Thursday, November 24, 2022

JANGAN PERGI 33

 

JANGAN PERGI  33

(Tien Kumalasari)

 

Bu Cipto heran, Radit tak mengerti tentang kiriman rendang yang tadi dibawa Ratri.

“Nak Radit, tadi kan Ratri ke rumah nak Radit, mengirimkan rendang yang tadi saya masak bersama bu Tijah. Katanya itu kesukaan nak Radit. Kok nak Radit malah belum tahu?”

Radit kemudian mengerti, pasti Ratri ke rumah, tapi ibunya tidak mengatakannya sama dia, trus barangkali juga rendang itu belum sempat dia makan karena dia kan begitu datang, setelah mandi lalu mengantarkan ibunya, lalu langsung ke rumah bu Cipto.

“Oh, iya Bu, saya belum tahu, soalnya ketika saya pulang lalu mengantarkan ibu ke dokter, lalu sesampai di rumah, saya langsung datang kemari.”

“Oh, berarti nak Radit belum sempat makan di rumah ya, pantesan seperti tidak mengerti, dan ibu juga belum sempat memberi tahu karena sakit. Oh ya, ibu sakit apa Nak? Mengapa ke dokter?”

“Tidak sakit Bu, hanya kontrol. Tapi sampai malam baru pulang, soalnya belum daftar sejak awal, jadi dapatnya nomor belakangan. Itu sebabnya saya kemari malam-malam. Maaf ya bu, karena keburu ingin tahu keadaan bu Tijah, sementara menelpon Ratri kok ponselnya mati, saya jadi khawatir.

“O, mungkin sedang kangen-kangenan sama saudaranya dan ibu kandungnya, jadi ponselnya dimatikan, takut terganggu.”

“Iya Bu, syukurlah semua baik-baik saja. Dan bu Tijah sudah mau memasak bareng Ibu.”

“Tadi belanja ke pasar, terus pulangnya masak rame-rame berdua. Ya itu tadi masak rendang yang kemudian Ratri mengirimkannya ke rumah. Sayang Nak Radit belum mencicipinya.”

“Nanti sesampai di rumah akan saya habiskan Bu, soalnya saya juga  belum makan sejak siang.”

“Kasihan Nak, lha sekarang makan di sini ya, rendangnya masih ada kok. Ibu siapkan ya?”

“Tidak Bu, nanti rendang yang di rumah, siapa yang makan? Saya pamit saja sekarang, jadi kepengin segera makan rendangnya,” kata Radit sambil berdiri.

“Bener nih, nggak mau makan di sini?”

“Terima kasih Bu, seperti tadi saya katakan, kalau saya makan di sini, kasihan rendang yang di rumah,” katanya sambil meraih tangan bu Cipto.

“Ya sudah, hati-hati ya Nak.”

“Ibu segera tidur ya, sudah malam nih.”

***

Sesampai di rumah, Radit melihat kamar ibunya sudah tertutup, dan lampu ruang tengah sudah dimatikan. Ia yakin ibunya sudah tidur, dan ia tak tega membangunkannya.

Radit melangkah ke belakang, melihat pembantunya masih duduk sambil menikmati kopi, di meja dapur.

“Bibik belum tidur?”

“Pak Radit belum datang, juga belum makan, jadi bibik belum bisa tidur.”

“Baiklah Bik, aku mau makan sekarang, siapkan ya, aku ganti baju dulu,” kata Radit sambil naik ke atas, langsung membersihkan diri dan ganti baju rumahan.

Ketika turun, dilihatnya bibik sudah menunggu, duduk di kursi kecil di sudut ruang makan. Kursi yang selalu digunakannya untuk duduk setiap menunggui ibunya dan juga dirinya saat makan.

Radit duduk, menatap semua lauk yang ditata si bibik.

“Mana rendangnya bik?”

Bibik berdiri.

“Apa pak? Rendang? Memangnya ibu tadi menyuruh bibik memasak rendang? Tidak tuh, hanya sambel goreng ati dan ca udang.”

“Lhoh, kan tadi Ratri ke sini membawa rendang?”

Si bibik heran.

“Kok bibik nggak lihat non Ratri ke sini ya? Mungkin hanya ketemu ibu di depan.”

“Tadi Ratri ke sini membawakan rendang untuk aku, Bik.”

