CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 34
(Tien Kumalasari)
Satria yang sudah mau masuk ke dalam mobil ikut memperhatikan becak yang kemudian berhenti di depan mobil Listyo.
“Bibi Saras? Kok ada di sini?” ulang Listyo sambil mendekati becak yang membawa Saraswati dan mbok Manis.
“Listyo ya? Kamu kok juga ada di sini?”
“Iya, kan saya kerja di sini.”
“Kamu bekerja di sini? Di mana?”
“Saya dosen Bi. Di beberapa universitas.”
“Aduh, nggak enak omong-omong di jalan, ayo ke rumah supaya bisa saling ngobrol. Kamu kan tahu rumah orang tua bibi? Di dekat alun-alun itu.”
“Gading kan? Kalau begitu saya antar saja Bibi, supaya cepat. Kita antar bibiku dulu ya Sat?” katanya kemudian kepada Satria.
“Iya, terserah Bapak, mari saya bantu menurunkan kopornya,” kata Satria yang dengan sigap menurunkan kopor-kopor sehingga memudahkan Saraswati dan mbok Manis turun dari becak.
“Ini siapa?” tanya Saraswati sambil menatap ke arah Satria.
“Ini Satria, mahasiswa saya.”
“Oh, terima kasih ya Nak.”
“Sama-sama, Ibu.”
“Silakan Bi, ayo mbok Manis.”
“Iya, den, biar keng bibi dulu.”
“Kok kebetulan bisa ketemu kamu, Lis?” kata Saraswati dalam perjalanan.
“Iya, sudah lama sekali tidak ketemu bibi. Apa kabarnya paman?”
“Baik,” jawab Saraswati singkat. Tampaknya tidak suka membicarakan suaminya.
“Syukurlah.”
“Kamu sudah menikah? Aku tahu kamu marah sama bibi setelah kejadian itu, sehingga menikahpun tidak mengabari.”
“Tidak Bibi, saya belum menikah,” kata Listyo sambil tertawa.
“Belum? Kenapa? Kamu itu guanteng, pinter, masa nggak bisa cari istri? Kamu patah hati setelah kegagalan itu?”
“Sebentar, iya. Pastilah patah hati. Tapi Listyo sudah melupakannya. Namanya belum jodoh.”
“Semoga segera mendapat ganti.”
“Apa kabar Dewi? Sudah pulang?”
“Ah, itulah yang selalu menjadi pikiranku. Nanti kamu jangan tergesa pulang ya, kita ngobrol-ngobrol dulu.”
“Tidak bisa hari ini Bibi, saya harus mengajar sore. Lalu besok saya pulang ke Solo. Sekembalinya nanti saya pasti menemui Bibi dan bicara banyak. Bibi kenapa pulang ke Jogya?”
“Nanti saja kalau kamu senggang dan sempat menemui bibi lagi, bibi akan cerita banyak.”
“Baiklah, saya akan meluangkan waktu untuk saling bercerita setelah lama tidak ketemu.
Sementara keduanya ngobrol, Satria berpikir tentang nama ‘Dewi’ yang disebut Listyo. Entah mengapa pikirannya melayang ke arah Dewi kekasihnya. Tapi bukankah di dunia ini banyak sekali nama Dewi? Satria saja yang terlalu perasa.
“Tiba-tiba kangen Dewi,” gumamnya dalam hati.
Rumah bibi dosennya ternyata adalah rumah kuno yang sangat asri. Ketika mereka datang, ada seorang laki-laki yang sedang membersihkan halaman, yang begitu mobil Listyo masuk, lalu tergopoh-gopoh menyambut. Rupanya walau ditinggal oleh sang pemilik, rumah itu tetap selalu terawat dan bersih. Ada beberapa abdi yang bertugas menjaga dan membersihkan. Satria berpikir, bahwa mereka adalah keluarga ningrat juga seperti Dewi kekasihnya. Ha, bukankah tadi Listyo menyebut nama Dewi? Adakah hubungannya dengan Dewi kekasihnya? Sekali lagi Satria berpikir bahwa banyak nama Dewi di dunia ini.
