JANGAN PERGI 18
(Tien Kumalasari)
Radit masih tertegun, dan mencoba mengingat-ingat,
apakah dia pernah mengenal wanita itu, ketika wanita itu kembali bertanya.
“Apakah kamu yang bernama Radityo?”
“Iya Bu, benar. Ibu ini siapa ya, dan ada apa?”
“Aku Sutijah. Belum pernah mendengar nama itu?”
Radit menggeleng, sementara Ratri terbengong di
sampingnya, tak ingin mengganggu.
“Sekarang aku beri tahu kamu, namaku Sutijah. Aku
kakaknya Sumini, yang menjadi pembantu di rumah Listi, juga menjadi penjaga
rumah ketika rumah itu kosong.”
Radit tidak mengerti, mengapa wanita bernama Sutijah
itu bercerita begitu banyak tentang dirinya, dan saudaranya yang dia juga belum
lama mengenalnya, kecuali saat bezoek Listi di Rumah Sakit Jiwa.
“Mengapa Ibu menemui saya, dan bagaimana Ibu tahu nama
saya?”
“Aku memang tidak berada di dekat Listi, tapi aku
selalu mengawasi perkembangannya. Kecuali tiga tahunan terakhir ini karena aku
jatuh sakit.”
Radit tetap tak mengerti apa maksud perempuan setengah
tua ini.
“Baru saja aku mendengar, bahwa Listi dimasukkan ke
rumah sakit jiwa setelah ditahan polisi.”
Terus apa maunya perempuan ini, kata batin Radit.
“Aku marah sama kamu. Dulu Listi sangat mencintai
kamu, tapi kenapa kamu menyiksanya?” kata wanita itu dengan sinar mata
berkilat.
“Saya … menyiksa Listi? Saya tidak mengerti mengapa
Ibu mengatakan itu. Saya tidak pernah menyiksanya, atau memperlakukannya dengan
buruk. Tapi yang saya tidak mengerti adalah apa hubungan semua itu dengan Ibu.”
“Kamu tidak menyiksanya? Dia mencintai kamu setengah
mati dan kamu telah menggandeng gadis lain, sehingga dia menjadi seperti gila.”
“Itu bukan karena saya. Dia meninggalkan saya tiga
tahun lebih karena menikah dengan laki-laki lain, dan diceraikan oleh suaminya karena Listi berkali-kali menggugurkan kandungannya.”
Wanita itu terbelalak.
“Apa maksudmu?”
“Itu benar. Dan saya sudah lama tidak berhubungan lagi
dengan dia.”
“Aku tidak mengerti semua ini,” lalu wanita itu
menitikkan air mata.
“Ibu ini siapa sebenarnya?
Wanita itu membalikkan tubuhnya sambil menutupi
wajahnya.
“Aku ibunya,” katanya setengah menjerit, dan bergegas
meninggalkan halaman.
Radit dan Ratri menatap dengan heran kepergian wanita
itu.
“Dia ibunya Listi ?” gumam Ratri.
“Aku bingung. Aku mengenal ayah ibunya Listi ketika
mereka masih hidup. Bukan dia ibunya.”
“Mengapa wanita itu mengatakan bahwa dia ibunya, dan
tahu banyak tentang hubungan aku sama Listi ketika sebelum dia pergi tiga tahun yang lalu?” sambung Radit.
“Membingungkan.”
“Aku kenal sama adiknya yang bernama Sumini.”
“Di mana Mas kenal?”
“Ketika aku menemui Listi di rumah sakit.”
“Oh ya? Bagaimana keadaannya?”
“Meracau tidak karuan. Aku segera pergi ketika dia
ngomong tidak jelas ujung pangkalnya.”
“Saat itu ada ibu-ibu yang bernama Sumini?”
“Ya, tapi aku tidak bicara banyak sama dia.
Kapan-kapan aku akan menemui dia dan bertanya tentang wanita bernama Sutijah
itu tadi.”
