JANGAN PERGI 26
(Tien Kumalasari)
Nyeri dan ngilu rasa batin Tijah. Ternyata suaminya
tidak peduli pada anak kandungnya sendiri. Tidak merasa kehilangan, justru
merasa bersukur karena adanya seorang anak hanya akan membebaninya. Aduhai.
Dan setelah itu Sukur juga tidak pernah berbicara
apapun. Juga tidak pernah bertanya, bagaimana membayar biaya persalinan,
bagaimana keadaannya setelah melahirkan. Apakah ada yang dirasakannya setelah
itu. Tidak. Tijah ingin sekali suaminya bertanya tentang banyak hal saat dia
melahirkan. Oh ya, jangankan bertanya tentang dirinya, kehadiran seorang anak
yang bagi orang lain sangat membahagiakan saja tidak tampak pada Sukur.
Semuanya hanyalah angin lewat.
Tapi Tijah memendam luka dan duka itu seorang diri.
Memendam kesakitan yang merobek-robek hatinya sampai berkeping-keping, tanpa
ada tempat untuk mengadu.
***
“Benarkah istri kamu sudah melahirkan Mas? Kamu senang
dong,” kata Tarmi ketika Sukur bermalam di rumahnya.
“Senang? Biasa saja tuh. Kehadiran seorang anak hanya
menyusahkan saja. Menambah beban hidup. Ya kan?”
“Lebih baik tanpa beban, sehingga kita puas bersenang-senang
bukan?”
“Tentu saja.”
“Berarti sekarang Tijah sibuk mengurus bayinya.”
“Tidak. Bayinya sudah diberikan pada orang lain.”
“Ya ampun. Kamu marahi dia kan mas? Perempuan macam
apa, menyerahkan bayinya kepada orang lain.”
“Marah? Tidak. Bagiku itu bukan sesuatu yang harus aku
pikirkan. Aku tidak peduli. Hidupku adalah kamu, dan bukan orang lain,” kata
Sukur enteng.
Tarmi terkekeh senang. Ia menyandarkan kepalanya di
dada kekasihnya, dan membuat Sukur semakin tenggelam dalam lautan asmara penuh gelombang
dosa.
“Apa Tijah tahu bahwa kamu selalu bersama aku? Kalau
tahu dia pasti marah sama kamu, ya kan Mas?”
“Tidak sama sekali. Entahlah. Mungkin tidak tahu. Dia
itu kan perempuan bodoh. Bahkan dia tidak pernah lagi bertanya walaupun aku
tidak pulang sampai berhari-hari.”
“Benarkah? Ya ampun Mas, kenapa kamu dulu tidak
memilih aku, dan memilih perempuan bodoh itu?”
“Salah siapa, ketemunya belakangan sih.”
“Mas Sukur harus segera menikahi aku dong.”
“Iya nanti, yang penting cinta aku hanya sama kamu, ya
kan?”
“Iya sih, bagiku yang penting mas Sukur selalu bersama
aku.”
Tapi karena terlalu memanjakan Tarmi, Sukur melakukan
hal yang tak terpuji di kantor, Dia ketahuan korupsi, dan dipecat dengan tidak
hormat.
Sukur merasa dunianya gelap. Apalagi setelah Tarmi
menyadari bahwa dirinya tak lagi punya uang, lalu bersikap acuh dan tak lagi
memintanya datang menemuinya.
***
Dengan tubuh lunglai tak berdaya, akhirnya dia pulang
ke rumah istrinya.
Tijah juga tidak bertanya. Mengapa pulang, mengapa
kelihatan sedih. Ia bersikap seakan tak terjadi apa-apa. Ia memendam semua
perasaannya dalam-dalam, dan seperti mati rasa. Dia juga diam ketika suaminya
meminta maaf.
“Tidak usah meminta maaf. Memangnya kamu salah apa?”
tanyanya enteng.
Sukur tak bisa memahami hati istrinya yang terlanjur
remuk dan tak bersisa. Tiba-tiba dia merasa kasihan kepada istrinya.
“Aku tidak lagi punya penghasilan. Aku sudah tidak
bekerja,” akhirnya Sukur berterus terang.
“Ya sudah, diam saja di rumah. Masih ada barang-barang
yang bisa dijual untuk makan,” lagi-lagi Tijah tampak tak terbebani dengan
kisah pilu yang diutarakan suaminya.
