JANGAN PERGI 31
(Tien Kumalasari)
“Ayo Bu, taksinya sudah menunggu. Ibu melihat
sesuatu?” tanya pembantu bu Listyo yang heran melihat majikannya menoleh
berkali-kali ke arah belakang.
“Iya … iya, aku hanya melihat baju yang dipakai
ibu-ibu itu,” kata bu Listyo sambil melangkah ke arah taksi yang sudah
menunggu.
“Oh, itu yang menurut Ibu seperti baju non Ratri?”
“Aku yang membelikannya waktu itu. Beberapa potong.
Aku yang memilihkan warna dan modelnya. Jadi aku ingat,” kata bu Listyo sebelum
naik ke atas taksi, lalu menoleh sekali lagi ke arah dua orang ibu yang sedang
melangkah keluar dari lobby pasar.
Di dalam perjalanan pulang, bu Listyo masih bicara
tentang baju yang dibelikannya untuk Ratri.
“Aku juga seperti pernah melihat wajah seperti wanita itu, di mana
ya?”
“Ibu ada-ada saja. Kalau beli baju dari toko, pasti
ada banyak model dan warna yang sama kan Bu. Masa hanya satu macam saja.”
“Iya sih … tapi wajah wanita itu aku juga seperti
pernah melihatnya, tapi lupa di mana.”
“Nah, kan wajah bisa juga mirip satu sama lain kan Bu?
Seperti non Listi dan non Ratri, bukankah wajahnya mirip walau perilakunya
berbeda?”
Bu Listyo tak membantahnya. Lalu tiba-tiba dia
teringat Ratri, yang sebenarnya dia suka dan setuju mengambilnya jadi menantu,
tapi orang tuanya menjadi kendala.
“Masa aku harus berbesan dengan orang yang kurang
waras,” gumamnya lirih, tapi terdengar juga oleh sang pembantu.
“Siapa yang kurang waras?” tak urung dia memberanikan
diri karena penasaran. Tadi bicara tentang baju, lalu wajah, lalu sekarang
bicara tentang orang yang kurang waras.
“Apa? Aku ngomong apa?” bu Listyo kaget dengan
pertanyaan pembantunya. Ia tak merasa, gumamnya terdengar olehnya.
“Tidak Bu, saya hanya terkejut, ibu berbicara tentang
besan yang kata Ibu kurang waras.”
Bu Listyo menjadi murung. Ia sudah terlanjur
menyayangi Ratri, tapi ia enggan menjadi besan ibunya.
“Maaf Bu, saya juga hanya keceplosan bertanya,” kata
pembantunya yang merasa bersalah, lalu menyadari siapa dirinya.
“Tidak apa-apa Bik. Kamu itu biarpun pembantu, kan
bisa menjadi teman untuk berbincang. Mau bagaimana lagi, kalau kamu tidak ada,
aku kan sendirian di rumah, ketika Radit bekerja?”
“Iya Bu.”
Lalu bu Listyo hanya diam. Soal besan kurang waras
itu, dia tak ingin membahasnya dengan sang pembantu. Tapi di benaknya terus
saja timbul rasa penyesalan, mengapa Ratri yang baik itu terlahir dari seorang
yang kurang waras. Tentu saja bu Listyo malu. Dia bukan orang yang suka
membedakan antara kaya yang miskin, yang penting pribadinya baik, santun,
menyenangkan. Tapi kalau kurang waras? Bu Listyo berkali-kali menimbang, dan
merasa tidak pantas.
***
“Sudah Bu, ayo kita pulang. Ibu ingin naik becak, atau
naik taksi?” tanya bu Cipto setelah selesai belanja.
“Terserah bu Cipto saja. Jalan kaki saya juga mau. Kan
tidak begitu jauh,” kata Tijah.
“Kan tadi berangkatnya sudah jalan kaki. Kalau pagi
sih nggak apa-apa jalan kaki, tapi ini sudah siang, matahari mulai terik
menyengat. “
“Baiklah, naik becak boleh, taksi ya boleh.”
“Naik taksi saja ya, biar cepat sampai di rumah, lalu
kita bareng-bareng memasak,” kata bu Cipto.
“Iya, setuju, saya sudah lama tidak memasak, saya mau
belajar sama Ibu.”
Bu Cipto tersenyum, lalu memanggil taksi melalui
ponselnya.
“Ayo kita menunggu di bawah pohon itu Bu, di sini
panas.”
