Tuesday, November 22, 2022

JANGAN PERGI 31

 

JANGAN PERGI  31

(Tien Kumalasari)

 

“Ayo Bu, taksinya sudah menunggu. Ibu melihat sesuatu?” tanya pembantu bu Listyo yang heran melihat majikannya menoleh berkali-kali ke arah belakang.

“Iya … iya, aku hanya melihat baju yang dipakai ibu-ibu itu,” kata bu Listyo sambil melangkah ke arah taksi yang sudah menunggu.

“Oh, itu yang menurut Ibu seperti baju non Ratri?”

“Aku yang membelikannya waktu itu. Beberapa potong. Aku yang memilihkan warna dan modelnya. Jadi aku ingat,” kata bu Listyo sebelum naik ke atas taksi, lalu menoleh sekali lagi ke arah dua orang ibu yang sedang melangkah keluar dari lobby pasar.

Di dalam perjalanan pulang, bu Listyo masih bicara tentang baju yang dibelikannya untuk Ratri.

“Aku juga seperti pernah melihat wajah seperti wanita itu, di mana ya?”

“Ibu ada-ada saja. Kalau beli baju dari toko, pasti ada banyak model dan warna yang sama kan Bu. Masa hanya satu macam saja.”

“Iya sih … tapi wajah wanita itu aku juga seperti pernah melihatnya, tapi lupa di mana.”

“Nah, kan wajah bisa juga mirip satu sama lain kan Bu? Seperti non Listi dan non Ratri, bukankah wajahnya mirip walau perilakunya berbeda?”

Bu Listyo tak membantahnya. Lalu tiba-tiba dia teringat Ratri, yang sebenarnya dia suka dan setuju mengambilnya jadi menantu, tapi orang tuanya menjadi kendala.

“Masa aku harus berbesan dengan orang yang kurang waras,” gumamnya lirih, tapi terdengar juga oleh sang pembantu.

“Siapa yang kurang waras?” tak urung dia memberanikan diri karena penasaran. Tadi bicara tentang baju, lalu wajah, lalu sekarang bicara tentang orang yang kurang waras.

“Apa? Aku ngomong apa?” bu Listyo kaget dengan pertanyaan pembantunya. Ia tak merasa, gumamnya terdengar olehnya.

“Tidak Bu, saya hanya terkejut, ibu berbicara tentang besan yang kata Ibu kurang waras.”

Bu Listyo menjadi murung. Ia sudah terlanjur menyayangi Ratri, tapi ia enggan menjadi besan ibunya.

“Maaf Bu, saya juga hanya keceplosan bertanya,” kata pembantunya yang merasa bersalah, lalu menyadari siapa dirinya.

“Tidak apa-apa Bik. Kamu itu biarpun pembantu, kan bisa menjadi teman untuk berbincang. Mau bagaimana lagi, kalau kamu tidak ada, aku kan sendirian di rumah, ketika Radit bekerja?”

“Iya Bu.”

Lalu bu Listyo hanya diam. Soal besan kurang waras itu, dia tak ingin membahasnya dengan sang pembantu. Tapi di benaknya terus saja timbul rasa penyesalan, mengapa Ratri yang baik itu terlahir dari seorang yang kurang waras. Tentu saja bu Listyo malu. Dia bukan orang yang suka membedakan antara kaya yang miskin, yang penting pribadinya baik, santun, menyenangkan. Tapi kalau kurang waras? Bu Listyo berkali-kali menimbang, dan merasa tidak pantas.

***

“Sudah Bu, ayo kita pulang. Ibu ingin naik becak, atau naik taksi?” tanya bu Cipto setelah selesai belanja.

“Terserah bu Cipto saja. Jalan kaki saya juga mau. Kan tidak begitu jauh,” kata Tijah.

“Kan tadi berangkatnya sudah jalan kaki. Kalau pagi sih nggak apa-apa jalan kaki, tapi ini sudah siang, matahari mulai terik menyengat. “

“Baiklah, naik becak boleh, taksi ya boleh.”

“Naik taksi saja ya, biar cepat sampai di rumah, lalu kita bareng-bareng memasak,” kata bu Cipto.

“Iya, setuju, saya sudah lama tidak memasak, saya mau belajar sama Ibu.”

Bu Cipto tersenyum, lalu memanggil taksi melalui ponselnya.

“Ayo kita menunggu di bawah pohon itu Bu, di sini panas.”

