalam, ia melihat Tangkil, yang kemudian dilambaikannya tangannya. Walaupun hatinya masih kesal dan luka diwajahnya masih terasa perih, Tangkil tergopoh mendekatinya.

“Wajahmu sangat buruk. Nyaris seperti Bagong dalam pewayangan. Mbok Manis mengobati dengan apa?”

“Iya, Den Mas,” hanya itu jawaban Tangkil.

“Tapi aku minta maaf,” kata Adisoma sambil melangkah pergi.

Tangkil menatap punggung sang bendoro, kemudian kembali ke kamarnya. Dicarinya cermin untuk melihat seperti apa wajahnya, sehingga Adisoma mengatakannya seperti Bagong.

“Ya ampuun, simbok memoles wajahku dengan ramuan beras kencur. Memang benar seperti Bagong. Tapi memangnya kenapa den mas harus memanggil yang hanya akan mengejekku? Masih bagus keluar kata-kata maaf, setelah membuat tubuhku sakit semua dan wajahku menjadi seperti Bagong,” gumam Tangkil sambil merebahkan tubuhnya di ranjang. Ia merasa perlu untuk beristirahat, seperti anjuran mbok Manis ketika menyudahi pengobatan atas dirinya.

***

Hari itu Adisoma duduk di pringgitan kraton seorang diri. Hari sudah sore. Ia membawa kekecewaan hatinya dengan masuk ke dalam kraton, dan merenung di sana. Ia ingin berterus terang kepada Saraswati tentang Arum yang sudah melahirkan Aryo, dan bayi yang sedang di kandungnya, tapi Saraswati tak hendak mendengarnya. Rupanya ia tak peduli dengan siapa dirinya berhubungan.

“Mengapa kamu sendirian di sini?”

Suara itu mengejutkannya. Adisoma mengangkat wajahnya dan melihat Sinuhun sedang berdiri menatapnya.

Adisoma menghaturkan sembah, lalu menundukkan wajahnya.

“Kamu menangisi kemarahan istri kamu? Atau kamu datang kemari hendak memarahi aku karena telah mengatakan kepada istrimu bahwa kamu berbohong?”

”Hamba tidak berani,” Adisoma kembali menyembah.

“Dia mengatakan bahwa kamu sedang mengerjakan atau mengawasi sebuah perbaikan bangunan. Aku jawab bahwa tidak ada perbaikan. Aku katakan juga secara samar, bahwa kebohongan seorang laki-laki pasti karena menyembunyikan perempuan lain. Itu benar bukan?”

“Iya, Sinuhun.”

“Kamu seorang laki-laki. Takut pada kemarahan istrimu? Kamu tidak tahu bagaimana cara menundukkan perempuan? Beri dia sesuatu yang menarik. Perempuan suka perhiasan, suka uang yang banyak, bukankah begitu?”

Adisoma ingin menjawab, bahwa itu sudah dilakukannya dan Saraswati sama sekali tidak tertarik. Tapi dia mendiamkannya saja. Ia tak ingin berdebat dengan Sinuhun tentang apa yang diutarakannya.

“Ya sudah, berhentilah menangisi perempuan. Kamu sudah berbuat, harus bisa menemukan jalan untuk keluar dari masalah,” kata Sinuhun yang kemudian pergi meninggalkannya. Adisoma mengangkat sembah sampai Sinuhun hilang di balik pringgitan. Adisoma juga segera berdiri, bermaksud pulang.

***

Mbok Manis terkejut, melihat Saraswati mengemasi barang-barang ke dalam sebuah koper yang terbuat dari kulit.

“Den Ayu, apa yang akan Den Ayu lakukan?”

“Aku mau pulang ke Jogya, kerumah ibundaku.”

“Den Ayu, apa Den Ayu sudah memikirkannya masak-masak? Lagipula Den Ayu akan sendirian di sana, setelah keng rama dan keng ibu wafat.”

“Tidak apa-apa. Rumah itu masih ada, barangkali aku akan menghabiskan hidupku di sana.”

“Den Ayu, saya ingin mengatakan sesuatu. Wanita yang menjadi selir keng raka, saya sudah tahu.”

“Tapi saya tidak ingin tahu.”

“Bagaimana kalau wanita itu adalah Arum?”

Saraswati terbelalak.

***

Besok lagi ya.

 

Thursday, May 29, 2025

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 23

 CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  23

(Tien Kumalasari)

 

Saraswati menatap Sinuhun tak berkedip, ada heran, ada rasa tak percaya.

“Mengapa kamu menatapku seperti itu, Saraswati?”

“Tidak adakah bangunan yang sedang direnovasi?” sedikit gemetar Saraswati ketika mengucapkannya, dimana sebenarnya dia sangat ketakutan ketika menatap sang junjungan.