Keduanya menuju ke arah sebuah pohon rindang yang ada
di depan pasar, dan tak lama kemudian taksi itu datang.
“Mari Bu, itu taksinya sudah datang.”
Bu Cipto dan bu Tijah sudah masuk ke dalam taksi, dan
pengemudi taksi siap menjalankan mobilnya, ketika tiba-tiba muncul seorang
wanita dan mengetuk jendela pengemudi.
“Koran Pak … koran baru … koran baru …”
Tiba-tiba Tijah melihat penjaja koran itu, lalu
berusaha turun, tapi pintu taksi sudah terkunci.
“Itu dia, itu dia …” teriaknya.
Bu Cipto segera menyadari apa yang terjadi. Ia
memegang lengan bu Tijah, dan menepuk-nepuknya, sementara si tukang taksi sudah
mengambil korannya dan membayarnya, kemudian membawa taksinya melaju.
“Dia … saya mengenal dia … itu Tarmi, itu Tarmi.”
“Iya Bu, saya juga mengenalnya. Biarkan saja.”
“Itu wanita yang merusak hidup saya,” katanya masih
dengan nada tinggi.
“Bu, marilah kita belajar memaafkan,” kata bu Cipto sambil mengelus punggung bu Tijah lembut.
Bu Tijah tampak menghela napas, merasa lebih tenang,
bukan seperti biasanya kalau ketemu dia lalu dia mengamuk.
“Dia sudah mengunduh pohon yang ditanamnya. Ibu lihat
kan, sekarang dia hidup di jalanan, dan
menjajakan koran. Tidak punya kerabat, tidak punya teman, juga tidak punya
rumah tinggal,” kata bu Cipto lembut, dan merasa lega ketika Tijah
mendengarkannya.
“Dari mana Ibu tahu?”
“Saya pernah bertemu dia. Dari dia juga saya
mengetahui semua tentang Ratri, dan juga tentang putri ibu yang bernama Listi.”
Tijah terdiam.
“Menghilangkan dendam itu memang sulit, tapi
membiarkan hati selalu dibakar dendam, itu sakit. Iya kan?”
“Ibu sudah mendapatkan putri ibu yang Ibu anggap meninggal, dan disayangi olehnya
dengan kasih sayang yang tak ada taranya. Saya bahkan takut kehilangan dia,
kalau sampai dia melupakan saya karena sudah bertemu Ibu kandungnya.”
Tijah menoleh ke arah wanita bijak di sampingnya, lalu
merangkulkan sebelah tangannya.
“Ibu tidak kehilangan. Ratri memiliki dua ibu, kita
akan menyayanginya bersama,” katanya sambil tersenyum. Bu Cipto melihat air
mata mengambang di pelupuk mata wanita yang sekarang begitu teduh. Membuatnya
senang.
Bu Cipto membalas pelukan itu, merangkulkan juga
sebelah tangannya ke arah Tijah.
Pengemudi taksi melongok ke arah spion di depannya,
tersenyum mendengar percakapan kedua
wanita yang semula tidak didengarkannya, karena percakapan itu begitu menyentuh
dan mengharukan.
***
Di sekolah, Dewi senang mendengar Ratri bercerita
tentang ditemukannya ibu kandungnya. Tentu semula Ratri juga tak mengira kalau
memiliki ibu angkat.
“Ikut senang ya Bu, bisa bertemu ibu kandung,” kata
Dewi.
“Saya terkejut, sekaligus berbahagia, apalagi melihat
sekarang mereka tinggal serumah.”
“Memiliki dua ibu, tentu saja berbahagia. Hidup jadi
lebih hangat.”
“Iya Bu. Tadi pagi keduanya belanja ke pasar, entah
apa saja yang dibelinya. Mereka tampak bersemangat.”
“Bagaimana dengan Listi?” tanya Dewi yang telah
mendengar semua cerita lengkap dari Ratri.
“Entahlah. Tampaknya ibu juga sedih karena Listi tidak
mau mengakuinya sebagai ibu.”
“Pasti ada jalan terbaik untuk menyatukan mereka.,
karena ikatan darah itu sangat lekat dan susah dipisahkan.”
“Iya benar. Semoga saya bisa bertemu kakak saya itu
dan mengingatkannya.”
“Kalau dia sudah keluar dari rumah sakit, berarti
keadaannya sudah membaik.”
“Iya Bu, tapi saat kami datang, dia tetap tidak mau
mempedulikan kami. Ibu tampak sangat sedih jadinya.”
