Tuesday, December 18, 2018

SEPENGGAL KISAH 88

SEPENGGAL KISAH  88

(Tien Kumalasari)

Bu Surya dan Nancy terkejut sekali, mereka berusaha mengangkat pak Surya, kemudian Nancy memanggil ambulan agar secepatnya kakeknya dibawa kerumah sakit.

Sepanjang perjalanan kerumah sakit itu, hati bu Suryo terasa sangat pedih. Ia tak menyangka suaminya berbuat sekeji itu pada keluarga Marsudi, sahabatnya sendiri. Bertahun menderita strook bu Surya sudah merasa bahwa itulah balasan bagi suaminya karena telah menjahati kel. Marsudi dengan berusaha merebut hartanya setelah sahabatnya meninggal. Sekarang, ternyata suaminya juga telah membunuh Marsudi dan isterinya. 

"Ya Tuhan, hamba sungguh tidak mengerti bahwa sejahat itu suami hamba. Ampunilah dia ya Tuhanku, tolong sembuhkanlah dia agar dia memiliki waktu untuk betobat," bisik bu Surya sambil menadahkan tangannya, memohon belas kasih Sesembahannya. Bagaimanapun pak Surya adalah suaminya, sejahat apapun dia harus mendo'akannya, memohonkan ampun baginya.

Nancy hanya terdiam. Sedikit demi sedikit ia mengerti bahwa kakeknya telah berbuat jahat kepada keluarga "papanya". Pantaslah kalau tadi Damar seperti marah padanya. Tapi Nancy berfikir, bukankah Nancy tidak bersalah?

Damar yang terbakar hatinya oleh dendam, segera menelpon pak Darman yang sekarang menjadi rekan kerjanya. Pak Darman juga terkejut mengetahui bahwa kejahatan Surya melebihi yang diperkirakannya., 

"Laporkan saja pada polisi."

"Ya om, sedang bersiap untuk itu,"

Damar benar2 limbung, kenyataan bahwa kedua arang tuanya meninggal karena dibunuh walau secara tidak langsung, membuatnya seperti orang kehilangan pegangan. ia merasa hidupnya sangat sengsara. Harta berlimpah tak ada artinya lagi.Sudah seharian ia bersimpuh dihadapan pusara ayah ibunya, memuaskan tangisnya disana, menyesali kematian yang bukan seharusnya.. Ia tak perduli hari gelap, mendung menggantung, dan gerimis mulai turun. Ia terus saja merangkul pusara kedua orang tuanya, bergantian. Ia merasa tak pernah mendapatkan kasih sayang orang tuanya,. sejak berumur 10 tahun. Dan pak Surya yang membuatnya.

"Baapak.. ibu.. bawalah aku serta, apalah artinya hidup ini.. aku benar2 merasa sendiri kini, aku selalu disakiti.. Bapak.. ibu.. mana bahagia untukku? Aku hanya mendapatkan kesengsaraan.. kedukaan.. dan kecewa.. Bawalah aku serta bapaaak.. ibu.. bawa aku bersamamuuu..." tangisnya benar2 meledak, bersamaan dengan gutur yang menggelegar, dan rintik hujan mulai deras.

Air hujan mulai mengguyur tubuhnya, dan membasahi tanah sekitar... Damar tak ingin berdiri.. Damar masih tetap bersimpuh diantara pusara kedua orang tuanya. Menelungkupi nisan yang semakin dingin.. meratapi kepergian mereka..

Basah kuyup dan gigil kedinginan tak dirasakannya, Sampai hujan berhenti ditengah malam itu, Damar masih tetap disana, diam tak bergerak, lunglai tanpa daya.

Ketika tersadar, ia berada disebuah kamar, kamarnya sendiri, Ia juga sudah memakai baju yang kering, tapi itu bukan bajunya sendiri,  dan selimut tebal menutupi hampir seluruh tubuhnya.

Damar merasa heran, apakah semalam aku bermimpi? Bukankah aku berada dipusara ayah ibuku? Dan ini baju siapa?

Tiba2 seseorang masuk, membawa nampan berisi minuman hangat. Damar heran, dia adalah Ongky.

"Kamu sudah bangun, baguslah kamu tidak mati kedinginan," seperti biasa Ongky bicara seenaknya. 

"Mas Ongky? Bagaimana aku bisa..."

"Sudahlah, bangun dulu dan minum minuman hangat ini, aku sudah membelikan bubur untuk kamu. Aku membeli, bukan memaak, masa tamu disuruh memasak." canda Ongky.

Damar  menurut , ia bangkit dan minum minuman itu dengan masih merasa heran.. Tubuhnya mulai dialiri rasa hangat.. pelan2 rasanya lebih segar.  Ongky keluar dan membawa lagi sepiring bubur yang diletakkan disamping Damar.

"Makanlah dulu, dan minum obatnya, badanmu panas semalam, aku sudah mengompresnya, tapi kamu tetap harus minum obat.