Sinuhun tertawa keras.

“Kamu terlalu sederhana sebagai seorang istri. Seharusnya kamu merasa ketika suami kamu selingkuh,” kata Sinuhun berterus terang.

Saraswati tak menjawab.

“Se … lingkuh?”

“Di mana-mana laki-laki itu sama saja. Apalagi kalau isterinya beranjak tua, enggan melayani, atau pelayanannya kurang memuaskan. Kamu tidak usah menangis. Wajar seandainya suami kamu punya selir, bahkan di mana-mana. Yang penting kebutuhanmu tercukupi."

Mata Saraswati berkaca-kaca. Tak percaya mendengar apa yang dikatakan Sinuhun. Suaminya yang penuh perhatian dan cinta kasih itu selingkuh?

“Ya sudah, jangan menangisi sesuatu yang wajar dilakukan, seorang istri harus bisa mengerti tentang suaminya, ” kata Sinuhun enteng, sambil meninggalkan senyuman. Barangkali senyum yang disertai perasaan iba, entahlah. Nyatanya sebelum memasuki kereta agung yang akan membawanya, ia berkali-kali menoleh ke arah Saraswati yang masih bersimpuh di tepi jalan, seperti ketika menyambutnya. Dalam hati Saraswati berpikir, seorang istri harus mengerti tentang suaminya? Bahkan ketika kelakuannya sudah melewati batas sebuah kesetiaan tentang cinta suami istri?

Mbok Manis luruh dalam tangis tertahan. Ia sudah tahu semuanya, dan sekarang ia bisa merasakan apa yang dirasakan bendoronya. Ia segera menarik kedua tangan Saraswati, diajaknya berdiri.

“Hari sangat panas, Den Ayu, mari kita pulang dulu.”

Dengan lunglai Saraswati melangkah, lalu menaiki kereta dengan dibantu oleh mbok Manis.

“Kita jalan, Den Ayu?” tanya Tangkil.

“Pulang saja, Tangkil,” yang menjawab adalah mbok Manis, karena Saraswati tak  mampu mengucapkan apapun. Lunglai seluruh tubuhnya, luruh dalam nestapa yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Ternyata ada duri menancap dalam kehidupannya, dan dirinya tidak merasakan apapun. Sekarang ia merasa ada darah menetes, setetes demi setetes, dari luka yang tiba-tiba menganga.

Derap kaki kuda yang berderak, seperti berpacu dengan detak jantungnya. Tak terdengar ada tangis, tapi mbok Manis tahu bahwa sang bendoro sedang kesakitan.

Mbok Manis meraih tangannya, mengelusnya perlahan.

Sampai kereta itu memasuki halaman yang penuh bertebaran bunga tanjung yang putih wangi, Saraswati masih terdiam. Masih tanpa kata ketika ia melangkah ke dalam rumah, langsung memasuki kamarnya.

Mbok Manis membantu menggantikan pakaiannya, dan menemaninya duduk bersandar di atas kursi rotan dengan kayu berukir yang ada di dalam kamarnya.

“Den Ayu, katakan sesuatu,” kata mbok Manis sambil memijit-mijit kakinya.

Tiba-tiba tangis Saraswati meledak, memenuhi ruangan kamar yang oleh mbok Manis memang ditutup dari dalam.

“Den Ayu,” mbok Manis terus memijit-mijit kakinya. Ia membiarkan sang bendoro meluapkan emosinya dengan tangis, dengan berharap beban yang disandang akan banyak berkurang.

“Mengapa Mbok … mengapa? Mengapa bisa terjadi?”

“Sabar Den Ayu, ini adalah cobaan. Den Ayu harus kuat.”

“Ketika Dewi pergi, hatiku tidak sesakit ini, karena aku tahu dia pergi karena tidak mau dipaksa. Tapi sekarang ini aku sedang dibohongi, Mbok. Tega sekali kangmas melakukannya.”

“Den Ayu, hidup itu adalah sebuah perjalanan. Ketika berjalan, terkadang ada kerikil membuat kita tergelincir, terkadang ada duri terinjak dan menyakiti kaki, terkadang ada batu yang membuat kita tersungkur. Tapi bagaimanapun, walau kaki terluka, bukankah kita harus bangkit berdiri, lalu melanjutkan langkah kita kembali?”

“Katakan apa salahku Mbok, mengapa kangmas membohongi aku?”

“Bukan hanya karena sebuah kesalahan ketika batu menghadang dan membuat kita tersandung. Ini adalah ujian.”

“Apa yang harus aku lakukan Mbok? Apakah aku harus minta cerai? Aku tak mau dimadu, aku emoh, Mbok.”