Keduanya menuju ke arah sebuah pohon rindang yang ada di depan pasar, dan tak lama kemudian taksi itu datang.

“Mari Bu, itu taksinya sudah datang.”

Bu Cipto dan bu Tijah sudah masuk ke dalam taksi, dan pengemudi taksi siap menjalankan mobilnya, ketika tiba-tiba muncul seorang wanita dan mengetuk jendela pengemudi.

“Koran Pak … koran baru … koran baru …”

Tiba-tiba Tijah melihat penjaja koran itu, lalu berusaha turun, tapi pintu taksi sudah terkunci.

“Itu dia, itu dia …” teriaknya.

Bu Cipto segera menyadari apa yang terjadi. Ia memegang lengan bu Tijah, dan menepuk-nepuknya, sementara si tukang taksi sudah mengambil korannya dan membayarnya, kemudian membawa taksinya melaju.

“Dia … saya mengenal dia … itu Tarmi, itu Tarmi.”

“Iya Bu, saya juga mengenalnya. Biarkan saja.”

“Itu wanita yang merusak hidup saya,” katanya masih dengan nada tinggi.

“Bu, marilah kita belajar memaafkan,” kata bu Cipto sambil mengelus punggung bu Tijah lembut.

Bu Tijah tampak menghela napas, merasa lebih tenang, bukan seperti biasanya kalau ketemu dia lalu dia mengamuk.

“Dia sudah mengunduh pohon yang ditanamnya. Ibu lihat kan,  sekarang dia hidup di jalanan, dan menjajakan koran. Tidak punya kerabat, tidak punya teman, juga tidak punya rumah tinggal,” kata bu Cipto lembut, dan merasa lega ketika Tijah mendengarkannya.

“Dari mana Ibu tahu?”

“Saya pernah bertemu dia. Dari dia juga saya mengetahui semua tentang Ratri, dan juga tentang putri ibu yang bernama Listi.”

Tijah terdiam.

“Menghilangkan dendam itu memang sulit, tapi membiarkan hati selalu dibakar dendam, itu sakit. Iya kan?”

“Ibu sudah mendapatkan putri ibu yang  Ibu anggap meninggal, dan disayangi olehnya dengan kasih sayang yang tak ada taranya. Saya bahkan takut kehilangan dia, kalau sampai dia melupakan saya karena sudah bertemu Ibu kandungnya.”

Tijah menoleh ke arah wanita bijak di sampingnya, lalu merangkulkan sebelah tangannya.

“Ibu tidak kehilangan. Ratri memiliki dua ibu, kita akan menyayanginya bersama,” katanya sambil tersenyum. Bu Cipto melihat air mata mengambang di pelupuk mata wanita yang sekarang begitu teduh. Membuatnya senang.

Bu Cipto membalas pelukan itu, merangkulkan juga sebelah tangannya ke arah Tijah.

Pengemudi taksi melongok ke arah spion di depannya, tersenyum mendengar percakapan  kedua wanita yang semula tidak didengarkannya, karena percakapan itu begitu menyentuh dan mengharukan.

***

Di sekolah, Dewi senang mendengar Ratri bercerita tentang ditemukannya ibu kandungnya. Tentu semula Ratri juga tak mengira kalau memiliki ibu angkat.

“Ikut senang ya Bu, bisa bertemu ibu kandung,” kata Dewi.

“Saya terkejut, sekaligus berbahagia, apalagi melihat sekarang mereka tinggal serumah.”

“Memiliki dua ibu, tentu saja berbahagia. Hidup jadi lebih hangat.”

“Iya Bu. Tadi pagi keduanya belanja ke pasar, entah apa saja yang dibelinya. Mereka tampak bersemangat.”

“Bagaimana dengan Listi?” tanya Dewi yang telah mendengar semua cerita lengkap dari Ratri.

“Entahlah. Tampaknya ibu juga sedih karena Listi tidak mau mengakuinya sebagai ibu.”

“Pasti ada jalan terbaik untuk menyatukan mereka., karena ikatan darah itu sangat lekat dan susah dipisahkan.”

“Iya benar. Semoga saya bisa bertemu kakak saya itu dan mengingatkannya.”

“Kalau dia sudah keluar dari rumah sakit, berarti keadaannya sudah membaik.”

“Iya Bu, tapi saat kami datang, dia tetap tidak mau mempedulikan kami. Ibu tampak sangat sedih jadinya.”

