CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 32
(Tien Kumalasari)
Arum terkejut, ketika menoleh, ia merasa tak ada yang dikenalnya. Sementara si Yu sudah naik ke dalam bis.
Tapi tiba-tiba terdengar Aryo menjerit-jerit, lalu sang pembantu membawanya kembali turun.
Arum masih kebingungan mencari yang meneriakinya. Tapi kemudian dia yang semula bersiap naik karena barangkali juga yang dimaksud bukan dirinya, urung naik karena Aryo menangis dan meronta-ronta.
“Ada apa?” tanya Arum.
“Mas Aryo tidak mau naik, dia mau turun. Saya paksa malah meronta-ronta, saya hampir jatuh dibuatnya.
“Aryo, kamu kenapa?”
Aryo tetap menjerit-jerit.
“Barangkali karena banyak orang, Bu. Lagi pula tak ada lagi tempat duduk. Bisnya penuh. Nanti Ibu bagaimana, masa menggendong adik bayi sambil berdiri.”
“Ya sudah, ya sudah … kita minggir dulu ke sana, naik yang berikutnya saja,” kata Arum sambil berjalan ke arah pinggir. Arum kelihatan bingung melihat sikap Aryo. Kalau dipaksa bisa-bisa seisi bis akan menutup kuping karena tangisnya.
Ia duduk di emperan terminal yang kebetulan kosong, diikuti si Yu. Aryo yang sudah tidak menangis lagi dipangku olehnya.
“Mbak … Mbak … dipanggil dari tadi kok malah lari ke sini,” kata seorang laki-laki muda yang seperti mengejarnya.
“Mas memanggil saya?”
“Iya, ini … tas Mbak jatuh di sana, ketika Mbak turun dari becak, yang kebetulan di depan rumah saya,” kata laki-laki itu sambil mengulurkan sebuah tas kecil.
Arum terkejut. Hampir saja dia kehilangan besar-besaran. Ia sangat teledor, tas itu berisi uang yang masih dimilikinya, dan uang dari den ayu Saraswati, juga kotak perhiasan yang belum sempat dibukanya. Kalau sampai hilang, ia benar-benar tak tahu harus bagaimana membawa kehidupannya dan kedua anaknya.
Dengan berlinang air mata, Arum menerima tas itu.
“Terima kasih banyak ya Mas, tas ini sangat berarti buat saya,” kata Arum dengan suara gemetar. Tak terbayangkan, bagaimana kalau yang menemukan orang yang tidak jujur, lalu tidak mau mengembalikannya.
“Mbak terlalu fokus pada anak Mbak ini.”
“Iya, benar. Terima kasih sekali Mas.”
“Mbak mau ke mana? Membawa bayi yang kelihatannya masih sangat kecil.”
“Baru berumur tiga hari.”
“Ya ampuun .. tiga hari .. Tadi sepertinya sudah mau naik bis, coba sudah naik saya harus mengejar bisnya untuk mengembalikan tas ini,” kata laki-laki itu.
“Iya Mas, anak saya yang besar tidak mau diajak naik bis, barangkali karena belum pernah, lalu melihat banyak orang. Karenanya saya minggir ke sini dulu.”
“Mbak mau ke Jogya?”
“Iya.”
“Bareng saya saja, naik mobil. Pasti si kecil tidak rewel.”
“Jangan Mas, nanti merepotkan.”
“Tidak, saya juga mau ke Jogya. Saya bekerja di sana.”
“Kalau tidak merepotkan ya … terima kasih Mas,” kata Arum setelah menimbang-nimbang. Laki-laki itu orang asing, tapi sudah jelas dia orang baik, karena ketika menemukan tasnya, lalu bersusah payah mengejarnya sampai ke dalam terminal.
“Bagus sekali, jadi si kecil tidak akan rewel karena saya hanya sendirian,” kata laki-laki asing itu sambil menowel pipi Aryo, yang entah kenapa, kemudian tertawa-tawa seperti sudah mengenal lama.
“Tatataaa… “ begitu celotehnya setiap hatinya senang.
