JANGAN PERGI 32
(Tien Kumalasari)
Ratri hampir sampai di gerbang, berhenti mendengar sebuah
panggilan. Ia mengusap air matanya, dan mencari ke arah datangnya suara.
Seseorang setengah berlari menghampirinya, dan Ratri terbelalak melihat siapa
yang mendekatinya. Dia lebih terbelalak laki ketika sosok itu merangkulnya
erat.
“Ratri, bisiknya di telinga Ratri, lembut dan
bergetar.
Ratri merasa seperti mimpi. Listi memeluknya,
memanggil namanya dengan begitu manis? Rasa sakit karena diterjang kata kasar
dari bu Listyo lenyap seketika. Ia menurut ketika Listi menariknya keluar. Ia
memandangi wajah Listi dengan penuh rasa keheranan. Menatap senyuman manis
dari bibir cantik yang dulu selalu menyunggingkan sikap sinis, yang sekarang tak
ada lagi. Ia tak bisa berkata-kata,
hanya menatap dengan mulut sedikit terbuka.
“Heii! Mingkem! Nanti ada lalat memasuki mulut kamu!”
kata Listi bercanda.
Bukannya mingkem, Ratrii malah lebih membuka lebar
mulutnya, membuat Listi tertawa terpingkal-pingkal.
“Ratri, panggil namaku dengan manis, ayolah.”
“Non.. Non …’ Ratri mengucap lirih, masih teringat
olehnya ketika Listi memintanya memanggil nona padanya.
“Stooppp. Bukan nona. Panggil aku mbak Listi,” ucapnya
bersungguh-sungguh.
Dan Ratri justru merasa bahwa Listi mungkin saja
bertambah parah sakit jiwanya. Ia mundur selangkah.
“Ada apa kamu ini? Kamu takut sama kakakmu sendiri?” kata Listi dengan
mulut cemberut.
Ratri menoleh ke arah bu Sumini yang berdiri tak jauh
dari mereka. Bu Sumini tersenyum mengangguk.
“Kamu…”
“Panggil aku Mbak Listi, kamu nggak dengar,
apa?”
“Mbak Listi … “ ucapnya lirih.
Lalu Listi kembali merangkulnya, begitu tiba-tiba,
membuat rantang berisi rendang itu tumpah tak bersisa. Listi tak
mempedulikannya, ia memeluk semakin erat. Bu Sumini mengambil rantang yang
tengkurap mencium tanah, memasukkan rantang kosong itu kembali ke dalam keresek. Agak kotor sih, tapi
bu Sumini tetap membawanya.
“Mbak Listi …” Ratri berbisik lembut.
“Aku sudah tahu, aku sudah tahu semuanya. Kamu adikku.
Mana ibu? Dimana bu Tijah, ibuku?”
Ratri semakin tak percaya. Tapi matanya berbinar
ketika melihat Listi berucap dengan sungguh-sungguh.
“Aad.. da .. di rumah .. akku…”
“Ayo kita kesana, cepat naik,” kata Listi sambil
membuka mobilnya,
Ratri masuk ke dalam mobil, di depan, sedangkan bu
Sumini sambil membawa rantang kotor, masuk ke jok belakang.
Ratri masih kebingungan melihat perubahan sikap Listi,
sehingga diam tak banyak berkata-kata.
“Apa yang kamu lakukan di sana tadi?” tanya Listi tiba-tiba.
“Aku … membawa rendang … masakan ibu, untuk Bu Listyo.
Itu kesukaan mas Radit,” katanya sedikit terbata.
“Dan wanita sombong itu menolaknya?” kesal Listi.
“Yya, aku tak tahu kenapa ….”
“Jangan hiraukan. Tiba-tiba aku benci dia, mendengar
bagaimana dia bersikap kasar sama kamu. Apakah Radit tahu kamu mau ke rumahnya?”
“Tidak.”
“Ya sudah, jangan hiraukan dia. Kita harus berbahagia,
karena kita akan berkumpul. Aku sudah tahu semuanya, semuaaanya,” kata Listi bersemangat.
