CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 26
(Tien Kumalasari)
Saraswati terkejut. Ia tak ingin bertemu suaminya di sana.
“Mbok, becaknya suruh kembali saja.”
“Kembali? Tidak jadi ke sana? Berhenti dulu Pak, berhenti,” perintah mbok Manis kepada si tukang becak, yang segera menghentikan becaknya.
“Ada apa Den Ayu?” tanyanya karena belum mengerti maksud sang bendoro.
“Kamu tidak melihat? Itu mobil kangmas kan?” kata Saraswati lirih.
Mbok Manis baru menatap mobil yang berhenti dan kelihatan dari kejauhan. Tentu saja Mbok Manis kurang memperhatikan.
“Oo, itu mobil den mas Adisoma?”
“Kita kembali saja Mbok, aku tidak ingin bertemu kangmas di tempat itu.”
“Lalu bagaimana?”
“Lain kali saja, barangkali kalau agak pagi, kangmas masih ada di rumah. Tunggu waktu yang baik. Atau entah nanti bagaimana."
“Baiklah, kalau begitu. Pak, kita kembali dulu saja.”
“Kembali, Ndoro?”
“Iya Pak, kita kan hanya pengin muter-muter,” jawab Saraswati.
Becakpun segera diputar balik oleh pengemudinya. Wajah Saraswati sangat muram. Wanita mana yang mau berbagi dengan wanita lain?
Mbok Manis tak berani membantah. Ia hanya merasa kasihan kepada sang bendoro yang ia tahu, betapa sakit perasaannya.
“Mbok, aku mau langsung pulang saja.”
“Ini kita menuju pulang Den Ayu.”
“Maksudku, pulang ke rumahku sendiri, di Jogya.”
“Langsung?”
“Segera setelah semua aku siapkan.”
“Bukankah lebih baik Den Ayu bicara dulu dengan keng raka?”
“Dia tidak akan mengijinkan. Aku sudah bicara sekilas tentang keinginanku pulang. Aku minta cerai.”
“Den Ayu, tidak baik wanita menantang cerai, pamali.”
“Kangmas juga bilang begitu. Biarkan saja, dari pada hatiku sakit.”
Keduanya bicara pelan. Walau dipenuhi emosi, Saraswati juga berusaha bicara pelan, soalnya ada pengemudi becak yang pasti mendengarnya jelas kalau bicaranya keras. Walau begitu si pengemudi becak tak akan peduli dengan omongan pelanggannya. Banyak cerita sudah didengarnya, yang penuh suka cita, yang penuh duka lara, atau yang mengobrol biasa saja sambil bercanda. Karena itu sama sekali dia tak peduli pada setiap pembicaraan di atas becak yang terdengar oleh telinganya.
***
Sementara itu Adisoma sedang menunggui Arum yang masih tetap tak bisa bicara manis terhadapnya. Walau kesal, Adisoma tetap berusaha sabar menghadapinya. Ia ingin membujuk Arum agar tak lagi berkeinginan untuk bercerai.
“Arum, kalau kamu mau pulang ke rumahku, anak-anakmu akan hidup mulia, menjadi orang yang dihormati. Ia kelak juga akan menjadi pewarisku, kalau Dewi tak ingin kembali ke rumah."
“Aku bukan orang yang gampang tergiur oleh gemerlapnya harta dan kemuliaan dalam hidup. Aku hanya ingin tenang.”
“Apa kamu merasa tak tenang hidup bersamaku? Kurang perhatian apa aku kepada kamu, kepada anakmu, dan bayi yang masih ada di dalam kandunganmu?”
“Kehidupan yang tenang adalah kehidupan yang tanpa beban.”
“Apa yang membebani kamu? Bukankah kamu tidak kekurangan karena aku memberi kamu uang yang cukup?”
“Bukan beban tentang uang dan harta.”
“Lalu beban apa, Arum. Jangan mempersulit hidup kamu dengan keinginan yang tidak semestinya.”
“Beban dosa itu berat bagi aku.”
“Kamu kan tidak bersalah, aku yang bersalah.”
“Sudahlah Mas, jangan membujukku lagi. Hanya kalau aku terlepas dari kamu, akan mengurangi beban itu.”
“Saat ini, diajeng Saraswati sudah mengerti tentang hubungan kita. Aku akan membujuknya agar dia mau menerima kehadiranmu.”
“Tidak, aku tidak mau.”
