CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 31
(Tien Kumalasari)
Sinah terkejut. Pandangan mata simboknya sangat terasa menghujam di dadanya. Ia tahu simboknya sedang marah kepadanya. Kemudian ia menundukkan wajahnya.
“Begini bu, kedatangan saya kemari ini sebenarnya ingin menjemput Sinah,” kata mbok Manis kemudian sambil menatap bu Karti.
Sinah mengangkat wajahnya.
“Jadi Ibu ini mau menjemput nak Sinah? Kok rasanya sangat tiba-tiba?” tanya bu Karti heran.
“Iya Bu, sudah lama dia merepotkan, jadi akan saya ajak sekarang.”
“Tapi dia sama sekali tidak merepotkan Bu, dia banyak membantu saya. Suami saya, pak Sawal, memang kalau bicara suka ceplas-ceplos. Dia sangat ingin, Satria menyelesaikan kuliahnya dulu,” kata bu Karti mencoba menetralisir ucapan suaminya yang terdengar pedas.
“Tidak apa-apa, dia benar. Kami yang salah. Lagi pula menurut saya tidak baik anak perempuan tinggal di rumah seorang laki-laki yang bukan siapa-siapanya. Nanti pasti akan menimbulkan suara-suara sumbang dan itu sangat memalukan.”
“Sekarang juga, Bu?” bu Karti mencoba meyakinkan.
“Nah, cepat berkemas, becaknya sudah lama menunggu,” perintahnya kepada Sinah, yang kemudian berdiri dengan kebingungan.
“Sek … sekarang, Mbok?”
“Ya sekarang, kapan lagi? Cepatlah, aku akan melihat becaknya dulu. Pastinya dia masih menunggu seperti permintaanku,” kata mbok Manis sambil berdiri, keluar menghampiri becaknya yang ternyata masih menunggu. Tapi sebenarnya dia sedang menelpon den ayu Saraswati. Ia harus membawa Sinah yang telah membuatnya sangat malu, dia harus meminta ijin den ayu Saraswati karena nanti kedatangannya akan bersama Sinah. Entah nanti akan disuruhnya Sinah pulang ke kampung, atau bagaimana, mbok Manis belum memikirkannya. Yang jelas Sinah telah melakukan hal yang tidak tahu malu, dan juga telah membuatnya malu karena mengaku calon besan sementara yang dianggap calon besan tidak pernah merasa memiliki calon besan.
“Jadi kamu akan mengajak Sinah?”
“Maksud saya biar ikut saya sementara sebelum Den Ayu mengajak saya pergi. Nanti biar dia pulang kampung atau bagaimana, belum saya pikirkan.”
“Apa ada masalah dengan anakmu?”
“Nanti saya akan ceritakan semuanya. Yang penting saya mendapat ijin untuk membawa Sinah dulu.”
“Baiklah, tidak apa-apa. Nanti kita bicarakan apa masalah Sinah sebenarnya.”
Mbok Manis menutup ponselnya, lalu kembali ke rumah, dimana Sinah sudah ada di teras rumah dengan membawa tas besar, ditemani bu Karti.
“Sudah siap Nah?”
Sinah hanya mengangguk. Mbok Manis menyalami bu Karti untuk pamitan dan mengucapkan terima kasih karena telah menerima Sinah di rumahnya selama setahunan lebih.
“Saya yang harus mengucapkan terima kasih, Bu. Nak Sinah sudah seperti anak saya sendiri.”
“Tolong pamit sama bapak ya Bu, sekali lagi terima kasih,” kata mbok Manis sambil menggenggam tangan Sinah, dan menariknya keluar dari halaman. Ia juga menarik dengan kasar ketika memintanya naik ke atas becak.
“Ke mana lagi ini Den?” tanya si pengemudi becak.
“Kembali Pak, ke rumah yang tadi.”
“Baik.”
Wajah Sinah cemberut. Ia yakin simboknya mengajaknya tiba-tiba. Pasti karena ucapan pak Sawal tadi.
“Bagaimana Simbok ini? Mengapa tiba-tiba mengajak saya pergi?”