“Aku merasa bersalah. Maafkan aku ya Tri, aku selalu
kasar sama kamu, aku bahkan pernah merendahkan ibu kandungku,” ucapnya lagi,
sendu.
“Ibu sangat merindukan kamu.”
“Aku akan membawanya ke rumahku nanti,” kata Listi.
“Apa? Biarkan dia bersamaku,” kata Ratri yang merasa
belum puas bersama dengan ibu kandungnya.
“Kamu jangan begitu Ratri, masa sih tidak mau mengalah
sama kakaknya sendiri?”
“Heii, jangan bertengkar, itu bukan masalah sulit.
Kalian bisa bergantian bersama ibu kalian,” sela bu Sumini yang mendengar
keduanya seperti berebut ibunya.
Lalu keduanya tertawa.
“Kami tidak bertengkar.”
“Kami tidak berebut kok Bik,”
“Bagus, aku senang kalian bisa bersatu dalam sebuah
keluarga, setelah puluhan tahun terpisahkan,” kata bu Sumini sambil mengusap
setitik air mata haru nya.
***
Radit sampai di rumah, tak lama setelah Ratri dan Listi
berlalu.
Ia langsung masuk, dan melihat ibunya duduk di ruang
tengah sambil melihat acara di televisi.
Radit memberi salam, yang dibalas ibunya ketika dia
sudah menaiki tangga untuk masuk ke dalam kamarnya.
“Dit,” panggilnya.
Radit menoleh dan berhenti ketika belum sampai di
ujung tangga.
“Kok buru-buru amat, setelah ganti baju, temani ibu
minum kopi ya,” kata ibunya.
“Radit mau segera mandi, soalnya mau pergi lagi,”
jawab Radit yang kembali melangkah.
“Kemana? Ke rumah Ratri?”
“Ya,” jawab Radit tanpa ragu-ragu.
“Tapi ibu minta kamu untuk mengantarkan ibu sebentar
lagi.”
“Ke mana?” Radit berhenti lalu menatap ke arah ibunya.
“Antarkan ibu ke dokter, kontrol.”
“Ini kan belum waktunya kontrol? Masih tiga hari lagi
kan? Radit sudah mencatatnya kok.”
“Tapi ibu ingin kontrol sekarang, badan ibu rasanya
nggak enak.”
Radit menghela napas. Karena menyangkut kesehatan
ibunya, mau tak mau Radit harus menurutinya.
“Baiklah, Radit mandi dulu,” katanya, kemudian langsung
masuk ke dalam kamarnya.
Bu Listyo tersenyum tipis. Ia sebenarnya tidak sedang
sakit, dan tahu bahwa belum saatnya kontrol. Tapi ia tak suka mendengar Radit
mau ke rumah Ratri. Pasti Ratri akan mengatakan tentang rendang yang
ditolaknya, dan Radit akan lebih marah sama dia, setelah beberapa hari enggan
bebicara karena penolakan atas hubungannya dengan Ratri.
Bu Listyo berdiri, masuk ke kamarnya dan berganti
pakaian. Radit tak suka menunggu, jadi lebih baik ibunya yang menunggu.
Radit terpaksa mengurungkan niatnya menemui Ratri sore
itu, dan berjanji pada dirinya akan datang nanti, malam harinya setelah
mengantarkan ibunya kontrol.
***
Listi menghentikan mobilnya di halaman rumah bu Cipto
yang kecil. Mereka segera bergegas turun, bahkan Listi mendahuluinya, berteriak
begitu menaiki tangga teras. Ratri hanya tersenyum.
“Ibuu… mana Ibuuu?” pekiknya.
Bu Cipto dan bu Tijah yang terkejut mendengar teriakan
itu segera menghambur keluar. Heran melihat Listi sudah memasuki rumah.
Listi menatap keduanya satu-per satu. Ia bingung yang
mana yang ibu kandungnya, karena kali itu Tijah berpakaian rapi dan tampak
bersih, tidak seperti saat menemuinya, kotor kumuh dan sedikit berbau.
“Mana ibuku?”
Tapi ia segera tahu, karena ia tidak melupakan
wajahnya.
