Wednesday, March 20, 2024

M E L A T I 03

 M E L A T I    03

(Tien Kumalasari)

 

Melati berlari ke arah samping kantor, di mana tetangganya sedang menunggu. Perasaannya sungguh tidak enak, mendengar temannya mengatakan bahwa ibunya pingsan.

“Pak Samijan, ada apa?” belum sampai di depannya, Melati sudah berteriak. Laki-laki tetangganya yang bernama Samijan langsung menoleh.

“Melati, tadi istriku mau menjahitkan baju kepada ibumu, tapi menemukan ibumu sedang terbaring di lantai.”

“Kenapa ibu saya Pak?”

“Badannya lemas, tampaknya sakit tapi ditahannya.”

“Tidak sadar?”

“Sebenarnya sadar, tapi tubuhnya lemas sekali. Kami akan membawanya ke rumah sakit, tapi bu Karti tidak mau. Jadi hanya memapahnya ke dalam kamar, lalu memberinya teh hangat.”

“Baiklah, terima kasih banyak pak Samijan, saya akan minta ijin dulu, kemudian akan segera pulang.”

“Ya Nak, kalau begitu aku pulang dulu. Tapi tampaknya tidak ada yang mengkhawatirkan. Saat aku tinggalkan, wajahnya sudah tidak sepucat semula. Di kamarnya, banyak barang-barang berserakan. Tadinya kami mengira ada pencuri masuk.”

“Barang berserakan?”

“Tapi kata ibumu, tidak ada pencuri masuk. Entahlah, tidak banyak yang dikatakannya. Kalau kamu sudah sampai di rumah, kamu bisa bertanya langsung kepada ibu kamu.”

“Iya Pak, sekali lagi terima kasih. Saya akan segera pulang.”

Ketika pak Samijan pulang, Melati bergegas ke kantor atasannya dan meminta ijin pulang. Hatinya diliputi rasa cemas. Barang berserakan, jangan-jangan ada pencuri masuk dan menyakiti ibunya.

Begitu ijin didapatkan, Melati segera mengayuh sepedanya. Beruntung udara hanya mendung, sehingga panas tidak begitu terik. Walau begitu jalanan yang begitu ramai, membuat Melati tidak begitu lancar dalam menuju pulang. Di sebuah perempatan, ia bahkan menembus lampu merah, dan tiba-tiba sebuah sepeda motor menabraknya. Beruntung sepeda motor itu tidak melaju terlalu kencang. Melati meringis menahan sakit. Seseorang kemudian membantunya bangkit, dan membawanya ke pinggir. Melati didudukkan di sebuah bangku, siku tangannya terluka. Darah meleleh membasah di sepanjang lengannya, bahkan membasahi bajunya. Ia melihat seseorang juga membawa sepedanya ke pinggir, entah apa yang rusak, Melati belum memikirkannya.

Laki-laki penolongnya adalah yang tadi menabraknya. Dengan cekatan dia berlari ke sebuah apotik yang ada di situ, sedangkan seorang ibu tiba-tiba datang membawakan segelas teh.

“Minumlah Nak, biar kamu tenang dulu. Kenapa tergesa-gesa? Kamu melanggar lampu merah soalnya,” tegur ibu itu sambil meminta agar Melati segera meminumnya. Melati menerimanya dan meminumnya beberapa teguk.

Pemuda tadi membawa keresek berisi kapas, larutan pembersih luka dan obat merah dan entah apa lagi. Dengan cekatan dia membersihkan darah di sekitar luka, dan yang membasahi lengannya, membuat Melati meringis karena lukanya terasa perih.

“Sedikit perih, nanti akan hilang perihnya,” kata laki-laki itu yang kemudian meniup lukanya berkali-kali untuk mengurangi perihnya.

“Maaf, aku membuatmu terluka,” katanya lagi.

“Saya yang salah,” kata Melati sambil menahan sakit.  