“Kamu itu ya, gadis yang tidak tahu malu. Yang punya rumah tidak menganggap kamu calon menantu, tapi kamu dengan sangat percaya diri mengatakan bahwa di situ adalah calon mertua kamu. Dimana perasaan kamu Nah? Kok bisa-bisanya kamu menjalani hidup seperti itu. Jelas-jelas ayahnya tidak suka sama kamu, anaknya juga tidak mau dijodohkan sama kamu, kok kamu merasa bahwa itu calon mertua kamu. Aku malu, tahu nggak. Ikut-ikutan kamu, menganggap mereka calon besan, sementara mereka tidak sudi sama kamu! Mau ditaruh di mana mukaku ini Nah? Kamu itu perempuan Nah, di mana harga diri kamu? Simbok ini wong ndeso, tapi tahu tata krama, tahu gelagat orang suka dan tidak, tahu di mana harus menempatkan diri sebagai seorang perempuan….”
“Mbok, jangan keras-keras, malu.”
“Kamu masih punya malu? Bukankah kamu sudah tidak punya malu dengan tinggal di rumah orang yang tidak menyukai kamu?”
“Tapi bu Karti sangat menyukai aku Mbok.”
“Kalau begitu menikahlah dengan bu Karti.”
“Simbok nih … lalu aku mau simbok bawa ke mana?”
“Ya ke ndalem Adisoma, ke mana lagi?”
“Apa simbok lupa, dulu aku dipecat sama den mas?”
“Aku sudah minta ijin kepada den ayu. Nanti kamu tunggu saja dulu di kamar simbok. Selanjutnya pulang saja ke kampung, jadi buruh tani atau apa.”
“Aku nggak mau, Mbok. Aku kan anak sekolahan?”
“Memangnya kenapa kalau kamu anak sekolahan? Keponakan den mas yang di Jakarta itu, sudah jadi dokter, malah dinasnya di desa. Dia juga punya sawah di sana. Kamu lupa? Yang namanya den mas Rangga itu? Dia jadi orang desa. Kamu yang bener-bener orang desa, asli desa, tidak mau pulang ke desa? Pengin jadi orang kota karena kamu anak sekolahan?”
“Mbok ….”
“Diam kamu!”
Sinah benar-benar diam. Sang simbok marah besar gara-gara mendapat malu. Entah akan jadi apa nanti dirinya?
“Jangan sampai aku disuruh pulang ke kampung … jangan sampai …. “ kata batin Sinah. Harapan tentang Satria masih ada di dalam benaknya, walau pak Sawal kelihatan sangat membencinya, walau simboknya telah memaki-makinya.
***
Adisoma kebingungan mencari Arum. Ia benar-benar tak bisa ditemukan di mana-mana. Hari sudah siang ketika Adisoma pulang ke rumahnya. Begitu keluar dari mobil, Tangkil sudah menyambutnya, tapi Adisoma tidak menyerahkan kunci mobilnya.
“Kamu tahu di mana rumah pembantunya Arum itu?”
“Tahu, Den Mas, di sebuah kampung dekat jembatan Arifin. Mengapa Den Mas menanyakannya? Dia juga hanya menyewa di kampung itu.”
“Ayo kita ke sana.”
“Ke rumah pembantu itu?”
“Iya, bukankah itu yang aku tanyakan?”
“Baiklah.”
“Ini, kamu yang bawa mobilnya.”
“Saya ganti baju dulu.”
“Tidak usah. Ganti baju juga tidak tambah ganteng kamu.”
“Bau, Den Mas.”
“Aku akan tutup hidung selama perjalanan,” kata Adisoma sambil masuk ke samping kemudi. Tangkil terpaksa menurutinya, membawa mobilnya keluar lagi.
“Apakah dia pulang? Tadi saya melihat dia bersama den Arum.”
“Nah, itulah. Pasti mereka ke rumah pembantu itu.”
“Mana mungkin? Rumahnya bukan rumah, tapi sewa kamar yang sempit. Barangkali juga setelah menjadi pembantu den Arum, dia tidak lagi tinggal di sana.”
“Pokoknya ke sana dulu, aku belum percaya kalau belum melihatnya dengan mata kepala sendiri.”
“Baiklah.”
***
Ketika becak mbok Manis sampai di depan gerbang, ia sempat melihat mobil Adisoma keluar bersama Tangkil. Tapi rupanya Tangkil maupun bendoronya tidak melihat kedatangan becak itu.