Tijah gelagapan ketika tiba-tiba Listi memeluknya
erat, lalu menangis di pundaknya.
“Ibu … ibuku, maafkan Listi Bu, maaf ya Bu… “ isaknya.
Untuk sesaat Tijah terpana, sama sekali tak menduga,
bahwa Listi tiba-tiba memeluknya dan menangis tersedu.
“Listi? Listi ?” hanya itu yang diucapkannya.
Ratri mengajak bu Sumini ke belakang.
“Bi, biar saya cuci dulu rantangnya, jangan sampai ibu
tahu kalau bu Listyo menolak rendangnya,” bisik Ratri. Bu Sumini mengerti.
Ratri tak ingin ibunya kecewa karena pemberiannya tak diterima.
“Bibik duduk di depan dulu,” kata Ratri.
“Ibu, maafkan Listi ya. Listi berdosa telah melukai
hati ibu,” kata Listi masih dengan memeluk ibu kandungnya.
“Mengapa, kamu tiba-tiba bersikap begini?” bisik
ibunya.
“Karena Allah mengingatkan aku Bu,” katanya sambil melepaskan
pelukannya.
“Silakan duduk dulu Nak, mari Bu, berbincang sambil
duduk di sini, saya buatkan minum ya,” kata bu Cipto ramah.
“Ini saya sedang buatkan Bu,” teriak Ratri dari
belakang.
Listi menarik ibunya, lalu keduanya duduk berdampingan.
Bu Cipto dan bu Sumini duduk di kursi yang lain. Membiarkan Listi melampiaskan
rindunya kepada wanita yang ternyata adalah ibu kandungnya.
“Ini sangat tiba-tiba, bagaimana Mbak Listi tiba-tiba
menyadari ini semua lalu bersikap begitu manis kepada aku dan ibu?” tanya Ratri
sambil menyajikan jus jeruk untuk semuanya.
Listi menatap bu Sumini.
“Ini karena bibi Sumini,” kata Listi sambil tersenyum.
Semuanya menatap bu Sumini yang hanya tersenyum-senyum.
“Bibi aku suruh membuang sebuah kotak yang memenuhi
almari aku, tapi dia tidak mau. Kotak itu berisi satu setel pakaian bayi, dan
ada suratnya. Bibi memaksa aku untuk membacanya. Ini suratnya,” kata Listi sambil
mengambil sebuah amplop kusam yang ternyata disimpan di dalam tasnya. Ia
mengulurkannya kepada Ratri.
“Tolong bacakan untuk Ibu,” perintahnya kepada Ratri.
Ratri menerima amplop itu dan membuka isinya.
Listi meneguk jus di depannya, melihat semuanya
mendengarkan Ratri membaca semuanya. Lalu sebelah tangannya merangkul ibunya,
menyandarkan kepalanya di pundaknya, yang disambut dengan elusan tangan di
kepalanya oleh ibunya.
Ratri membaca surat itu dengan terbata. Bagaimanapun dia
terharu sekaligus bahagia. Setitik air mata meleleh, lalu diusapnya. bu Sumini
mengambilkan tissue yang ada di meja untuk Ratri.
Listi ikut menangis tersedu. Suasana begitu mencekam,
sampai Ratri menyelesaikan membaca suratnya, lalu mengusap air matanya yang
membasah.
Bunyi surat itu begitu menguasai perasaan seluruh yang
hadir. Lalu Ratri dan Sutijah mengerti, bagaimana Listi kemudian menyadari
kesalahannya, menyadari perbuatannya yang kasar, terlebih kepada ibu kandungnya.
“Maafkan Listi ya Bu, Listi sangat berdosa,” bisiknya sambil
masih terus menyandarkan kepalanya di pundak ibunya.
“Lupakanlah Nak, kehadiran kamu diantara kami adalah
bahagia yang sempurna bagi ibu. Anak-anak ibu yang hilang sudah kembali menjadi
milik ibu,” katanya sambil mengelus kepala Listi.
“Ibu nanti ikut ke rumah Listi ya?” kata Listi.