“Bukankah sangat baik kalau kamu dan Saraswati bisa hidup rukun dalam kebersamaan?”
“Barangkali kamu akan bangga bisa menjinakkan dua perempuan sekaligus dengan segala kekuasaan kamu. Tapi tidak nyaman bagi aku, pastinya juga bagi istri kamu.”
“Arum, sudah berhari-hari tapi kamu masih belum bisa mengendapkan pikiran kamu, dan memilih yang terbaik bagi hidup kamu. Ingatlah, kamu tidak sendiri. Akan ada anak-anak kamu. Dia butuh tempat untuk berlindung, dan seorang ayah untuk tumpuan hidupnya.”
Arum tak menjawab. Sampai hari menjelang sore, lalu Arum bersiap untuk kontrol kandungannya, bujuk rayu Adisoma belum juga berhasil menundukkan hati Arum. Ia tetap pada pendiriannya. Berpisah dengan Adisoma akan mengurangi beban dosa yang dipikulnya.
“Mas tidak usah mengantarkan aku. Aku bisa berangkat sendiri.”
“Arum, kamu jangan keras kepala. Mendung sudah sangat tebal. Kalau kamu sakit, bayimu itu juga akan sakit,” kata Adisoma agak keras, membuat Arum agak takut. Akhirnya dia diam saja, dan menurut ketika Adisoma mengantarkannya.
***
Saraswati sudah benar-benar bersiap untuk pergi. Ia meminta agar mbok Manis juga sudah menata barang-barangnya.
Adisoma yang pulang agak malam, sama sekali tidak masuk ke kamar sang istri atau ke kamarnya sendiri. Ia tidur di sebuah kursi panjang yang empuk. Tanpa berganti pakaian, tanpa selimut. Salah seorang abdi yang melihat keadaan itu segera melaporkannya kepada mbok Manis. Maksudnya agar mbok Manis akan menghadap kepada Saraswati yang biasanya sangat memperhatikan suaminya.
Mbok Manis keluar dari kamarnya, dan melihat sendiri ke ruang tengah. Adisoma tidur di kursi panjang, bahkan sebelah kakinya berjuntai ke lantai. Tentu saja mbok Manis tak berani membetulkannya. Ia bergegas masuk ke dalam, membuka kamar Saraswati yang ia selalu diijinkan untuk membukanya. Hal itu disebabkan karena Adisoma memiliki kamar yang lain.
Mbok Manis masuk perlahan, dan melihat Saraswati masih duduk di kursi rotan yang disukainya.
“Ada apa Mbok?” tanyanya tanpa menoleh ke arahnya.
“Den Ayu, den mas tidur di ruang tengah.”
“Biarkan saja. Ini kan rumahnya, dia bebas tidur di mana saja yang dia suka,” kata Saraswati enteng, kemudian mendekat ke arah ranjang dan membaringkan tubuhnya di sana. Mbok Manis terpana. Rupanya Saraswati benar-benar tak peduli lagi pada suaminya. Dulu, setiap melihat suaminya tidur di sembarang tempat di rumah itu, dia pasti membawakan selimut, menyelimutinya kalau Adisoma tidak mau berpindah tidur di kamarnya.
“Den Ayu, keng raka tidur tanpa selimut, tanpa mengganti pakaiannya, dan sebelah kakinya terjuntai ke lantai,” mbok Manis masih mencoba menumbuhkan perhatian Saraswati.
“Tidak apa-apa. Orang tidur itu kan selalu mencari posisi yang enak agar bisa nyenyak. Barangkali dengan kaki terjuntai sebelah, kangmas bisa tidur lebih nyaman.”
“Den Ayu ….”
“Sudah malam, mengapa kamu tidak tidur?”
“Saya melihat den mas Adisoma tertidur tidak seperti biasanya.”
“Biarkan saja. Setiap orang akan mengalami keadaan yang berbeda. Terkadang bisa tidur nyenyak, terkadang bisa makan enak, atau sebaliknya,” katanya sambil membalikkan tubuhnya, memunggungi mbok Manis yang bersimpuh di bawahnya.
Mbok Manis menghela napas panjang. Ia segera keluar dari kamar, untuk kembali ke kamarnya sendiri. Melewati ruang tengah, ia masih melihat Adisoma tertidur dengan posisi seperti sebelumnya. Tapi ia bisa apa? Mana berani dia membetulkan letak tidur sang bendoro?