“Nanti kalau keng raka pulang, Den Ayu bisa mengajaknya bicara. Sekarang ini lebih baik Den Ayu menenangkan diri. Istirahat, atau menyibukkan diri dengan sesuatu, sehingga Den Ayu bisa melupakan semuanya. Simbok ambilkan benang songket ya, sudah lama Den Ayu tidak menyongket. Membuat taplak meja, atau pinggiran alas tidur, atau hiasan untuk jendela kamar?”

Saraswati mengangguk, tapi setelah mbok Manis menyiapkan benang dan perlengkapan menyongket, Saraswati hanya menimang-nimang gulungan benang, tanpa melakukan sesuatu.

***

Adisoma sedang berada di rumah Arum. Ia baru saja menidurkan Aryo yang agak rewel, entah karena apa. Ia masih duduk di tepi box bayi dimana Aryo tertidur nyenyak. Menatap wajahnya yang semakin mirip dengan dirinya, Adisoma merasa semakin menyayanginya.

“Tinggalkan saja, jangan terlalu lama berada di sini,” kata Arum yang selalu bersikap dingin kepada suaminya. Sudah berhari-hari lewat sejak mbok Manis datang, tapi Arum tidak ingin mengatakan kedatangan mbok Manis itu kepada Adisoma.

“Kamu mengusir aku?” tanya Adisoma dengan wajah muram. Tadi Adisoma membawa seperangkat perhiasan yang dibelinya didaerah Secoyudan, diberikannya kepada Arum, tapi yang diterimanya tanpa rona suka ataupun gembira. Kotak berhiasan berselimut beludru merah tua itu masih tergeletak di meja, Arum tak hendak menyimpannya.

“Kamu benar-benar mengusir aku?” Adisoma mengulang pertanyaannya.

“Harusnya kamu mengerti mengapa aku mengatakannya.”

“Arum, sudah saatnya kamu mau melahirkan. Ada baiknya aku sering berada di sini untuk membantumu, kalau setiap saat kamu merasa akan melahirkan.”

“Tidak perlu. Dulu ketika Aryo lahir, aku juga sendirian. Apa yang aku takutkan pada kelahiran anakku ini nanti?”

“Arum, kamu jangan keras kepala. Kamu butuh seseorang untuk melindungi kamu, anakmu butuh ditungguin ayahnya juga.”

”Tidak. Ia tidak perlu tahu siapa ayahnya.”

“Arum! Lama-lama kamu membuat aku kesal.”

“Baguslah kalau begitu, jadi jauh-jauhlah dari aku.”

Tangan Adisoma hampir terayun untuk menampar, sesuatu yang sering dilakukannya kalau ada abdi yang tidak taat kepada dirinya. Tapi menatap wajah cantik berwajah sendu dengan perut buncit itu, ia menahan gerakannya.

“Aku mohon, Arum, demi anak-anakmu, kamu bisa mengerti mengapa aku selalu ingin ada di samping kamu.”

“Bagaimana kalau aku katakan bahwa aku tidak suka berdekatan denganmu?” suara Arum lantang, tanpa mengenal takut. Memang sejak kedatangan mbok Manis beberapa hari yang lalu, Arum semakin merasa bahwa dia tak pantas melanjutkan hubungannya dengan Adisoma. Dia mulai ingin dijauhi olehnya, lalu segera diceraikan begitu ia selesai melahirkan.

Beberapa hari terakhir ini ia juga sudah memikirkan apa yang akan dilakukannya setelah berpisah dengan Adisoma. Bekerja, ikut orang, sudah tak mungkin. Ketika membawa satu anak saja sudah tidak ada yang mau menerimanya, apalagi nanti kalau dia membawa seorang bayi juga.

Berjualan? Tapi ia harus punya rumah untuk berteduh, lalu dia akan membuat makanan, atau mengambil dari orang untuk dijualnya, atau apalah. Ia yakin tak akan kelaparan selama dia mau berusaha. Ia beruntung bisa menabung sedikit demi sedikit dari uang yang diberikan Adisoma. Ia tak menampik, memang uang yang diberikannya masih sebatas wajar, karena Adisoma memberikannya demi anak-anaknya, jadi Arum tidak perlu malu mempergunakannya untuk melanjutkan hidupnya. Tapi pemberian perhiasan, itu dianggapnya berlebihan. Ia tak sudi menerimanya. Pakaian bagus yang dibelikan? Ia juga tak hendak memakainya.

“Arum, jangan begitu,” Adisoma masih berusaha mengucapkannya dengan nada lunak. Tapi Arum bergeming.

Karena kesal, Adisoma bangkit lalu beranjak keluar. Di ruang tamu, dia melirik ke arah kotak beludru itu lalu berhenti sejenak. Ia akan mengambilnya lalu memberikannya lagi kepada Arum, tapi Arum membuat langkahnya tertahan.