Dua bulan di rumah, Tijah hamil lagi. Kali ini Sukur
sedikit perhatian kepada istrinya. Ia yang kemudian menjadi buruh di sebuah
perusahaan kayu, bahkan selalu mengantarkan istrinya periksa ke dokter
kandungan. Ia sudah menjual sepeda motornya untuk mencukupi biaya hidup.
Apakah Tarmi benar-benar tak peduli? Ternyata sesungguhnya
Tarmi masih mencintai Sukur. Sukur yang sudah menjadi pekerja kasar, masih
tampak ganteng dan kekar. Tarmi tak pernah bisa melupakan malam-malam indah
yang dilaluinya bersama Sukur. Hatinya panas melihat Sukur tampak rukun dengan
istrinya.
Pada suatu hari, Tarmi menemui Sukur di tempat
kerjanya. Membuat Sukur sangat terkejut.
“Tarmi? Mau apa kamu menemui aku?” tanya Sukur heran.
Tapi tiba-tiba Tarmi memeluk Sukur dengan erat, dan
menangis terisak tanpa malu, bahkan ketika teman-teman kerja Sukur melihatnya.
“Kenapa kamu ini?”
“Kamu ini sungguh keterlaluan Mas.”
“Keterlaluan bagaimana?”
“Kamu meninggalkan aku begitu saja. Aku sudah menyewa
kamar sendiri agar bisa bebas saat bersama kamu, tapi kamu tidak pernah lagi
menemui aku,” isaknya.
“Bukankah kamu sendiri yang tidak membutuhkan aku?
Tidak pernah memintaku untuk datang menemui kamu?”
“Aku hanya pura-pura Mas, aku menguji cinta kamu sama
aku. Ternyata kamu kembali kepada istri kamu, dan membuatnya hamil lagi. Aku
cemburu, tahu!” rengek Tarmi memelas, tapi sambil erat mendekap.
Sukur hanyalah manusia biasa, yang begitu rapuh dan
imannya gampang runtuh. Kehangatan itu membangkitkan lagi keinginan-keinginan
yang dulu pernah dia nikmati bersama perempuan cantik yang pintar meluruhkan
hati dan pertahanannya.
Ia mendorong pelan tubuh Tarmi.
“Baiklah, sepulang kerja aku akan menemui kamu.”
“Benar ya Mas?” sorak Tarmi.
“Tapi aku sudah tidak bisa lagi memberi uang kamu yang
banyak, aku hanya buruh harian yang uangnya tidak seberapa.”
“Itu tidak masalah, yang penting kamu kembali bersama aku.”
Dan dosa itu terulang lagi.
Sukur jarang pulang kerumah, dan tak pernah lagi
mengantarkan istrinya saat ia memeriksakan kandungannya.
Dan lagi-lagi Tijah hanya diam.
Ia juga diam ketika Sumini kembali mengingatkan atas
kelakuan suaminya.
“Suami kamu kumat Yu, jangan biarkan hal itu
berlanjut.”
“Aku tidak peduli Sum.”
“Dia masih suami kamu, kamu berhak merebutnya kembali.”
Tijah hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
Sumini merasa trenyuh. Ini bukan hal yang biasa.
Sepupunya tak peduli apapun, dan ini menunjukkan bahwa dia sakit. Sakit jiwa.
Apa yang harus Sumini lakukan? Sumini melihat rumah Tijah sudah tak berperabot.
Meja kursi sudah dijualnya. Almari pakaian tak ada lagi. Ia melihat pakaian Tijah
hanya ditumpuk di sebuah ember.
“Ya Tuhan, keluarga ini sudah hancur. Benar-benar
hancur.”
Ketika merasa mau melahirkan, Sumini bahkan tidak
tahu. Hanya tetangga yang mengantarkan, kemudian ditinggalkan begitu saja.
Suaminya yang diberi tahu, juga tak lagi mempedulikannya.
“Istriku melahirkan,” kata Sukur bergumam ketika malam
itu bersama Tarmi.
“Kelihatannya kali ini kamu peduli.”
“Sebenarnya aku ingin punya anak. Kamu juga tak
hamil-hamil sih,” keluh Sukur.
Tarmi merengut. Ia juga heran, padahal ia tak pernah
minum obat pencegah kehamilan, tapi tak juga hamil. Kalau hamil dia bisa
mempergunakan untuk memaksa Sukur agar segera menikahinya.
***
Entah apa yang ada dipikiran Tarmi, Dia datang ke
rumah sakit, dimana Tijah melahirkan. Ia mendatangi Tijah, pura-pura menjenguk.