Mbok Manis membayar ongkos becak, kemudian menarik Sinah masuk ke halaman. Beberapa abdi yang pernah mengenal Sinah, menatapnya heran. Bukankah Sinah sudah dipecat? Tapi ketika dilihatnya Sinah datang bersama simboknya, mereka kemudian mengacuhkannya.
Mbok Manis langsung mengajak Sinah ke kamarnya.
“Kamu istirahat dulu di sini, aku mau menghadap den ayu.”
Sinah mengangguk. Ia tak bisa membantah apa kata simboknya. Tanpa basa basi ia segera menjatuhkan tubuhnya di tempat tidur sang simbok.
Sementara itu mbok Manis sampai di pendopo, dan melihat Saraswati baru saja masuk ke dalam.
“Den Ayu mencari siapa?”
“Tidak mencari siapa-siapa. Aku tadi mendengar kangmas pulang, tapi aku kemudian melihat dia pergi lagi bersama Tangkil. Bukan karena aku ingin menyambutnya, aku akan bicara tentang kepulanganku besok. Tapi rupanya dia pergi dengan mengajak Tangkil.”
“Saya juga melihatnya tadi, ketika saya hampir sampai, saya melihat mobil den mas keluar dari halaman.”
“Pasti kebingungan mencari Arum. Bukankah Arum mengatakan bahwa dia tak ingin bertemu Adisoma lagi?”
“O, betul juga Den Ayu,” kata mbok Manis sambil mengikuti langkah Saraswati masuk ke dalam.
“Bagaimana dengan Sinah?” kata Saraswati setelah duduk, dan mbok Manis bersimpuh di depannya.
“Saya sangat malu Den Ayu, itu sebabnya Sinah saya ajak pulang saat itu juga. Sekarang dia ada di kamar saya. Saya belum berani mengajaknya menghadap Den Ayu, mengingat kepergian Sinah dulu karena dipecat oleh den mas.”
“Mengapa kamu sangat malu?”
Lalu dengan terus terang, mbok Manis menceritakan keadaan Sinah sejak pergi dari sini, lalu tinggal di rumah pak Sawal dan merasa akan menjadi menantu mereka, ternyata ayahnya tidak menyukainya. Bahkan si anak sendiri juga belum tentu menyukai Sinah.
“Yang kamu maksudkan calon suami Sinah itu yang anak kuliahan?”
“Iya, Den ayu. Saya kan jadi malu. Ketika saya memperkenalkan diri sebagai calon besan, saya mendengar penolakan yang sangat jelas dari pak Sawal, ayah dari anak kuliahan itu, yang namanya Satria. Rupanya Sinah tergila-gila pada Satria sehingga tanpa malu tetap tinggal di sana walaupun pak Sawal tidak menyukainya.”
“O, berarti Sinah keterlaluan ya Mbok, sebagai perempuan tidak bisa menempatkan diri sebagai gadis yang baik dan terhormat.”
“Iya Den Ayu, itu sebabnya saya langsung mengajaknya pulang.”
“Lalu apa rencanamu terhadap anakmu?”
“Akan saya suruh pulang kampung Den Ayu. Saya punya sedikit uang, agar dia bisa mempergunakannya untuk berdagang, atau apa, begitu.”
“Itu bagus Mbok, daripada tinggal di rumah orang yang bukan siapa-siapanya. Nanti aku tambahi sangunya untuk anakmu, jangan sampai kamu kehabisan uang tabungan kamu.”
“Tidak apa-apa Den Ayu. Sebentar lagi dia akan saya suruh menghadap Den Ayu, mumpung den mas tidak ada. Saya juga takut kalau den mas mengetahui ada Sinah di sini. Kan den mas sudah memecatnya.”
“Kapan anakmu kamu suruh pulang?”
“Besok pagi-pagi saja Den Ayu, ini sudah siang, takutnya tidak mendapat kendaraan.”
“Ya sudah, kalau mau pulang saja dia biar ketemu saya.”
“Terima kasih, Den Ayu.”
***
Tangkil menghentikan mobilnya di jalan besar, lalu dia turun dan memasuki gang sempit menuju rumah pembantu Arum, sedangkan Adisoma menunggu di mobil dengan hati berdebar-debar.