“Mungkin terlalu tiba-tiba, atau mungkin dia menganggap dia dibohongi, karena memang pikirannya masih labil.”

“Barangkali Ibu Dewi benar. Semoga mbak Listi segera bisa menerima kenyataan, agar sempurna kebahagiaan ibu saya.”

“Aamiin.”

“Apa kabarnya Dian? Sudah lama dia tidak menelpon saya.”

“Masa? Nanti saya marahi dia. Hampir setiap hari dia video call dengan Arina. Kalau bukan mas Dian yang menelpon, Arina minta agar saya yang menelponnya.”

“Syukurlah. Tampaknya Arina benar-benar sudah kecanduan sosok Dian ya Bu. Heran saya, dulu dia sangat nakal dan bandel, sekarang bisa menjadi kebapakan.”

“Oh ya? Saya juga heran, Arina cepat sekali dekat dengan mas Dian.”

“Semoga tidak lama lagi bisa benar-benar menjadi bapaknya.”

“Aamiin,” kata Dewi dengan wajah bersemu merah.

“Saya akan bilang pada Dian, tunggu apa lagi,” canda Ratri.

“Bagaimana pula dengan bu Ratri? Pak Radit siap melamar bukan?”

“Entahlah, baru bicara diantara kita. Doakan juga ya Bu. Tapi saya juga harus menceritakan tentang ibu saya.”

“Itu benar, karena akhirnya akan menjadi keluarga juga.”

“Tapi saya masih menunggu kesadaran mbak Listi untuk mau mengakuinya. Ini permasalahan yang mengganjal, karena kalau ibu saya belum menemukan kebahagiaan yang sempurna dengan menemukan anak-anaknya, maka saya belum mau menikah.”

“Semoga semuanya baik-baik saja.”

***

Ratri bersorak senang, ketika sampai di rumah, dua orang ibunya sudah selesai memasak dan sedang menatanya di meja.

“Aduuh, sedap benar baunya, masak apa kedua ibuku yang cantik-cantik ini?” pekiknya, membuat kedua itu itu tersenyum geli melihat tingkah Ratri yang seperti anak kecil.

“Ini Tri, ibumu pengin rendang, lalu kami memasaknya bersama-sama.”

“Banyak banget Ibu masak rendangnya? Apa habis dimakan kita bertiga.”

“Aku memang sengaja membeli daging agak banyak. Maksudnya, agar kamu mau membawanya kepada bu Listyo.”

“Oh, begitu?”

“Iya Tri, mau kan kamu mengantarkannya ke sana?”

“Ya mau dong Bu, nanti setelah makan Ratri mau ke sana.”

“Baiklah, sekarang ganti baju kamu, kita makan bersama-sama,” perintah bu Cipto.

Tijah hanya tersenyum melihat kegembiraan Ratri. Kedua ibu itu segera duduk di ruang makan, menunggu Ratri selesai berganti pakaian.

“Ratri sangat gampang tertawa. Dia periang ya,” kata Tijah.

“Ratri itu hatinya sangat lembut. Ia suka membuat orang lain senang. Dia pengasih, dan dia gampang sekali akrab dengan orang lain.”

“Itu berkat didikan Ibu kan?”

“Ya tidak selalu begitu Bu, seorang ibu, dimanapun pasti akan selalu mendidik anaknya ke arah jalan yang baik.”

“Tapi Listi sangat berbeda,” keluhnya. Tiba-tiba wajahnya berubah sedih.

“Bu Tijah harus sabar ya, Ada saatnya nanti dia akan sadar. Selama ini dia kan dirawat oleh orang kaya, yang pastinya sangat memanjakannya, memberikan apa yang diinginkannya, dan kalau sudah begitu, orang tua biasanya lupa, bahwa semua yang dilakukan akan berpengaruh kepada perilaku si anak itu sendiri. Misalnya, tidak tega melarang, tidak tega menegur karena takut kesayangannya kecewa.”

Tijah mengangguk setuju.

“Kok belum makan juga sih Bu?” kata Ratri yang sudah berganti pakaian.

“Kami menunggu kamu.”

Ratri duduk di depan kedua ibunya yang duduk berdampingan. Wajah Ratri sumringah. Ia merasakan kebahagiaan yang tidak pernah dibayangkannya.