Bibik berjalan ke arah kulkas, barangkali bu Listyo meletakkannya di dalam kulkas agar tidak basi. Tapi dia mengubres seisi kulkas, tidak ada sayur apapun yang tampak di sana.

“Ada Bik?”

“Kok tidak ada ya, di mana ibu meletakkannya?”

Bibik berjalan ke arah depan, barangkali majikannya meletakkan di meja depan, lupa membawanya masuk karena terburu-buru pergi ke dokter, tadi. Tapi tak ada makanan di seluruh meja, baik di teras, di ruang tamu maupun di ruang tengah.

Kok tidak ada ya Pak?”

“Tidak ada?”

“Bibik sudah mencari di seluruh tempat, tidak ada rendang  yang bibik temukan. Kalau pak Radit ingin, besok  bibik akan memasaknya.”

“Tidak. Tidak usah Bik, ya sudah, aku mau makan seadanya ini saja.”

Radit membalikkan piring, mengisinya nasi dan mengambil lauknya. Radit merasa sangat lapar. Dia melahap makan malamnya, tapi dengan pikiran ke arah rendang yang dibawa Ratri ke rumah.

“Ibu meletakkannya di mana ya, apa mungkin di kamar Ibu? Kalau tidak dipanasi, basi nggak ya. Tapi masa sih, rendang di simpan di kamar?”

“Radit menghabiskan makan malamnya, kemudian beranjak ke ruang tengah. Ia melewati kamar ibunya yang tertutup. Radit mendekati kamar, mencoba membukanya, tapi kamar itu terkunci.

Radit menghela napas berat, lalu melangkah naik ke atas, untuk beristirahat di kamarnya.

“Besok saja aku tanyakan rendang itu. Masa sih, dihabiskan sendiri oleh ibu. Dan kalau ibu memakannya, mengapa bibik sampai tidak tahu?” gumam Radit sambil mengunci pintu kamarnya.

***

Bu Tijah turun dari pembaringan, membiarkan dua anak perempuannya masih terlelap. Semalam mereka berbincang dan bercanda, sampai larut. Tak heran biarpun terdengar ayam berkokok,  keduanya masih terlelap.

Tapi Tijah sudah biasa bangun pagi. Ia menuju dapur dan menyalakan kompor untuk menjerang air.

Ketika di rumah bu Cipto, bu Cipto selalu mengingatkannya tentang saat beribadah, jadi kemudian dia mengambil air wudhu dan menjalankan shalat subuh.

Ketika kemudian Ratri bangun, ia terkejut ketika membuka jendela, melihat alam telah tampak benderang. Ia melihat ke arah jam dinding, sudah jam setengah enam. Ia bergegas ke kamar mandi dan melaksanakan shalat.

Listi mencium bau kopi memenuhi kamarnya, dari pintu yang sedikit terbuka. Ia menggeliat dan mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi. Tampaknya pagi ini ada yang berbeda. Bu Sumini tidak tidur di rumahnya, tapi seperti ada kesibukan di dapur. Listi melemparkan selimut, lalu bergegas ke belakang.

“Selamat pagi Non Listi,” canda Ratri sambil membawa baki berisi tiga cangkir kopi ke ruang tengah.

“Kenapa kamu tidak membangunkan aku? Jelek!” kata Listi pura-pura marah.

“Aku juga baru bangun, tahu.”

“Kopi ini siapa yang bikin?”

“Ibu. Ibu yang bangun lebih dulu.”

Listi tersenyum lebar, dilihatnya ibunya datang dari arah belakang, tampak sudah rapi dan cantik.

Listi menatap kagum. Ia baru sadar, sesungguhnya ibunya memang cantik. Ia teringat ketika memaki-makinya, saat ibunya datang mengunjunginya di rumah sakit, dengan pakaian kumuh dan sedikit bau.

“Ibu duduk di samping Listi, ya,”

Katanya sambil menarik ibunya agar duduk di sampingnya.

Ratri sudah mendahului menghirup kopinya.

“Hm, kopi buatan ibu enak sekali.”

“Aku tadi mau masak untuk sarapan, tapi tak ada apapun yang bisa dimasak. Hanya ada sedikit beras di dalam panci,” kata Tijah.

Listi tertawa.

“Ada juga telur tiga biji,” lanjutnya.