Ia melangkah pelan tanpa menimbulkan suara, tapi tiba-tiba sebuah suara menghentikan langkahnya.
“Mbok.”
Mbok Manis membalikkan tubuhnya, melangkah mendekati sang bendoro sambil berjalan berjongkok.
“Ambilkan selimutku,” titahnya.
“Baik.”
Mbok Manis mundur, kemudian berdiri dan bergegas melangkah ke arah kamar. Dilihatnya Saraswati tak lagi memunggungi pintu masuk. Ia melihat mbok Manis kembali memasuki kamarnya.
“Kamu mau tidur di sini, menemani aku? Ambillah karpet tebal untuk alas tidur, lantainya dingin sekali.”
“Saya mau mengambil selimut untuk den mas Adisoma.”
“Kamu kasihan melihatnya?” tegur Saraswati tak suka.
“Ketika saya mau keluar, den mas Adisoma melihat saya, kemudian menyuruh saya mengambilkan selimut.”
“O, begitu? Selimutnya ada di kamarnya sendiri. Ambillah.”
Mbok Manis membuka sekat pintu yang memisahkan kamar Adisoma dan Saraswati. Di atas tempat tidur, selimut Adisoma dilipat rapi. Mbok Manis segera mengambilnya.
***
Ketika menyerahkan selimut itu, Adisoma masih menghentikannya dengan beberapa pertanyaan.
“Den ayu sudah tidur?”
“Sudah, Den Mas,” jawabnya berbohong, agar Adisoma tak lagi memperpanjang pertanyaannya. Tapi Adisoma malah mengajaknya berbincang.
“Saraswati masih marah padaku,” katanya sambil menebarkan selimut ke tubuhnya sambil masih berbaring.
“Den Mas tidak tidur di kamar saja? Bukankah di sini tidak nyaman?”
“Tidak apa-apa. Begini juga nyaman.”
“Kalau Den Mas tidak membutuhkan apa-apa lagi, saya mohon diri.”
“Apakah salah, seorang laki-laki punya istri dua? Bahkan lebih dari itu?”
Mbok Manis urung mengundurkan diri.
“Jawablah,” ulang Adisoma.
“Banyak yang melakukannya,” jawabnya lirih.
“Mengapa Saraswati tak bisa menerimanya? Aku sangat mencintai dia, walaupun ada seratus wanita di dekatku, cintaku pada Saraswati masih akan seperti dulu.”
Mbok Manis ingin tertawa. Enak saja seorang laki-laki mengatakan cinta. Cinta masih seperti dulu, biarpun ada seratus wanita ?
“Mengapa kamu tersenyum, Mbok?”
Mbok Manis terkejut. Adisoma melihat ia tersenyum?
“Menurutmu laki-laki itu selalu mau menang sendiri?”
“Saya tidak berani mengatakan apapun, Den Mas. Takut salah.”
“Bendoromu itu memang keras kepala. Semua perempuan keras kepala,” gumamnya lagi sambil membalikkan tubuhnya.
Mbok Manis mengundurkan diri dengan perasaan tak menentu. Laki-laki selalu begitu? Mau menang sendiri? Ia teringat suaminya. Ia bukan mempunyai istri dua, tapi pergi meninggalkannya demi perempuan lain.
***
Aryo sedang duduk di atas pangkuan ibunya. Ia sudah bisa berjalan, dan mengucapkan sepatah dua patah kata yang belum terdengar jelas. Ia mengelus perut ibunya.
“Ini adik, masih ada di dalam perut ibu,” kata Arum.
“Ta.. ta … taaa,” katanya sambil menepuk nepuknya.
“Aryo suka?”
Aryo tertawa-tawa dan terus menepuk-nepuknya.
Semakin besar Aryo semakin terlihat ketampanannya. Kulitnya bersih, matanya bening tajam. Ia bukan anak orang biasa, kata batin Arum.
“Maafkan ibu kalau nanti kita harus pergi tanpa ayahmu, ya. Kita harus berjuang dan melakukan semuanya seorang diri. Apa kamu akan membenci ibumu ini?”
Aryo tertawa-tawa, lalu memegang kedua pipi ibunya, membuat Arum menjadi gemas, lalu membalas mencium pipi Aryo, sampai si kecil berteriak-teriak senang.
Tiba-tiba Arum merasa perutnya terasa kencang. Kali ini berkali-kali. Arum segera memanggil pembantunya.