Ia sangat berhati-hati, dan bersikap manis, agar kalau melihatnya, Tijah tidak
marah-marah dan membuat para perawat curiga.
Tapi Tijah hanya diam tak bereaksi. Ia sudah duduk dan
tak ada wajah marah saat melihatnya.
“Jah, mana anakmu?”
“Apa aku punya anak?” jawab Tijah.
Tarmi tertegun. Ia menatap wajah Tijah yang seperti
orang linglung. Matanya tak bercahaya. Dan tiba-tiba ia turun dari tempat
tidur.
“Aku mau pulang.”
“Bagaimana anakmu?”
“Mati,” katanya tanpa melihat ke arah Tarmi.
Tarmi membiarkannya. Tak menahannya saat Tijah keluar
dari kamar. Tarmi menemui perawat jaga, menanyakan tentang anak Tijah. Perawat
mengatakan bahwa anaknya sehat.
Dengan mengaku sebagai kerabat, Tarmi mengambil anak
itu, dan membayar biaya persalinan dengan uangnya sendiri.
***
Sumini heran, ketika datang ke rumah Tijah, dan
melihat perut Tijah sudah mengecil.
“Kamu sudah melahirkan?”
“Anakku mati,” katanya enteng.
Sumini terkejut. Tapi dia tak pernah menanyakannya
pada rumah sakit dimana Tijah melahirkan. Sumini takut, kalau tiba-tiba pihak
rumah sakit menagih pembayaran saat dia datang.
Ia merasa iba melihat keadaan sepupunya yang seperti
orang sakit jiwa.
Karena kasihan maka setiap hari Sumini datang ke rumah Tijah, untuk memberinya
makan, dan mengajaknya berbicara. Tapi bicaranya selalu ngelantur. Ia hanya
ingat, anaknya dipelihara oleh keluarga Suroto, dan ia ingin selalu melihat
keadaannya.
Penasaran, ia mendatangi Sukur di rumah selingkuhannya.
Ia mengatakan bahwa Tijah sudah melahirkan dan anaknya meninggal. Sukur tak
peduli, dan Sumini pulang dengan kecewa.
***
Sukur senang ketika Tarmi membawa pulang bayi Tijah.
Ia lebih senang bayi itu bersama Tarmi, sehingga dia bisa melihatnya setiap hari.
Tapi dua bulan setelah itu, Sukur meninggal karena
kecelakaan.
***
Tarmi terisak penuh penyesalan.
“Benar ya, jangan melaporkan saya pada polisi ya,
saya sudah hidup menderita, sebagai balasan kejahatan saya,” isaknya memelas.
Radit tertegun.
“Kalau begitu, berarti Ratri itu adiknya Listi yang
terpisah?” gumamnya.
Bu Cipto terkejut.
“Siapa Nak?”
“Listi itu anak bu Tijah, demikian juga Ratri.”
Bu Cipto menutup mulutnya.
“Apa itu sebabnya banyak yang keliru memanggil Ratri
dikira Listi? Jadi mereka saudara kandung?”
“Bolehkah saya pergi? Tolong, tepati janji kalian.”
“Di mana rumah Ibu?” tanya Radit.
“Aku tidak punya rumah, aku tidur menggeletak di
sembarang tempat, dan menjajakan koran, ini penghidupan aku,” katanya sambil
berdiri.
“Tunggu, ibu belum makan, saya sudah memesan tadi.”
“Dibungkus saja, saya makan nanti,” katanya sambil
berdiri menunggu.
Radit meminta pelayan warung agar membungkus nasi dan
minuman bu Tarmi. Radit juga memberikan sejumlah uang untuk bu Tarmi, yang
diterimanya dengan linangan air mata.
***
“Saya agak bingung tentang cerita bu Tarmi tadi. Jadi
di mana gadis bernama Listi itu?” tanya bu Cipto ketika Radit mengantarkannya
pulang.
Ratri tidak pernah menceritakan hal yang pelik kepada
ibunya, takut ibunya jadi kepikiran. Itu sebabnya bu Cipto juga tidak tahu
tentang Listi yang sekarang ada di rumah sakit Jiwa. Bahkan dia juga tidak tahu
bahwa Listi adalah bekas istri Dian.
“Ceritanya panjang Bu. Pasti Ratri tidak pernah
menceritakan tentang Listi kepada Ibu.”