“Sebaiknya begitu.”
“Ayo kita masuk, lihat, ibu sudah menunggu,” kata
Radit sambil melangkah mendekati rumah setelah menggamit lengan Ratri.
“Siapa yang tadi bicara sama kamu Dit? Orang
menawarkan dagangan? Kok pakaiannya lusuh begitu, dagangan apa yang
ditawarkan?” tanya bu Listyo yang menyambut di teras.
“Bukan Bu, orang menanyakan alamat,” kata Radit
sekenanya, karena tak ingin ibunya mengetahui kejadian membingungkan tentang
Listi.
“Oh,. Ini yang bernama Ratri?” tanya bu Listyo ramah.
Ratri segera mengangguk, meraih tangan bu Listyo dan
menciumnya.
“Lho, bukankah kita pernah bertemu?”
“Ya Bu,” jawab Ratri sambil tersenyum.
“Ini yang ibu cerita itu Dit, aku salah memanggil dia
karena wajahnya sangat mirip Listi.”
“Iya bu,” kata Radit.
“Ya ampun, seperti anak kembar ya? Ayo silakan masuk
Nak,” katanya ramah.
Radit dan Ratri mengikuti bu Lisyio kemudian mereka
duduk di ruang tamu.
“Benar-benar mirip, hanya saja ini lebih manis, lebih
santun.”
“Namanya Ratri Bu,” Radit menerangkan.
“Bagus namanya. Iya, aku kan sudah tahu. Sudah lama kenal sama Radit?”
“Baru beberapa bulan, eh … belum ada dua bulan,” jawab
Ratri tersipu.
“Radit, kamu tidak main-main kan? Belum ada dua bulan
dan kamu mengatakan bahwa kamu suka sama dia?”
“Masa Radit main-main Bu,” jawab Radit, cemberut.
“Bukan karena dia mirip Listi kan?”
“Awalnya iya, tapi Radit jatuh cinta karena
kepribadiannya yang baik, lembut, dan senyumnya manis sekali kan Bu,” kata
Radit berterus terang, membuat bu Listyo tersenyum, tapi membuat Ratri tersipu
malu. Wajahnya mulai bersemu merah.
“Ratri, kamu harus sering datang kemari supaya kita
bisa saling mengenal. Aku suka karena Radit juga suka. Tapi aku akan marah
kalau Radit hanya main-main.”
Ratri tersipu. Tapi rasa kikuk yang semula
menghantuinya perlahan sirna, melihat tanggapan bu Listyo yang sangat baik dan
ramah.
Mereka berbicara beberapa saat lamanya, saling
mengenalkan keluarga. Ratri juga mengatakan bahwa dia hanyalah anak seorang pensiunan
guru, yang hanya hidup sederhana di sebuah rumahnya yang kecil.
“Aku tidak peduli kamu kaya atau tidak. Aku hanya suka
kepada gadis yang berkepribadian baik, dan bisa membahagiakan anakku.”
***
Siang itu bu Cipto pulang kerumah, dari pasar, walaupun
tidak sedang membutuhkan sesuatu yang tak ditemukannya di tukang sayur
langganan.
Itu untuk kesekian kalinya dia melakukannya, hanya
karena ingin bertemu lagi dengan wanita yang dianggapnya aneh, tapi membuatnya
penasaran, karena dia lari sebelum bu Cipto sempat menyapanya.
“Aneh wanita itu, tapi aku kok tetap saja belum bisa
mengingatnya ya? Apa dia pernah melakukan kesalahan terhadapku, sehingga ketika
bertemu lalu ketakutan. Tapi kesalahan apa yang dilakukannya?” gumamnya
berkali-kali.
Walau begitu bu Cipto berjanji akan kembali pergi ke
pasar lagi, untuk berjalan-jalan di sekitar pasar, sambil mengawasi barangkali
bisa melihatnya lagi.