“Bawa saja lagi perhiasan itu, aku tidak membutuhkannya.”

Dengan kesal yang sudah naik ke ubun-ubun, ia meraih kotak beludru itu lalu membawanya memasuki mobil, dan berlalu.

Arum menghela napas lega.

***

Adisoma memasuki rumah dan mendapati sang istri sedang duduk bersandar di kursi malas, dengan nampan rotan berbentuk bulan berada di pangkuannya. Tapi ia tidak melakukan apapun. Matanya nanap menatap langit-langit.

“Diajeng, sedang apa ini? Mau menyongket, mengapa hanya didiamkan saja benang-benangnya?” sapa Adisoma sambil menyentuh pipi sang istri.

Tak ada sambutan manis seperti hari-hari biasa. Adisoma memegang kedua pipinya, diangkatnya wajahnya yang sedari tadi enggan menatapnya.

“Diajeng, ada apa? Aku sudah pulang agak sore, karena kangen pada diajeng.”

“Pulang dari mana?” akhirnya Saraswati membuka suara, sambil menepiskan kedua tangan  suaminya yang masih menempel di pipinya.

“Pertanyaanmu sungguh aneh, Diajeng, bukankah aku tadi bilang mau ke keraton?”

“Bukan dari menemui seseorang?” tangis itu sudah tak ada. Saraswati menatap suaminya dengan tatapan tajam.

“Diajeng, apa maksudmu? Ayolah, jangan begini, aku sangat lapar, temani aku makan ya?”

“Tidak, aku sudah makan,” sergah Saraswati yang kemudian mengambil jarum songket dan mulai meronce-ronce benang yang dibuat semaunya.

“Hei, kamu! Bilang pada mbok Manis, aku mau makan!” teriaknya kepada salah seorang abdi yang duduk di luar kamar menunggu perintah sang bendoro, karena mbok Manis sedang ada di dapur.

Tanpa disuruh dua kali ia langsung bangkit dan bergegas ke dapur.

“Mbok … mbok … den mas sudah pulang.”

Mbok Manis terkejut. Ia meletakkan cucian gelas yang ditatanya di rak. Apakah terjadi sesuatu di sana? Pikirnya.

“Ada apa?”

“Minta disediakan dahar.”

“Den Ayu yang menyuruh kamu?”

“Bukan, den mas sendiri. Den ayu sedang menyongket di kamar.”

Mbok Manis merasa bahwa telah terjadi  hal yang tidak enak. Barangkai keributan, atau entahlah.

“Cepatlah Mbok, kelihatannya den mas agak marah.”

“Iya .. iya. Ayo bantu aku menata meja,” titahnya kepada salah seorang abdi, bawahannya.

Bergegas mbok Manis, dengan dibantu temannya ia menyiapkan makan untuk sang bendoro.

Ketika melewati kamar Saraswati, mbok Manis melirik, dan melihat Saraswati sedang menggerak-gerakkan tangannya sambil memegangi jarum songket. Tapi ia tak berani mengganggunya.

“Mengapa lama sekali?”

Mbok Manis terkejut mendengar Adisoma menghardiknya. Hal yang tak pernah didengarnya ketika sedang berada di depannya.

“Maaf, Den Mas.”

Mbok Manis menyelesaikan pekerjaannya, dan melihat Adisoma segera mengambil piring dan makan tanpa bersuara.

Mbok Manis diam membeku di lantai, menunggu barangkali ada titah dari sang bendoro.

Sunyi di ruang makan itu. Yang terdengar hanyalah kelunting sendok garpu ketika beradu dengan piring.

Tak lama kemudian Adisoma menatap mbok Manis yang duduk sambil menundukkan muka.

“Ada peristiwa apa tadi?” tiba-tiba suara keras Adisoma terdengar.

Mbok Manis mengangkat wajahnya.

“Peristiwa … peristiwa … saya tidak tahu, Den Mas.”

“Diajeng mengatakan apa?”

“Tidak ada. Saya hanya duduk melayani, lalu saya tinggalkan sebentar karena harus bersih-bersih dapur.”

Adisoma tak melanjutkan pertanyaannya. Barangkali mbok Manis memang tak tahu apa-apa.

Tiba-tiba Adisoma berdiri dan bergegas keluar. Mbok Manis hanya menatapnya. Dadanya berdebar tak menentu. Sambil menumpuk piring kotor, ia terus berpikir tentang apa yang baru saja terjadi. Tapi abdi yang memanggilnya tadi tidak mengatakan apa-apa. Berarti tidak ada apapun yang terjadi. Ketika ia melewati kamar Saraswati, dilihatnya Saraswati masih duduk di kursi yang tadi, mengotak-atik benang dengan jarum songketnya, entah ia sedang membuat apa. Tapi mbok Manis tak berani masuk atau menyapanya. Takutnya kalau Adisoma kembali lalu melihatnya sedang berbincang dengan Saraswati, ia akan marah karena hatinya sedang tidak berkenan.