“Ratri tidak pernah cerita apa-apa yang tidak ada
hubungannya dengan ibu. Pasti dia takut ibu kepikiran.”
“Benar Bu.”
“Lalu dimanakah wanita bernama Tijah itu? Ibu pernah
melihat, bu Tarmi dikejar-kejar oleh seorang wanita yang … maaf … sepertinya
agak gila, dan mengatakan bahwa bu Tarmi mencuri suaminya dan hartanya. Tapi agak
lupa, ibu kurang memperhatikan wajahnya karena kemudian seorang wanita lain
membawanya pergi.”
“Saya akan mencari tahu. Ini ada hubungannya dengan
keinginan ibu saya, agar segera melamar Ratri. Cukupkah saya mengatakannya
hanya kepada Ibu saja?”
“Tidak Nak, setelah tahu bahwa Ratri punya ibu kandung
yang jelas, saya ingin agar si ibu itu juga dilibatkan tentang lamaran nak
Radit nanti, karena sesungguhnya dia juga berhak.”
“Baiklah Bu, saya akan berusaha menemukannya.”
“Nak Radit tahu, dimana dia berada?”
Lalu mau tak mau Radit menceritakan semuanya. Tentang
Listi yang bekas istri Dian, tentang keberadaannya sekarang dan penyebabnya. Bu
Cipto heran, ada kejadian serumit itu.
“Ya Tuhan. Apakah akan mudah menemukan bu Tijah,
mengingat dia agak terganggu jiwanya? Apakah dia bisa kita ajak bicara?”
“Entahlah Bu, tapi kita akan berusaha mencari jalan
sebaik-baiknya. Bu Tijah tidak benar-benar gila. Demikian juga Listi. Mereka
adalah orang-orang yang terganggu jiwanya karena sebuah keadaan yang menekan
perasaannya, atau karena memendam derita yang tak tertahankan. Semoga dengan
upaya yang baik, niat yang baik, semuanya akan menjadi baik pula.”
“Baiklah, bagaimanapun ibu sudah merasa lega, bisa
mengetahui asal usul Ratri, yang sejak bayi menjadi anak saya, dan sangat saya
sayangi seperti anak kandung saya sendiri. Ini keadaan yang luar biasa. Jerih
payah saya untuk setiap hari ke pasar hanya untuk bertemu bu Tarmi, akhirnya
tidak sia-sia. Syukurlah.”
***
Tapi di sore hari itu, ketika bu Listyo kembali menanyakan perihal lamaran untuk
Ratri, Radit bingung menjawabnya, karena dia juga harus mengatakan kepada
ibunya, bahwa Ratri bukan anak kandung bu Cipto.
“Kamu sudah ketemu Ratri kan?”
“Belum Bu.”
“Kalau bu Cipto? Ibu kan minta agar kamu langsung
ketemu ibunya, dan sekilas kamu bisa mengatakan bagaimana sesungguhnya hubungan
kalian, lalu keinginan untuk segera melamarnya. Begitu kan?”
“Sebenarnya masih ada masalah yang Ibu juga harus
tahu, sebelum Radit melangkah lebih jauh.”
“Masalah apa? Ratri menolak kamu? Ya tidak mungkin,
kan ibu sudah ketemu beberapa kali.”
“Bukan Bu. Radit baru tahu, bahwa Ratri itu bukan anak
kandung bu Cipto?”
“Oh, anak angkat? Jadi siapa orang tuanya? Ibu
berharap orang tuanya juga orang baik, karena nyatanya Ratri itu gadis yang
baik.”
Radit ragu untuk mengatakannya. Bagaimana kalau ibunya
menolaknya setelah tahu Ratri itu anak siapa?”
***
Besok lagi ya.
ReplyDeleteMtnuwun mbk Tien. 🙏🙏
Matur nuwun Mbak Tien.
DeleteSalam ADUHAIII dari Yogya.
Ayo mojok
DeleteMksh bunda Tien
Matur suwun
ReplyDeleteYessss
ReplyDeleteHoreee 🥰 manusang bu Tien 🌹🫰🏻
ReplyDeleteyes
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku, Jangan Pergi sudah tayang.
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nuwun, sehat selalu bunda Tien . .
ReplyDeleteAlhamdulilah..
ReplyDeleteTks bunda Tien ...
Alhamdulillah....
ReplyDeleteTerimakasih bu Tien...