“Ya ampun, kamu tampan sekali. Ayo ke Jogyanya ikut Om ya. Ayo Mbak, rumah saya di sebelah terminal sana, kita ambil mobil dulu.”
Arum mengangguk, lalu mengajak si Yu mengikutinya.
Tanpa disangka, Aryo yang sedang digendong pembantu itu melambai-lambaikan tangannya ke arah laki-laki itu.
“Oo, mau digendong om ya? Ayuk,” katanya sambil mengambil Aryo dari gendongan.
Aryo tertawa-tawa senang.
“Aryo, kamu nakal ya,” tegur sang ibu.
“Biarkan saja. Namanya Aryo ya? Bagus sekali. Oh ya, kita sudah ngobrol tapi belum berkenalan. Nama saya Sulistyo, dipanggil Listyo.”
“Saya Arumsari, ini si Yu, pembantu saya.”
“Mbak Arum mau ke mana?”
“Kan saya sudah bilang, kalau mau ke Jogya?”
“Maksud saya … Jogyanya di mana?”
“Di … di … mana ya?”
“Lho, bagaimana sih. Kok pergi tanpa tahu tujuannya?”
“Saya ….” Arum bingung mengatakannya. Sesungguhnya dia memang tidak tahu harus pergi ke mana.
Mereka sudah sampai di sebuah rumah yang apik yang asri. Ada pavilyun kecil di sebelah kiri rumah itu.
“Ayo masuk dulu, saya ambil tas kerja saya dan mobil dulu ya. Duduk di teras itu dulu.”
“Aryo masih digendong Listyo ketika masuk ke rumah.”
Arum dan si Yu duduk di teras. Tampak wajah bingung Arum ketika tak tahu harus menjawab ke mana tujuannya.
“Bu, sebaiknya ibu berterus terang saja.”
“Aku harus berterus terang bagaimana?”
“Ya diceritakan saja apa adanya, nanti malah dia mengira kita ini orang yang nggak jelas. Padahal sepertinya bapaknya itu orang baik.”
“Aku menyesal tadi harus mengikuti dia kemari Yu.”
“Ini nitip Aryo dulu, saya mau mengambil mobil. Oh ya, tadi Mbak belum bilang mau ke mana kan? Supaya jelas nanti arah saya.”
”Saya … “
“Sebenarnya majikan saya ini sedang ada masalah, lalu ingin pergi jauh,” kata si Yu tiba-tiba, karena Arum masih tampak ragu-ragu.
“Jadi mau pergi tanpa tujuan? Di mana suami Mbak Arum?”
“Kami sudah bercerai.”
“Aduh, Mbak, kasihan sekali pergi tanpa tujuan dengan bayi yang masih berumur tiga hari ini.”
Arum meneteskan air mata.
“Jangan pergi Mbak. Bagaimana kalau Mbak tinggal di rumah saya ini dulu?”
“Apa? Bagaimana mungkin? Saya .. dan anak-anak saya … dan si Yu ….”
“Justru karena Mbaknya membawa bayi itu, jangan dulu pergi jauh-jauh. Nggak jelas pula tujuannya, dan tampaknya juga belum pernah pergi ke sana.”
Arum mengangguk.
“Saya jarang pulang. Rumah saya kosong. Ada pavilyun di situ, yang tidak pernah ada yang menempati, tapi selalu ada yang membersihkan. Kalau mau, tinggallah dulu di situ.”
“Tataaa… taaa …” Aryo kembali berteriak dan mengacungkan tangannya.
“Oh, mau gendong? Tapi Om mau kerja tuh. Sebentar ya mbak, saya ambil kunci pavilyun, lalu saya tunjukkan ke sana. Mau kan, tinggal sementara di situ?”
Arum masih ragu. Listyo baru saja dikenalnya, bagaimana mungkin dia harus tinggal di situ?
“Bu, ini lebih baik, kasihan mbak Sekar, masih bayi merah,” kata si Yu.
“Iya, nanti kalau tidak kerasan atau tidak suka, Mbak boleh meninggalkan tempat ini kok. Saya hanya kasihan pada adik bayi, dan juga Aryo ini. Ada dua kamar di pavilyun itu, ada dapur walau kecil, ada kamar mandi. Kalau mau melihat televisi juga ada, Ayuk kita lihat. Nanti kalau Mbak nggak suka, bisa langsung menolak, tapi saya sarankan jangan pergi tanpa tujuan.”
