MAWAR HITAM 02
(Tien Kumalasari)
Satria heran, apakah dia salah lihat? Ia merasa wanita itu adalah Sinah, suaranya juga suara Sinah, tapi penampilannya? Itu penampilan gadis modern, seksi dan menarik. Rambut ikal sebahu, menambah kecantikannya. Belum hilang Satria terpana, gadis itu yang adalah Sinah, menyapa manis.
“Hallo, tampan. Terpesona pada wajahku? Perkenalkan, namaku Mawar,” kata Sinah sambil mengulurkan tangannya. Dengan masih menggendong Sekar yang sudah berhenti menangis, Satria bengong. Bukan karena kecantikan Sinah, tapi karena bingung, kok bisa ada wajah dan suara sangat mirip, tapi namanya berbeda.
“Hei, ayo kita kenalan,” sapanya lagi.
“Satria, ada apa?” tiba-tiba Dewi berteriak.
“Oh … eh, iya …” bergegas Satria mendekat ke arah Dewi yang sudah memilih beberapa camilan untuk bekal, dan coklat pesanan anak-anak.
Sinah cemberut. Ingin rasanya mencubit bibir tipis yang menghentikan pertemuannya dengan Satria. Tapi kemudian terdengar suara sopir dari arah depan.
“MBak, ditunggu nyonya, mana belanjaannya?”
“Oh, iya … maaf … “ katanya bergegas mengambil belanjaan sang nyonya yang sudah teronggok di samping kasir, kemudian berlalu, sambil sebelumnya menoleh ke arah Satria sambil mengerling genit.
“Sat, siapa gadis itu? Kamu kenal?”
“Enggak.”
“Tadi kamu seperti bicara sama dia?”
“Tidak. Aku tidak bicara apa-apa.”
“Kamu menatapnya seperti orang bengong tadi. Dia cantik? Aku tak melihatnya jelas karena menghadap ke sana.”
“Bukan karena dia cantik. Perempuan itu seperti Sinah.”
“Apa? Sinah? Dia seperti nona kaya yang berdandan seksi. Masa Sinah?”
“Aku juga heran, wajah dan suaranya mirip. Tapi namanya Mawar.”
“Sempat berkenalan juga?”
“Tadi dia membentak Sekar yang tak sengaja menabrak wanita gemuk yang sedang bersamanya, sampai Sekar menangis. Aku gendong Sekar, dan dia … mungkin karena merasa bersalah telah membuat Sekar menangis, lalu memperkenalkan namanya. Tapi aku diam saja. Untuk apa memperkenalkan nama pada orang asing.”
“Tadi Sekar menangis ya?”
“Aku bukan anak setan kan?” kata Sekar yang matanya masih berkaca-kaca.
“Ouw, dia bilang kamu anak setan? Kalau saja aku mendengarnya, pasti sudah aku damprat dia,” kata Dewi marah.
“Mbak Dewi, mana coklat … mana coklat … “ Aryo berteriak.
“Aku juga mau coklat.”
“Baiklah, ayo kita keluar dulu, lalu kita bagi coklatnya, ya,” kata Dewi sambil menjinjing belanjaan. Satria mengikuti sambil masih menggendong Sekar, dan sebelah tangannya menggandeng Aryo.
Ketika mereka keluar, sebuah mobil mewah berlalu. Dari jendela kaca mobil depan, Sinah melambaikan tangannya, sebelum hilang dari pandangan.
“Gadis itu?”
“Iya. Mirip Sinah bukan?”
“Ya, kamu benar. Mirip Sinah. Tapi kelihatannya dia anak orang kaya. Mobilnya bagus. Mobil mahal itu,” kata Dewi yang kemudian mendekat ke arah mobil Listyo, di mana Listyo sudah menunggu bersama Arum.
***
Disepanjang perjalanan mengikuti sang nyonya majikan, Sinah masih saja memikirkan pertemuannya dengan Satria. Agak kecewa ketika mendengar Satria sudah punya anak.