“Kamu melanggar lampu merah, seperti tergesa-gesa.”

“Ibu saya sakit, saya ingin segera pulang.”

“Oh ya, aku ikut prihatin. Sakit apa?”

“Entahlah. Sebenarnya tiga hari yang lalu hanya sakit panas, karena flu, tapi tadi tetangga saya menyusul saya ke tempat kerja, mengatakan kalau ibu saya pingsan, jadi saya tergesa-gesa pulang.”

Laki-laki itu membubuhkan obat pada lukanya. Melati sudah tidak begitu merasakan perih.

“Tidak perih lagi kan?”

“Ya, terima kasih.”

“Ini lukanya saya tutup sementara, untuk menghindari debu. Tapi kalau sampai di rumah sebaiknya dilepas, agar cepat kering. Tidak parah. Tergores panjang, entah terkena apa, tapi lukanya tidak dalam.”

“Terima kasih. Saya harus segera pulang.”

“Tapi sepeda kamu rusak, biar saya membawanya ke bengkel.”

“Ta … pi …”

Tiba-tiba Melati merasa pernah melihat laki-laki itu. Laki-laki tampan bermata teduh dan berucap dengan lembut. Itu kan yang dulu bertabrakan dengannya ketika ada perhelatan, dan membuat bajunya ketumpahan kuah. Benar, dia. Melati berdebar karenanya. Tapi dia tak sempat berpikir banyak. Ia harus segera pulang. Ditatapnya sepedanya yang rodanya bengkong dengan bingung.

“Jangan khawatir. Lihat, disitu ada bengkel, aku akan membawanya ke sana dulu, lalu aku mengantarkan kamu pulang.”

Melati yang tak bisa berpikir banyak, hanya menganggukkan kepalanya. Ia mengambil tas tangannya yang tergantung di sepeda itu, dan membiarkan penolongnya membawanya ke bengkel. Melati menatapnya dengan perasaan tak menentu. Bukan karena mengenali wajah itu, tapi teringat pada keadaan ibunya.

Tak lama kemudian laki-laki itu datang.

“Ayo aku antar kamu pulang. Namaku Daniel. Kamu siapa?”

“Melati.”

Daniel menghentikan langkahnya. Sekarang dia baru memperhatikan gadis itu. Ia mengenalnya. Mengenal mata beningnya ketika mereka bertatapan saat bertabrakan di acara pernikahan Nilam. Ucapannya yang singkat, terdengar tak berbeda dengan ketika dia menanyakan namanya setelah bertabrakan di gedung pertemuan itu. Sungguh aneh. Bertemu dua kali, dan dua-duanya dengan cara bertabrakan. Tapi kali ini lebih parah. Melati bahkan sampai terluka.

“Kamu?”

“Mas, bisakah cepat? Saya mengkhawatirkan ibu saya.”

Daniel terkejut. Langkahnya tersendat saat merasa pernah mengenal Melati, padahal Melati sedang terburu-buru. Karenanya dia segera mengambil sepeda motornya, dan meminta Melati agar segera duduk di boncengan.

***

Melati minta diturunkan di depan sebuah gang. Daniel menghentikan sepeda motornya.

“Kamu tinggal di mana?”

“Di situ, tidak jauh. Terima kasih. Besok saya ambil sendiri sepeda saya,” katanya sambil berlari memasuki gang. Daniel mengikutinya dari belakang, agar bisa melihat, di mana persisnya rumah Melati.

Melati tak memperhatikannya. Dia berlari ke arah rumah yang sudah sepi, tapi rumahnya tidak dikunci. Ia langsung memasuki kamar ibunya. Dilihatnya ibunya sedang membenahi barang-barang yang berserakan.

“Lhoh, ibu ngapain?”

Karti terkejut, tak mengira anaknya pulang secepat itu. Tadi ia bermaksud segera membenahi barang-barang yang berserakan, agar kalau Melati pulang, ia tak banyak bertanya. Tapi Melati pulang begitu cepat, sehingga melihat barang-barang yang belum selesai dibenahinya.