***

Adisoma melangkah lebar ke arah halaman. Ia mencari Tangkil. Barangkali Tangkil bisa memberikan jawaban. Barangkali Tangkil dengan mulut embernya mengatakan sesuatu pada istrinya. Karena tampaknya mbok Manis tidak tahu apa-apa. Kemarahannya sudah memuncak sampai ke ubun-ubun.

“Tangkil!!” teriaknya.

Tapi yang menjawab adalah Simul.

“Man Tangkil ada dibelakang, sedang membersihkan halaman dekat taman.”

Tanpa menyuruh Simul untuk memanggilnya, Adisoma bergegas mencari Tangkil sendiri. Seperti petunjuk yang dikatakan Simul, Tangkil sedang membersihkan halaman di dekat taman.

Melihat Adisoma bergegas menghampiri, Tangkil menghentikan kegiatannya. Ia meletakkan sapu lidi yang dipegangnya, bermaksud menghampiri sang bendoro. Tapi Adisoma sudah mendekat kearahnya, dan tanpa mengucapkan apapun, sebuah bogem mentah mendarat di wajahnya, membuat Tangkil terjengkang.

***

Besok lagi ya.

SEPASANG MERPATI TUA

SEPASANG MERPATI TUA

(Tien Kumalasari)


Sepasang merpati tua, 

dulu pernah muda

mengepakkan sayap bersama, 

berteman angin dan dedaunan

menghirup hangatnya mentari  

memeluk indahnya rembulan, 

bercanda dengan bintang-bintang. 

Hampir limapuluh empat tahun berlalu,

sepasang merpati masih ingin menari,

diantara mega putih, 

diantara kebun-kebun bunga, 

mencium wangi kembang yang cantik bermekaran. 


MOHON DOA RESTU


_____






Wednesday, May 28, 2025

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 22

 CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  22

(Tien Kumalasari)

 

Langkah mbok Manis semakin mendekat, wajahnya muram, tak ada manis-manisnya walau namanya adalah mbok Manis. Arum menyambutnya dengan hati berdebar.

“Mbok, apa kabar?” katanya berusaha ramah.

“Buruk,” jawabnya singkat, lalu tanpa dipersilakan mbok Manis langsung duduk di kursi tamu. Arum mengikutinya, lalu duduk di depannya sambil memangku Aryo.

“Kamu tega meninggalkan kehidupanmu di istana kecil den mas Adisoma, karena kamu bisa menemukan kemewahan di sini,” katanya dengan nada mengejek.

Arum diam saja. Ia yakin, mbok Manis mengira ia memang benar-benar hidup mewah di rumah itu dengan riang gembira.

“Kamu juga tega mengingkari janjimu kepada den ayu Saraswati, dengan melarikan den Aryo yang sudah diangkat sebagai putra den ayu.”

Arum menekan rasa nyeri di dadanya.

“Rupanya semua kemuliaan yang kamu terima dengan diangkatnya anakmu menjadi priyayi, masih belum membuatmu puas. Kamu merayu den mas, kamu menginginkan lebih, dan berhasil menjadi majikan yang hidup enak di sini.”

Air mata Arum runtuh tanpa bisa ditahan lagi.

“Aku tidak menyalahkan kamu sepenuhnya. Siapa orangnya yang tidak ingin hidup mulia? Siapa orangnya yang suka menjadi abdi atau gedibal tak berderajat selama hidupnya? Tapi kamu harus ingat, kebaikan dan kemuliaan den ayu Saraswati akan membuat hidup kita punya arti. Aku heran, pada wajah cantikmu itu ternyata tersembunyi sebuah keserakahan,” tandas semua kata-kata mbok Manis.

Tangis Arum semakin menjadi. Yang semula ditahannya agar tak menimbulkan suara, akhirnya meluap menjadi isak yang memenuhi ruangan.

Aryo yang semula dipangkunya, kemudian ikut menangis, seakan merasakan apa yang sebenarnya diderita oleh ibunya.

Arum melambaikan tangan ke arah pembantunya yang kebetulan terlihat dari tempat dia duduk, lalu mengulurkan Aryo agar digendongnya.

Sang pembantu yang keheranan melihat tamu yang membuat majikannya menangis, tak berani bertanya apapun juga. Ia segera menggendong Aryo, dibawanya keluar, dan di ayun-ayunkannya agar tangisnya mereda.