Salam sehat selalu
Matur nuwun bunda
ReplyDelete
ReplyDeleteAlhamdulillah JANGAN PERGI~26 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏
Alhamdulillah JP26 sudah tayang
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah JB26 sudah tayang. Matursuwun mbak tien
ReplyDeleteAlhamdulilah,maturnuwun bu tien...salam sehat
ReplyDeleteSemoga ibunya Radit tdk berubah pikiran..
ReplyDeleteSemakin rumit yaa..
kita tunggu cerita selanjutnya bsk lg..
Tks bunda Tien..
Salam sehat dan bahagia selalu utk bunda..
Alhamdulillah yg di tunggu sdh datang.
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien.. Semoga Ibu dan keluarga sehat selalu. Aamiin..
Nah sudah jelas sekarang, Ratri adik Listi. Bagaimana sikap ibu Radit setelah tahu siapa ibu Ratri?
ReplyDeleteJawabnya: Besok lagi ya..
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Alhamdulillah yg di tunggu2 sdh dtg
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹
Alhamdulillaah dah d baca
ReplyDeleteMakasih bunda
alhamdulillah🙏
ReplyDeleteAlhamdulillah JP26 sdh tayang
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien, semoga Ibu sehat selalu
Aamiin
Alhamdulillah, matur nuwun bu Tien..
ReplyDeleteSalam sehat dan aduhai
Ketegangan akan segera dimulai.... jreng jreng😁😁
ReplyDelete..
Sehat selalu bu tien 🤩🤩🤩
Alhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteManusang, ibu Tien. Sehat selalu ya...🙏🙏🙏
ReplyDeleteHallow..
ReplyDeleteYustinhar. Peni, Datik Sudiyati, Noor Dwi Tjahyani, Caroline Irawati, Nenek Dirga, Ema, Winarni, Retno P.R., FX.Hartanti, Danar, Widia, Nova, Jumaani, Ummazzfatiq, Mastiurni, Yuyun, Jum, Sul, Umi, Marni, Bunda Nismah, Wia Tiya, Ting Hartinah, Wikardiyanti, Nur Aini, Nani, Ranti, Afifah, Bu In, Damayanti, Dewi, Wida, Rita, Sapti, Dinar, Fifi, Nanik. Herlina, Michele, Wiwid, Meyrha, Ariel, Yacinta, Dewiyana, Trina, Mahmudah, Lies, Rapiningsih, Liliek, Enchi, Iyeng Sri Setyawati , Yulie, Yanthi , Dini Ekanti, Ida, Putri, Bunda Rahma, Neny, Yetty Muslih, Ida, Fitri, Hartiwi DS, Komariah P., Ari Hendra, Tienbardiman, Idayati, Maria, Uti Nani, Noer Nur Hidayati, Weny Soedibyo, Novy Kamardhiani, Erlin, Widya, Puspita Teradita, Purwani Utomo, Giyarni, Yulib, Erna, Anastasia Suryaningsih, Salamah, Roos, Noordiana, Fati Ahmad, Nuril, Bunda Belajar Nulis, Tutiyani, Bulkishani, Lia, Imah P Abidin, Guru2 SMPN 45 Bandung, Yayuk, Sriati Siregar, Guru2 SMPN I Sawahlunto, Roos, Diana Evie, Rista Silalahi, Agustina, Kusumastuti, KG, Elvi Teguh, Yayuk, Surs, Rinjani, ibu2 Nogotirto, kel. Sastroharsoyo, Uti, Sis Hakim, Tita, Farida, Mumtaz Myummy, Gayatri, Sri Handay, Utami, Yanti Damay, Idazu, Imcelda, Triniel, Anie, Tri, Padma Sari, Prim, Dwi Astuti, Febriani, Dyah Tateki, kel. SMP N I Gombong, Lina Tikni, Engkas Kurniasih, Anroost, Wiwiek Suharti, Erlin Yuni Indriyati, Sri Tulasmi, Laksmie, Toko Bunga Kelapa Dua, Utie ZiDan Ara, Prim, Niquee Fauzia, Indriyatidjaelani,