“Katanya tadi ibu pingsan?”

“Kenapa kamu pulang? Majikan kamu tidak akan suka, kamu keseringan ijin,” Karti malah mempermasalahkan kepulangannya yang begitu cepat.

“Bu, tadi pak Samijan menyusul ke kantor, katanya ibu pingsan.”

“Jadi pak Samijan menyusul kamu? Terlalu dibesar-besarkan. Tadi bu Samijan kemari, ingin menjahitkan baju, saat itu ibu sedang kelelahan, berbaring di lantai, jadi dia mengira ibu pingsan.”

“Mengapa ibu berbaring dilantai?”

“Tidak apa-apa. Hanya kegerahan.”

Melati merasa ibunya sedang berbohong. Orang berbaring karena gerah, berbeda dengan orang pingsan.

“Lalu mengapa barang-barang itu? Pak Samijan mengira ada pencuri masuk dan mengobrak abrik almari, tapi dia bilang, kata ibu tidak ada orang masuk. Sebenarnya ada apa?” Melati ikut duduk mengelesot, membantu melipat baju-baju yang berserakan.

“Kamu kembalilah bekerja, ibu tidak apa-apa. Eeh, kenapa tanganmu itu? Bajumu … kenapa ada darahnya?” sang ibu malah memperhatikan keadaan Melati.

“Ini tadi, Melati terburu-buru, lalu jatuh. Tidak apa-apa kok. Tapi ibu belum menjawab pertanyaan Melati. Ada apa dengan barang-barang ini.”

Karti menghela napas panjang.

“Sebenarnya ibu sedang mencari sertifikat rumah.”

“Sertifikat rumah? Bukankah ibu menyimpannya di almari itu, bersama dengan ijazah-ijazah sekolah kita?”

“Sudah ibu cari, tidak ada, itu sebabnya ibu membongkar isi almari ini. Sudah … kamu kembalilah bekerja.”
”Tidak ada? Kok aneh?”

“Ya tidak aneh, ini semua memang ulah bapakmu yang tidak tahu diuntung itu. Entah digadaikan di mana sertifikat itu, kita tidak tahu. Masa aku harus menanyai teman-teman ayahmu berjudi juga, barangkali ada yang tahu, begitu? Malu dong ibu.”

“Ibu merasa gerah karena lelah mencari sertifikat itu?”

“Sesungguhnya …. ya,” kata Karti dengan suara lelah pula.

“Ya sudah Bu, tidak usah dipikirkan lagi. Ibu kan sedang sakit, jadi harus banyak istirahat dan jangan banyak pikiran. Soal sertifikat nanti kita pikirkan bagaimana cara menemukannya.”

Karti hanya mengangguk. Melati tentu saja tidak tahu bahwa sebenarnya dia ingin mencari pinjaman dengan agunan sertifikat itu untuk membungkam mulut tuan Harjo si tukang peras itu. Tapi sekarang harapannya punah. Kalaupun dia harus menjual rumah ini, bagaimana bisa kalau sertifikatnya tidak ada?

“Sudah Bu, ibu istirahat saja dulu, nanti kita pikirkan soal sertifikat itu.”

“Kembalilah bekerja, jangan sampai kamu mendapat nilai buruk gara-gara keseringan minta ijin.”

“Ibu sudah makan? Melati panaskan sayurnya ya. Timlonya masih ada kan?”

“Ibu akan melakukannya sendiri, kembalilah bekerja. Kalau sampai kamu dikeluarkan karena keseringan ijin, kita apa bisa mencukupi semua kebutuhan?” kata Karti yang benar-benar khawatir kalau sampai sang anak kehilangan pekerjaan.

“Baiklah, ibu, biar Melati panaskan timlonya, lalu ibu makan, dan minum obat, setelah itu Melati akan kembali ke tempat kerja.”