“Kapan menikahnya dengan den ajeng Dewi? Kok aku tidak pernah mendengar tentang pernikahan mereka? Anaknya sudah dua pula? Cepat sekali, punya anak sudah gede-gede begitu.” gumam Sinah pelan, tapi ternyata nyonya majikan mendengarnya.
“Kamu bicara apa, Sinah?” tanya nyonya Andra.
“Oh, eh … tidak … tidak apa-apa.”
“Aku bukan tuli, aku mendengar kamu bicara, pelan. Nggak jelas. Aku tadi juga kesal, kamu disuruh segera mengambil belanjaan, lama sekali,” omel sang nyonya.
“Maaf Nyonya, sebenarnya tadi saya ketemu … itu … ketemu … bekas pacar saya,” kata Sinah sambil cengar cengir.
“O, jadi kelamaan karena ketemu bekas pacar? Yang mana bekas pacarmu? Yang tadi mengusung kotak-kotak makanan dari atas pick up itu?”
“Bukan Nyonya, bekas pacar saya bukan pelayan. Itu tadi, yang keluar bersama keluarganya.”
“Yang sama wanita cantik dan dua anak kecil?”
“Iya, wanita itu merebutnya dari saya.”
“Barangkali juga bukan merebutnya. Bekas pacarmu pasti memilih yang lebih baik dan lebih cantik dari kamu,” kata sang majikan seenaknya.
“Kalau saya bisa dandan seperti dia, masa saya kalah cantik dari dia?”
“Kamu memang tidak jelek, tapi tetap saja wanita itu lebih cantik.”
“Nyonya, karena itu ijinkan saya berdandan dengan lebih baik.”
“Kamu itu sebagai pembantu sudah aku beri kebebasan untuk berdandan. Masih kurang? Coba saja kamu ikut majikan yang lain, berpakaian baju pendek selutut begitu pasti tidak boleh. Sedangkan aku, membiarkan kamu dengan banyak hal yang kamu lakukan. Dasar tidak tahu berterima kasih. Sudah diumbar, diberi gaji besar, masih merasa kurang? Buat aku, kamu mau berbuat apapun sesuka hati kamu boleh saja, asalkan tidak membantah perkataanku, tidak mengecewakan dalam melayani aku. Soalnya aku itu tidak bisa apa-apa sendiri, harus ada yang melayani. Mengerti?”
“Iya, Nyonya, saya mengerti. Bolehkah saya tahu, di mana Nyonya membeli semua perlengkapan make up Nyonya?”
“Apa? Kamu ingin membeli seperti yang aku punya? Untuk sekali beli, gajimu seumur hidup mana bisa cukup.”
“Mahal sekali ya?”
“Kalau tidak mahal mana aku mau memakainya? Sudah, jangan mimpi. Kita mampir ke rumah makan langganan kita dulu. Nanti malah lupa makan karena ngobrol yang nggak jelas begini.”
“Ke rumah makan langganan, Nyonya?” tanya pak sopir.
“Iya, aku mau beli beefsteak lidah, sama daging empal goreng.”
“Baik Nyonya.”
Diam-diam Sinah kegirangan. Makanan kesukaan sang nyonya adalah makanan enak yang tentu saja mahal. Dan sukanya beli sebanyak-banyaknya, lalu pasti ada sisa, dan tempat sampah makanan enak itu adalah di dalam perutnya. Hanya saja Sinah cukup berhati-hati memakannya, karena ia tak ingin badannya menjadi bulat seperti sang nyonya.
***
Keluarga Listyo ditambah Dewi dan Satria sudah sampai di suatu tempat wisata. Mereka duduk di sebuah taman, memesan makanan dan minuman, sambil menikmati udara sejuk yang mengelus tubuh-tubuh mereka. Aryo dan Sekar berlarian ke sana kemari, dan dengan senang hati Satria menemani, bersama Dewi, pastinya.
Arum yang perutnya sudah membuncit duduk bersandar di sebuah kursi taman, ditemani Listyo yang sebentar-sebentar mengelus perutnya.
“Lihatlah Mas, Satria itu begitu telaten menemani anak-anak bermain. Padahal dia itu katanya anak tunggal sehingga kan tidak punya adik?”
