SEPENGGAL KISAH 89
SEPENGGAL KISAH 89
(Tien Kumalasari)
Damar masih terpaku dimejanya. ponselnya tergeletak dimeja, masih terdengar sayup tangis bu Surya dari ponsel itu. Ongky mendekat dan mematikannya.
"Bagaimana ?" tanya Ongky pelan
"Dia sudah mampus." jawab Damar, geram.
Ongky menepuk nepuk punggung Damar, berusaha menenangkannya.
"Damar, kamu harus bisa mema'afkannya, dia sudah meninggal,"
"Dia sudah membunuh kedua orang tuaku mas, aku sangat membencinya, aku ingin menghukumnya lagi. Tapi dia keburu mampus."
"Aku bisa mngerti perasaanmu Damar, tapi dia sudah terhukum. Dia menderita selama bertahun tahun, dan sekarang dia meninggal tanpa Tuhan memberinya waktu untuk bertobat. Ma'afkanlah dia Damar, dan terimalah ini sebagai jalan hidup yang harus kamu lalui. Bangkit dan buat kedua orang tuamu bangga. Kalau kamu begini terus, seandainya bisa melihat, mereka pasti sedih."
Damar menutupi mukanya dengan kedua belah tangannya, air matanya mengalir dari sisi2 jarinya. Ongky pun ikut larut dalam kesedihan itu. Tapi tak berhenti menepuk nepuk punggung Damar.
"Aku ingin ke pusaranya lagi,"
"Baiklah, aku antar kamu sekarang juga, tapi hapus air matamu. Kamu harus kuat, harus tegar Damar."
Namun setiba di tempat pemakaman itu, ia melihat bu Surya ada disana. Sedang menangis dipusara ayah ibunya. Damar terharu, sesungguhnya perempuan baik itu tak tau apa2 tentang sepak terjang suaminya. Ia juga mengasihinya karena menganggap kedua orang tuanya seperti saudara, lalu menganggap Damar seperti anaknya sendiri.
Ketika mendekat, Damar masih mendengar desisnya diantara isak bu Surya: " Sungguh ma'afkan dia Marsudi, dia telah menebus dosa2nya dengaan penderitaan, kalau itu belum cukup, ma'afkan dia.. aku mohon." Bu Surya mencium kedua pusara itu, mengusap air matanya dan berdiri .. tapi ketika membalikkan badan, dia melihat Damar yang segera dipeluknya, dan tangisnya meledak lagi.
"Damar.. Damar.. anakku, janganlah kamu membenci tante juga, ma'afkan suamiku Damar,"
Damar memeluk bu Surya, mencoba meredam kemarahannya dan membalas pelukan itu.
"Sudah tante, semuanya sudah terjadi."
"Om mu akan dimakamkan siang ini, menunggu Mimi datang.."
"Ma'af tante, saya tidak bisa menghadirinya,"
"Tidak apa2 Damar, tante bisa mengerti.."
Setelah menaburkan bunga dipusara ayah ibunya, Damar dan Ongky meninggalkan pemakaman itu. Dia juga tidak bertanya dimana pak Surya akan dimakamkan. Mungkin dilokasi yang sama, karena dilihatnya bu Surya tidak pergi dari tempat pemakaman itu, tapi kemudian menuju ketempat lain agak jauh dari pusara ayah ibunya.
Beberapa bulan telah berlalu, dan Pandu masih suka bermain dengan mobil2an yang diberi oleh seorang gadis cantik dengan nama Nancy. Ayahnya menunggui didepannya sambil membaca koran.Hari itu hari Minggu sehingga Bowo bisa sepenuhnya bersantai dengan anak isterinya. Asri sedang menyiapkan makan pagi untuk mereka,
"Pandu sangat menyukai mobil2an itu, apa ya keistimewaannya? Dia sudah punya yang sejenis itu kan?" tanya Bowo kepada isterinya setelah isternya selesai menyiapkan makanan.
"Nggak tahu tuh, mana yang membelikan siapa saja Asri tidak tau."
"Wah, kecil2 sudah punya penggemar nih anaknya bapak," Bowo tersenyum senang melihat anaknya asyik bermain.
"Namanya Nancy, pak.. orangnya cantik, kayak orang belanda," Pandu menyahut tiba2.
"Wouw, cantik? Cantik mana sama ibunya Pandu?"
"Ibunya Pandu nggak ada duanya.." Bowo dan Asri tertawa.
"Kata siapa tuh?" tanya ibunya.
"Bapak setiap kali bilang begitu, ya kan pak?" jawab Pandu sambil memandangi ayahnya.
"Iya dong, ibunya Pandu paling cantik sedunia.."
"Sedunia begini ini ya pak?" Pandu mmbentangkan tangannya dan Bowo mengangguk angguk.
"Sekarang kita sarapan dulu yuk, nanti kita jadi kerumah kakek kan?" ajak Asri.
"Sebentar bu, sebentar lagi."
"Lho, mainnya kan sudah dari tadi, mana belum mandi juga. Ayo.. nanti ikut nggak ketempat kakek? Kalau nggak mau ikut ya sudah, ibu sama bapak aja yang pergi, ya kan pak?"
Bowo mengangguk angguk.