“Tapi apa ya tidak sia-sia, apa yang aku lakukan ini.
Masa iya dia akan selalu ada di sekitar pasar itu, sehingga aku harus mencarinya
ke sana?”
Pertanyaan itu tak juga terjawab, tapi rasa penasaran
itu selalu menggayutinya setiap saat.
Ia kemudian menyibukkan diri di dapur, dan memasak
seperti biasanya, biarpun ia tetap memikirkan wanita aneh itu.
Ketika ia sudah selesai menyiapkan makanan di meja, ia
heran karena Ratri belum juga pulang. Ia baru saja meraih ponselnya, ketika
kemudian teringat bahwa Radit akan mengajak Ratri menemui orang tuanya.
“Ya ampun, aku sampai lupa, Ratri sudah mengatakan
bahwa akan terlambat pulang karena akan langsung ke rumah nak Radit,” gumamnya,
yang kemudian ia mengambil piring dan makan sendirian.
Ia tidak ingin mengatakan perihal rasa penasarannya
terhadap wanita aneh itu, kepada Ratri, karena khawatir disalahkan tentang
kepergiannya bolak balik ke pasar hanya karena ingin bertemu wanita itu lagi.
***
“Aku senang kalau ibunya nak Radit mau menerima kamu
dengan baik,” kata bu Cipto ketika sudah duduk berdua dengan Ratri di sore
harinya.
“Iya Bu, tapi ya nggak tahu juga nantinya, karena kan
baru sekali bertemu. Jangan-jangan kemudian dia berubah pikiran.”
“Selalu berperilaku baik, agar kebaikan juga tidak
akan berpaling dari kamu,” ujar bu Cipto.
“Jadi yang menyapa Ratri waktu membeli ponsel untuk
ibu itu memang ibunya mas Radit. Sungguh tidak menyangka kalau akhirnya
bisa benar-benar bertemu.”
“Barangkali memang jodoh.”
“Doakan untuk Ratri ya Bu.”
“Pasti akan ibu doakan yang terbaik untuk anak ibu
satu-satunya ini.”
“Terima kasih, Ibu,” kata Ratri sambil merangkul
ibunya penuh rasa sayang.
Ratri
melepaskan pelukannya ketika ponselnya berdering.
“Dari Dian,” gumamnya sambil mengangkat ponselnya.
“Ya Dian.”
“Apa kabar Tri?”
“Baik, kamu sudah di rumah?”
“Sudah, itu sebabnya bisa menelpon kamu.”
“Kamu juga baik kan?”
“Iya. Apa kabarnya Listi ya?”
“Mas Radit yang pernah membezoeknya di rumah sakit.”
“Bagaimana keadaannya?”
“Kata mas Radit, masih kacau.”
“Bicara tidak karuan?”
“Katanya sih begitu. Mas Radit meninggalkannya karena
dia meracau tidak karuan.”
“Semoga segera pulih.”
“Kapan kamu mau datang kemari?”
“Maunya begitu, soalnya ada yang dikangenin, cuma saja
waktunya belum ada, masih banyak yang harus aku selesaikan.”
“Baiklah, aku mengerti. Dan aku juga mengerti, siapa
yang kamu kangenin.”
“Arina dong.”
“Dan ibunya kan?”
“Isshh! Jangan ngaco kamu.”
“Bukan ngaco, aku seneng kalau kalian bisa bersatu.
Kamu sudah lengket dengan anaknya, pasti ibunya juga dong.”
“Entahlah, masih banyak yang harus aku pikirkan.”
“Pokoknya aku doakan yang terbaik untuk kamu.”
“Terima kasih Tri, sekarang aku mau menelpon mas Radit
dulu.”
“Baiklah.”
***
Radit juga sedang memikirkan wanita aneh yang mengaku
sebagai ibunya Listi, dan sok tahu tentang hubungannya dengan gadis itu,
sehingga menyalahkannya sebagai penyebab Listi menjadi sakit jiwa, ketika Dian
menelponnya.