“Aku datang kemari hanya untuk mengatakan itu. Berhentilah menyakiti hati den ayu Saraswati. Jangan mengganggu suaminya lagi,” kata mbok Manis sambil bangkit. Tapi kemudian Arum memegangi lengannya, memintanya untuk duduk kembali.

“Ada apa lagi? Kamu ingin mengatakan bahwa kamu melarang aku melaporkan semua ini kepada den ayu?” kata mbok Manis yang kemudian terpaksa kembali duduk.

“Simbok salah sangka. Aku tidak berbahagia di sini. Aku terpaksa melakukannya.”

“Terpaksa? Terpaksa melakukan kehidupan yang manis dan mewah ini?” kata mbok Manis sambil tertawa.

“Aku terpaksa pergi dari sana, untuk menghindari den mas Adisoma yang sering mendatangi kamarku dan memperkosaku.”

“Apa? Memperkosa kamu? Den mas Adisoma memperkosa kamu? Alangkah mudahnya kamu mengungkapkan alasan konyol ini. Kamu pikir aku anak kecil yang mudah mempercayai apa yang kamu katakan?”

“Itu benar,” kata Arum masih dengan tangisnya.

“Dan kamu ingin agar aku percaya?”

“Mbok, tolong percaya pada apa yang aku katakan. Karena denmas Adisoma sering menemui aku, maka aku terpaksa pergi. Aku membawa Aryo karena tak bisa berpisah dengan anakku.”

“Kamu ingin agar aku percaya? Kamu pergi menghindari den mas, lalu kenyataannya kamu mendapatkan rumah ini, menjadi nyonya besar yang punya pembantu, hidup tidak kekurangan?”

"Nasib membawaku ke kehidupan yang sangat buruk. Dalam pelarianku, aku ditemukan kembali oleh den mas Adisoma. Saat itu Aryo sakit, tapi bersamaan ketika aku ke dokter, aku yang juga diperiksa karena kurang sehat, kemudian dinyatakan hamil.”

Arum menangis mengguguk.

Tak urung hati mbok Manis luluh melihat dan mendengar Arum menangis mengharu biru, walau dia tidak sepenuhnya percaya pada apa yang dikatakan Arum.

“Lalu den mas menikahi aku secara siri. Aku dicarikan rumah ini, diberi uang untuk aku hidup bersama anak-anakku.”

“Ini lebih mewah dari seorang abdi,” mbok Manis mengucapkan dengan nada yang masih mengejek.

“Ada satu hal lagi yang akan aku ceritakan sekalian, yaitu bahwa sebenarnya  Aryo memang putra den mas Adisoma.”

“Apa??” mbok Manis berteriak.

Lalu Arum menceritakan asal mula ia bertemu Adisoma. Ketika itu Arum tidak mengira Adisoma punya keluarga, lalu dia mencintainya, dan ketika hamil justru ditinggalkannya. Tanpa diduga kemudian ternyata den mas Adisoma itulah laki-laki yang telah meninggalkannya.

“Mengapa kamu tidak berterus terang?”

“Mana saya berani? Saya tidak menduga ketika pada suatu malam den mas Adisoma mendatangi saya dan memaksa saya.”

“Bukankah kamu tadi mengatakan bahwa kamu mencintainya ketika mengenalnya di kampung?”

“Dulu saya kira dia laki-laki baik. Tapi setelah dia melakukan hal buruk di kamar itu, bahkan berkali-kali, rasa cinta itu sudah hilang. Saya anggap dia laki-laki terkutuk dengan perangai yang sangat buruk.”

“Buktinya kamu mau dipelihara di rumah ini?”

“Saya terpaksa, demi bayi yang saya kandung ini. Saya sudah bilang pada den mas, bahwa setelah melahirkan, saya minta cerai. Rumah dan semua isinya tidak membuat saya bahagia. Saya hidup dengan perasaan bersalah, dengan beban dosa saya kepada den ayu Saraswati. Saya tidak bohong, saya berani bersumpah. Tanyakan pada pembantu saya itu, bahwa setiap hari saya menangisi hidup saya ini. Dan tanyakan pada man Tangkil yang pernah memergoki ketika den mas memasuki kamar saya. Man Tangkil tahu banyak. Dia juga yang mencarikan rumah yang kemudian saya tinggali. Dia pastinya tahu kalau saya tidak gembira ketika itu.”

Arum mengusap air matanya yang tak berhenti mengalir. Mbok Manis melihat, itu bukan air mata buatan, tapi air mata yang keluar dari lubuk hati yang sedang papa.

Sekarang mbok Manis menatap Arum dengan pandangan iba. Tampaknya Arum tidak berbohong.