Kalau benar Arum mau tinggal di dalam gang sempit itu, Adisoma sungguh tak tega. Dengan segala cara ia harus bisa memaksa agar Arum ikut bersamanya.
Tidak lama Tangkil pergi, lalu dia sudah kembali menemui Adisoma lagi.
“Bagaimana?”
“Tidak ada Den Mas, kata yang punya rumah, dia sudah tidak menyewa kamarnya lagi. Kemarin datang sebentar untuk membayar sewa. Lagipula sejak ikut den Arum, dia tidak pernah lagi pulang ke situ.”
Adisoma menyapu wajahnya dengan kasar. Ia tidak tahu ke mana harus mencari Arum dan anak-anaknya.
Tangkil sudah naik ke dalam mobil dan duduk di belakang kemudi, menunggu perintah sang bendoro, mau ke mana lagi setelah ini.
“Jalankan saja, aku juga tidak tahu harus ke mana.”
***
Di sebuah warung, Arum sedang makan dengan ditemani pembantunya. Aryo tampak tertidur pulas, dipangkuan sang pembantu.
“Yu, sebaiknya kamu pulang saja, tujuanku tidak menentu. Barangkali besok aku harus pergi keluar dari kota ini.”
“Bu, saya tidak bisa membiarkan Ibu pergi sendiri. Bagaimana Ibu akan merawat dua orang anak, sedangkan yang satunya masih bayi berumur dua hari? Ijinkan saya ikut bersama Ibu, saya sebatang kara, tidak punya orang tua maupun sanak saudara.”
Arum merasa trenyuh mendengar penuturan sang pembantu. Tapi memang benar, apakah dia mampu sendirian dengan membawa dua orang anak yang salah satunya masih bayi merah?
“Sebelum ini kamu bekerja apa?”
“Saya bekerja serabutan, kadang mencuci di rumah tetangga, kadang bersih-bersih. Pokoknya yang hasilnya bisa buat saya makan. Kemarin saya membayar sewa kamar saya, padahal hampir tidak pernah saya tempati sejak saya menjadi pembantu Ibu. Tapi saya bisa membayar dari gaji yang Ibu berikan. Kalau sekarang saya harus pergi, saya tidak tahu harus ke mana lagi. Jadi ijinkan saya mengikuti Ibu, kemanapun Ibu pergi.”
“Yu, kemarin-kemarin yang membayar kamu adalah suamiku, sekarang ini aku tidak tahu akan bagaimana, bagaimana kalau aku tidak bisa membayar gaji kamu dengan pantas?”
“Ibu tidak usah membayar saya, saya akan menerima apapun keadaan Ibu.”
“Benarkah?”
“Benar Ibu.”
“Kalau begitu kita semalam lagi di kota ini, besok pagi-pagi sekali kita ke luar kota. Tapi supaya aman, dan supaya suamiku tidak bisa menemukan aku, lebih baik menginap di penginapan semalam saja. Dia tak mungkin mengira aku menginap di sebuah penginapan.”
***
Hari masih pagi benar, Arum sudah berada di salah satu terminal bis. Ia membungkus anak bayinya dengan selimut yang tebal, dari ujung kaki sampai kepala, menggendongnya sambil menjinjing sebuah tas besar, sedangkan si Yu menggendong Aryo sambil membawa bungkusan yang lainnya.
“Kita ke Jogya ya. Itu bisnya, sudah mau berangkat.
“Terserah Ibu saja.”
“Eh, Mbak… Mbak … tunggu.” sebuah teriakan menghentikan langkah Arum.
***
Besok lagi ya.
Matur suwun bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteAlhamdulillah....
ReplyDeleteCeJeDePeeS_31 sdh tayang gasik.
Siapa ya yang manggil Arum di terminal itu?
Kalo yang manggil 'mBak' setahuku Sinah.
Semoga bu Tien sehat selalu dan selalu sehat.
Tetap ADUHAI 🥰🩷
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun mas Kakek
Malam bu TIEN KUMALASARI sehat selalu dan tetap semangat
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun mas Bambang yang baik hatit
KOK sing coment sepi banget.Ayo Kek Habi ndang dishare
ReplyDeleteNggih
DeleteAlhamdullilah .mksih bundaaa cerbung nya sdh tsyang..slmt malming bersama keluarga..salam sht sll y bund🙏🥰🌹❤️
ReplyDeleteSami2 ibu Farida
DeleteSalam sehat juga
Hamdallah
ReplyDeleteNuwun pak Munthoni
Delete🍉🍋🍉🍋🍉🍋🍉🍋
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏🦋
Cerbung CJDPS_31
telah hadir.