Damar mengangguk. Ia mulai memasukkan bubur sesendok demi sesendok kemulutnya.

"Bagaimana aku bisa pulang? " tanya Damar tak sabar sambil menelan buburnya.. kemudian bubur yang masih separo itu diletakkan dimeja sampingnya.

"Kok nggak dihabiskan?"

"Sudah kenyang, daripada nanti aku muntahkan lagi," jawab Damar sambil menelan obat yang disodorkan Ongky.

"Bapak menelpon aku, mengatakan tentang peristiwa itu, aku disuruh bapak kemari, tapi aku tidak mendapatkan kamu dirumah. Aku yakin kamu pasti ke Solo, ketempat pemakaman bapak ibu kamu. Sudah tengah malam ketika aku memasuki pemakaman itu, dan mendapatkan kamu pingsan, basah kuyup dan kedinginan. Aku melarikanmu kerumah sakit. Menggantikan baju basahmu dengan bajuku yang aku bawa dan masih tertinggal di mobil. Tapi hanya sebentar kamu dirumah sakit itu, kamu tersadar kemudian tertidur pulas, lalu aku bawa pulang ketika hari sudah pagi.

Damar pernah tersadar, tapi segera tertidur pulas, tak ia tidak merasakan apa2. 

"Ini sudah siang, coba aku buka jendelanya ya.." Ongky membuka jendela dan seberkas sinar matahari masuk kekamar itu, membuatnya silau.

Damar heran, Ongky bisa merawat dirinya seperti seorang perawat.

"Apa kamu pernah menjadi perawat mas?"

"Perawat untuk diri aku sendiri ini. Aku kan biasa hidup sendiri selama bertahun tahun, jadi kalau cuma memasak, bikin wedang, bukin bubur.. entenglah bagi aku. Cuma seringnya memang jajan diluaran."

"Kamu itu kenapa, ya sudahlah, semua yang terjadi memang sudah digariskan begitu, terimalah semuanya dengan ikhlas."

"Aku merasa tak ada gunanya hidup, aku ingin mati saja," keluh Damar sedih.

"Heiii... apa kamu sadar apa yang kamu ucapkan? Mengharapkan kematian walau untuk dirinya sendiri itu dosa, tau?"

"Tak ada gunanya aku hidup lagi, aku sendirian.."

"Lha memangnya aku ini kamu anggap siapa? Orang tua kita adalah teman, dan kita anak2nya juga akan tetap menjadi teman. Teman yang tulus, dan teman yang selalu siap berbagi. Cuma bedanya, aku sudah berani menikah dan kamu belum." canda Ongky setelah menceramahi temannya.

Damar tersenyum pahit. Memang Ongky akhirnya mendapatkan teman hidup, tapi dirinya tak pernah menginginkannya. Tiba2 ia ingat akan Asri, perempuan yang sangat dicintainya.

"Aku hanya mencintai dia, hanya dia, dan tak tergantikan,"

"Kan dia sudah menjadi milik orang lain Damar, lupakanlah dia,"

"Aku tidak bisa, kalau mungkin aku masih ingin merebutnya."

"Nah, tuh.. otakmu sudah tidak waras .!!

 

Hari itu Damar merasa sudah lebih sehat, walau wajahnya masih terlihat kuyu, tapi dia sdah bisa bangkit dan bekerja. Ongky masih menemaninya disitu, dan akan menemani ketika Damar akan mulai melaporkan kepada polisi, tentang kejadian puluhan tahun lalu ketika kedua orang tuanya mengalami kecelakaan.

Damar menengok jam tangannya. Harusnya Ongky sudah muncul. Ia ingin menelponnya ketika tiba2 telepone berdering. Dari bu Surya. Damar enggan mengangkatnya. Ketika itulah Ongky muncul.

"Kok nggak diangkat, siapa tau barangkali penting,"

"Dari bu Surya, aku lagi enggan berhubungan dengan keluarganya,"

"Katamu bu Surya itu baik, sudahlah, terima saja."

Akhirnya setelah dibujuk, Damar menurut, sekalian ia akan mengabarkan bahwa hari ini akan melaporkan suaminya ke polisi.

"Hallo," dingin suara Damar ketika menjawab telepone itu.

"Hallo.. Damar..," bu Surya terisak.. Damar membiarkannya.:" Damar, tante minta, Damar mau mema'afkan semua kesalahan om ya? Tante tau dosa om mu benar2 besar kepada keluargamu. Ma'afkan dia Damar." Suara bu Surya masih dengan tangis yang menyayat.

"Tante, Damar bisa mema'afkannya, tapi hukum tetaplah hukum, mohon ma'af, saya tetap akan melaaporkan kelakuan om Surya pada polisi."

"Damaar.. tapi Damar... baru saja om mu dipanggil Tuhan.."

Damar terpaku.

#adalanjutnnyalho#

 

No comments:

Post a Comment