“Ya Mas Dian,” sapanya menjawab panggilan telpon itu.
“Apa kabarnya nih, semoga saya tidak mengganggu.”
“Tentu saja tidak, saya sedang santai di kamar. Kabar
saya baik-baik saja. Mas Dian masih sibuk dengan pekerjaan?”
“Sudah tidak begitu sibuk. Yah, biasa saja, saya kan
buruh, tidak seperti mas Radit yang juragan,” canda Dian.
“Ah, biasa saja, saya juga buruh nih, kan bekerja
untuk orang banyak juga.”
“Baiklah, saya dengar mas Radit sudah menjenguk Listi
di rumah sakit?”
“Ya, tapi tidak bisa bicara banyak. Nggak nyambung,
bawaannya ngelantur melulu, jadi saya hanya sebentar di sana.”
“Saya prihatin dengan keadaan dia. Semoga semuanya
segera membaik.”
“Aamiin. Oh ya, maaf mas Dian, apakah mas Dian tahu
tentang orang tua Listi?”
“Orang tua Listi? Tahu lah, tapi saat saya menikahi
Listi, hanya ayahnya yang masih ada. Dan beliau sudah meninggal juga tidak lama
setelahnya.”
“Tapi tadi ada seorang wanita yang mengaku sebagai ibunya
Listi.”
“Kan sudah meninggal?”
“Dia bernama Sutijah, mengaku sebagai ibunya Listi.
Datang menemui saya dan memarah-marahi saya yang katanya menjadi penyebab Listi
sakit jiwa.”
“Sutijah?”
“Katanya itu nama dia. Wanita setengah tua,
penampilannya lusuh, begitu.”
“Sutijah? Saya tidak pernah mendengar nama itu.”
“Aneh. Besok saya akan menemui bu Sumini, di rumah
Listi. Katanya, bu Sumini itu adiknya.”
“Jadi yang namanya Sutijah itu kakaknya bu Sumini? Dan
mengaku sebagai ibunya Listi?”
“Saya tidak mungkin bertanya pada Listi. Jadi besok
saya akan bertanya pada bu Sumini.”
“Dia di rumah Listi setiap hari, saya yang memintanya.
Rumah dia juga tak jauh dari rumah Listi. Kalau mas Radit tidak menemukan dia
di rumah Listi, silakan menelponnya. Saya kirim nomor kontaknya.”
“Baiklah, terima kasih. Saya pasti akan menemuinya
untuk kejelasan semua itu. Bukan urusan saya sih, tapi penasaran saja, kok ada
orang mengaku ibunya Listi, jangan-jangan punya maksud yang tidak baik.”
***
Pagi hari itu sebelum ke rumah sakit, Radit menuju ke
rumah Listi. Ia memarkir mobilnya di halaman, dan melihat rumah itu tertutup
rapat.
“Apakah bu Sumini belum ada di rumah ini?” gumamnya.
Radit melongok ke dalam rumah, melalui jendela kaca
yang kordennya sedikit tersingkap. Tapi hanya remang yang kelihatan, dan itu
menunjukkan bahwa rumah itu kosong.
Radit kembali ke teras dan duduk di sebuah kursi,
kemudian menelpon bu Sumini, dimana Dian sudah memberikan nomornya.
“Ya, ini siapa ya?” bu Sumini langsung merespon.
“Saya Radit, yang kemarin dulu ketemu di rumah sakit
sama Ibu.”
“Oh iya, saya ingat. Ada apa ya?”
“Saya sedang ada di rumah Listi, apa Ibu bisa segera
datang, atau masih lama?”
“Saya sedang dalam perjalanan, setelah mengantarkan
anak saya ke sekolah.”
“Dalam perjalanan kemari Bu?”
“Iya, tunggu sebentar, saya hampir sampai.”