Di rumah Saraswati mereka hanya berbincang sebentar, tak banyak yang mereka bicarakan. Barangkali karena ada Satria yang orang luar, sehingga masalah yang menyangkut kehidupan pribadi tidak banyak mereka bicarakan. Dalam perjalanan ke kampus Satria juga tidak banyak bertanya. Tampaknya mereka adalah keluarga dekat. Ketika sampai di kampus, Satria langsung mengambil sepeda motor bututnya, karena Listyo bersiap mengajar tak lama lagi.
***
Tapi ternyata Listyo menemui Saraswati pada malam harinya, tanpa mengajak Satria pastinya. Listyo sangat prihatin mendengar cerita bibinya tentang Adisoma yang memiliki selir dengan dua orang anak. Ketika Listyo bertanya lebih detail, Saraswati memberi isyarat agar jangan lagi membicarakan tentang Adisoma.
“Sebenarnya Dewi pergi ke mana, Bibi?”
“Kalau aku tahu, Lis. Meskipun aku percaya bahwa dia tak akan pernah melupakan orang tuanya, tapi kenyataannya dia tidak pernah lagi menghubungi bibi. Kamu tidak menikah sampai sekarang ini, apakah karena kamu masih berharap bisa memiliki Dewi?”
“Tidak Bibi, Dewi sudah jelas tidak menyukai saya. Dulu saya sering menggodanya, dan itu membuat dia tidak pernah suka. Soal jodoh, nanti kalau sudah saatnya pasti akan bertemu.”
“Aku doakan kamu agar menemukan gadis yang baik.”
“Terima kasih Bibi.”
“Tidak usah yang anak keturunan ningrat, aku sudah tahu bahwa diluaran banyak gadis yang sebenarnya baik dan berbudi,” sambil mengatakan itu, ingatan Saraswati melayang ke arah Arum yang walaupun pidak pedarakan tapi memiliki hati yang bersih. Jauh di dasar hatinya, Saraswati harus mengacungkan jempol karena Arum memiliki prinsip yang kuat dalam hidupnya. Arum mengerti bahwa kemuliaan bukanlah sebuah impian yang membuat orang berbahagia. Dan itu benar bukan? Buktinya Saraswati harus terluka walau suaminya adalah priyayi yang dihormati.
“Aturan bahwa seorang keturunan ningrat harus berjodoh dengan orang yang sedarah atau sederajat, jangan lagi kamu pegang. Banyak priyayi berbuat sekehendak hatinya. Banyak priyayi yang merasa bahwa karena dia priyayi maka bisa melakukan apapun yang disukainya,” lanjut Saraswati.
Sulistyo mengangguk-angguk.
“Apakah Bibi akan seterusnya tinggal di sini?” tanya Listyo yang sadar bahwa sang bibi benar-benar terluka.
“Entahlah. Aku merasa di sini lebih tenang. Hidup sendiri, jauh dari kepalsuan.”
“Paman Adisoma pasti merasa kehilangan.”
“Dia justru merasa kehilangan ketika selirnya pergi.”
“Benarkah?”
“Ketika aku berpamit, dia sedang memikirkan kepergian selirnya, tidak seperti hari-hari sebelumnya yang begitu keras menghalangi kepergianku.”
“Saya tidak mengira, paman tega melakukannya. Padahal semua kerabat tahu bahwa kehidupan paman dan Bibi sangat bahagia.”
“Tadinya aku juga merasa begitu. Ya sudahlah, tidak apa-apa. Bukankah manusia hidup itu hanya menjalani takdirnya?”
“Semoga bibi kerasan tinggal di sini.”
“Kamu punya rumah di sini?”
“Saya menyewa rumah, yang kalau saya tidak sempat pulang maka saya pulang ke situ.”
“Tinggallah di sini kalau kamu sedang bertugas dan harus menginap. Rumah ini lumayan besar, bibi juga sendirian hanya dengan beberapa abdi.”
“Baiklah, nanti akan saya pikirkan.”
“Besok saya akan pulang ke Solo, apakah Bibi ingin menitipkan sesuatu, barangkali pesan untuk paman Adisoma?”
“Tidak, terima kasih. Saat ini pamanmu sedang kebingungan kehilangan selirnya. Kalau bertemu kamu juga tidak usah bercerita tentang aku.”
“Bibi sabar ya.”
“Tentu aku harus sabar. Tapi aku senang kembali ke rumah orang tuaku. Walau mereka sudah tak ada, kenangan tentang mereka selalu menemani aku. Maka dari itu jangan lagi menyewa rumah, tinggal di sini saja. Apa kamu tinggal bersama mahasiswa kamu yang ganteng tadi?”
