CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 30
(Tien Kumalasari)
Ketika mbok Manis masuk kembali ke dalam rumah, hatinya terasa disayat melihat sang bendoro menangis terisak-isak. Ia segera mendekat dan bersimpuh di hadapannya.
“Den Ayu,” sapanya lembut.
“Aryo sudah pergi?”
“Memang ada becak yang menunggu, dan ada pembantunya.”
“Dia mengatakan akan pergi ke mana?”
“Tidak Den Ayu. Mungkin memang dia tak mau mengatakannya.”
Saraswati mengusap air matanya.
“Tak urung aku kembali merasa seperti kehilangan, seperti ketika Dewi pergi. Ternyata aku memang menyayangi Aryo seperti kepada anakku sendiri.”
“Den Aryo sudah ada ibunya yang akan menjaganya dengan baik.”
“Benar. Mencintai seseorang yang adalah milik orang lain, adalah perbuatan yang sia-sia.”
“Bukankah menyayangi itu tidak ada salahnya?”
“Yang salah adalah kalau aku ingin memiliki. Itu sebabnya aku lepaskan dia, walau ada rasa nyeri yang menyakiti.”
“Den Ayu harus sabar. Sekarang makan ya, sudah saya siapkan sejak pagi, Den Ayu belum menyentuhnya.”
“Kamu harus bersiap-siap Mbok, aku ingin segera pulang ke rumahku sendiri.”
“Den Ayu benar-benar akan meninggalkan rumah ini?”
“Aku tak bisa lagi berada di sini. Cintaku kepada suami sudah ternoda, dan cinta suamiku sudah terbelah-belah. Kalau aku masih bersamanya, aku hanya akan menyiksa diriku sendiri, karena berdampingan dengan seseorang yang tidak aku sukai. Aku sudah merasa tua. Kangmas seorang laki-laki. Dia punya uang dan segalanya. Kalau dia mau, dia bisa mencari wanita yang dia sukai. Tak ada aku yang akan menghalangi.”
Mbok Manis terdiam. Tampaknya tak ada yang bisa menghentikan niat Saraswati yang ingin pulang. Sudah berhari-hari Saraswati bebenah, demikian juga dirinya.
“Apa kamu keberatan mengikuti aku? Tidak apa-apa kalau aku harus pergi sendiri. Di sana juga ada abdi yang akan menemani aku. Bukan melayani. Aku ingin menjadi wanita biasa, bukan den ayu Saraswati lagi.”
“Saya kan sudah bilang bahwa akan mengikuti Den Ayu kemana Den Ayu pergi.”
“Terima kasih Mbok. Kamu seperti saudara bagiku.”
“Den Ayu, kalau begitu ijinkan saya pergi sebentar. Saya harus menemui Sinah dan mengatakan kalau saya tidak akan ada lagi di sini.”
“Jauhkah tempat Sinah bekerja?”
“Tidak Den Ayu, saya juga hanya sebentar. Hanya mengatakan kepergian saya dari kota ini. Sinah sudah dewasa, dia juga sudah punya calon suami, jadi saya tidak perlu mengkhawatirkannya.”
“Dia sudah punya calon suami? Syukurlah, aku ikut senang.”
“Tapi entahlah, sepertinya calonnya itu masih kuliah.”
“Bukan main, Sinah. Dia punya calon suami yang anak kuliahan. Ini sangat menyenangkan. Kamu bisa tenang setelahnya.”
“Benar Den Ayu.”
“Kalau begitu pergilah. Besok atau lusa kita akan pergi dari sini.”
“Apakah Den Ayu tidak makan dulu sekarang, mumpung saya masih di sini.”
“Nanti saja kalau kamu sudah pulang.”
***
Adisoma terkejut ketika petugas klinik mengatakan kalau Arum pulang paksa. Ia kesal karena Arum tidak mengatakan apapun ketika dia ada di sini. Dia juga tidak mengabari melalui ponsel atau apapun.
“Jam berapa dia pulang?”