“Tolong carikan becak. Aku mau ke rumah sakit sekarang.”
“Sekarang?”
“Kali ini sepertinya sudah dekat saatnya aku akan melahirkan. Tolong ajak Aryo, aku mau mengambil tas yang sudah aku siapkan.”
Sang pembantu segera mengambil Aryo dari pangkuan Arum, yang kemudian merengek karena masih ingin bercanda dengan sang ibu. Tapi pembantu itu sudah sangat terbiasa menenangkan hati majikan kecilnya, sehingga Arum membiarkannya.
***
Adisoma bahkan tak menunggui kelahiran sang anak, karena Arum memang tak ingin mengabarinya.
Ketika ia datang, ia terkejut ketika sang pembantu mengabarinya bahwa Arum sudah melahirkan.
“Ibu melahirkan semalam, bayinya perempuan. Tadi saya sudah melihatnya bersama den Aryo, tapi ibu menyuruh saya pulang. Tak baik membawa anak kecil lama-lama di rumah sakit.
Wajah Adisoma berseri. Ia segera menggendong Aryo dan menciuminya.
“Syukurlah, Aryo punya adik perempuan ya? Ayo kita melihat adik bersama-sama.”
“Tadi ibu memperingatkan agar tak membawa den Aryo ke rumah sakit,” sang pembantu mengingatkan.
“Tenang saja, aku tahu apa yang harus aku lakukan,” kata Adisoma yang nekat membawa Aryo, lalu diajaknya masuk ke dalam mobil. Sang pembantu tak bisa apa-apa.
***
Dalam perjalanan ke klinik itu tiba-tiba Adisoma punya pemikiran lain. Ia ingin membawa pulang Aryo. Saraswati amat menyayangi Aryo, siapa tahu hatinya akan luluh setelah melihat Aryo.
Ketika sampai di rumah dan langsung menuju kamar Saraswati, Adisoma terkejut melihat dua buah kopor kulit terletak di samping tempat tidur istrinya.
“Saraswati, kamu benar-benar ingin pergi?”
Aryo merengek karena merasa berada di tempat asing, dan melihat wanita yang asing juga. Pastinya ia lupa, saat bayi ia berada di kamar itu.
Mendengar bayi merengek, Saraswati menoleh. Terkejut melihat Adisoma menggendong anak kecil, yang dengan erat merangkul lehernya.
“Saraswati, kamu lupa ini siapa?”
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah
ReplyDeleteNuwun jeng In
DeleteMatur suwun bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Cintaku Jauh Di Pulau Seberang sudah tayang
ReplyDeleteSami2 pak Larief
DeleteSekarang komennya pendek2 njih
Alhamdulilah, maturnuwun bu Tien " Cintaku Jauh di Pulau Seberang eps 26 " sampun tayang, Semoga bu Tien dan Pak Tom beserta amancu selalu sehat, segar ceria, bahagia dan dlm lindungan Allah SWT aamiin yra π€²π€²
ReplyDeleteSalam hangat dan aduhai aduhai bun π©·π©·
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sri
Aduhai 2x
Alhamdullilah terima ksih bundaqu cerbungnya..slmr mlm dan slmt istrht..salam sehat selalu dan tetap afuhai unk bunda bersm bpkππ₯°πΉ❤️
ReplyDeleteSami2 ibu Farida
DeleteSduhai
Terima kasih Bunda, cerbung Cintaku Jauh Di Pulau Seberang 26...sdh tayang.
ReplyDeleteSehat selalu dan tetap semangat nggeh Bunda Tien.
Syafakallah kagem Pakdhe Tom, semoga Allah SWT angkat semua penyakit nya dan pulih lagi seperti sedialakala. Aamiin
3Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Munthoni
Matur nuwun, Bu Tien. Semoga selalu sehat dan bahagia bersama keluarga
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Anik
Matur nuwun Bu Tien atas cerita yg semakin aduhai. Semoga Ibu sehat wal'afiat dan Pak Tom semakin sehat....
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Reni
Alhamdulillah... matur nuwun bunda Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Wiwik
DeleteTerima kasih sudah tayang....
ReplyDeleteSami2 pak Zimi
DeleteAlhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " Cintaku Jauh di Pulau Seberang 26 "sudah tayang
ReplyDeleteSemoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Alhamdulillah sudah tayang
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Semoga bunda dan pak Tom Widayat sehat walafiat
Salam aduhai hai hai
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Endah
Aduhai hai hai
Alhamdulillah CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG~26 sudah hadir.