Ketika keluar dari rumah itu, lalu naik becak menuju pasar, pikirannya masih dipenuhi oleh perasaan rumit tentang Adisoma. Sama sekali dia tak menduga. Jadi Arum pergi karena merasa terganggu oleh ulah Adisoma, yang kemudian kebetulan menemukannya lagi dalam pelariannya. Arum tak berkutik, karena ternyata dia hamil.

Mbok Manis tak berhenti geleng-geleng kepala. Ia masih saja duduk di dalam becak ketika tukang becak mengingatkannya dan membuatnya terkejut.

“Mbok, jadi mau belanja tidak?”

“Oh, eh … sudah sampai ternyata? Iya, aku mau belanja. Tungguin ya, sebenarnya belanjaanku tidak banyak,” katanya sambil turun dari atas becak.

***

Pagi hari itu Adisoma mengenakan pakaian dinas masuk ke keraton, dibantu sang istri. Ia harus datang karena sudah dipertanyakan ketidak hadirannya.

“Tumben harus pakaian dinas Kangmas, biasanya kangmas hanya pakai kemeja biasa, bahkan pernah hanya memakai kaus berkerah.”

“Karena ini benar-benar masuk ke keraton, biasanya kan tugas di luar keraton,” jawab Adisoma yang masih setia dengan ucapan-ucapan kebohongan.

“Aku tidak melihat mbok Manis dari tadi?” kata Adisoma sambil menikmati sarapan paginya.

“Mbok Manis harus ke pasar sendiri.”

“Biasanya ada yang disuruh kan?”

“Kalau ada barang penting yang habis, dia memerlukan berangkat sendiri ke pasar, sekalian belanja masakan hari ini. Tapi menurut aku dia sudah pergi cukup lama. Tumben ini.”

“Jangan-jangan kesasar.”

“Ya nggak mungkin kesasar, seperti orang baru pertama kali ke pasar saja. Barangkali ada yang susah dicari.”

“Apa kira-kira barang yang susah dicari?”

“Kangmas tentu saja tidak tahu, aku saja juga tidak tahu.”

Adisoma tertawa. Sebenarnya dia sangat memanjakan sang istri, sehingga melarangnya untuk melakukan apapun, kecuali berjalan-jalan di taman, memetik bunga, atau bermain-main di tepi kolam.

“Suatu hari aku akan membantu mbok Manis memasak di dapur.”

Adisoma tertawa.

Saraswati berbeda dengan Arum, yang bisa melakukan semua pekerjaan rumah tangga. Wajahnya mendadak muram manakala diingatnya Arum. Ia minta bercerai setelah melahirkan? Mana mungkin? Adisoma terlanjur benar-benar mencintainya. Ia tak akan melepaskan Arum, ia akan membuatnya hidup lebih menyenangkan seandainya Arum memintanya. Rumah mewah? Oh ya, selama ini dia belum pernah memberinya perhiasan yang bagus untuk Arum. Besok dia akan membelikannya di toko emas di sekitar pasar Klewer. Masa Arum tidak suka kalau melihat perhiasan-perhiasan bagus? Dengan begitu dia pasti akan mengurungkan permintaannya untuk bercerai. Senyuman di bibir Adisoma mengembang.

“Kangmas, mengapa tiba-tiba tersenyum?” tegur Saraswati ketika melihat suaminya tiba-tiba tersenyum.

“Apa? Oh … iya, aku sedang membayangkan istriku tercinta sedang bekerja di dapur. Pasti lucu,” jawabnya, lagi-lagi berbohong.

“Kangmas ada-ada saja, hanya membayangkan aku bekerja di dapur saja dianggap lucu.”

“Kan selama ini Diajeng tidak pernah melakukannya?”

“Mulai hari ini aku akan mencobanya. Tapi mana ya, mbok Manis?”

“Paling sudah ada di dapur, menata belanjaannya. Ya sudah, aku mau berangkat dulu, Diajeng.”

Saraswati mengantarkan Adisoma sampai ke pendopo, dimana Tangkil sudah menunggunya diatas kereta.

***

Ketika memasuki rumah, dilihatnya mbok Manis sedang menata jajanan pasar di atas sebuah nampan.

“Baru pulang mbok?”

“Iya Den Ayu.”

“Tumben lama sekali, Mbok.”

“Iya, beli jajanan ini agak lama, Den Ayu. Ini kesukaan Den Ayu bukan? Klepon sama putu-ayu.”

“Iya, sudah lama simbok tidak membeli jajanan seperti ini.”

“Tadi karena masih pagi, jadi masih lengkap macamnya.”

“Ini cucur, aku juga suka. Sayangnya tadi aku sudah makan, melayani kangmas, sarapan.”

“Oh, sayang sekali. Maaf saya tidak melayani, saya serahkan tadi menata meja kepada abdi yang lain.”

“Tidak apa-apa Mbok, Simbok kan ada keperluan ke pasar. Tapi aku mau jajanan itu, sedikit-sedikit saja, ambilkan di piring kecil.”