“Masih pagi Pak, ketika klinik baru saja buka,” jawab petugas itu.
Adisoma membalikkan tubuhnya dengan perasaan tak menentu.
“Kebangetan Arum. Dia bertindak semaunya sendiri. Sudah tidak lagi menganggap aku suaminya. Padahal aku akan membujuknya agar mau tinggal bersama Saraswati yang sangat menyukai Aryo. Walau kemarin kelihatan bahwa dia keberatan, lama-lama Saraswati pasti tak akan menolak kalau ada Aryo di dekatnya. Tapi Arum benar-benar telah menguji kesabaranku. Apa maksudnya pulang paksa segala, sementara aku sudah menyiapkan semua biaya ketika dia melahirkan,” gumamnya sambil memasuki mobilnya.
Adisoma melajukan mobilnya ke rumah dimana Arum tinggal. Tapi dia sangat kecewa melihat rumah itu terkunci.
“Apa Arum belum sampai di rumah? Tapi aku tak melampaui sebuah becakpun ketika dalam perjalanan kemari.”
Adisoma menelpon Arum, tapi ponselnya mati. Ia yang memberikan ponsel itu agar gampang menghubunginya.
Adisoma teringat bahwa dia punya kunci rumah itu. Ia meraba kantong celananya. Tapi kunci itu tak ada. Setengah berlari dia menuju ke arah mobil, dan kunci itu ternyata ada di sana.
Adisoma bergegas membuka rumah. Dia akan menunggunya di dalam.
Agak gelap rumah itu, Adisoma mencari sakelar lampu dan menyalakannya, lalu dia duduk di ruang tengah, menunggu.
Satu jam lebih Adisoma menunggu, lalu ia melihat ponsel Arum tergeletak di meja dekat pintu kamar. Adisoma mengambilnya. Ponsel itu dalam keadaan mati.
Kesal sekali hati Adisoma, dan lebih kesal lagi ketika ia tak menemukan apapun di dalam kamar Arum. Baju-baju, perlengkapan bayi, sudah tak ada.
“Arum pergi?”
Walau sudah merasa yakin kalau Arum tak ada lagi di rumah itu, tapi ia masih mencarinya sampai ke belakang rumah. Semuanya rapi, seperti tak terjamah. Pembantu Arum sangat rajin memang, dan selalu membuat rumah itu bersih dan rapi.
“Aruuumm!” Adisoma berteriak. Teriakan yang sia-sia karena dia tak akan mendengarnya. Adisoma tak bisa mengendalikan diri karena frustasi. Sejak kapan Arum pergi sehingga bisa membawa barang-barangnya? Adisoma memang bangun agak siang, dan pergi ke klinik juga sudah siang.
“Bodoh … bodoh. Mengapa aku bangun siang, mengapa baru sekarang aku sadar kalau Arum memang ingin bercerai setelah melahirkan,” gumamnya.
Tiba-tiba ia teringat Aryo yang masih ada di rumahnya. Ia masuk ke mobil dan memacunya secepat angin.
Begitu masuk ke halaman, Tangkil yang membukakan pintu ingin mengatakan sesuatu, tapi Adisoma tidak menghentikan mobilnya. Ia langsung memarkirnya di pringgitan, lalu masuk dengan tergesa-gesa. Suasana sunyi menyergap, karena tak terdengar celoteh Aryo. Ia melihat Saraswati duduk di ruang tengah, memangku kotak benang songket, tapi hanya dipeganginya.
“Diajeng, kok sepi. Apakah Aryo tidur?”
Saraswati mengangkat wajahnya. Ia sudah tahu kalau Adisoma datang, tapi ia tak ingin menyambutnya.
“Dia sudah pergi,” jawab Saraswati pelan.
“Pergi?” Adisoma berteriak, membuat Saraswati terkejut.
“Ya.”
“Bagaimana dia bisa pergi?” suara itu masih keras.
“Ibunya menjemputnya.”
“Apa?” Semakin keras Adisoma berteriak.