Karti tak bisa memaksanya. Barang dan baju yang berserakan sudah dirapikan, ia duduk merenung, masih di dalam kamar, dilantai, bersandar pada almari yang sudah tertutup pintunya. Masalah hutang itu masih menggayuti hatinya, terasa sangat berat, dan juga sakit. Apa sebaiknya aku berterus terang pada Melati? Tapi apakah yang bisa dilakukan Melati kalau mendengar masalah itu? Ini hanya akan membebani dia.

Karti kembali menitikkan air mata. Ketika Melati masuk ke kamar, ia baru saja mengusap air matanya.

“Ibu, mengapa ibu masih duduk di situ? Lantainya dingin. Dan mengapa pula ibu menangis lagi?”

Karti bangkit. Ia akan segera menuruti kemauan Melati, segera makan dan minum obat, agar Melati bisa segera kembali bekerja.

“Ibu makan ya, sudah Melati tata di meja.”

“Baiklah, ibu akan makan sekarang, kamu kembalilah bekerja. Lukamu itu … sakitkah?”

“Tidak Bu, hanya luka gores.”

“Ya sudah, berangkatlah segera.”

Melati memang benar-benar keluar dari rumah, bermaksud berangkat bekerja. Tapi ia harus menelpon ojol, karena sepedanya masih di bengkel. Entah berapa nanti ia harus membayar kerusakannya.

“Kalau nanti masih kurang, biar aku titipkan dulu sepedanya, sementara aku akan mengambil tabunganku dulu,” gumamnya sambil memanggil ojol.

***

Baskoro baru saja selesai melayani pembeli, ketika tiba-tiba seorang anak kecil muncul di depan warung.

“Pak Tuaaaa,” teriaknya nyaring.

Wajah Baskoro berseri melihat anak kecil berusaha memasuki warungnya.

“Nugi … lama sekali tidak kemari.”

“Pak Tua, aku mau makan soto.”

“Baiklah, duduk di sini, dekat pak tua. Biar pak tua ambilkan sotonya.”

“Baik. Tidak usah pakai sambal ya, dikasih kecap sedikit.”

“Siap, tuan muda,” canda Baskoro riang.

“Aku juga mau telor coklat.”

“Baik.”

Baskoro segera menyuruh karyawannya agar mengambilkan apa yang diinginkan Nugi.

“Kamu ke mari sama siapa?”

“Sama pak ojol.”

“Lhoh, nanti ibumu marah kalau kamu mampir kemari tidak bilang-bilang.”

“Aku sudah bilang pak Ojol, katanya mau menelpon ibu.”

“Baiklah, ini sotonya sudah siap, jangan tergesa-gesa, masih panas.”

“Warungnya rame,” celetuk Nugi.

“Iya, kan waktunya orang makan siang. Bagaimana pelajaran kamu?”

“Nugi kemarin terima rapor, nilainya bagus lhoh, Nugi juara satu.”

“Wouww… bagus sekali, pak tua senang Nugi pintar. Dapat hadiah apa dari ibu?”

“Kata ibu, sekolah pintar itu sudah menjadi kewajiban anak sekolah. Tidak boleh minta hadiah.”

“Ibumu benar. Jangan sampai menjadi pintar karena hadiahnya, tapi karena keinginan menjadi anak baik dan membanggakan.”

“Tapi nanti kalau naik kelas, ibu akan mengajak Nugi jalan-jalan. Pak Tua mau ikut?”

Baskoro tertawa. Mana mungkin ikut jalan-jalan bersama bekas istrinya. Ketemu saja sungkan.

“Mau ya, nanti Nugi bilang sama ibu.”

“Tidak Nugi. Jangan. Pak tua tidak bisa meninggalkan warung ini.”

“Nugi kok ada di sini?” tiba-tiba Daniel muncul.

“Om Daniel kok kemari, apa tahu kalau ada Nugi?”