Bunda Wiwien, Agustina339, Yanti, Rantining Lestari, Ismu, Susana Itsuko, Aisya Priansyah, Hestri, Julitta Happy, I'in Maimun, Isti Priyono, Moedjiati Pramono, Novita Dwi S, Werdi Kaboel, Rinta Anastya, r Hastuti, Taty Siti Latifah, Mastini M.Pd. , Jessica Esti, Lina Soemirat, Yuli, Titik, Sridalminingsih, Kharisma, Atiek, Sariyenti, Julitta Happy Tjitarasmi, Ika Widiati, Eko Mulyani, Utami, Sumarni Sigit, Tutus, Neni, Wiwik Wisnu, Suparmia, Yuni Kun, Omang Komari, Hermina, Enny, Lina-Jogya, mbah Put Ika, Eyang Rini ,Handayaningsih, ny. Alian Taptriyani, Dwi Wulansari, Arie Kusumawati, Arie Sumadiyono, Sulasminah , Wahyu Istikhomah, Ferrita Dudiana, SusiHerawati, Lily , Farida Inkiriwang, Wening, Yuka, Sri, Si Garet, ibu Wahyu Widyawati, Rini Dwi, Pudya , Indahwdhany, Butut, Oma Michelle, Linurhay, Noeng Nurmadiah, Dwi Wulansari, Winar, Hnur, Umi Iswardono , Yustina Maria Nunuk Sulastri Rahayu Hernadi , Sri Maryani, Bunda Hayu Hanin, Nunuk, Reni, Pudya, Nien, Swissti Buana, Sudarwatisri, Mundjiati Habib, Savero, Ida Yusrida, Nuraida, Nanung, Arin Javania. Ninik Arsini, Neni , Komariyah, Aisya Priansyah, Jainah Jan. Civiyo, Mahmudah, Yati Sri Budiarti, Nur Rochmah. Uchu Rideen
. Ninik Arsini, Endah. Nana Yang, Sari P Palgunadi, Echi Wardani, Nur Widyastuti, Gagida family, Trie Tjahjo Wibowo, Lestari Mardi, Susi Kamto, Rosen Rina, Mimin NP, Ermi S, Ira, Nina, Endang Amirul, Wiwik Nur Jannah, Ibu Mulyono, Betty Kosasih, Nanik, Tita, Willa Sulivan, Mimin NP, Suprilina, Endang Mashuri, Rin, Amethys, Adelina, Sari Usman, Caecilia RA, Mimiet,
Akankah muncul kembali konflik..
ReplyDeleteWait and see, next episode
...
Salam sehat Bu Tien...,, 😘😘
Kalau cerita menarik ini, rasanya pendek sekali...
ReplyDeleteTerima kasih mbak Tien...
Alhamdulilah
ReplyDeleteTerimakasih cerbungnya bunda Tien
Alhamdulillah JP 26 telah tayang...
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien.....
Moga bunda Tien sehat selalu bersama keluarga...
Aamiin...
Kejendelen
ReplyDeleteRadit binun didesak sana didesak sini.
Alamat yang jelas Sumini, yang masih saja mendatangi eresjé ikut merawat Listi, mengajak bicara; tahunya Sumini yang membantu membersihkan rumah keluarga Suroto, yang terwariskan ke Listi.
Selama ini Listi juga belum tahu ibu kandungnya Sutijah, Sukur sudah lewat, ah ada ya keremukkan super berantakan, kehidupan asal status; asal hidup mengabaikan karunia.
Lha itu bersama hidup; båså né Arab, wèh lha kok..
Sutijah masih berusaha meyakinkan Listi bahwa dia ibu kandungnya, berhasilkah.
Bisakah Ratri menerima kenyataan, berangan Sutijah tetap pada awal niatnya biar anak-anak nya mendapatkan kasih sayang dari orang tua asuh nya; yang merawat begitu baik dan itu sebuah wujud rasa syukur atas karunia Nya.
Sutijah justru tidak merebut hak asuh itu, penyadaran dirinya terbelenggu keadaan waktu itu.
Semoga dilancarkan keinginan Radityo, dan berhasil mempersunting Ratri.
Terimakasih Bu Tien
Jangan pergi yang ke dua puluh enam sudah tayang
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Terima kasih Bu Tien
ReplyDeleteSemoga Bu Tien sehat selalu
Alhamdulillah, matur nuwun bu Tien ,sehat Wal'afiat semua ya
ReplyDeleteWah seru nih,,,apakah bu Listyo mau menerima ternyata ratri adiknya listi anaknya bu Tijah,,🤭
Alhamdulillah, matutsuwun Bu Tien
ReplyDeleteSemoga Bu Tien sehat selalu. Aamiin
Semakin seruuu..
ReplyDeleteMakasih mba Tien
Trims Bu Tien dan sehat selalu
ReplyDeleteMakin buat kesel ..trima kasih bu Tien
ReplyDelete