“Mungkin terlalu tiba-tiba, atau mungkin dia
menganggap dia dibohongi, karena memang pikirannya masih labil.”
“Barangkali Ibu Dewi benar. Semoga mbak Listi segera
bisa menerima kenyataan, agar sempurna kebahagiaan ibu saya.”
“Aamiin.”
“Apa kabarnya Dian? Sudah lama dia tidak menelpon
saya.”
“Masa? Nanti saya marahi dia. Hampir setiap hari dia
video call dengan Arina. Kalau bukan mas Dian yang menelpon, Arina minta agar
saya yang menelponnya.”
“Syukurlah. Tampaknya Arina benar-benar sudah
kecanduan sosok Dian ya Bu. Heran saya, dulu dia sangat nakal dan bandel,
sekarang bisa menjadi kebapakan.”
“Oh ya? Saya juga heran, Arina cepat sekali dekat
dengan mas Dian.”
“Semoga tidak lama lagi bisa benar-benar menjadi
bapaknya.”
“Aamiin,” kata Dewi dengan wajah bersemu merah.
“Saya akan bilang pada Dian, tunggu apa lagi,” canda
Ratri.
“Bagaimana pula dengan bu Ratri? Pak Radit siap
melamar bukan?”
“Entahlah, baru bicara diantara kita. Doakan juga ya
Bu. Tapi saya juga harus menceritakan tentang ibu saya.”
“Itu benar, karena akhirnya akan menjadi keluarga
juga.”
“Tapi saya masih menunggu kesadaran mbak Listi untuk
mau mengakuinya. Ini permasalahan yang mengganjal, karena kalau ibu saya belum
menemukan kebahagiaan yang sempurna dengan menemukan anak-anaknya, maka saya
belum mau menikah.”
“Semoga semuanya baik-baik saja.”
***
Ratri bersorak senang, ketika sampai di rumah, dua
orang ibunya sudah selesai memasak dan sedang menatanya di meja.
“Aduuh, sedap benar baunya, masak apa kedua ibuku yang
cantik-cantik ini?” pekiknya, membuat kedua itu itu tersenyum geli melihat
tingkah Ratri yang seperti anak kecil.
“Ini Tri, ibumu pengin rendang, lalu kami memasaknya
bersama-sama.”
“Banyak banget Ibu masak rendangnya? Apa habis dimakan
kita bertiga.”
“Aku memang sengaja membeli daging agak banyak.
Maksudnya, agar kamu mau membawanya kepada bu Listyo.”
“Oh, begitu?”
“Iya Tri, mau kan kamu mengantarkannya ke sana?”
“Ya mau dong Bu, nanti setelah makan Ratri mau ke sana.”
“Baiklah, sekarang ganti baju kamu, kita makan
bersama-sama,” perintah bu Cipto.
Tijah hanya tersenyum melihat kegembiraan Ratri. Kedua
ibu itu segera duduk di ruang makan, menunggu Ratri selesai berganti pakaian.
“Ratri sangat gampang tertawa. Dia periang ya,” kata
Tijah.
“Ratri itu hatinya sangat lembut. Ia suka membuat
orang lain senang. Dia pengasih, dan dia gampang sekali akrab dengan orang
lain.”
“Itu berkat didikan Ibu kan?”
“Ya tidak selalu begitu Bu, seorang ibu, dimanapun
pasti akan selalu mendidik anaknya ke arah jalan yang baik.”
“Tapi Listi sangat berbeda,” keluhnya. Tiba-tiba
wajahnya berubah sedih.
“Bu Tijah harus sabar ya, Ada saatnya nanti dia akan
sadar. Selama ini dia kan dirawat oleh orang kaya, yang pastinya sangat
memanjakannya, memberikan apa yang diinginkannya, dan kalau sudah begitu, orang
tua biasanya lupa, bahwa semua yang dilakukan akan berpengaruh kepada perilaku
si anak itu sendiri. Misalnya, tidak tega melarang, tidak tega menegur karena
takut kesayangannya kecewa.”
Tijah mengangguk setuju.
“Kok belum makan juga sih Bu?” kata Ratri yang sudah
berganti pakaian.
“Kami menunggu kamu.”
Ratri duduk di depan kedua ibunya yang duduk
berdampingan. Wajah Ratri sumringah. Ia merasakan kebahagiaan yang tidak pernah
dibayangkannya.
“Ayo kita makan,” bu Cipto mempersilakan.