“Ayo kita makan,” bu Cipto mempersilakan.

Ratri segera melayani kedua ibunya dengan mengambilkan nasi ke piring mereka, dan menyendokkan lauk juga.

“Banyak sekali Tri,” keluh Tijah.

“Nggak banyak kok bu, dan ibu harus menghabiskan lho ya, supaya ibu cepat gemuk,” kata Ratri sambil mengambil untuk dirinya sendiri.

“Ibu sudah menyiapkan rantang untuk wadah rendangnya Tri, supaya kamu gampang membawanya.”

“Iya Bu, terima kasih.”

“Apa kamu sudah mau menikah?” tiba-tiba tanya Tijah.

Ratri tertawa.

“Belum sekarang Bu, menunggu mas Radit, kapan mau melamar secara resmi.”

“Semoga Listi sudah bisa merasakan kebahagiaan kamu juga, saat kamu menikah.”

“Iya Bu, Ratri juga mau, mbak Listi segera bisa sadar bahwa ibu adalah ibu kandungnya. Ibu jangan sedih ya, Ratri pasti akan membantu menyadarkan mbak Listi.”

“Iya, ibu percaya sama kamu.”

***

Listi gelisah di rumahnya. Ia menunggu sore, dimana dia akan segera menemui Radit di rumahnya. Hanya Radit yang bisa memberi tahu, dimana rumah Ratri.

“Bibik, ini jam berapa?” teriaknya.

“Ini baru jam tiga, Listi.”

“Kita berangkat sekarang saja yuk. Mobilnya sudah aku siapkan tuh.”

“Tidak terlalu siang? Nanti pak Radit belum pulang.”

“Kalau belum pulang kan bisa ditunggu, nggak mungkin kan dia menginap?”

“Oh ya, aku baru ingat. Kalau pak Dian pasti tahu alamatnya. Non bisa bertanya sama dia melalui telpon.”

“Apa Aku tidak lagi punya nomornya, sudah aku buang semuanya.”

“Aku punya Listi, maukah?”

“Tidak, tidak … aku tidak mau lagi berhubungan sama dia. Kami sudah bercerai, dia bukan siapa-siapa aku lagi. Aku harus menghapus semua yang ada hubungannya sama dia.”

“Ya sudah, baiklah, aku ambil sendal aku dulu,” katanya sambil beranjak ke belakang. Agak takut mendengar Listi marah-marah, takut dia kumat lagi.

“Nanti pulangnya kita beli sendal baru untuk Bibik,” katanya sambil mendahului masuk ke dalam mobil.

***

Dihalaman rumah Radit, Listi tidak melihat mobil Radit di halaman, berarti Radit memang belum pulang. Listi memarkir mobilnya di luar gerbang, lalu turun dan bersama bu Sumini mereka memasuki halaman.

Saat itu Listi tertegun. Ia melihat Bu Listyo sedang berbicara dengan Ratri, tapi wajahnya tidak menampakkan rasa senang. Listi berdiri agak jauh, tapi tetap mendengar mereka bicara.

“Apa maksudmu membawa masakan ini? Tidak, aku tidak mau,” kata bu Listyo sengit, membuat Ratri heran akan sikapnya yang tiba-tiba berubah.

“Ibu, ini masakan ibu saya, dan saya tahu, mas Radit suka sekali rendang.”

“Apa kamu tidak mendengar aku bicara? Bawa kembali rantang ini dan jangan lagi menginjakkan kaki kamu di rumah ini,” katanya sambil membalikkan tubuhnya, kemudian menutup pintunya dengan suara keras.

Ratri terisak. Membalikkan tubuhnya dengan air mata mengaliri sepanjang pipinya. Ia melangkah lemas, sambil membawa kembali rantang yang dibawanya.

“Ratri !!” sebuah pekikan nyaring terdengar.

***

Besok lagi ya.

42 comments:

  1. Matur nuwun mbak Tien-ku Jangan Pergi sudah tayang

    ReplyDelete
    Replies
    1. Selamat eyangbLayuef Sragentina juara 1

      Delete
    2. Alhamdulillah JePe_31 sdh tayang.
      Matur nuwun bu Tien, semoga sehat selalu dan selalu sehat. Aamin.
      Salam ADUHAI, dari Kakek Habi mBandung.