Saraswati menarik gulungan benang songket, seakan tak peduli dia mulai menjalin benang dengan jarum songketnya.
“Diajeng! Aku bicara sama kamu!” suara itu sekarang seperti sebuah bentakan. Saraswati sudah menata hatinya agar tidak terkejut seandainya sang suami marah. Walau begitu ada getaran cemas melanda, karena selamanya Adisoma tak pernah bicara kasar kepadanya.
“Mengapa Diajeng biarkan dia pergi?”
“Ibunya adalah orang tuanya, apa hakku untuk melarangnya?”
“Tapi aku yang membawanya kemari. Seharusnya Diajeng tidak mengijinkan dia membawa pergi kecuali atas ijinku.”
“Banyak peraturan dilanggar tanpa ijin. Apa Kangmas lupa?”
“Diajeng, jangan menyindirku. Ini masalah ayah dan anaknya.”
“Mengapa Kangmas marah hanya karena Aryo dibawa ibunya? Ibunya juga orang tuanya kan?”
“Kalau Diajeng menyayangi Aryo, harusnya Diajeng tidak membiarkan dia membawanya.”
“Menyayangi lalu ingin memiliki sesuatu yang bukan miliknya, bukan perbuatan yang benar kan?”
Adisoma sangat marah. Ucapan Saraswati seakan menyindirnya. Ia membalikkan tubuhnya lalu keluar dari ruangan, kemudian membanting pintu dengan sangat keras, sehingga Saraswati terlonjak dari tempat duduknya. Tapi ia bergeming dari suasana yang harusnya sangat menakutkan itu, karena ia tak pernah melihat sang suami bicara keras dan bersikap sangat kasar kepadanya.
***
Hari itu kebetulan libur, sehingga pak Sawal tidak pergi bekerja. Setelah sarapan dia pergi ke kebun yang tidak seberapa luas itu, untuk membersihkan daun-daun kering. Sinah duduk di depan rumah sambil mengutak atik ponselnya. Entah apa yang dilakukannya. Ia berusaha menghubungi Satria tapi tak pernah diangkat apalagi dibalasnya. Walau begitu, Sinah bisa mengerti karena bu Karti selalu mengatakan bahwa Sinah harus bersabar. Lama-lama hati Satria pasti akan luluh.
Karenanya ia tetap bergeming walau tahu kalau di rumah itu pak Sawal juga tidak menyukainya. Yang penting bu Karti suka dan selalu memperhatikannya. Bu Karti yang sederhana, merasa bahwa tak banyak wanita cantik yang rajin dan tekun membantu, walau diacuhkan oleh anak dan suaminya. Karena itu ia mantap untuk menjadikan Sinah menantunya.
Sinah sedang membuka-buka ponselnya, ketika tiba-tiba dia melihat mbok Manis, sang ibu, datang. Baru turun dari becak, Sinah sudah menjemputnya, lalu diajaknya duduk di teras depan.
“Simbok mau ke mana? Ke pasar, sesiang ini?” tanya Sinah setelah mereka duduk.
“Tidak, aku memang ingin menemui kamu.”
“Benarkah? Tumben Simbok kangen sama aku.”
“Simbok selalu kangen sama kamu, tapi kan simbok itu banyak pekerjaan. Mengurus ini … itu … semuanya simbok, jadi jarang bisa menemui kamu.”
“Lha ini kok bisa?”
“Aku minta ijin sama den ayu, untuk menemui kamu sebentar saja.”
“Ada yang akan Simbok sampaikan?”
“Besok atau lusa, simbok sudah tidak di rumah den mas Adisoma lagi.”
“Lhoh, Simbok ganti pekerjaan?”
“Tidak, orang setua simbok mana laku bekerja di sembarang tempat.”
“Lalu simbok mau ke mana?”
“Den ayu mau pulang ke Jogya, simbok harus ikut. Itu sebabnya simbok perlu menemui kamu, sekedar kamu tahu, dan jangan menganggap simbok masih ada di sana.”