“Maaf Bu, Listi tidak pernah memasak. Hanya kadang-kadang kalau bibi Sumini ada, maka Listi biasa dibuatkan nasi goreng. Itupun bibi seperti sudah tahu, kalau di kulkas harus selalu ada bumbu nasi goreng dan udang, serta telur.”

“Pantesan,”

“Kita jalan-jalan saja yuk, beli nasi liwet,” ajak Listi.

“Aku tidak usah ikut, aku harus segera mandi dan berangkat kerja,” kata Ratri.

“Begini saja, kamu segera mandi, aku antar masuk kerja, sekalian makan di jalan. Nggak lama kok.”

“Baiklah, aku mengajar jam ke dua. Sekarang aku mau mandi dulu. Kamu nggak mandi? Apa kamu biasa bangun tidur langsung menghirup kopi?” tegur Ratri.

“Iya, lalu aku harus ngapain. Sebelum aku bangun bibi Sumini sudah datang membersihkan rumah dan membuat kopi untuk aku.”

“Besok bangunlah lebih pagi, dan lakukan shalat. Bukankah semalam aku sudah bilang begitu?”

“Oh iya, aku lupa.”

“Lain kali tidak boleh lupa ya Mbak, juga di saat-saat harus shalat lainnya.”

“Nanti bareng ibu. Ibu juga baru saja melakukannya,” sambung Tijah.

“Baiklah Bu, sekarang Ratri biar mandi dulu, aku mandinya nanti kalau sudah pulang dari mengantarkan kamu ke sekolah.”

“Apa? Mandi nanti?” pekik Ratri.

“Aku tuh kalau mandi lama, berendam satu jam belum tentu selesai, nanti kamu terlambat.”

Ratri merengut.

Mulai sekarang mbak Listi harus membiasakan diri untuk bangun lebih pagi, mandi secukupnya, dan ibadah jangan lupa.”

Listi merengut. Pasti susah bangun pagi, karena tidak biasa. Tapi dia berjanji akan belajar mengikuti kata-kata adiknya.

***

Radit sudah bangun dan mandi, siap berangkat ke kantor, sebelum ke rumah sakit. Dilihatnya ibunya sudah duduk di ruang tengah, menghirup kopi dan menikmati acara televisi.

“Bu, kemarin Ratri kesini bukan?” tanya Radit membuat bu Listyo terkejut.

“Kenapa?”

“Ratri membawa rendang kesukaan saya.”

“Oh, dia sudah mengadu sama kamu?”

Radit mengerutkan alisnya. Ucapan ibunya tanpa menatapnya, terdengar seperti nyinyir dan tidak suka.

“Apa maksud ibu dengan ungkapan ‘mengadu’ ?”

“Semalam kamu sudah ketemu dia, dan mengadu tentang rendang itu?”

“Radit bahkan belum ketemu dia. Ibunya memasak rendang dan teringat bahwa itu kesukaan Radit. Ibu letakkan di mana rendang itu? Semalam Radit ingin memakannya, tapi  bibik tidak menemukannya,” kesal Radit.

“Ibu suruh bawa pulang rendang itu.”

“Apa?” pekik Radit.

“Ibu tidak suka rendang, biasanya pedas, sedangkan ibu tidak boleh makan yang pedas-pedas, apalagi tidak suka juga.”

“Tapi itu maksudnya untuk Radit Bu, lagian sangat menyakitkan mengembalikan pemberian yang susah-susah dibawakan. Apa tidak bisa diterima saja, walaupun tidak suka memakannya? Ibu hanya ingin menyakitinya kan?”

“Radit, karena gadis itu kamu jadi berani mengomeli ibu,” kata bu Listyo marah.

“Mengapa tiba-tiba ibu membenci Ratri? Apa salah dia Bu?”

“Salah dia adalah, bahwa dia terlahir dari seorang wanita yang kurang waras.”

“Dia tidak gila Bu, dia wanita baik yang menjadi korban ketidak adilan.”

Bu Listyo diam, dia berdiri untuk meninggalkan anaknya yang sedang marah, tapi Radit mendahuluinya melangkah keluar, setelah mengambil tas kerjanya di atas meja.

“Radit. Sarapan dulu!” teriak bu Listyo.

Radit tak menjawab. Ia sangat kesal, ibunya telah menyakiti Ratri. Ia masuk ke dalam mobilnya kemudian memacunya keluar dari halaman.

Bu Listyo mengusap air matanya.