“Tidak Bibi, dia punya kamar kost sendiri. Dia anak muda sederhana, yang mencari uang sendiri untuk biaya kuliahnya. Dia mahasiswa pintar. Saya kagum padanya.”
“O, iya. Kelihatan kalau dia anak baik. Sangat santun juga. Benar ya, setelah pulang kamu pindah kemari?”
“Baiklah, Bibi. Setelah pulang saya akan membawa barang-barang saya.”
“Kalau kamu sudah setuju, biar mbok Manis menyiapkan kamar untuk kamu.”
“Terima kasih, Bibi.”
***
Setelah Listyo pulang, Mbok Manis segera membersihkan kamar yang diperuntukkan untuk Listyo ketika dia kembali nanti.
“Tidak usah sekarang Mbok, besok pagi kan masih bisa,” tegur Saraswati yang melihat mbok Manis sibuk mengeluarkan barang-barang yang tidak diperlukan di kamar itu.
“Hanya mengeluarkan barang-barang yang tidak berguna, Den Ayu. Juga menyiapkan alas tidur dan korden yang semuanya baru besok saya kerjakan.”
“Ya sudah, kamu istirahat saja. Baru tadi siang datang sudah sibuk kamu itu. Apa tidak capek?”
“Di ndalem Adisoma pekerjaan saya banyak, sedangkan di sini akan banyak waktu luang, karena tugas saya hanya melayani Den Ayu.”
“Kamu tidak usah berlebihan. Saya akan hidup sederhana di sini, tidak ingin menjadi den ayu yang setiap kali ada abdi menghadap harus bersimpuh dan menyembah-nyembah.”
“Baiklah, Den Ayu. Tapi saya belum pernah tinggal di kota ini. Kalau Den Ayu membutuhkan sesuatu, saya tetap akan meminta tolong abdi yang lain untuk menunjukkan. Misalnya pasarnya, jadi kalau Den Ayu menginginkan sesuatu saya bisa melakukannya sendiri.”
“Besok kalau kamu sudah selesai menata barang-barangku, dan sudah tidak lagi capek, aku ajak kamu jalan-jalan ke Malioboro.”
“Benarkah? Saya sudah sering mendengar nama Malioboro, tapi belum pernah ke sana.”
“Besok kita akan melihatnya. Aku juga sudah lama tidak ke sana.”
“Baiklah Den Ayu.”
***
Sore harinya Listyo kembali ke rumahnya. Baru keluar dari mobil, hidungnya mencium sebuah keharuman yang berbeda. Keharuman yang segar. Bukan bunga, tapi entahlah. Listyo ingin menjenguk pavilyun yang ditinggalkannya untuk Arum dan anak-anaknya, tapi ia ingin masuk ke rumah dulu dan berganti pakaian.
Aroma menyegarkan itu memasuki kamarnya ketika ia membuka jendela, yang berhadapan dengan sebuah kamar di pavilyun itu.
Listyo mandi dan berganti pakaian rumah, lalu keluar dari arah depan untuk memasuki pavilyun itu. Aroma segar semakin menguat.
Listyo mengetuk pintu. Si Yu bergegas menjenguk, lalu membuka pintu dengan terbungkuk-bungkuk ketika melihat ada pemilik rumah datang.
"Silakan masuk. Pak,” kata si Yu sambil beranjak ke belakang dengan langkah cepat, lalu terdengar memanggil majikannya dengan teriakan.
“Bu, bapak yang punya rumah datang.”
“Oh iya, persilakan duduk, aku sedang menggedong Sekar. Nanti tolong buang air bekas mandi ini ya Yu.”
“Baiklah.”
Listyo mengamati ruang tamu di pavilyunnya, dan melihat semuanya bersih dan rapi. Ia senang yang menempatinya adalah orang yang suka kebersihan.
Ketika Arum keluar sambil menggendong bayinya, Listyo baru sadar, bau harum segar itu keluar dari aroma bayi yang digendong Arum.
“Mas Listyo baru pulang?”
“Iya. Ini bau apa? Bayimu harum sekali.”
“O, ini bau minyak telon, mas. Sekar baru saya mandikan. Setelah mandi badannya dibalur dengan minyak telon.”