“Ibumu menelpon, aku harus menjemput kamu.”

“Oh, baiklah. Tapi biarkan Nugi selesaikan makannya.”

“Bagus, selesaikan dan jangan banyak bicara.”

“Nak Daniel dari mana?”

“Tadi sedang mau beli sesuatu, tapi menabrak orang.”

“Apa? Bagaimana bisa?”

“Seorang gadis, cantik.”

“Ditanya bagaimana bisa menabrak, kok jawabnya gadis cantik. Karena cantik, lalu nak Daniel menabraknya?”

Daniel terbahak.

“Gadis itu menyerobot lampu merah, saya ingin menghindarinya, tapi terlambat. Ya sudah. Tapi lukanya ringan. Sudah saya antarkan pulang.”

“Hm, menilik wajah yang tersenyum-senyum begitu, tampaknya nak Daniel jatuh cinta sama gadis itu,” goda Baskoro.

“Ah, baru ketemu.”

“Nak Daniel sudah kelewat umur untuk seorang bujang. Saatnya mencari pendamping.”

Daniel tersenyum. Gadis itu terbayang. Wajah cantik yang penuh khawatir dan mata bintangnya yang menusuk jiwanya, bukan main. Ini mengingatkan istrinya. Mengapa juga namanya Melati? Kata batinnya.

***

Besok lagi ya.

47 comments:

  1. 🧚🏿‍♀️🌼🧚🏿‍♀️🌼🧚🏿‍♀️🌼🧚🏿‍♀️🌼🧚🏿‍♀️🌼

    Alhamdulillah, Melati eps_03 hari Rabu, 20 Maret sudah hadir, tepat waktu.
    Matur nuwun bu Tien......

    Waduh,...... Melati mengalami lakalantas, buru-buru sih, kepingin segera menemui ibunya.

    Semoga bu Tien sehat selalu dan selalu sehat.
    Salam SEROJA dan tetap ADUHAI.

    Kakek Habi Bandung+++

    🧚🏿‍♀️🌼🧚🏿‍♀️🌼🧚🏿‍♀️🌼🧚🏿‍♀️🌼🧚🏿‍♀️🌼

    ReplyDelete
  2. Matur nuwun mbak Tien-ku Melati tayang

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah tayang *MELATI* ketiga
    Moga bunda Tien sehat selalu doaku
    Aamiin yaa Rabbal'alamiin

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Ya Robbal Alamiin
      Matur nuwun jeng In
      ADUHAIIII

      Delete
  4. 🪸🪼🪸🪼🪸🪼🪸🪼
    Alhamdulillah 🙏🦋
    MELATI 03 sdh tayang.
    Matur nuwun Bu Tien
    yang baik hati.
    Sehat2 selalu dan
    tetep smangaats nggih.
    Salam aduhai...😍🤩
    🪸🪼🪸🪼🪸🪼🪸🪼

    ReplyDelete

  5. Alhamdullilah
    Cerbung *MELATI 03* telah. hadir
    Matur nuwun bu Tien
    Semoga sehat bahagia bersama keluarga
    Aamiin...
    .

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Ya Robbal Alamiin
      Matur nuwun pak Wedeye

      Delete
  6. Hamdallah sampun tayang..matur nuwun Bunda Tien

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah. Tayang awal. Baca sambil menyiapkan kuliah. Salam sehat selalu bu Tien

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah.
    Matur sembah nuwun mbak Tien ..sehat ..semangaat..

    ReplyDelete
  9. Alhamdulillah.semoga Bunda selalu sehat wal afiat.Daniel ayo bantu Melati👍 Maturnuwun 🌹🌹🌹🙏

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah
    Terima kasih bunda Tien
    Semoga sehat walafiat
    Salam aduhai hai hai hai

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah ... maturnuwun Bu Tien semoga sehat selalu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Ya Robbal Alamiin
      Matur nuwun ibu Endang

      Delete
  12. Alhamdulillah.... matur nuwun bu Tien.. sg istirohat..