“Aku hanya ingin yang terbaik untuk kamu Dit, kamu satu-satunya anakku.”

Bu Listyo seperti tidak tahu, bahwa Ratri adalah gadis terbaik yang dipilih Radit, yang akan dicintainya sampai kapanpun.

***

Radit uring-uringan di kantornya. Semua pekerjaan stafnya dianggapnya tak beres semua. Kesalahannya dicari-cari, hanya karena ingin melampiaskan kekesalan yang tak bisa sepenuhnya ditumpahkan kepada ibunya.

Lalu karena letih, dia bersandar di sofa. Kemudian meraih ponselnya, dan mencoba menelpon Ratri. Untuk kesekian kalinya dia tak berhasil. Ratri belum menyalakan ponselnya sejak semalam. Radit kemudian menyesal telah menghapus nomor kontak Listi. Kalau tidak, dia pasti bisa bertanya padanya.

“Pasti Ratri sedang mengajar. Tapi nanti aku akan menemuinya di rumah Listi. Barangkali dia masih ingin bersama Ibu dan kakaknya yang belum lama ditemukannya,” gumam Radit.

Radit berusaha menenangkan pikirannya, agar bisa fokus dengan pekerjaannya.Tiba-tiba dia teringat Dewi, kepala sekolah dimana Ratri mengajar. Senyumnya mengembang.

“Bu Dewi pasti bisa menghubungkannya.”

“Hallo, ini pak Radit?”

“Iya bu Dewi, ini saya.”

“Tumben menelpon kemari, ada apa nih?”

“Bisa bicara sama Ratri nggak Bu, hanya sebentar.”

“Oh, maaf pak Radit, bu Ratri sedang mengajar. Bagaimana kalau pak Radit menelpon satu jam lagi?”

“Satu jam lagi ya?”

“Iya Pak, maaf,”

Radit menutup pembicaraan itu dengan kecewa. Memang salah dia sih, mengapa menelpon disaat jam mengajar?

Radit tak ingin kembali kecewa. Satu jam lagi belum tentu Ratri sudah selesai, lalu dia memutuskan untuk pergi saja ke rumah Listi.

***

Radit memasuki halaman rumah Listi. Ada mobil diparkir di halaman. Tampaknya milik Listi, karena tidak ada tanda-tanda bahwa ada tamu di rumah itu.

Radit terus melangkah mendekati rumah, lalu memencet bel tamu. Ini sudah jam dua lebih, ia yakin Ratri sudah pulang dari mengajar.

Pintu rumah itu terbuka, Listi menyembul dari dalam.

“Kamu?” pekik Listi tak senang.

“Listi, apakah aku bisa menemui Ratri? Bukankah dia ada di sini?”

“Benar, dia ada. Tapi aku melarang kamu menemuinya.”

“Mengapa Listi, aku ingin ketemu sebentar saja.”

“Tidak bisa! Sekali tidak bisa ya tidak bisa.”

“Listi, ingatlah bahwa hubungan kita sudah berakhir, aku mencintai Ratri.”

“Apa maksudmu? Kamu kira aku melarang kamu, karena aku cemburu? Tidak. Aku menyayangi Ratri, dan aku tak akan membiarkan dia disakiti.”

Lalu Listi menutup pintunya keras, membiarkan Radit terkejut.

***

Besok lagi ya.

37 comments:

  1. Horé JP 33 udah tayang
    Mksh bunda Tien

    ReplyDelete
    Replies
    1. Selamat jeng Iin.
      Waktu aku sampai depan pintu blm ada yang datang, makanya saya tulis MANA KOK GAK ADA???


      Matur nuwun bu Tien

      Delete
  2. Matur nuwun mbak Tien-ku Jangan Pergi sudah tayang

    ReplyDelete

  3. Alhamdulillah JANGAN PERGI~33 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏

    ReplyDelete
  4. 🦋🌻🍀 Alhamdulillah JP 33 telah tayang. Matur nuwun Bunda Tien, semoga sehat selalu dan tetap smangaaats...Salam Aduhai🙏🦋🌷

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah matur suwun Bu Tien salam sehat selalu....🙏🙏

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah,jP 33 sudah hadir ,terimakasih bunda Tien

    ReplyDelete
  7. Waaah... kerreen... terima kasih mbu Tien...