“Den Ayu pulang ke Jogya? Memangnya ada apa?”
“Banyak yang sudah terjadi di sana. Panjang ceritanya.”
“O, aku tahu. Itu masalah den mas punya selir? Seperti yang aku lihat? Memang benar kan den mas punya selir? Lalu den ayu tahu dan marah, lalu ingin pulang ke Jogya?”
“Lebih kurangnya begitu, tapi aku tak bisa cerita banyak. Kamu baik-baik saja di sini, dan simbok sudah merasa tenang, kamu sudah punya calon suami.”
Sinah tersenyum senang.
“Doakan ya Mbok, sekarang dia masih kuliah. Aku harus sabar.”
“Seperti apa sih calon menantuku itu?”
“Tunggu, aku perlihatkan fotonya,” kata Sinah sambil bangkit dan berlari ke arah kamar. Ketika keluar dia membawa foto kecil, seperti pas foto yang entah di mana dia menemukannya. Itu foto Satria.
“Ini Mbok, lihatlah.”
“Wah, ganteng sekali. Seneng banget. Semoga kuliahnya cepat selesai terus simbok punya gawe mantu. Simbok punya tabungan, nanti simbok akan rayakan dengan meriah kalau kamu menikah.”
“Iya Mbok, doakan terus.”
“Sekarang aku ingin sekali ketemu calon mertuamu itu. Masa aku sampai belum mengenalnya. Ya walaupun belum secara resmi melamar, kan ada baiknya berkenalan sebelumnya.”
“Iya mbok, sebentar, ibu sedang di belakang, aku panggil dulu ya,” kata Sinah sambil bergegas kebelakang, untuk memanggil bu Karti.
Mbok Manis sangat senang, bu Karti menyambutnya dengan ramah.
“Senang sekali, calon mertua Sinah adalah orang baik dan ramah. Sinah pasti akan sabar menunggu, sampai … mm … siapa nama calon menantuku itu?” tanya mbok Manis.
“Namanya Satria, Bu.”
“Wah, namanya juga bagus. Ini saya mampir, ingin berkenalan dengan calon besan saya,” kata mbok Manis bersemangat.
“Siapa yang calon besan?” tiba-tiba pak Sawal muncul dari arah depan dengan membawa sabit setelah dia membersihkan kebun.
“Eh, ini lho Pak, ini ibunya nak Sinah. Perkenalkan. Kita kan belum pernah bertemu,” kata bu Karti riang.
“Oh, maaf. Tangan saya kotor, habis dari kebun. Tapi siapa tadi yang calon besan?” tanya pak Sawal lagi.
“Ini lho Pak, anak saya Sinah kan mau diambil menantu oleh keluarga ini, tidak salah kan kalau saya menyebut calon besan?”
“Begitukah? Tapi Ibu salah. Kami tidak bermaksud mengambil menantu nak Sinah. Anak saya masih kuliah, dia tidak mau dijodoh-jodohkan, dan saya juga tidak ingin menjodohkan,” kata pak Sawal.
Mbok Manis tertegun. Ia merasa sangat malu.
“Maaf ya Bu, saya berterus terang saja, agar tidak terjadi salah paham. Saya permisi mau mandi, badan saya kotor,” kata pak Sawal sambil langsung beranjak ke belakang.
Mbok Manis menatap Sinah dengan pandangan marah.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah....
ReplyDeleteCeJeDePeeS_30 sudah tayang.
Semoga bu Tien sehat selalu dan selalu sehat.
Aamiin....
Salam SEROJA dan tetap ADUHAI.
Salam dari Bandung 😊🩷🥰
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun mas Kakek
ADUHAI..
Alhamdulillah
ReplyDeleteNuwun jeng Ning
DeleteAlhamdulillah.... sehat2 sllu bunda Tien
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Wiwik
Matur suwun bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Cintaku Jauh di Pulau Seberang sudah tayang.
ReplyDeleteSani2 pak Latief
DeleteAlhamdulillah "Cintaku Jauh di Pulau Seberang 30" sdh hadir.