Arum mengangguk walau masih ragu. Keraguan itu dipicu oleh rasa sungkan, bagaimana mungkin orang yang baru dikenalnya kemudian bersikap sangat baik kepada dirinya?
“Bagaimana dengan … mm … istri Mas nanti?”
“Istri? Saya ini bujang lapuk. Dulu pernah melamar seorang gadis, tapi ditolak. Gadis itu malah kabur entah ke mana. Barangkali karena dulu saya ini orangnya agak cengengesan, jadi dia nggak suka. Ya sudah, setelah itu saya belum pengin punya istri dulu.”
“O .. saya kira ... Oh ya .. tentang rumah ini .. saya bersedia membayar sewa, kalau_”
“Tidak, ini tidak disewakan, gratis .. karena ada Aryo … ya kan Aryo?”
“Tataa… taaa …”
***
Sinah merengut ketika simboknya menyuruhnya pulang kampung. Ia lebih suka tinggal di kota, ramai dan terang benderang di saat malam, banyak yang bisa dilihat dan dinikmati.
Kalau di kampung, belum jam tujuh malam semuanya sudah tutup pintu, jalanan gelap, yang terdengar hanya suara jangkrik. Dan kalau musim hujan begini, suara kodok tak pernah berhenti mengusik telinga.
“Di kota kamu akan melakukan apa? Bekerja? Bekerja apa?”
“Aku lulusan SMA, tentu saja aku bisa mendapat pekerjaan yang bagus.”
“Lalu kamu mau tinggal di mana? Terus gajimu nanti berapa? Untuk sewa rumah, untuk makan. Lama-lama jadi kere kamu. Tapi di kampung kamu bisa melakukan banyak hal. Berkebun, rumah kita masih ada kan?”
“Kan masih ditempati simbah?”
“Lha kalau simbahmu ketempatan kamu apa tidak mau? Kamu juga cucunya. Kamu malah bisa membantu simbahmu yang sudah tua itu berdagang sayur.”
“Hiihh!”
“Kok hihh? Memangnya kamu itu sudah jadi orang hebat? Berdagang sayur tidak mau?”
“Aku ini anak sekolahan Mbok, masa dagang sayur.”
“Sudah, terserah kamu. Pokoknya kamu tidak boleh kembali ke rumah yang namanya pak Sawal itu. Memalukan. Perempuan berharap diambil menantu, sudah jelas mereka tidak mau, kamu masih nekat.”
“Memangnya simbok mau kapan berangkatnya?”
“Menunggu den ayu, kalau tidak hari ini ya besok. Tapi kamu harus pulang sekarang. Ini uang, untuk kamu pergunakan sebaik-baiknya. Buat berdagang, supaya bisa muter dan menyambung hidup, kalau tidak mau dagang sayur. Terserah kamu, mau memilih yang mana. Sesekali kamu kabari simbok.”
“Ada apa? Kok pagi-pagi ribut?” tiba-tiba Saraswati sudah ada di dekat mereka.
“Ini Den Ayu. Sinah mau pulang sekarang, belum sempat bertemu Den Ayu.”
“Tidak apa-apa. Pergilah pulang Nah, aku punya uang sedikit untuk sangu,” kata Saraswati sambil memberikan amplop berisi uang.
“Terima kasih banyak Den Ayu, saya minta maaf,” kata Sinah pelan.
“Tidak apa-apa. Pergunakanlah uangmu sebaik-baiknya, seperti harapan simbokmu.”
“Baik, Den Ayu,” kata Sinah sambil menundukkan wajahnya.
“Ya sudah sana, cari becak ke terminal. Jangan mampir-mampir,” pesan mbok Manis wanti-wanti.