Ratri segera melayani kedua ibunya dengan mengambilkan
nasi ke piring mereka, dan menyendokkan lauk juga.
“Banyak sekali Tri,” keluh Tijah.
“Nggak banyak kok bu, dan ibu harus menghabiskan lho
ya, supaya ibu cepat gemuk,” kata Ratri sambil mengambil untuk dirinya sendiri.
“Ibu sudah menyiapkan rantang untuk wadah rendangnya
Tri, supaya kamu gampang membawanya.”
“Iya Bu, terima kasih.”
“Apa kamu sudah mau menikah?” tiba-tiba tanya Tijah.
Ratri tertawa.
“Belum sekarang Bu, menunggu mas Radit, kapan mau
melamar secara resmi.”
“Semoga Listi sudah bisa merasakan kebahagiaan kamu
juga, saat kamu menikah.”
“Iya Bu, Ratri juga mau, mbak Listi segera bisa sadar
bahwa ibu adalah ibu kandungnya. Ibu jangan sedih ya, Ratri pasti akan membantu
menyadarkan mbak Listi.”
“Iya, ibu percaya sama kamu.”
***
Listi gelisah di rumahnya. Ia menunggu sore, dimana
dia akan segera menemui Radit di rumahnya. Hanya Radit yang bisa memberi tahu,
dimana rumah Ratri.
“Bibik, ini jam berapa?” teriaknya.
“Ini baru jam tiga, Listi.”
“Kita berangkat sekarang saja yuk. Mobilnya sudah aku
siapkan tuh.”
“Tidak terlalu siang? Nanti pak Radit belum pulang.”
“Kalau belum pulang kan bisa ditunggu, nggak mungkin
kan dia menginap?”
“Oh ya, aku baru ingat. Kalau pak Dian pasti tahu
alamatnya. Non bisa bertanya sama dia melalui telpon.”
“Apa Aku tidak lagi punya nomornya, sudah aku
buang semuanya.”
“Aku punya Listi, maukah?”
“Tidak, tidak … aku tidak mau lagi berhubungan sama
dia. Kami sudah bercerai, dia bukan siapa-siapa aku lagi. Aku harus menghapus
semua yang ada hubungannya sama dia.”
“Ya sudah, baiklah, aku ambil sendal aku dulu,”
katanya sambil beranjak ke belakang. Agak takut mendengar Listi marah-marah,
takut dia kumat lagi.
“Nanti pulangnya kita beli sendal baru untuk Bibik,”
katanya sambil mendahului masuk ke dalam mobil.
***
Dihalaman rumah Radit, Listi tidak melihat mobil Radit
di halaman, berarti Radit memang belum pulang. Listi memarkir mobilnya di luar
gerbang, lalu turun dan bersama bu Sumini mereka memasuki halaman.
Saat itu Listi tertegun. Ia melihat Bu Listyo sedang
berbicara dengan Ratri, tapi wajahnya tidak menampakkan rasa senang. Listi
berdiri agak jauh, tapi tetap mendengar mereka bicara.
“Apa maksudmu membawa masakan ini? Tidak, aku tidak
mau,” kata bu Listyo sengit, membuat Ratri heran akan sikapnya yang tiba-tiba
berubah.
“Ibu, ini masakan ibu saya, dan saya tahu, mas Radit
suka sekali rendang.”
“Apa kamu tidak mendengar aku bicara? Bawa kembali
rantang ini dan jangan lagi menginjakkan kaki kamu di rumah ini,” katanya sambil
membalikkan tubuhnya, kemudian menutup pintunya dengan suara keras.
Ratri terisak. Membalikkan tubuhnya dengan air mata
mengaliri sepanjang pipinya. Ia melangkah lemas, sambil membawa kembali rantang
yang dibawanya.
“Ratri !!” sebuah pekikan nyaring terdengar.
***
Besok lagi ya.
Matur nuwun mbak Tien-ku Jangan Pergi sudah tayang
ReplyDeleteSelamat eyangbLayuef Sragentina juara 1
DeleteAlhamdulillah JePe_31 sdh tayang.
DeleteMatur nuwun bu Tien, semoga sehat selalu dan selalu sehat. Aamin.
Salam ADUHAI, dari Kakek Habi mBandung.
Ws di lungsuri sarunge kakek
DeleteHoree pak Latief
He he he...sarung 2 minggu tidak dicuci.
Delete😀😢
Kerrreeen nih pa Latief juara teruus
DeleteSelamat ya pak..
