SETANGKAI BUNGAKU
23
(Tien Kumalasari)
“Namamu Hartono?” sapa wanita itu lagi.
Nano mengangguk. Ia bingung, mengapa ada bidadari
turun dan menyapanya begitu manis.
“Kenapa kamu tampak takut? Aku temannya kakakmu.”
“Temannya mbak Tiwi namanya Ratih,” kata Nano polos.
Ratih juga cantik, tapi wanita itu memoles wajah cantiknya dengan riasan yang
memukau. Alisnya tebal, bulu matanya sangat panjang, melengkung ke atas, menghiasi
sepasang matanya yang indah bak sepasang mata bintang.
“Memangnya teman kakak kamu cuma satu? Banyak dong.”
Tapi Nano belum pernah melihat salah satu teman
kakaknya yang cantik, dan wanginya melebihi wangi ketika Ratih memasuki
rumahnya. Apa wanita ini mandi minyak wangi setiap hari? Pikir Nano.
“Tapi saya belum pernah melihat Mbak.”
“Sekarang sudah melihat bukan? Nah, ini aku bawa
buah-buahan untuk kamu. Ini buah sehat, supaya kaki kamu segera pulih.”
Nano menatap parsel yang diletakkan di atas meja, di
samping tempat dia berbaring. Matanya berkejap-kejap. Pasti segar buah-buah
itu. Ada jeruk, ada apel, ada pear, ada anggur, yang semuanya baru pernah
dilihat dalam gambar, belum pernah dinikmatinya. Nano menutup mulutnya, menahan
air liurnya yang nyaris menetes.
“Kamu mau makan jeruk? Biar aku kupaskan,” kata wanita
yang adalah Susana itu, sambil membuka parsel dan mengambil sebutir jeruk,
kemudian dikupaskan untuk Nano. Entah mengapa, tiba-tiba Susana datang melihat
Nano di rumah sakit.
“Biar saya kupas sendiri,” kata Nano sungkan.
“Tidak apa-apa, biar aku kupas, sekaligus aku suapkan
sama kamu.”
Nano tak berani membantah. Ia terus mengawasi
jari-jari lentik yang sedang mengupas jeruk untuknya.
“Biar aku makan sendiri.”
“Sebelah tangan kamu terikat dengan jarum infus,
bagaimana bisa makan sendiri? Biar aku suapi.”
Nano kembali tak bisa menolak. Ia habiskan sebutir
jeruk yang manis dan segar itu, yang disuapkan oleh wanita cantik yang mengaku
teman kakaknya.
“Kakak kamu ke mana?”
“Pulang, karena ibu tidak ada temannya.”
“Bapak kamu?”
“Bapak sudah meninggal.”
“Ibu sudah tua?”
“Ibu belum begitu tua, tapi dia tuna netra.”
“Oh?”
“Mbak Tiwi jualan sayur.”
“Kamu sekolah?”
“Klas lima.”
“Kakak kamu jualan sayur untuk membiayai sekolah kamu?"
Nano mengangguk.
“Semuanya kakak kamu yang mencukupinya?”
Nano kembali mengangguk.
“Saya sedih karena membuat mbak Tiwi susah. Kata mbak
Tiwi, polisi sedang mencari orang yang mobilnya menyerempet saya.”
Susana mengangguk. Ia sudah menduga apa yang terjadi.
Banyak yang dilakukan Sony, yang menurutnya tidak masuk akal, demi gadis
bernama Pratiwi itu.
Dia bukan hanya cemburu pada Pratiwi, tapi juga merasa
kasihan pada nasibnya. Pratiwi hanya
gadis miskin yang berusaha memenuhi semua kebutuhan keluarganya, tapi juga rela
berkorban apa saja demi menyelamatkannya.
Mengapa Sony begitu tertarik sama dia? Susana
mencari-cari, di mana letak menariknya Pratiwi. Cantik sih, tapi cantik yang
lugu, sederhana. Sony hanya ingin mempermainkannya?
“Kasihan,” bisik Susana tanpa sadar.
“Saya juga kasihan sama mbak Tiwi,” sahut Nano tanpa
mengerti arti kasihan yang diungkapkan Susana.
***
Ketika Susana pergi, Nano meraih sebuah apel yang bisa
diraihnya dengan tangan kanannya. Ia menggigitnya, dan menggigitnya lagi dengan
nikmat.
“Ini makanan orang kaya. Harganya pasti mahal. Mbak
Tiwi hebat, temannya orang kaya semua. Mbak Aira yang sudah meninggal. Mbak
Ratih, mas Roy, mas Ardian, bu Sasmi, bu Ratna, semua orang kaya. Tapi ada yang
bukan orang kaya sih. Pak Dirman, bu Sartono, siapa lagi ya,” Nano bergumam
sendiri sambil menikmati apelnya sampai habis, sebelum kemudian terlelap
kekenyangan.