“O iya, minyak telon. Saya lupa kapan mencium aroma seperti ini, begitu segar.”
“Aroma bayi selalu segar. Besok kalau mas Listyo punya anak, akan sering mencium aroma seperti ini.”
Listyo tertawa. Kapan ia punya anak? Bukankah harus lebih dulu punya istri?
Tiba-tiba si Yu keluar sambil mengeluarkan secangkir teh di atas nampan.
“Lho, kok saya jadi seperti tamu. Tapi senang bisa menghirup teh di saat sore seperti ini. Biasanya saya harus menyeduh dulu, baru bisa menikmati secangkir teh. Terima kasih ya Yu.”
“Silakan diminum Pak, kebetulan sedang membuat teh ini tadi,” kata si Yu sambil berlalu. Dari arah kamar tamu terdengar si Yu meneriaki Aryo yang sedang bermain air.
“Aryo baru mandi?” tanya Listyo.
“Iya. Baru saja bangun tadi. Silakan diminum Mas.”
Listyo menghirup minumannya, sambil melirik ke arah wanita yang sedang mengelus kepala bayinya di depannya. Dalam hati ia berpikir, alangkah cantik janda muda ini. Dosa apa yang diperbuatnya sehingga harus bercerai disaat masih memiliki bayi merah yang masih butuh perawatan ekstra.
Karena sambil melamun, Listyo jadi terbatuk-batuk.
“Hati-hati Mas, minumnya. Masih panas ya?”
“Tidak, tidak. Terima kasih.”
Listyo menghirup minumannya lagi perlahan, sambil memarahi matanya yang berkelana kemana-mana.
“Apa Arum kerasan tinggal di sini?”
“Mengapa Mas bertanya seperti itu? Saya mendapatkan semuanya gratis, dan bagus, jauh dari apa yang pernah saya bayangkan, hidup terlunta-lunta tanpa arah bersama kedua anak saya. Saya harus berterima kasih. Tapi kalau Mas tidak menyukai keberadaan saya, saya akan melanjutkan perjalanan saya ke tempat lain.”
“Jangan Arum, tetaplah di sini kalau kamu suka. Saya senang rumah saya tidak akan sepi.”
Arum menatap laki-laki baik yang duduk di depannya. Laki-laki yang baru dikenalnya, tapi begitu menaruh kasihan kepada keadaannya.
“Terima kasih banyak, Mas,” katanya dengan suara bergetar.
“Baiklah, saya pamit dulu. Saya mau keluar untuk membeli makanan, nanti kita makan malam bersama ya, senang sekali makan malam ada yang menemani.”
”Jangan Mas, si Yu sudah memasak gudeg sama layur. Tapi bukan gudeg Jogya yang kemerahan dan agak manis. Ini gudeg Solo. Malah kalau Mas mau, biar si Yu mengantarkan makanannya ke rumah.”
“Menyenangkan sekali. Saya kangen gudeg rumahan, seperti almarhumah ibu saya yang sering membuatnya. Nanti saya makan di sini saja.”
“Benarkah? Biar nanti si Yu siapkan,” kata Arum dengan gembira. Matanya saat gembira, tampak berbinar seperti sepasang bintang.
“Ya, tapi saya akan keluar untuk membeli sesuatu dulu,” kata Listyo sambil berdiri, kemudian keluar, dan langsung ke arah depan halaman. Si Yu yang selesai memandikan Aryo segera menutup pintunya.
Tapi di luar pagar, di mana Listyo berdiri, tiba-tiba si Yu melihat mobil yang dikenalnya, lalu tiba-tiba panik.
“Bu, ya ampun Bu, itu seperti mobil bapak.”
***
Besok lagi ya.
Matur suwun bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteNuwun jeng In
DeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Cintaku jauh di Pulau Seberang sudah tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteAlhamdulillah,matur nuwunBunda Tien
ReplyDeleteSami2 jeng Isti
DeleteAlhamdulilah, maturnuwun bu Tien " Cintaku Jauh di Pulau Seberang eps 34" sampun tayang, Semoga bu Tien dan Pak Tom beserta amancu selalu sehat, segar ceria, bahagia dan dlm lindungan Allah SWT aamiin yra 🤲🤲
ReplyDeleteSalam hangat dan aduhai aduhai bun 🩷🩷
Aamiin Yas Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sri
Aduhai 2x
🫐🍇🫐🍇🫐🍇🫐🍇
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏💝
Cerbung CJDPS_34
sampun tayang.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien & kelg
selalu sehat, tetap
smangats berkarya &
dlm lindungan Allah SWT.