    ReplyDelete
  8. Alhamdulilah ...terima kasih bu tien.. salam sehat

    ReplyDelete
  9. Trima kasih Bu Tien semoga sehat selalu

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah
    Terima kasih Bu Tien
    Salam sehat dan aduhai selalu

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah, matur nwn bu Tien, Salam sehat dan Aduhai dari mBantul

    ReplyDelete
  12. Matur nuwun bu Tien
    Salam seroja, nan kejora nggih..

    ReplyDelete
  13. Alhamdulillah, matur nwn bu Tien, Salam sehat dan Aduhai dari Cilacap

    ReplyDelete
  14. Waaww jadi listi memenangkan ratri
    Kompak ya kakak beradik

    ReplyDelete
  15. Radit mestinya mempertemukan ibunya dengan ibunya Ratri. Tapi Bu Tijah harus berpenampilan yang baik, Rapi.
    Jangan lupa, bu Cipto juga sering dijenguk, orang yang telah berjasa besar.
    Hallo bu Dewi, gimana kabar masnya...
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  16. Sekarang Radit benar2 pusing...
    Semoga ada jalan untuk dekat kembali Radit-Ratri...

    Matur nuwun ibu Tien, Berkah Dalem...

    ReplyDelete
  17. Alhamdulillah
    Terima kasih bu tien
    Semoga bu tien sehat2 selalu

    ReplyDelete
  18. Cinta memang butuh perjuangan...
    Semangat terus Radit, jangan kendor berdo'a, meminta kepada pemilik cerita supaya hati ibumu Lumeerrr lagi..
    🤗🤗🤗🤗

    ReplyDelete
  19. Radit bingung cari rendhang nya Ratri.
    Sampai ingin tahu kerumah Listi.
    Keren kakak pertama Listi bener-bener mau melindungi adek Ratri keren. Galak tau.
    Kakak tua nggak mau adeknya disakiti hatinya.
    Hé hé hé hé, episode pemblokiran serantang rendhang membikin berang sampai semua karyawan kebagian efek samping.
    Kan lagi acara rekonstruksi pamili, krandah Sukur, jadi pemasangan barikade diperketat, Ratri ganti nomêr ponsel apa nggak ya, sayang donk entar diganti malah dibocorin Dewi lagi, Bu Cipto juga bingung mau menghubungi Ratri nanti.
    Enggaklah Bu Cipto masih asyik belanja di pasar tradisional sambil jalan-jalan pagi menikmati kesendirian, merasa puas bisa mempertemukan Ratri dengan ibu kandung nya.
    Listi jadi sopir antar jemput Ratri, full waskat.
    Radit mumet, nggak tahu sampai kapan konfrontasi ini berakhir.
    nglenthung.
    ADUHAI

    Terimakasih Bu Tien
    Jangan pergi yang ke tiga puluh tiga sudah tayang
    Sehat sehat selalu doaku
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
  20. Alhamdulillah JP 33 sdh tayang
    Semakin seru ceritanya
    Terima kasih Bu Tien, semoga Ibu sehat dan bahagia selalu.
    Aamiin

    ReplyDelete
  21. Kisahnya selalu menarik...
    Terima kasih Mbak Tien...