      Delete
    3. Ws di lungsuri sarunge kakek
      Horee pak Latief

      Delete
    4. He he he...sarung 2 minggu tidak dicuci.
      😀😢

      Delete
    5. Kerrreeen nih pa Latief juara teruus
      Selamat ya pak..

      Delete
  2. 🦋🌻🍀 Alhamdulillah JP 31 telah tayang. Matur nuwun Bunda Tien, semoga sehat selalu dan tetap smangaaats...Salam Aduhai🙏🦋🌷

    ReplyDelete
  3. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  4. Hallow..
    Yustinhar. Peni, Datik Sudiyati, Noor Dwi Tjahyani, Caroline Irawati, Nenek Dirga, Ema, Winarni, Retno P.R., FX.Hartanti, Danar, Widia, Nova, Jumaani, Ummazzfatiq, Mastiurni, Yuyun, Jum, Sul, Umi, Marni, Bunda Nismah, Wia Tiya, Ting Hartinah, Wikardiyanti, Nur Aini, Nani, Ranti, Afifah, Bu In, Damayanti, Dewi, Wida, Rita, Sapti, Dinar, Fifi, Nanik. Herlina, Michele, Wiwid, Meyrha, Ariel, Yacinta, Dewiyana, Trina, Mahmudah, Lies, Rapiningsih, Liliek, Enchi, Iyeng Sri Setyawati , Yulie, Yanthi , Dini Ekanti, Ida, Putri, Bunda Rahma, Neny, Yetty Muslih, Ida, Fitri, Hartiwi DS, Komariah P., Ari Hendra, Tienbardiman, Idayati, Maria, Uti Nani, Noer Nur Hidayati, Weny Soedibyo, Novy Kamardhiani, Erlin, Widya, Puspita Teradita, Purwani Utomo, Giyarni, Yulib, Erna, Anastasia Suryaningsih, Salamah, Roos, Noordiana, Fati Ahmad, Nuril, Bunda Belajar Nulis, Tutiyani, Bulkishani, Lia, Imah P Abidin, Guru2 SMPN 45 Bandung, Yayuk, Sriati Siregar, Guru2 SMPN I Sawahlunto, Roos, Diana Evie, Rista Silalahi, Agustina, Kusumastuti, KG, Elvi Teguh, Yayuk, Surs, Rinjani, ibu2 Nogotirto, kel. Sastroharsoyo, Uti, Sis Hakim, Tita, Farida, Mumtaz Myummy, Gayatri, Sri Handay, Utami, Yanti Damay, Idazu, Imcelda, Triniel, Anie, Tri, Padma Sari, Prim, Dwi Astuti, Febriani, Dyah Tateki, kel. SMP N I Gombong, Lina Tikni, Engkas Kurniasih, Anroost, Wiwiek Suharti, Erlin Yuni Indriyati, Sri Tulasmi, Laksmie, Toko Bunga Kelapa Dua, Utie ZiDan Ara, Prim, Niquee Fauzia, Indriyatidjaelani,
    Bunda Wiwien, Agustina339, Yanti, Rantining Lestari, Ismu, Susana Itsuko, Aisya Priansyah, Hestri, Julitta Happy, I'in Maimun, Isti Priyono, Moedjiati Pramono, Novita Dwi S, Werdi Kaboel, Rinta Anastya, r Hastuti, Taty Siti Latifah, Mastini M.Pd. , Jessica Esti, Lina Soemirat, Yuli, Titik, Sridalminingsih, Kharisma, Atiek, Sariyenti, Julitta Happy Tjitarasmi, Ika Widiati, Eko Mulyani, Utami, Sumarni Sigit, Tutus, Neni, Wiwik Wisnu, Suparmia, Yuni Kun, Omang Komari, Hermina, Enny, Lina-Jogya, mbah Put Ika, Eyang Rini ,Handayaningsih, ny. Alian Taptriyani, Dwi Wulansari, Arie Kusumawati, Arie Sumadiyono, Sulasminah , Wahyu Istikhomah, Ferrita Dudiana, SusiHerawati, Lily , Farida Inkiriwang, Wening, Yuka, Sri, Si Garet, ibu Wahyu Widyawati, Rini Dwi, Pudya , Indahwdhany, Butut, Oma Michelle, Linurhay, Noeng Nurmadiah, Dwi Wulansari, Winar, Hnur, Umi Iswardono , Yustina Maria Nunuk Sulastri Rahayu Hernadi , Sri Maryani, Bunda Hayu Hanin, Nunuk, Reni, Pudya, Nien, Swissti Buana, Sudarwatisri, Mundjiati Habib, Savero, Ida Yusrida, Nuraida, Nanung, Arin Javania. Ninik Arsini, Neni , Komariyah, Aisya Priansyah, Jainah Jan. Civiyo, Mahmudah, Yati Sri Budiarti, Nur Rochmah. Uchu Rideen
    . Ninik Arsini, Endah. Nana Yang, Sari P Palgunadi, Echi Wardani, Nur Widyastuti, Gagida family, Trie Tjahjo Wibowo, Lestari Mardi, Susi Kamto, Rosen Rina, Mimin NP, Ermi S, Ira, Nina, Endang Amirul, Wiwik Nur Jannah, Ibu Mulyono, Betty Kosasih, Nanik, Tita, Willa Sulivan, Mimin NP, Suprilina, Endang Mashuri, Rin, Amethys, Adelina, Sari Usman, Caecilia RA, Mimiet, Sofi,