Radit merasa lega, ia duduk menunggu di teras, sambil
mengabari ke rumah sakit bahwa dia agak terlambat datang.
Tak lama kemudian bu Sumini sudah datang, langsung
menemuinya di teras.
“Pak Radit mau membezoek ke rumah sakit lagi?”
“Belum dulu Bu.”
“Menurut saya, non Listi belum begitu baik. Kemarin
saya dari sana, bicaranya masih tidak karuan. Kasihan saya.”
“Saya ingin bertanya, apa bu Sumini kenal dengan bu
Sutijah?”
Bu Sumini tampak terkejut.
“Dari mana Bapak tahu nama Sutijah?”
“Kemarin dia menemui saya.”
“Dia kakak saya.”
“Oh, jadi benar yang dikatakannya, bahwa dia kakak bu
Sumini.”
“Dia tinggal di kampung. Kasihan saya sama dia. Nasibnya
sangat buruk. Dia agak gila.”
Radit terkejut. Haruskah dia mempercayai ucapan
seorang gila?
***
Besok lagi ya.
πππππΉπΉππππ
ReplyDeleteSenin, 07 Nopember 2022
Alhamdulillah JePe_18 sdh tayang.
HorΓ© kakek jaga gawang juara 1
DeleteAlhamdulillah
DeleteSalam sehat bunda Tien π
Alhamdulillah
ReplyDelete
ReplyDeleteMtnuwun mbk Tien ππ
Matur nuwun jeng Nani, matur nuwun bu Tien...... Maaf ua sing keselip aku
ReplyDeleteAlhamdulillah JP dah tayang, makasih Bunda Tien.
ReplyDelete
ReplyDeleteAlhamdulillah JANGAN PERGI~18 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien π
Alhamdulillah akhirnya non Ratri datang juga...
ReplyDeletealhamdulilla...π
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah JP18 sdh hadir, matur nuwun mbak Tien, sehat selalu ππ
ReplyDeleteAlhamdulilaah dah tayang makasih bundaku
ReplyDeletealhamdulilah....akhirnya yg ditunggu tayang juga
ReplyDeleteAlhamdulilah jp sdh tayang ... makin penasaran... smg bu tien sll sehat ....
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nuwun, sehat selalu Bunda Tien . .
ReplyDeleteAlhamdulillah .....
ReplyDeleteYg ditunggu2 sdh datang...
Matur nuwun bu Tien ...
Semoga sehat selalu....
Tetap semangat ...
Waduh Bu Sutijah trnyt juga org stres
ReplyDeleteKl bnr dia ibunya berarti sama dong pd sakit Jiwa
Sbnrnya kshn yah,moga segera teratasi smw
Sadar jgn bikin ulah
Mksh bunda Tien sehat selalu doaku
Dan ttp ADUHAI
Matur nuwun mbak Tien-ku, Sebuah Janji telah tayang.
ReplyDeleteAlhamdulillah, apa Listi dan Ratri kembar yang terpisah.
ReplyDeleteMonggo bingung berjama'a dengan bu.Sutijah..teka-teki mulai beraksi..π
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien..setelah menanti 2 hari....ππ
Alhamdulilah
ReplyDeleteAlhamdulillah, matursuwun bu Tien, salam sehat selalu. Aamiin
ReplyDeleteAlhamdulillah Maturnuwun
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulilah akhirnya JP 18 tayang... Pasti tambah semangat ya mbak Tien stlh reuni dg teman2 masa sklh SAA dulu... Mb sy no. 3 juga lulusan SAA Jkt tergabung di wag Parpansi? Slm seroja sll utk mb Tien dan para pctk dimanapun berada. Senin, 07 Nop 2022π₯°
ReplyDeleteMungkin benar juga, orang stress kalau punya anak, anaknya berpotensi stress juga. Tapi kalau sangat mirip dengan orang lain, apa juga saudara ya....