“Benar. Tapi karena dia ingin sekali punya adik, jadi dia begitu senang bermain dengan anak-anak kecil.”
“Atau dia sudah ingin punya anak sendiri ya Mas?”
Listyo tertawa.
“Mungkin juga. Dia sudah hampir menyelesaikan kuliahnya, pasti rencana untuk menikah sudah ada dalam pikirannya. Tapi katanya dia akan mencari kerja terlebih dulu.”
“Ya pastilah Mas, kalau tidak bekerja, istrinya mau dikasih makan dari mana? Orang tuanya pasti juga tidak akan mengijinkan.”
“Benar, lagipula Dewi juga masih kuliah, mana mau dia dilamar? Tapi aku senang Dewi sangat bersemangat. Dia memilih hidup diluaran daripada didalam istana kecil yang mengungkungnya seperti katak dalam tempurung.”
“Kalau saja dia menjadi istri Mas, maka Mas tidak akan mengenal Arum dan tidak akan mau berbaur dengan orang kebanyakan seperti Arum.”
“Ya tidak lah. Aku bergaul dengan siapa saja lhoh. Sebuah perjalanan dari manusia itu kan sudah digariskan oleh Yang Maha Kuasa. Bagaimana aku bisa gagal memiliki Dewi, bagaimana aku bisa tidak pernah tertarik kepada wanita yang ada di sekitarku, lalu bagaimana aku bisa jatuh hati pada seorang Arum.”
“Arum yang perempuan kampung, yang janda_”
“Sudah, jangan diulang lagi. Semuanya sudah berlalu, dan inilah kehidupan kita. Nyatanya sekarang kita bisa melewati semua rintangan dan kita hidup bahagia, bukan?”
“Bertemu dengan Mas adalah sebuah keberuntungan yang dihadiahkan Allah untukku. Aku sangat berterima kasih karena tidak menjadi gelandangan setelah lari dari sebuah belenggu yang membebani.”
***
Dewi duduk di sebuah ayunan sambil memangku Sekar, lalu Satria mengayunkannya. Sekar berteriak-teriak senang. Aryo yang sedang naik mobil-mobilan tertawa-tawa sambil melambaikan tangan.
“Ternyata punya anak-anak kecil itu menyenangkan ya?” celetuk Satria.
“Pengin ya?”
“Tentu saja aku ingin. Tapi harus bersabar. Sambil membuat skripsi aku juga mencari informasi tentang lowongan pekerjaan. Maksudnya agar bisa segera melamar kamu.”
Dewi terkekeh kecil.
“Aku harus selesai dulu. Nggak mau kuliah sambil menjadi istri. Nanti aku juga ingin bekerja setelahnya.”
“Nanti kita pikirkan bersama, sekarang ini boleh saja berandai-andai sambil menunggu waktu terbaik yang diberikan oleh Yang Maha Kuasa.”
“Mbak Dewi … aku mau lagiiiii.”
Teriakan Aryo membuat mereka kemudian menoleh ke arah Aryo. Rupanya mobil-mobilan yang dikendarainya sudah habis waktunya untuk berhenti. Harus membayar lagi untuk lanjut.
Satria bergegas mendekat.
“Mau lagi? Nggak capek? Sekali lagi saja ya, nanti dimarahi bapak kalau kelamaan.”
“Iya, sekali lagi saja.”
Sekar tidak tertarik naik mobil-mobilan, ia lebih senang berayun-ayun di ayunan bersama Dewi.
Dewi menggendong Sekar mendekati Listyo dan Arum, ketika Listyo melambaikan tangannya.
“Ada apa?”
“Arum merasakan perutnya kenceng-kenceng, jangan-jangan dia akan melahirkan.”
“Kalau begitu kita pulang sekarang. Lagipula ini sudah hampir sore. Aku panggil Satria dulu. Aryo rewel pengin naik mobil-mobilan lagi.”
“Baiklah, aku tunggu di mobil ya?”