Matur nuwun sanget.
Semoga Bu Tien & kelg
sehat terus, banyak berkah
& dlm lindungan Allah SWT.
Aamiin🤲. Salam seroja😍
🍉🍋🍉🍋🍉🍋🍉🍋
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Sari
Aduhai
Mungkin Arum ketemu Sinah? Ah.... Perempuan " yang harus ber prihatin karena ulah lelaki. Masih ditambah ada den Ayu Saraswati akan menyusul.
ReplyDeleteBagaimana ya nasib Dewi, tampaknya baik" saja nun jauh disana. Kalau dia menengok bundanya kecelik dong.
Salam sukses mbak Tien yang Aduhai, semoga selalu sehat bersama keluarga, aamiin.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Latief
Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " Cintaku Jauh di Pulau Seberang 31 " sudah tayang
ReplyDeleteSemoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Alhamdulilah, maturnuwun bu Tien " Cintaku Jauh di Pulau Seberang eps 31" sampun tayang, Semoga bu Tien dan Pak Tom beserta amancu selalu sehat, segar ceria, bahagia dan dlm lindungan Allah SWT aamiin yra 🤲🤲
ReplyDeleteSalam hangat dan aduhai aduhai bun 🩷🩷
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sri
Aduhai 2x
Matur nuwun Bunda Tien,mugi tansah pinaringan kasarasan lan Bpk Tom Hidayat enggal saras.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Isti
*Widayat* njih. Sanes Hidayat. Hehee ❤❤
Matur nuwun, Bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien ❤️🌹🌹🌹🌹🌹
Sami2 jeng Susi
DeleteAlhamdulillah CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG~31 sudah hadir.
ReplyDeleteMaturnuwun Bu Tien, semoga panjenengan sekalian tetap sehat dan bahagia bersama keluarga tercinta, serta selalu berada dalam lindungan Allah SWT.
Aamiin YRA 🤲🤲🤲
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Djodhi
Alhamdulillah..... terima kasih Bu Tien, semoga sehat selalu.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Yati
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Semoga sehat walafiat
Bahagia bersama keluarga tercinta
Salam aduhai hai hai
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Endah
Aduhai hai hai
Terima kasih Bunda, cerbung Cintaku Jauh Di Pulau Seberang 31..sdh tayang.
ReplyDeleteSehat selalu dan tetap semangat nggeh Bunda Tien.
Syafakallah kagem Pakdhe Tom, semoga Allah SWT angkat semua penyakit nya dan pulih lagi seperti sedialakala. Aamiin
Waduh....mungkin Sinah ..siapa lagi klu bukan dia...yang nyaru wuwus ke Arum. Ramai nanti di Jogya, ada Satria, Saraswati, Sinah lan Biyunge, Arum lan pembantune...😁😁
Semoga Dulur PCTK yang berdomisili di Yogyakarta, tambah senang menerima kedatangan mereka...😁😁💐💐💐
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Munthoni
Jogja....Jogja...
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien yg akan membuat Jogja tambah rame dg kepindahan Bu Saraswati dan Arum. Tetap sehat njih Ibu....
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Reni
Maturnuwun Bu Tien, ceritanya tambah asyik, kehidupan manusia penuh suka dan duka silih berganti,...
ReplyDeleteSehat2 selalu Bu Tien , agar bisa lanjut menulis cerbung sbg hiburan yg murah,aman nyaman...
Terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien dan pak Tom selalu sehat
Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien 🙏
ReplyDeleteDen Ayu dan Arum sama-sama mau ke Jogja eh Yogya eh Jogya...
ReplyDeleteAduh yang benar apa sih Mbak?
Terimakasih Mbak Tien...
Alhamdulillaah, matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya 🙏🤗🥰💖
ReplyDeleteArum , Saraswati sabar ya
matur nuwun Bunda Tien... maaf terlambat komentar ... Sehat-sehat ya Bunda .. pak Tom semoga semakin sehat
ReplyDelete