“Tapi …” Ratri ingin memprotes, tapi anggukan kepala
ibunya membuatnya mengerti. Pasti Listi juga ingin dikelonin ibu kandungnya.
“Ratri, aku mohon kamu mengerti, aku di rumah
sendirian. Bibi Sumini tidak selalu bisa menemani Listi.”
Ratri tersenyum, mengangguk, walau sebenarnya dia
belum puas dikelonin ibunya semalam.
“Baiklah, nanti bergantian, ya,” kata Tijah menengahi
keduanya.
“Atau kalau Ratri ingin, biarlah Ratri ikut bersama
nak Listi, tidur bertiga di sana,” usul bu Cipto yang melihat Ratri masih agak
keberatan berpisah dengan ibunya.
“Ide bagus. Ratri ikut tidur di rumahku ya.”
“Tapi kasihan ibu di sini, nanti sendirian,” kata
Ratri sambil menatap bu Cipto.
“Tidak apa-apa Ratri, kalian belum puas bermanja
dengan ibu kalian kan? Ibu mengerti kok.”
“Terima kasih Ibu, tapi Ratri tidak seterusnya di
sana. Ratri juga ingat ibu kok,” kata Ratri sambil merangkul bu Cipto. Ratri
juga takut, bu Cipto merasa kehilangan, sementara dia sudah merawatnya sampai
bertahun-tahun.
“Aku juga menyayangi ibu,” bisiknya, yang disambut
dengan elusan tangan juga oleh bu Cipto.
***
Radit menunggu di luar ruang praktek dokter langganan,
ketika ibunya masuk. Dilihatnya jam di tangan menunjukkan pukul tujuh lebih
seperempat. Pasien cukup banyak, dan bu Listyo mendapatkan nomor lima.
Radit sedikit gelisah. Ia ingin melihat keadaan bu
Tijah juga, dan bagaimana suasananya dalam keluarga itu, apakah benar-benar bu
Tijah sudah bisa bersikap normal, atau menyusahkan keluarga bu Cipto. Tapi ia
juga tak bisa membiarkan ibunya sakit. Keluhan agak kurang enak badan juga
membuatnya harus memperhatikannya, walaupun dia sedikit kesal ketika ibunya
mengatakan tidak setuju bermenantukan Ratri setelah mendengar keadaan ibu
kandungnya.
Jam setengah delapan, ibunya baru keluar dari ruang
praktek. Radit segera menuntun ibunya ke arah mobil.
“Nanti sekalian ke apotek ya Dit,” kata bu Listyo
setelah mereka duduk.
“Bagaimana kalau Radit saja yang mengambilkan obatnya
nanti Bu, sekarang kita langsung pulang saja.”
“Jangan Dit, dokternya bilang bahwa obatnya harus segera
diminum. Jadi kita harus segera membelinya sekalian.”
“Kalau begitu kita tinggalkan saja resepnya di apotek,
biar obatnya dikirim ke rumah.”
“Nggak bisa begitu. Apotek tidak selalu bisa mengirim
cepat, pasti menunggu kalau ada pengiriman yang lain, sementara ibu harus segera
minum obatnya,” sergah bu Listyo yang sebenarnya ingin agar Radit kemalaman
pulangnya sehingga urung pergi ke rumah Ratri.
Radit tak bisa membantah. Ia berhenti di apotek, lalu
turun, setelah meminta ibunya agar menunggu di mobil saja.
Radit memohon kepada petugas apotek agar pengerjaannya
di dahulukan, tapi petugas apotik menolaknya dengan halus, karena pembeli harus
sabar menunggu, karena semua yang sakit butuh segera minum obatnya.
Radit terpaksa menunggu. Duduk di pojok ruangan, dengan
gelisah. Lalu dia mengambil ponselnya untuk menghubungi Ratri. Setidaknya dia bisa
mendengar keadaan mereka, walau hanya melalui telpon. Tapi ternyata ponsel
Ratri tidak aktif. Listi yang meminta agar ponsel dimatikan saja, supaya tidak
ada yang mengganggu kebersamaan mereka bertiga.