    ReplyDelete
  13. Alhamdulilah Melati 03 sdh tayang... terima kasih bunda Tien Kumalasari, Semoga bu Tien sekeluarga selalu sehat, bahagia dan dilancarkan semua urusannya salam hangat dan aduhai bun...

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillah, MELATI 03 telah tayang, terima kasih bu Tien, salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu bersama keluarga. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Ya Robbal Alamiin
      Matur nuwun ibu Uchu

      Delete
    2. Aamiin Ya Robbal Alamiin
      Matur nuwun ibu Uchu

      Delete
  15. Alhamdulillah
    Terimakasih bunda Tien
    Semoga bunda Tien selalu sehat

    ReplyDelete
  16. Aamiin Ya Robbal Alamiin
    Matur nuwun ibu Salamah

    ReplyDelete
  17. Matur nuwun Bu Tien, salam sehat selalu....

    ReplyDelete
  18. Kalau sudah tahu rumahnya dolan dolan dong.. sokur bisa bantu kesulitan hidup keluarganya. Daniel kan ada rasa tertarik kepada Melati.
    Niko jadi suka mengunjungi Baskoro ya, baguslah besok kalau tahu dia ayahnya sudah akrab dulu.
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  19. Alhamdulillah, duh senangnya Daniel , ketemu lg dg Melati ,, juga sebaliknya,.
    Berjodoh seperti nya,, kita ikuti saja cerita Bu Tien , semakin aduhaiii 😍

    Matur nuwun Bu Tien
    Tambah sehat wal'afiat ya 🤗🥰

    ReplyDelete
  20. Matur nuwun nutul sejak sore mendal terus

    ReplyDelete
  21. Mbok tumbuk, kayanya melati bakalan jadi mbok tumbuk, jadi pasangan Daniel.
    Iya donk melati mbok tumbuk, terus janjian.
    Bisa jadi tahu rumahnya Daniel bakalan nyamperin kembang desa yang rumahnya masuk gang.
    Mudah mudahan nggak punya pacar tuh si melati.
    Hé siapa tahu, ada teman sekampung yang naksir jadi penghalang.
    Cerita asik sana sini, kembali ke cerita masalah rumah, santai, rumah sederhana ada sekedar buat kalau tidur nggak kehujanan. Baskoro biar nungguin kontrakan warungnya.
    Ngrusuhi kalau tidur serumah lagi, kan lagi fokus ngumpulin doku, buat hidup yang lebih baik, dibawain soto apa nggak ya buat ibunya Nugi; kan ada rasa gurih dibalik soto, empuk lagi dagingnya.
    Lama lama sering ketemuan Daniel dan melati,.diwarung soto baskoro.
    Sejalan tå, dari tempat kerja melati kalau pulang kerumah, bu Karti juga tau soto baskoro dagingnya empuk.
    ADUHAI

    Terimakasih Bu Tien;
    Melati yang ke-tiga sudah tayang
    Sehat sehat selalu doaku
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
  22. Alhamdulillah MELATI~03 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga tetap sehat semangat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
    ‌Aamiin yra..🤲

    ReplyDelete
  23. Terimakasih bunda Tien,salam sehat selalu dan aduhai selalu.

    ReplyDelete
  24. Alhamdulillah Melati 03 sdh hadir
    Matursuwun Bu Tien, tetep sehat dan semangat... bahagia bersama ke
    Keluarga

    ReplyDelete
  25. Aduhai! Ada cinta di balik luka (tabrakan).😀

    Terima kasih, bu Tien. Semoga dipulihkan kesehatannya segera.🙏🙏🙏

    ReplyDelete

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 48

  CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  48 (Tien Kumalasari)   Satria tertegun. Tentu saja dia mengenal penjual kain batik itu. Ia hanya heran, ba...