    ReplyDelete
  22. Hallow..
    Yustinhar. Peni, Datik Sudiyati, Noor Dwi Tjahyani, Caroline Irawati, Nenek Dirga, Ema, Winarni, Retno P.R., FX.Hartanti, Danar, Widia, Nova, Jumaani, Ummazzfatiq, Mastiurni, Yuyun, Jum, Sul, Umi, Marni, Bunda Nismah, Wia Tiya, Ting Hartinah, Wikardiyanti, Nur Aini, Nani, Ranti, Afifah, Bu In, Damayanti, Dewi, Wida, Rita, Sapti, Dinar, Fifi, Nanik. Herlina, Michele, Wiwid, Meyrha, Ariel, Yacinta, Dewiyana, Trina, Mahmudah, Lies, Rapiningsih, Liliek, Enchi, Iyeng Sri Setyawati , Yulie, Yanthi , Dini Ekanti, Ida, Putri, Bunda Rahma, Neny, Yetty Muslih, Ida, Fitri, Hartiwi DS, Komariah P., Ari Hendra, Tienbardiman, Idayati, Maria, Uti Nani, Noer Nur Hidayati, Weny Soedibyo, Novy Kamardhiani, Erlin, Widya, Puspita Teradita, Purwani Utomo, Giyarni, Yulib, Erna, Anastasia Suryaningsih, Salamah, Roos, Noordiana, Fati Ahmad, Nuril, Bunda Belajar Nulis, Tutiyani, Bulkishani, Lia, Imah P Abidin, Guru2 SMPN 45 Bandung, Yayuk, Sriati Siregar, Guru2 SMPN I Sawahlunto, Roos, Diana Evie, Rista Silalahi, Agustina, Kusumastuti, KG, Elvi Teguh, Yayuk, Surs, Rinjani, ibu2 Nogotirto, kel. Sastroharsoyo, Uti, Sis Hakim, Tita, Farida, Mumtaz Myummy, Gayatri, Sri Handay, Utami, Yanti Damay, Idazu, Imcelda, Triniel, Anie, Tri, Padma Sari, Prim, Dwi Astuti, Febriani, Dyah Tateki, kel. SMP N I Gombong, Lina Tikni, Engkas Kurniasih, Anroost, Wiwiek Suharti, Erlin Yuni Indriyati, Sri Tulasmi, Laksmie, Toko Bunga Kelapa Dua, Utie ZiDan Ara, Prim, Niquee Fauzia, Indriyatidjaelani,
    Bunda Wiwien, Agustina339, Yanti, Rantining Lestari, Ismu, Susana Itsuko, Aisya Priansyah, Hestri, Julitta Happy, I'in Maimun, Isti Priyono, Moedjiati Pramono, Novita Dwi S, Werdi Kaboel, Rinta Anastya, r Hastuti, Taty Siti Latifah, Mastini M.Pd. , Jessica Esti, Lina Soemirat, Yuli, Titik, Sridalminingsih, Kharisma, Atiek, Sariyenti, Julitta Happy Tjitarasmi, Ika Widiati, Eko Mulyani, Utami, Sumarni Sigit, Tutus, Neni, Wiwik Wisnu, Suparmia, Yuni Kun, Omang Komari, Hermina, Enny, Lina-Jogya, mbah Put Ika, Eyang Rini ,Handayaningsih, ny. Alian Taptriyani, Dwi Wulansari, Arie Kusumawati, Arie Sumadiyono, Sulasminah , Wahyu Istikhomah, Ferrita Dudiana, SusiHerawati, Lily , Farida Inkiriwang, Wening, Yuka, Sri, Si Garet, ibu Wahyu Widyawati, Rini Dwi, Pudya , Indahwdhany, Butut, Oma Michelle, Linurhay, Noeng Nurmadiah, Dwi Wulansari, Winar, Hnur, Umi Iswardono , Yustina Maria Nunuk Sulastri Rahayu Hernadi , Sri Maryani, Bunda Hayu Hanin, Nunuk, Reni, Pudya, Nien, Swissti Buana, Sudarwatisri, Mundjiati Habib, Savero, Ida Yusrida, Nuraida, Nanung, Arin Javania. Ninik Arsini, Neni , Komariyah, Aisya Priansyah, Jainah Jan. Civiyo, Mahmudah, Yati Sri Budiarti, Nur Rochmah. Uchu Rideen
    . Ninik Arsini, Endah. Nana Yang, Sari P Palgunadi, Echi Wardani, Nur Widyastuti, Gagida family, Trie Tjahjo Wibowo, Lestari Mardi, Susi Kamto, Rosen Rina, Mimin NP, Ermi S, Ira, Nina, Endang Amirul, Wiwik Nur Jannah, Ibu Mulyono, Betty Kosasih, Nanik, Tita, Willa Sulivan, Mimin NP, Suprilina, Endang Mashuri, Rin, Amethys, Adelina, Sari Usman, Caecilia RA, Mimiet, Sofi, Mamacuss,

    ReplyDelete
  23. Alhamdulilah..
    Tks bunda Tien..
    Ratri sdh tayang..
    Semoga bunda sehat" selalu..

    ReplyDelete
  24. Telp Ratri aja skrg .. ayo Radit perjuangkan cintamu..
    Tks bunda Tien ceritanya tambah penasaran...

    ReplyDelete
  25. Telp Ratri di matikan Listy hanya marah dgn perlakuan bu Listyo

    ReplyDelete

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 47

  CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  47 (Tien Kumalasari)   Tumenggung Ranu tercengang. Tongkat penyangga tubuhnya masih mengambang di udara, s...