“Ya ampun, kenapa juga ponselnya tidak aktif?”
gumamnya pelan. Radit semakin gelisah, jangan-jangan terjadi kekacaukan di
sana.
Begitu obatnya selesai, Radit segera menyerahkan
obatnya ke arah ibunya, lalu memacu mobilnya menuju pulang.
Bu Listyo agak kesal, ketika begitu mengantarkan
ibunya pulang, Radit langsung saja pergi lagi. Pasti bu Listyo tak bisa mencegahnya
karena semua permintaannya sudah dipenuhi.
***
Agak sungkan Radit memasuki halaman rumah bu Cipto
karena jam sudah menunjukkan jam setengah sembilan malam. Pintu rumah bu Cipto
sudah tertutup, tapi karena keingin tahuannya tentang keadaan keluarga itu,
membuatnya nekat mengetuk pintu.
“Siapa?” sapa bu Cipto yang rupanya masih duduk
sendirian di ruang tengah.
“Saya Bu, Radit.”
Bu Cipto membuka pintunya dengan heran, karena tak
biasanya Radit datang saat malam seperti ini.
“Masuklah Nak, ibu buatkan minum?”
“Tidak usah Bu, Radit hanya sebentar, hanya ingin tahu
keadaan setelah bu Tijah datang kemari.”
Bu Cipto tersenyum. Radit senang mendengar Listi juga
sudah berubah, bahkan mengajak Ratri dan bu Tijah tidur di rumahnya.
“Syukurlah Bu, saya senang mendengarnya.”
“Oh iya Nak, bagaimana rendang yang tadi ibu kirimkan?
Nak Radit suka?”
“Rendang?”
Radit heran sehingga beberapa saat lamanya tak bisa
berkata-kata.
***
Besok lagi ya.
Yes
ReplyDeleteSelamat jeng Iin Yogja, Juara 1, malam ini mengganti posisi pa Latief Sragentina
DeleteRabu, 23 November 2022
DeleteJANGAN PERGI
#Episode 32
Penulis : Tien Kumalasari.
๐๐๐๐๐๐๐๐๐๐
Alhamdulilah..... sudah tayang.....
Terima kasih bu Tien, semoga bu Tien sehat selalu dan selalu sehat.... Aamiin ya Mujibassailiin..
Salam ADUHAI, Kakek Habi mBandung.
Alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteManusang bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah sudah hadir...
ReplyDeleteAlhamdulillah...
ReplyDeleteJP 32 sdh hadir... maturnuwun Bu Tien.
Salam sehat selalu...
Alhandulillah.
ReplyDeleteAlhamdulillah sugeng ndalu bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun
Alhamdulillah, maturnuwun bunda Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah, matursuwun bu Tien JePe 32nya
ReplyDeleteAlhamdulilah
ReplyDeleteTerimakasih cerbungnya bunda Tien
Hallow..
ReplyDeleteYustinhar. Peni, Datik Sudiyati, Noor Dwi Tjahyani, Caroline Irawati, Nenek Dirga, Ema, Winarni, Retno P.R., FX.Hartanti, Danar, Widia, Nova, Jumaani, Ummazzfatiq, Mastiurni, Yuyun, Jum, Sul, Umi, Marni, Bunda Nismah, Wia Tiya, Ting Hartinah, Wikardiyanti, Nur Aini, Nani, Ranti, Afifah, Bu In, Damayanti, Dewi, Wida, Rita, Sapti, Dinar, Fifi, Nanik. Herlina, Michele, Wiwid, Meyrha, Ariel, Yacinta, Dewiyana, Trina, Mahmudah, Lies, Rapiningsih, Liliek, Enchi, Iyeng Sri Setyawati , Yulie, Yanthi , Dini Ekanti, Ida, Putri, Bunda Rahma, Neny, Yetty Muslih, Ida, Fitri, Hartiwi DS, Komariah P., Ari Hendra, Tienbardiman, Idayati, Maria, Uti