    ReplyDelete
  5. Alhamdulilah
    Terimakasih cerbungnya bunda Tien

    ReplyDelete
  6. Aduuuuh.... makiiin asyiiiiik... terima kasih Mbu Tien.... sehat sllu....

    ReplyDelete
  7. Matur nuwun, ibu Tien. Salam sehat selalu.🙏😀

    ReplyDelete
  8. Nah bu Listyo benar " tidak mau damai, untung ketemu Listi yang sudah menyadari posisinya. Tapi terus bagaimana?
    Besok lagi ya...
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  9. Alhamdulillah JP 31 sdh tayang
    Terima kasih Bu Tien, semoga Ibu sehat dan bahagia selalu.
    Aamiin

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah, matur nuwun bu Tien.
    Salam sehat dari mBantul

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah.
    Syukron nggih Mbak Tien ...🌷🌷🌷🌷🌷🌷

    ReplyDelete
  12. Diplekotho
    Nah kan pas Listi dan Bulik Sumini yang begitu maxi menjadi pendamping Listi yang kali ini merindukan sebuah keluarga.
    Ratri.. teriakan Listiani.
    Melihat adiknya diusir timbul rasa sayang mereka berpelukan; justru Listi yang terlihat menenteramkan Ratri, nggak menyangka akan begitu sikap camer nya.
    Bulik Sumini pun seperti melihat mukjizat, secepat itu dan Listi tampak dewasa, berusaha menenangkan Ratri.

    Mungkin takut gosong jadi dibalik balik, Bu Listyo yang memperlihatkan sikap yang laen dalam menghadapi persoalan.
    Bisa juga ketakutan gengsinya gogrok.

    Radityo heran kok Ratri menanggis justru Listi yang membujuknya agar tenang dan sabar.
    Listi pun ketus sama Radityo; no sana no, tanyak o sama emak lu; di apain sampai adikku seperti ini, ayo kita pulang, ajak Listiani.

    ADUHAI


    Terimakasih Bu Tien
    Jangan pergi yang ke tiga puluh satu sudah tayang
    Sehat sehat selalu doaku
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete

  13. Alhamdulillah JANGAN PERGI~31 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillah....

    Moga sehat selalu Bu Tien ku yang baik hati ...

    Aamiin ...

    ReplyDelete
  15. Alhamdulillah matur suwun bu Tien...Salam sehat selalu.
    Monggo dilanjut nonton World Cup Qatar.🙏👍

    ReplyDelete
  16. Terima kasih Bu Tien
    Semoga bu Tien sekeluarga sehat selalu

    ReplyDelete
  17. Ratriii sabar yaa..
    Makasih bunda Tien.
    Semoga bunda sekeluarga sehat" selalu..

    ReplyDelete
  18. Terimakasih Bunda Tien yg tak pernah lelah untuk menulis cerbung buat kami...semakin seru ceritanya...semakin penasaran...
    Sehat2 selalu ya Bun....salam aduuuhaiiii

    ReplyDelete
  19. Malam Mbak Tien sehat selalu ya dan tetap semangat

    ReplyDelete
  20. slmt pgii bunda..trima ksih JP nya..slm sht sll🙏🥰🌹

    ReplyDelete

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 48

  CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  48 (Tien Kumalasari)   Satria tertegun. Tentu saja dia mengenal penjual kain batik itu. Ia hanya heran, ba...