Aamiin.Salam aduhai 💐🦋
🫐🍇🫐🍇🫐🍇🫐🍇
Aamiin Yas Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Sari
Alhamdullilah..mksih bunda cerbungnya.slmt mlm dan slm sht sll unk bunda sekel🙏🥰🌹❤️
ReplyDeleteSami2 ibu Farida
DeleteSalam sehat juga
Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " Cintaku Jauh di Pulau Seberang 34 " sudah tayang
ReplyDeleteSemoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin
Aamiin Yas Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien dan pak Tom selalu sehat
Aamiin Yas Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Alhamdulillah CeJeDePeeS_34 sdh tayang.....
ReplyDeleteWah gayeng nich, bibi Saraswati ada teman Listyo.....
Matur nuwun Bu Tien.... Semoga terus sehat, jaga kesehatan supaya bisa ngurusi suami.
Salam SEROJA dan tetap ADUHAI ...
Aamiin Yas Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun mas Kakek
ADUHAI
Matur nuwun, Bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
DeleteTerima kasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda dan Pak Tom Widayat sehat walafiat
Salam aduhai hai hai
Aamiin Yas Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Endah
Aduhaihai hai
Jadi Adisoma mengunjungi Listyo..
ReplyDeleteJangan cerita ada Arum ya List.. Cerita saja ketemu bibi Saras, silakan berlama-lama.
Nuwun pak Latief
DeleteWah... makin asyiik sekali semakin mmbuat pmbaca hampir tak bernapas sampai kalimat "Besok Lagi Ya.. "
ReplyDeleteTerima kasih Mbu Tien, sehat sllu bersama keluarga trcnta...
Aamiin Yas Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Zimi
Alhamdulillah,terimakasih Bu Tien, ceritanya bagus bisa dipertemukan semua satu persatu dng cerita yg menarik, buat hiburan dikala senggang. Tetap sehat semangat, terus berkarya menulis cerbung...
ReplyDeleteAamiin Yas Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Tatik
Terima kasih Bunda Tien, barokalloh aamiin YR'A.... ceritanya semakin asyiiik
ReplyDeleteAamiin Yas Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Yulian
Matur nuwun Bu Tien, salam sehat wal'afiat semua ya 🙏🤗🥰💖
ReplyDeleteWah seru nih... deg-degan Arum
Paling tanya ttg Saraswati 🤭, sok tahu ya
Sami2 ibu Ika
DeleteSalam sehat juga
Terima kasih Bu Tien, ceritanya semakin memukau. Semoga sehat selalu.
ReplyDeleteAamiin Yas Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Yati
Terima kasih Bunda, cerbung Cintaku Jauh Di Pulau Seberang 34...sdh tayang.
ReplyDeleteSehat selalu dan tetap semangat nggeh Bunda Tien.
Syafakallah kagem Pakdhe Tom, semoga Allah SWT angkat semua penyakit nya dan pulih lagi seperti sedialakala. Aamiin
Jarak Solo - Jogya terasa dekat bagi Listyo. Arum kelihatan sumringah. Tapi tunggu dulu siapa yang datang ya. Listyo tdk tahu klu Arum adalah selir Paman nya.
Aamiin Yas Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Munthoni
Alhamdulillah, maturnuwun Bu Tien ,sehat dan bahagia selalu bersama keluarga, dan tetap berkarya menulis cerbung yang aduhay...
ReplyDeleteAamiin Yas Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Tatik
Terimakasih bunda Tien, deg- deg an apakah benar Adisoma yang datang? Bagaimana kelanjutan ceritanya jadi penasaran, sabar tunggu besok ya...
ReplyDeleteSami2 ibu Komariyah
DeleteAlhamdulillah, mwtursuwun Bu Tien, salam sehqt dan bahagia selalu bersama AMANCU
ReplyDeleteSami2 ibu Umi
DeleteSalam sehat juga
Adisoma mau bertemu Listyo...
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
Hm hm...jadi heran juga, kenapa Satria tidak melihat foto Dewi di rumah Jogja Saraswati? Apakah memang tidak dipasang?🤔
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien...salam manis.🙏🏻🌹