Nuhun teh Hermin, ...
DeleteMtrnwn
ReplyDelete🦋🌻🍀 Alhamdulillah JP 31 telah tayang. Matur nuwun Bunda Tien, semoga sehat selalu dan tetap smangaaats...Salam Aduhai🙏🦋🌷
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteAsyik
ReplyDeleteYes tayang
ReplyDeleteHallow..
ReplyDeleteYustinhar. Peni, Datik Sudiyati, Noor Dwi Tjahyani, Caroline Irawati, Nenek Dirga, Ema, Winarni, Retno P.R., FX.Hartanti, Danar, Widia, Nova, Jumaani, Ummazzfatiq, Mastiurni, Yuyun, Jum, Sul, Umi, Marni, Bunda Nismah, Wia Tiya, Ting Hartinah, Wikardiyanti, Nur Aini, Nani, Ranti, Afifah, Bu In, Damayanti, Dewi, Wida, Rita, Sapti, Dinar, Fifi, Nanik. Herlina, Michele, Wiwid, Meyrha, Ariel, Yacinta, Dewiyana, Trina, Mahmudah, Lies, Rapiningsih, Liliek, Enchi, Iyeng Sri Setyawati , Yulie, Yanthi , Dini Ekanti, Ida, Putri, Bunda Rahma, Neny, Yetty Muslih, Ida, Fitri, Hartiwi DS, Komariah P., Ari Hendra, Tienbardiman, Idayati, Maria, Uti Nani, Noer Nur Hidayati, Weny Soedibyo, Novy Kamardhiani, Erlin, Widya, Puspita Teradita, Purwani Utomo, Giyarni, Yulib, Erna, Anastasia Suryaningsih, Salamah, Roos, Noordiana, Fati Ahmad, Nuril, Bunda Belajar Nulis, Tutiyani, Bulkishani, Lia, Imah P Abidin, Guru2 SMPN 45 Bandung, Yayuk, Sriati Siregar, Guru2 SMPN I Sawahlunto, Roos, Diana Evie, Rista Silalahi, Agustina, Kusumastuti, KG, Elvi Teguh, Yayuk, Surs, Rinjani, ibu2 Nogotirto, kel. Sastroharsoyo, Uti, Sis Hakim, Tita, Farida, Mumtaz Myummy, Gayatri, Sri Handay, Utami, Yanti Damay, Idazu, Imcelda, Triniel, Anie, Tri, Padma Sari, Prim, Dwi Astuti, Febriani, Dyah Tateki, kel. SMP N I Gombong, Lina Tikni, Engkas Kurniasih, Anroost, Wiwiek Suharti, Erlin Yuni Indriyati, Sri Tulasmi, Laksmie, Toko Bunga Kelapa Dua, Utie ZiDan Ara, Prim, Niquee Fauzia, Indriyatidjaelani,
Bunda Wiwien, Agustina339, Yanti, Rantining Lestari, Ismu, Susana Itsuko, Aisya Priansyah, Hestri, Julitta Happy, I'in Maimun, Isti Priyono, Moedjiati Pramono, Novita Dwi S, Werdi Kaboel, Rinta Anastya, r Hastuti, Taty Siti Latifah, Mastini M.Pd. , Jessica Esti, Lina Soemirat, Yuli, Titik, Sridalminingsih, Kharisma, Atiek, Sariyenti, Julitta Happy Tjitarasmi, Ika Widiati, Eko Mulyani, Utami, Sumarni Sigit, Tutus, Neni, Wiwik Wisnu, Suparmia, Yuni Kun, Omang Komari, Hermina, Enny, Lina-Jogya, mbah Put Ika, Eyang Rini ,Handayaningsih, ny. Alian Taptriyani, Dwi Wulansari, Arie Kusumawati, Arie Sumadiyono, Sulasminah , Wahyu Istikhomah, Ferrita Dudiana, SusiHerawati, Lily , Farida Inkiriwang, Wening, Yuka, Sri, Si Garet, ibu Wahyu Widyawati, Rini Dwi, Pudya , Indahwdhany, Butut, Oma Michelle, Linurhay, Noeng Nurmadiah, Dwi Wulansari, Winar, Hnur, Umi Iswardono , Yustina Maria Nunuk Sulastri Rahayu Hernadi , Sri Maryani, Bunda Hayu Hanin, Nunuk, Reni, Pudya, Nien, Swissti Buana, Sudarwatisri, Mundjiati Habib, Savero, Ida Yusrida, Nuraida, Nanung, Arin Javania. Ninik Arsini, Neni , Komariyah, Aisya Priansyah, Jainah Jan. Civiyo, Mahmudah, Yati Sri Budiarti, Nur Rochmah. Uchu Rideen
. Ninik Arsini, Endah. Nana Yang, Sari P Palgunadi, Echi Wardani, Nur Widyastuti, Gagida family, Trie Tjahjo Wibowo, Lestari Mardi, Susi Kamto, Rosen Rina, Mimin NP, Ermi S, Ira, Nina, Endang Amirul, Wiwik Nur Jannah, Ibu Mulyono, Betty Kosasih, Nanik, Tita, Willa Sulivan, Mimin NP, Suprilina, Endang Mashuri, Rin, Amethys, Adelina, Sari Usman, Caecilia RA, Mimiet, Sofi,
Hadiiir bundaa...