ReplyDeleteSalam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Blm ada benang merahnya ya pa.. Klo Listi anak kembar dg Ratri..
DeleteKita tunggu lanjutannya...
Riwayat si kembar Ratri dan Listi masih misteri, siapa gerangan orang tua kandung mereka, terimakasih bunda Tien salam salut dan selalu aduhai..
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien .. semoga selalu diparingi sehat Aamiin.πΉπΉπΉπΉπΉ
Matur suwun bu Tien salam sehat selalu...πππ
ReplyDeleteAlhamdulillah, JP 18 sudah tayang, dan bikin penasaran saja..π
ReplyDeleteTerimakasih bu Tien...
Salam sehat dan Aduhai
Puji Tuhan... matur nuwun bu Tien... sehat selalu njih....
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
ReplyDeleteSalam sehat selalu .
Aduhai
Ha ha ha, gila vs gila...
ReplyDeleteTerima kasih mbak Tien...
Terima kasih Bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulilah..
ReplyDeleteTks bu da Tien..
Semoga bunda sehat selalu..
Aamiin..
Alhamdulillah, matur nuwun bu Tien, akhir nya datang juga,,tapi rasa penasaran tetap saja ,,,siapa bu sutijah
ReplyDeleteSalam sehat wal'afiat bu Tien π€π₯°π
Salam sehat kagem Bu Tien
ReplyDeleteTerus
ReplyDeleteIya seeh cari tau ya tanya; paling nggak ada yang ada sedikit tahu, dipinggir jalan juga bisa yang penting ada sedikit penjelasan, walau kalau ada bunyi bunyian dari pedagang keliling yang bikin curi perhatian biasanya agak mengejutkan sedikit bubar konsentrasi juga.
ReplyDeleteMasih juga banyak ditemui orang yang sedikit gila menghadapi kenyataan kehidupan sehari-hari yang rumit.
JarΓ© digΓͺlar digulung, yΓ¨n kelamaan ya gulung koming, satunya maunya gimana satunya lain juga nggak nyambung di sambung sambungkan.
Malu ambil sikap yang sudah dilalui; maunya menghindar malah kelihatan aneh bagi mereka-mereka yang lumrah.
Gemblung orang bilang.
Tapi kalau perilaku terkontrol terlihat apik lho, kaya pelita yang bersinar bahkan kadang kaya pedagang keliling tadi itu, mengejutkan dan dimaklumi, caper.
Sutijah sebuah nama yang menyatakan bahwa dia ibunya Listy, yang harus dilepaskan demi kehidupan dia lebih baik menurut caranya.
Tapi masih dalam jangkauan pengamatannya masih berat melepaskan sebenarnya, karena yang satunya sudah lebih dulu diasuh oleh keluarga yang sangat merindukan kehadiran seorang anak dirumahnya.
Jaman dulu belum ada test dna ya, cuma filing aja pengamatan agak lama, baru berkesimpulan.
Harapan lulus dalam audisi kali ini Ratri, ada donk pernyataan Bu Listyo yang sudah bikin adem, ternyata pernah bertemu dengan Bu Listyo, tetap saja masih harapan Bu Cipto pun pesan; tetaplah berbuat baik
Terimakasih Bu Tien
Jangan pergi yang ke delapan belas sudah tayang
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
π
terima ksih bunda JP nya..slm sehat dan tetap aduhai slldri skbmiππ₯°πΉ
ReplyDeletealhamdulillah bunda Tien sehat selalu
ReplyDeleteBisa jadi Listi anaknya Sutijah, atau mungkin anak kembar Bu Cipto yang dimaling sama Sutijah... Lalu diberikan kepada pasutri lain yg akhirnya dianggap ibu bapaknya Listi...
ReplyDeleteπππ mencoba menebak teka-teki Bu Tien...
Makasih bu Tien .Alhamdulillah sehat2
ReplyDelete