***
Kembali ke ruang tengah, Saraswati melihat sang suami sudah duduk dengan rambut acak-acakan. Tampaknya dia baru bangun, dan tampak sedang memikirkan sesuatu. Saraswati mendekat, tapi tak menanyakan apapun. Ia sudah tahu, Adisoma pasti gelisah memikirkan Arum yang entah pergi ke mana. Sesuatu yang sebenarnya membuatnya sakit, tapi tak diperlihatkannya. Bukankah sudah kelihatan bahwa cinta Adisoma sudah terbelah-belah? Begitu sedihnya kehilangan Arum. Tapi Saraswati sudah bersiap menerimanya. Itu sebabnya sangat kencang niatnya pulang.
Saraswati duduk begitu saja di depannya.
“Aku mau pulang. Kalau tidak hari ini, ya besok pagi.”
Adisoma menatap istrinya tak berkedip. Hatinya benar-benar sedang gelisah memikirkan Arum, sehingga perkataan Saraswati tak begitu diperhatikan.
“Kangmas, aku sedang bicara dengan Kangmas.”
“Bukankah kamu mau pulang ke Jogya?”
“Bagus kalau Kangmas tidak lupa.”
“Aku harap kamu tidak menambah pikiranku.”
“Tidak, aku justru pulang supaya Kangmas tidak banyak pikiran. Fokus mencari selir dan anak-anak Kangmas.”
“Terserah kalau kamu mau pulang, tapi aku ingatkan, bahwa aku masih tetap mencintai kamu, dan berharap suatu hari nanti akan kembali.”
“Waktu yang akan menentukan.”
Saraswati kembali ke kamarnya dengan perasaan lega. Tak seperti yang dibayangkan sebelumnya, bahwa Adisoma akan menghalanginya, ternyata tidak. Rupanya kehilangan Arum dan anak-anaknya lebih berat untuk dipikirkannya.
***
Pavilyun itu walau kecil, tapi perabotnya sangat lengkap. Tampaknya Listyo orang berada. Si Yu hanya bebenah sebentar lalu semuanya beres, karena semua ada di rumah kecil itu.
“Tapi kok hidup sendiri? Mengapa tidak mencari istri, apakah setelah patah hati itu lalu hatinya tertutup sama sekali untuk jatuh cinta lagi? Padahal dia lumayan tampan, dan juga bukan lelaki miskin. Entah bekerja apa dia di Jogya,” gumam Arum setelah menidurkan Sekar dan Aryo yang kecapekan bermain-main.
“Dia orang kaya, tapi tidak pintar mencari istri.”
“Ah, entahlah, sekarang bagaimana kita ini Yu, tiba-tiba saja ada yang menolong kita. Memberi tumpangan rumah pula.”
“Orang baik akan selalu mendapat pertolongan di setiap kesulitan.”
“Tapi kalau masih ada di kota ini, aku takut kalau nanti Adisoma melihat kita, lalu memaksa kita kembali.”
“Kita tidak usah keluar-keluar dulu. Kalau mau belanja di dekat situ ada orang jualan sayuran, saya melihat ketika mau ke terminal tadi. Ada toko yang pastinya juga menjual susu. Saya yang akan keluar, nanti saya akan selalu memakai selendang untuk kerudung, supaya tidak dikenali.”
“Semoga ini benar-benar anugrah bagi anak-anak, yang tidak terlantar di tempat yang entah apa nanti, kalau saja tidak bertemu orang baik seperti mas Listyo.”
“Aamiin.”
“Untung ada kamu juga yang setia menemani aku,” kata Arum terharu.
***
“Yu, persediaan susu untuk Aryo masih ada kan?”
“Masih, Bu. Kemarin di rumah bapak itu kan ibu dibawain susu juga, sisa minum mas Aryo waktu di sana.”
“Ya sudah, kita masak seadanya ya Yu, kebetulan perlengkapan masak sudah ada. Kompornya juga masih bisa menyala. Besok saja kamu beli minyak tanah untuk mengisi kompor, jangan sampai kehabisan.”
Pagi hari itu si Yu mau belanja sayur di dekat terminal. Ia harus memasak, dan belum saatnya membeli susu untuk Aryo, karena persediaan susu masih ada.
Ketika ia memilih sayur itu tiba-tiba ia melihat seseorang yang dikenalnya.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah....
ReplyDeleteCeJeDePeeS_32 sdh tayang .....