Nani, Noer Nur Hidayati, Weny Soedibyo, Novy Kamardhiani, Erlin, Widya, Puspita Teradita, Purwani Utomo, Giyarni, Yulib, Erna, Anastasia Suryaningsih, Salamah, Roos, Noordiana, Fati Ahmad, Nuril, Bunda Belajar Nulis, Tutiyani, Bulkishani, Lia, Imah P Abidin, Guru2 SMPN 45 Bandung, Yayuk, Sriati Siregar, Guru2 SMPN I Sawahlunto, Roos, Diana Evie, Rista Silalahi, Agustina, Kusumastuti, KG, Elvi Teguh, Yayuk, Surs, Rinjani, ibu2 Nogotirto, kel. Sastroharsoyo, Uti, Sis Hakim, Tita, Farida, Mumtaz Myummy, Gayatri, Sri Handay, Utami, Yanti Damay, Idazu, Imcelda, Triniel, Anie, Tri, Padma Sari, Prim, Dwi Astuti, Febriani, Dyah Tateki, kel. SMP N I Gombong, Lina Tikni, Engkas Kurniasih, Anroost, Wiwiek Suharti, Erlin Yuni Indriyati, Sri Tulasmi, Laksmie, Toko Bunga Kelapa Dua, Utie ZiDan Ara, Prim, Niquee Fauzia, Indriyatidjaelani,
Bunda Wiwien, Agustina339, Yanti, Rantining Lestari, Ismu, Susana Itsuko, Aisya Priansyah, Hestri, Julitta Happy, I'in Maimun, Isti Priyono, Moedjiati Pramono, Novita Dwi S, Werdi Kaboel, Rinta Anastya, r Hastuti, Taty Siti Latifah, Mastini M.Pd. , Jessica Esti, Lina Soemirat, Yuli, Titik, Sridalminingsih, Kharisma, Atiek, Sariyenti, Julitta Happy Tjitarasmi, Ika Widiati, Eko Mulyani, Utami, Sumarni Sigit, Tutus, Neni, Wiwik Wisnu, Suparmia, Yuni Kun, Omang Komari, Hermina, Enny, Lina-Jogya, mbah Put Ika, Eyang Rini ,Handayaningsih, ny. Alian Taptriyani, Dwi Wulansari, Arie Kusumawati, Arie Sumadiyono, Sulasminah , Wahyu Istikhomah, Ferrita Dudiana, SusiHerawati, Lily , Farida Inkiriwang, Wening, Yuka, Sri, Si Garet, ibu Wahyu Widyawati, Rini Dwi, Pudya , Indahwdhany, Butut, Oma Michelle, Linurhay, Noeng Nurmadiah, Dwi Wulansari, Winar, Hnur, Umi Iswardono , Yustina Maria Nunuk Sulastri Rahayu Hernadi , Sri Maryani, Bunda Hayu Hanin, Nunuk, Reni, Pudya, Nien, Swissti Buana, Sudarwatisri, Mundjiati Habib, Savero, Ida Yusrida, Nuraida, Nanung, Arin Javania. Ninik Arsini, Neni , Komariyah, Aisya Priansyah, Jainah Jan. Civiyo, Mahmudah, Yati Sri Budiarti, Nur Rochmah. Uchu Rideen
. Ninik Arsini, Endah. Nana Yang, Sari P Palgunadi, Echi Wardani, Nur Widyastuti, Gagida family, Trie Tjahjo Wibowo, Lestari Mardi, Susi Kamto, Rosen Rina, Mimin NP, Ermi S, Ira, Nina, Endang Amirul, Wiwik Nur Jannah, Ibu Mulyono, Betty Kosasih, Nanik, Tita, Willa Sulivan, Mimin NP, Suprilina, Endang Mashuri, Rin, Amethys, Adelina, Sari Usman, Caecilia RA, Mimiet, Sofi,
Matur nuwun mbak Tien-ku Jangan Pergi sudah tayang.
ReplyDeleteAlhamdulillah salam sehat selalu utk Bu Tien dan kel..๐๐๐
ReplyDeleteMonggo di lanjut nonton world cup Jerman x Jepang.
Alhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDelete
ReplyDeleteAlhamdulillah JANGAN PERGI~32 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien ๐
Alhamdulillah.... mtr nuwun bunda Tien, sehat sllu njih
ReplyDeleteAwas jangan ngowo..