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien🙏
Sugeng ndalu, mugi Bu Tien & kelg tansah pinaringan sehat 🤲
Sugeng dalu pak Sis
DeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
Matur nuwun
🥬🌶️🥬🌶️🥬🌶️🥬🌶️
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏💝
Cerbung CJDPS_30
sampun tayang.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien & kelg
selalu sehat, tetap
smangats berkarya &
dlm lindungan Allah SWT.
Aamiin.Salam aduhai 💐🦋
🥬🌶️🥬🌶️🥬🌶️🥬🌶️
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Sari
Aduhai
Alhamdulilah, maturnuwun bu Tien " Cintaku Jauh di Pulau Seberang eps 30" sampun tayang, Semoga bu Tien dan Pak Tom beserta amancu selalu sehat, segar ceria, bahagia dan dlm lindungan Allah SWT aamiin yra 🤲🤲
ReplyDeleteSalam hangat dan aduhai aduhai bun 🩷🩷
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sri
Aduhai 2 x
Alhamdullilah..terima ksih bunda cerbungnya..Slmt Idul Adha..mohonaaf lahir dan batin..slm sht sll🙏🥰❤️🌹
ReplyDeleteSami2 ibu Farida
DeleteMohon màaf lahir batin juga
Terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien dan pak Tom selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Alhamdulillah CJDPS~30 sudah hadir.
ReplyDeleteMaturnuwun Bu Tien, semoga panjenengan tetap sehat semangat dan bahagia senantiasa bersama keluarga.
Aamiin yra. 🤲
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Djodhi
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Semoga sehat walafiat
Salam aduhai hai hai
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Endah
Aduhai hai hai
Matur nuwun, Bu Tien. Semoga selalu sehat dan bahagia
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Anik
Sinah oh sinah..
ReplyDeleteNuwun ibu Ani
DeleteAlhamdulillah tdk libur, mTur nwn bu Tien, salam sehat dari mBantul
ReplyDeleteSami2 pak Bam's
DeleteSalam sehat dari Solo
Bunda Tien, matur nuwun.Barokalloh aamiin YR'A
ReplyDeleteBunda Tien, matur nuwun, barokalloh
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Yulian
Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " Cintaku Jauh di Pulau Seberang 30 " sudah tayang
ReplyDeleteSemoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Terima kasih Bunda, cerbung Cintaku Jauh Di Pulau Seberang 30..sdh tayang.
ReplyDeleteSehat selalu dan tetap semangat nggeh Bunda Tien.
Syafakallah kagem Pakdhe Tom, semoga Allah SWT angkat semua penyakit nya dan pulih lagi seperti sedialakala. Aamiin
*Selamat Hari Raya Idul Adha 1446 H*
Kagem Saudaraku yang merayakan nya
Ikut prihatin rumah tangga nya Adisoma...kocar kacir
Sinah ke geer an, Biyunge jadi malu, dan marah kpd Sinah...😁😁
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Munthoni
Alhamdulillaah, Masyaa Allaah, tabarakallaah, luar biasa bundaku terus menulis dalam suasana lebaran .
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien, salam sehat wal'afiat
🌸 Selamat Idul Adha 10 Dzulhijjah 1446H ,🌸
Taqaballaahu Minna wa minkum
🙏🤗🥰💖
Stres Adisoma...bgm dg Arum & Dewi serta Satria
Sami2 ibu Ika.
DeleteMohon maaf lahir batin
Alhamdulillaah CJDPS-30 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semoga sehat dan bahagia selalu.
Aamiin 🤲
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ting
Terimakasih bunda Tien , salam sehat selalu bersama keluarga tercinta, aduhaii
ReplyDeleteSami2 ibu Komariyah
DeleteSalam sehat juga
Sinah ini bikin malu Mbok Manis saja. Kasian Mbok Manis...
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
Sami2 Mas MERa
DeleteTerima kasih perhatiannya
Alhamdulillah
ReplyDeleteNuwun ibu Umi
Delete