“Baiklah, untuk Den Ayu, klepon, cucur, sama putu ayu? Yang lain?”

“Yang lain nanti saja Mbok. Perutku kenyang.”

“Ini Den Ayu, silakan.”

“Mbok, nanti aku mau belajar memasak di dapur ya? Masa sih, aku ini perempuan, sudah setua aku, tapi tidak bisa memasak?”

“Den Ayu, jangan. Nanti kalau den mas tahu, simbok yang dimarahi.”

“Aku sudah bilang sama kangmas, boleh kok.”

“Boleh?”

“Iya. Nanti simbok masak apa? Yang gampang dulu saja.”

“Baiklah kalau begitu, Den Ayu habiskan makan jajanan pasar ini dulu, saya mau ke belakang. Tadi belum selesai menata barang-barang.”

***

Tapi dari arah belakang, mbok Manis menuju ke arah kebun. Dilihatnya Tangkil sedang memangkas ranting-ranting yang tumbuh tidak beraturan. Ketika melihat mbok Manis, Tangkil menghentikan kegiatannya.

“Ada apa lagi, mbakyuku ini?”

“Aku tadi pergi ke rumah Arum.”

“Apa? Simbok ini nekat ya? Kalau den mas tahu, aku bisa ikutan mati setelah Simbok.”

“Aku merasa tersiksa memikirkannya, dan rasa ingin menghujat Arum sudah lama ingin aku lakukan. Kebetulan aku tahu alamat rumahnya. Tadi aku langsung ke sana.”

“Simbok memarahi Arum? Sebenarnya aku kasihan pada dia.”

“Mengapa?”

“Dia melakukannya dengan terpaksa, karena dia terlanjur hamil.”

“Seberapa banyak kamu tahu tentang hubungan Arum dan den mas?”

“Pada suatu malam aku memergoki den mas keluar dari arah dapur, di mana ada kamar-kamar para abdi. Sekilas aku melihat den mas keluar dari kamar Arum, dan aku sering melihat Arum yang wajahnya selalu murung. Ketika dia pergi dengan membawa den Aryo, aku sudah tahu apa yang terjadi. Dia menghindari den mas. Tapi apa boleh buat, den mas menemukannya ketika dia sedang di jalan. Aku juga yang diutus untuk mencarikan rumah. Aku melihat Arum tidak gembira.”

“Berarti apa yang dikatakan Arum itu benar.”

“Arum mengatakan apa?”

Lalu mbok Manis menceritakan apa yang dikatakan Arum sambil menangis. Tangkil mengangguk-angguk.

“Tampaknya itu benar.”

Mbok Manis kembali ke dapur dengan kebingungan yang membuat perasaannya kacau. Di satu sisi ia ingin berterus terang pada Saraswati, tapi di sisi lain ada perasaan iba kalau nanti Saraswati berduka.

***

Siang hari itu Saraswati mengajak simbok berkeliling dengan kereta, Tangkil yang menjadi kusirnya.

“Sudah lama Den Ayu tidak keluar, ada baiknya sekali-sekali berjalan-jalan seperti ini,” kata Tangkil sambil memacu kudanya pelan.

“Iya benar. Banyak bangunan baru yang tadinya tidak ada. Di mana sebenarnya bangunan yang digarap kangmas?”

“Wah, saya tidak tahu, Den Ayu.”

“Tangkil, aku ingin melewati keraton, lewat saja, sudah lama juga aku tidak melihatnya.”

“Baiklah.”

Ketika kereta itu berada di depan keraton, tiba-tiba ia melihat serombongan orang sedang mengiringi Sinuhun yang sedang berjalan. Kendaraan yang lewat harus minggir. Tapi ia tidak melihat suaminya ada diantara mereka.

Tangkil meminggirkan keretanya, tapi Sinuhun melambaikan tangannya ke arah Saraswati.

Saraswati berdebar, ia terpaksa turun, lalu berjalan mendekat, jongkok di hadapan Sinuhun sambil menghaturkan sembah.

“Saraswati, kamu tidak pernah ikut suami kamu masuk keraton? Itu keharusan.”

“Mohon ampun, Sinuhun, lain kali akan hamba lakukan.”

“Adisoma juga sudah beberapa bulan tidak datang ke keraton, baru kemarin aku melihatnya. Dia sibuk apa?”

“Sinuhun, bukankah kangmas mendapat tugas mengawasi renovasi bangunan?”

“Bangunan apa?”

Saraswati tertegun.

***

Besok lagi ya.

 

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 47

  CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  47 (Tien Kumalasari)   Tumenggung Ranu tercengang. Tongkat penyangga tubuhnya masih mengambang di udara, s...