DeleteTks Ratri sdh tayang..
Alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulilah
ReplyDeleteTerimakasih cerbungnya bunda Tien
Alhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun bu Tien
Alhamdulillah...
ReplyDeleteAlhamdulillah....tayang. 🤩
ReplyDeleteAduuuuh.... makiiin asyiiiiik... terima kasih Mbu Tien.... sehat sllu....
ReplyDeleteAlhamdulillah, mtr nuwun bunda Tien ..
ReplyDeleteMatur nuwun, ibu Tien. Salam sehat selalu.🙏😀
ReplyDeleteNah bu Listyo benar " tidak mau damai, untung ketemu Listi yang sudah menyadari posisinya. Tapi terus bagaimana?
ReplyDeleteBesok lagi ya...
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah JP 31 sdh tayang
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien, semoga Ibu sehat dan bahagia selalu.
Aamiin
Alhamdulillah, matur nuwun bu Tien.
ReplyDeleteSalam sehat dari mBantul
Alhamdulillah.
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien ...🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Alhamdulillah
ReplyDeleteDiplekotho
ReplyDeleteNah kan pas Listi dan Bulik Sumini yang begitu maxi menjadi pendamping Listi yang kali ini merindukan sebuah keluarga.
Ratri.. teriakan Listiani.
Melihat adiknya diusir timbul rasa sayang mereka berpelukan; justru Listi yang terlihat menenteramkan Ratri, nggak menyangka akan begitu sikap camer nya.
Bulik Sumini pun seperti melihat mukjizat, secepat itu dan Listi tampak dewasa, berusaha menenangkan Ratri.
Mungkin takut gosong jadi dibalik balik, Bu Listyo yang memperlihatkan sikap yang laen dalam menghadapi persoalan.
Bisa juga ketakutan gengsinya gogrok.
Radityo heran kok Ratri menanggis justru Listi yang membujuknya agar tenang dan sabar.
Listi pun ketus sama Radityo; no sana no, tanyak o sama emak lu; di apain sampai adikku seperti ini, ayo kita pulang, ajak Listiani.
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Jangan pergi yang ke tiga puluh satu sudah tayang
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
ReplyDeleteAlhamdulillah JANGAN PERGI~31 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏
Alhamdulillah....
ReplyDeleteMoga sehat selalu Bu Tien ku yang baik hati ...
Aamiin ...
Hadir
ReplyDeleteTerima kasih Mbak Tien...
ReplyDeleteAlhamdulillah matur suwun bu Tien...Salam sehat selalu.
ReplyDeleteMonggo dilanjut nonton World Cup Qatar.🙏👍
Terima kasih Bu Tien
ReplyDeleteSemoga bu Tien sekeluarga sehat selalu
Kasihan Ratry.
ReplyDeleteMakasih mba Tien
Ratriii sabar yaa..
ReplyDeleteMakasih bunda Tien.
Semoga bunda sekeluarga sehat" selalu..
Terimakasih Bunda Tien yg tak pernah lelah untuk menulis cerbung buat kami...semakin seru ceritanya...semakin penasaran...
ReplyDeleteSehat2 selalu ya Bun....salam aduuuhaiiii
Trims Bu Tien....
ReplyDeleteMalam Mbak Tien sehat selalu ya dan tetap semangat
ReplyDeleteslmt pgii bunda..trima ksih JP nya..slm sht sll🙏🥰🌹
ReplyDeleteSelamat pagi ..trimakasih bu Tien
ReplyDelete