Jebule yang manggil - manggil Sulistyo....
Hehee... nggih mas Kakek
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteNuwun jeng Ning
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteNuwun jeng In
DeleteAlhamdulilah, maturnuwun bu Tien " Cintaku Jauh di Pulau Seberang eps 32" sampun tayang, Semoga bu Tien dan Pak Tom beserta amancu selalu sehat, segar ceria, bahagia dan dlm lindungan Allah SWT aamiin yra 🤲🤲
ReplyDeleteSalam hangat dan aduhai aduhai bun 🩷🩷
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Sri
Aduhai 2x
Matur nuwun mbak Tien-ku Cintaku Jauh di Pulau Seberang sudah tayang.
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteAlhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " Cintaku Jauh di Pulau Seberang 32 " sudah tayang
ReplyDeleteSemoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun pak Herry
🥙🥒🥙🥒🥙🥒🥙🥒
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏💝
Cerbung CJDPS_32
sampun tayang.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien & kelg
selalu sehat, tetap
smangats berkarya &
dlm lindungan Allah SWT.
Aamiin.Salam aduhai 💐🦋
🥙🥒🥙🥒🥙🥒🥙🥒
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun jeng Sari
Aduhai
Matur suwun bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Semoga sehat walafiat
Salam aduhai hai hai
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Rndah
Aduhai hai hai
Terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien dan pak Tom selalu sehat
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Salamah
Siapa lagi kah yg dikenalnya... terima kasih Mbu Tien.. makin asyiik.... semoga sehat trs bersama keluarga tecnta
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun pak Zimi
Alhamdulillah CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG~32 sudah hadir.
ReplyDeleteMaturnuwun Bu Tien, semoga panjenengan sekalian tetap sehat dan bahagia bersama keluarga tercinta, serta selalu berada dalam lindungan Allah SWT.
Aamiin YRA 🤲🤲🤲
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Djodhi
Matur nuwun, Bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
DeleteTerima kasih Bunda, cerbung Cintaku Jauh Di Pulau Seberang 32..sdh tayang.
ReplyDeleteSehat selalu dan tetap semangat nggeh Bunda Tien.
Syafakallah kagem Pakdhe Tom, semoga Allah SWT angkat semua penyakit nya dan pulih lagi seperti sedialakala. Aamiin
Semoga tebakanku benar, mungkin pembantu nya Arum melihat Sinah.
Cepat sembunyi ya, jangan sampai Sinah tahu. Sinah kan pinter dadi detektif partikelir...😁😁
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun pak Munthoni
Emang kenal dia sama Sinah?
Terima kasih Bunda Tien, barokalloh, aamiin YR'A
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien ..❤️🌹🌹🌹🌹🌹
Komopornya kok msh minyak tanah
Sami2 jeng Susi
DeleteMasih ada
Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien, salam sehat selalu
ReplyDeleteSami2 ibu Umi
DeleteSalam sehat juga
Terimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteAlhamdulillaah ketemu orang baik mas Sulistyo, beruntung Arum & anak2nya bisa ada rumah tinggal
ReplyDeleteSinah jgn bandel ya 😁🤭
Matur nuwun Bu Tien, salam sehat wal'afiat semua ,🙏🤗🥰💖
Matur nuwun Bu Tien, alhamdulillah nyambung lagi dg mas Sulistyo. Semoga Ibu sekeluarga sehat wal'afiat...
ReplyDeleteWah, beruntungnya Arum ketemu dengan Listyo yg skrg sdh jd baik...semoga berjodoh ya...hmm, btw...orang berada tidak pakai kompor gas kah? Apa masih ada minyak tanah di jaman ini? Atau...setting ceritanya jadul ya?🤔 Buktinya Dewi dulu naik kereta kuda keliling kota...😅
ReplyDeleteWalaupun nanti ruwet silsilahnya ya...kan Aryo & Sekar anak Adisoma, sedangkan Listyo keponakan Adisoma, berarti mereka selevel dgn Dewi, sepupuan. 🤭
DeleteLho mbak nana kok sdh tahu jika listiyo keponakan Adisoma? tebakanku siYu ketemu Mbok Manis
ReplyDelete