ReplyDeletentr ada lalat masuk
.hihi mak kletus...enak kali yach..๐
Matur nuwun bunda Tien...๐
Mtrnwn mbak Tien
ReplyDeletealhamdulillah๐
ReplyDeleteAlhamdulilah jp sdh tayang ... makin seru , terima ksh bu tien ...salam sehat
ReplyDeleteWah...rendangnya dimakan kucing bu,
ReplyDeletehabis kena tanah... Oh rendang kacian kamu.
Ayo Radit ajak ibumu berkunjung ke rumah Bu Tijah, akan lain reaksinya.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Radit bingung dg rendang nya..
Deleteiyaa pak Latief,...
jangan" sdh habis dimakan kucing krn td tumpah di jln ..
Apkh bu Listyo sdh pernah bertemu dg bu Cipto yg mengurus Ratri dr bayi?
kita tunggu lanjutannya nanti mlm ya pak... Tks
Makasih mba Tien.
ReplyDeleteSalam hangat selalu. Aduhai
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah JP 32 sdh tayang,
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien, semoga sehat dan sukses selalu.
Aamiin
Terima kasih bunda Tien...
ReplyDeleteGusti tansah amberkahi...
Alhamdulillah, kasih sayang seorang ibu tidak akan bisa tergantikan oleh apapun.
ReplyDeleteTerimakasih bu Tien, salam sehat dari mBanrul
Matur suwun bunda Tien
ReplyDeleteSalam Tahes Ulales
Tak lupa selalu Aduhaiiii
๐ฆ๐ป๐ Alhamdulillah JP 32 telah tayang. Matur nuwun Bunda Tien, semoga sehat selalu dan tetap smangaaats...Salam Aduhai๐๐ฆ๐ท
ReplyDeleteTrimakasih bu Tien ..... salam sehat selalu ....
ReplyDeleteCeritanya memang luar biasa...
ReplyDeleteTerima kasih Mbak Tien...
Terima kasih Bu Tien
ReplyDeleteSalam sehat dan aduhai selalu
Trims Bu Tien sehat selalu
ReplyDeleteAlhamdulilah.. Ratri sdh dtg
ReplyDeleteTks bunda Tien..
Semoga bunda dan keluarga sehat selalu..
Terima ksih bunda..slm sht selalu๐๐ฅฐ๐น
ReplyDeleteSemalaman gak bisa baca ketiduran baru bisa sekarang
ReplyDeleteMakin seru aja nih cerita bunda yg pandai mengaduk ngaduk pembaca
Makasih bunda tien
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteBahagianya mak Sutijah; kedua anaknya diketemukan apapun yang telah dijalani itu lah kehidupan, mereka merajut kembali kebersamaan untuk saling menguatkan; Listiani dan Ratri bakal menghadapi tantangan kehidupan masa yang akan datang.
ReplyDeleteMelupakan tidak mungkin, tapi memupus kenangan sangat bisa, dimana Sutijah di Sukur kรฉ sampai tersungkur, Tarmi yang mencari kesenangan sendiri nggak mau tahu kesedihan yang ditinggalkannya, yang katanya teman sendiri.
Malah Radityo รจkรจr-รจkรจran pรชrkรฅrรฅ rendang sama biyung nya.
Namanya sama biyung, ya ngalah dan berusaha memberikan pengertian, bener juga tuh waktu ngintip Listi sama Ratri berpelukan kaya teletabis tapi kan ibu mereka stres berat hampir gila.
Itulah manusia yang masih bisa berubah bahkan bertumbuh.
Kan ada Bu Cipto yang pensiunan guru bahkan kepala sekolah, kan bisa mengerti; menuntun lembut agar hati yang kering bisa disuburkan lagi bahkan bisa bertumbuh kesejukan hati.
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Jangan pergi yang ke tiga puluh dua sudah tayang
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
๐
Waduh rendang terbuang gara2 Listy manggil Ratri dan pelukan deh saling lepas kangen..nuhun bu Tien
ReplyDelete