"Ketempat kakek Marsam? Iya Pandu suka, sebentar Pandu beresin mainan Pandu dulu ya."
"Nah, gitu dong, anaknya bapak memang pintar, setelah main, mainannnya harus dibereskan."
Hari itu mereka menuju rumah pak Marsam, sudah lama tak bertemu, Asri sangat kangen dengan bapaknya.
"Asri, bagaimana kalau nanti bapak kita ajak saja tinggal dirumah kita."
"Asri kan sudah lama bilang, tapi bapak nggak mau, gimana dong,"
"Nanti kita coba bicara lagi, siapa tau Pandu bisa merayu kakeknya. Ya Pandu?" Bowo menoleh kebelakang dimana anaknya duduk.
"Pandu harus bilang apa sama kakek?"
"Bilang, ajak kakek supaya mau tinggal dirumah kita, gitu,"
"Asyiiik... Pandu suka kalau ada kakek,"
"Nah, jadi nanti Pandu harus bilang sama kakek ya, kalau perlu paksa kakek,"
"Iya, nanti Pandu bilang,"
Namun ketika sampai dirumah pak Marsam, kakeknya Pandu itu sedang sakit. Asri sangat sedih melihatnya.
"Bapak, Asri kan sudah bilang, bapak harus tinggal bersama kami. Kalau disini, siapa yang mau merawat bapak,"
"Iya kek, nanti kakek ikut Pandu aja, bermain sama Pandu dan menanam bunga seperti disini."
Kakek Marsam tersenyum, dan mengelus kepala cucunya.
"Kakek sudah tua, pasti menyusahkan.."
"Nggak pak, Bowo malah senang kakau bapak mau tinggal bersama kami, Pandu sangat ingini kakeknya selalu ada didekatnya, ya kan Pandu?"
"Ya.. Mau ya kek?"
Pak Marsam terdiam, sedang menimbang nimbang, maukah ia tinggal bersama anaknya atau tidak. Rasanya dia memang sudah semakin tua. Merawat bunga2nya juga tidak seprti dulu ketika Asri masih ada, dan pembeli juga sudah semakin berkurang.
"Sekarang apa yang bapak rasakan, Bowo antar kerumah sakit ya?"
"Oh, tidak nak.. bapak ini cuma kena flu, gara2 kemarin ingin minum es yang dijajakan tetangga sebelah."\
"Lhah biasanya tidak suka es, kok bapak tumben minum es?" tegur Asri.
"Tetangga sebelah itu jualan es yang dijajakan dengan gerobag, karena kasihan lalu bapak beli segelas."
"Sudah minum obat?"
"Sudah..beli diwarung, sudah mendingan kok, kemarin sih agak panas."
"Bapak kalau ada apa2 kabari Bowo atau Asri. Tapi hari ini juga Bowo mau mengajak bapak kerumah."
"Tapi..."
"Tapi apa pak?"
"Bunga2 itu.. titipan nak Ongky juga..?"
"Nanti pelan2 kita usung kerumah, bapak bisa merawatnya disana."
"Horeee...kakek ikut..kakek ikut...."Pandu bersorak kegirangan.
Sepulang dari rumah pak Marsam, Asri mampir ketoko untuk membeli sesuatu, ada yang harus dipersiapkannya karena ia membawa ayahnya serta. Setelah memarkir mobilnya, Pandu yang duduk didepan dan dipangku kakek Marsam tiba2 berteriak. :" Ituu..ana Nancy..,"
Bowo dan Asri melihat kearah yang ditunjuk Pandu.
"Itu? Gadis Indo itu?"
"Yaa, ayo kesana, Pandu mau bertemu," teriak Pandu yang langsung turun dari mobil.
"Mas, saya mau mengucapkan terimakasih. Mas disini saja menemani bapak ya?" kata Asri sambil turun juga.
"Baiklah,"
Asri mendekati Nancy yang sudah ngobrol bersama Pandu. Ketika sudah dekat, Nancy menyapa ramah:" Hallo, selamat bertemu, ini ibunya Pandu?"
"Benar, saya mau mengucapkan terimakasih, eh.. berapa harga mobilnya, saya mau membayarnya.." kata Asri sambil membuka tas nya.
"Oh, no..no.. saya hanya membelikan buat si ganteng ini. Tidak usah terimakasih, ini bukan apa2, buat seorang teman, bukankah kita berteman, Pandu?"
Pandu mengangguk.
"Bagaimanapun saya mengucapkan terima kasih, untuk mobil itu, untuk pertemanan itu," kata Asri.
"Ya.. sudahlah, lupakan saja. Oh mau belanja? Saya sudah selesai dan mau kembali. Eh nanti dulu, kita berfoto bersama ya Pandu?"
Tanpa menunggu jawaban Asri mereka berfoto bertiga, Nancy senang sekali. :" Lihat, ada perempuaan cantik dan cowok tampan difoto ini."
Asri melihat hasil foto itu dan tersenyum senang.
"Okey, saya mau pulang sekarang, daag Pandu," Nancy berlalu, Pandu masih melambaikan tangan sampai Nancy naik kesebuah taksi yang mungkin sudah dipesannya.
Andai saja Asri tau bahwa pada suatu hari nanti Damar akan melihat foto itu..
#adalanjutannyalho#
No comments:
Post a Comment