ReplyDeleteMaturnuwun, semoga Bu Tien beserta keluarga tetap sehat wal'afiat.
Aamiin YRA π€²
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Djodhi
Terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien dan pak Tom selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Alhamdulillah "Cintaku Jauh di Pulau Seberang 26" sdh hadir.
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tienπ
Sugeng ndalu, mugi Bu Tien & kelg tansah pinaringan sehat π€²
Sugeng dalu pak Sis
DeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
Matur nuwun
π π₯π π₯π π₯π π₯
ReplyDeleteAlhamdulillah ππ
Cerbung CJDPS_26
sampun tayang.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien & kelg
selalu sehat, tetap
smangats berkarya &
dlm lindungan Allah SWT.
Aamiin.Salam aduhai ππ¦
π π₯π π₯π π₯π π₯
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Sari
Bukan Adisoma klu tidak dapat meluluhkan hati Saraswati. Bisa jadi dengan melihat Aryo yang nggemesake, Saraswati dapat melunak hati nya...ππ
ReplyDeleteMosok sih? Yakinkah?
DeleteItu kan harapan Om Toni sebab sesama laki-laki.
Mungkin menurut penulis berbeda... Akan menyuarakan hati perempuan yang dua-duanya "terdholimi"
This comment has been removed by the author.
DeleteAlhamdulillaah CJDPS-26 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semoga sehat dan bahagia selalu.
Aamiin Yaa Robbal' Aalaamiinπ€²
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ting
Apakah Saraswati mau menerima Aryo?? Penasaran.... menunggu lanjutan besok... Terimakasih bunda Tien, salam sehat senantiasa bersama keluarga tercinta... aduhaii
ReplyDeleteSami2 ibu Komariah
DeleteAduhai
Alhamdulillah.....
ReplyDeleteBu Tien mang realistis....
Kudune kaya Saraswati gitu, keukeuh tdk mau dimadu dari pada hidup tidak tenang. Demikian juga Arum tidak tergiur iming-iming Adisoma.
Emangnya enak digituin dua perempuan yang dua-duanya "dicintainya"?
Adisoma lagi ngunduh wohing pakarti....
Mau dibawa kemana, yuk kita bersabar mengkuti alur cerita yang disuguhkan sang penulis kita...
Selamat malam bu Tien
Selamat beristirahat.
Kami setia menunggu, dengan penuh rasa kagum dengan olah kata sang penghiburku, disamping kesibukkan sehari-harinya merawat mas Widayat yang berangsur membaik kesehatannya.
Semoga bu Tien juga diberikan kesehatan yang prima, agar bisa istiqomah merawat suami dan menyalurkan hobby menulisnya.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin π€²π€²π€²
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun mas Kakek
Alhamdulillaah, matur nuwun Bu Tien salam sehat wal'afiat ya, semoga pak Tom Widayat semakin membaik kembali beraktifitas , Aamiin Ya Rabbal 'aalamiin
ReplyDeleteApakah Saraswati mau menerima Aryo,
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ika
Alhamdulillah, terimakasih Bu Tien, yg kutunggu2 akhirnya datang, dng cerita yg penuh penasaran dan gregeten.........drama percintaan dlm rumah tangga.....Sehat dan bahagia selalu Bu Tien.....kutunggu eps selanjutnya...
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Tatik
Weleh.....weleh...Kakek Habi...bisa aja πππ☂️
ReplyDeleteHehee
DeleteAlhamdulillah sdh tayang.....terima kasih Bunda Tien...semoga P Tom semakin sehat , Bunda juga sll sehat...aamiin YR'A...Ditunggu cerita selanjutnya Bun ...
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Yulian
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Yulian
Adisoma tak kehilangan akal untuk menarik perhatian Sraswati...
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
Sami2 Mas MERa
DeleteHmm...pintar juga Adisoma mempertemukan Saraswati dengan Arya duluan, pasti selanjutnya dengan Arum. Apakah hatinya akan luluh sehingga batal pulang ke Jogja? Nampaknya belakangan ini ibu Tien tertarik dengan topik poligami ya...π€π€
ReplyDeleteBtw, terima kasih, ibu...salam hormat dan semoga pak Tom cepat pulih sehat kembali.ππ»ππ»ππ»
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Nana