Listyo memapah istrinya ke arah mobil. Arum sangat menikmati kasih sayang dari Listyo yang tak pernah dirasakan sebelumnya. Dua kali melahirkan, tak pernah ada yang memberinya perhatian setulus Listyo. Ketika Aryo dalam kandungan, ia merasa sangat menderita karena ditinggalkan, lalu diusir oleh ibu angkatnya. Ketika Sekar dalam kandungan, perhatian yang diberikan Adisoma tak membuatnya bahagia, karena Arum sudah terlanjur membenci Adisoma. Sekarang dia bersyukur, karena merasa dicintai dan mencintai.
Ini buah dari kesabarannya selama ini, buah dari derai air matanya yang selalu mengalir di hari-hari yang dilaluinya.
Selama perjalanan, Arum masih bisa bertahan. Ketika Listyo ingin langsung membawanya ke rumah sakit, Arum menolaknya karena kenceng-kencengnya belum terlalu sering. Arum yang sudah berpengalaman melahirkan, sangat tahu kapan ia harus siap di rumah sakit. Karenanya setelah sampai di Jogya, barulah Arum minta diantarkan ke rumah sakit. Dewi yang merasa kasihan pada anak-anak mereka, mengusulkan agar keduanya dititipkan di rumahnya, dengan menjemput si Yu yang ditinggal di rumah lebih dulu, karena di rumah Dewi ada beberapa abdi yang akan membantu menjaganya.
***
Malam hari itu nyonya Andra tertidur di sofa setelah makan kekenyangan. Sinah ingat ingin mencari tahu tentang Dewi, apakah benar sudah menikah dan punya anak. Jadi ia menelpon mbok Manis, yang sangat terkejut ketika mendengar suaranya.
“Ini kamu Nah? Ke mana saja selama ini, sehingga meninggalkan simbokmu yang datang ke rumah sakit untuk menjemput kamu?” ujar mbok Manis kesal.
“Mbok, aku meninggalkan simbok untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Aku ogah jadi perempuan desa, aku ini pantasnya jadi gadis kota.”
“Lalu apa yang kamu lakukan? Kamu masih di Jogya? Simbok sudah kembali ke Solo sekarang ini.”
“Aku masih di Jogya. Bekerja menjadi asisten pribadi seorang nyonya kaya.”
“Asisten pribadi itu apa? Pembantu juga kan?”
“Bukan Mbok, aku asisten terhormat, gajiku besar hidupku tidak kekurangan. Simbok tidak usah mengkhawatirkan aku.”
“Hati-hati menjaga diri, dan perperilakulah yang baik.”
“Iya, aku sudah beratus-ratus kali mendengar kata-kata itu. Sekarang ini aku hanya ingin bertanya, apa den ajeng Dewi sudah menikah dengan Satria?”
“Apa maksudmu? Mereka masih kuliah, entah nanti kalau den Satria sudah lulus.”
“Jadi belum ya?”
“Belum, ada apa sih?”
Sinah belum menjawabnya ketika terdengar ketukan pintu yang sangat keras. Ia langsung menutup ponselnya dan bergegas mendekati pintu depan. Sepuluh hari tuan Andra tidak pulang, pasti sekarang ini pulang. Ia menoleh ke arah sofa, dimana nyonya majikan masih tergolek dalam lelap, bergeming walau ada ketukan sangat keras.
Sinah membuka pintu setelah mengintip bahwa memang benar yang datang adalah tuannya.
Tapi Sinah terkejut, ketika Andra langsung memeluknya begitu saja begitu pintu terbuka.
“Eh, Tuan … Tuan … ada apa ini?”
Aroma minuman keras tercium di tubuh sang tuan. Bukan menjawab pertanyaan Sinah, ia malah menariknya ke dalam kamar.
“Tuan … tuan mau apa?” pekik Sinah.
“Aku senang kamu sekarang langsing, Dira. Tidak gembrot seperti kerbau,” kata Andra tanpa mendengarkan pekikan Sinah.
“Saya bukan istri Tuan, saya Sinah …”
Sinah memberontak sampai terjatuh ke lantai.
***
Besok lagi ya.