***
Yu Kasnah terkejut, ketika akhirnya Pratiwi berterus
terang pada ibunya, tentang keadaan Nano. Pratiwi mengatakan, karena sudah
tidak ada lagi yang harus dikhawatirkannya. Operasi sudah selesai, dan dia
sudah melunasi biayanya. Masih ada uang tersisa, untuk membeli obat yang harus
diminum Nano selama luka operasi itu belum sembuh.
“Mengapa kamu baru cerita bahwa separah itu keadaan
Nano?”
“Pratiwi tak ingin Ibu bersedih. Dan sekarang Ibu
tidak boleh bersedih karena Nano baik-baik saja. Lukanya akan segera pulih, dan
dia sudah bisa dibawa pulang.”
“Kapan anak itu boleh pulang?”
“Sabar ya Bu, barangkali dua tiga hari lagi, kalau
keadaan membaik, Tiwi akan meminta dokter agar dipergolehkan rawat jalan saja,
supaya biayanya tidak terlalu mahal.”
“Habis berapa untuk pengobatan adik kamu? Si penabrak
itu yang membiayai?”
“Si penabrak belum tertangkap. Nomor polisi yang
dicatat warga adalah nomor palsu. Jadi susah mencarinya.”
“Ya ampun, ada orang sejahat itu. Memalsu nomor polisi
juga, menabrak tidak bertanggung jawab,” gerutu yu Kasnah.
“Ya sudah Bu, biarkan saja, tidak usah dipikirkan.
Yang penting Nano segera sembuh.”
“Lalu siapa yang membayar seluruh biaya adik kamu?”
“Ibu-ibu di kampung sini juga membantu. Lalu ada lagi
yang perlu ibu ketahui, yaitu Minggu depan Pratiwi sudah akan mulai bekerja,”
kata Pratiwi hati-hati.
"Kamu? Akhirnya akan bekerja? Sudah kamu pikirkan buruk
baiknya, untung ruginua?”
“Sudah Bu. Semoga waktu Tiwi bekerja, Nano sudah pulang
ke rumah. Nanti setelah Nano sekolah, apa ibu keberatan menunggu Nano pulang?
Tidak apa-apa kah kalau ibu sendirian?”
“Kan ibu sudah pernah bilang bahwa ibu tak apa-apa.
Rumah ini dengan segala lekuk likunya ibu sudah hafal. Ya kan?”
“Baiklah, maaf ya Bu, Tiwi terpaksa melakukannya,
karena sebagian gaji Tiwi sudah Tiwi pergunakan untuk biaya operasi Nano.”
“Jadi kamu membayarnya dari gaji kamu? Belum bekerja
tapi sudah digaji?”
“Iya Bu.”
“Baik benar perusahaannya itu.”
“Sekarang Ibu Tiwi temani makan, lalu Tiwi kembali ke
rumah sakit ya?”
“Iya, kasihan kalau adik kamu sendirian.”
“Tadi bu Sasmi juga menelpon Tiwi.”
“Iya, tadi ke sini, mencari kamu akan beli apa, gitu …
lalu bertanya pada ibu.”
“Iya, tadi bu Sasmi juga mengatakannya.”
“Kamu tadi sempat masak? Tidak kan?”
“Karena harus menunggui Nano operasi, jadi Tiwi tidak
masak. Ini tadi Tiwi beli, untuk makan siang ibu, dan makan malam nanti.”
“O, beli ya. Ya sudah nggak apa-apa, keadaan
mengharuskan begitu. Untuk Nano, kamu juga belikan?”
“Nano kan sudah mendapat jatah makan dari rumah sakit.
Tiwi hanya membelikan cemilan saja.”
“Syukurlah, anak itu kan suka cemilan.”
Pratiwi menemani makan ibunya, menungguinya sampai
sore, melayani ibunya mandi, kemudian siap-siap kembali ke rumah sakit.”
***
Roy dan Ardian kaget, ketika mendengar dari ibunya,
bahwa Nano kecelakaan dan harus dioperasi.
“Bagaimana keadaannya?”
“Tertangkap nggak penabraknya?”
“Kamu coba tanyakan pada Pratiwi, nanti kalau sudah
ketemu. Tadi yu Kasnah tidak bisa bercerita banyak, karena tampaknya Pratiwi
tidak berterus terang pada ibunya tentang keadaan Nano yang sebenarnya.”
“Mungkin khawatir kalau ibunya terkejut.”
“Atau akan mengatakannya kalau keadaan Nano sudah
membaik,” tukas Ardian.
“Nanti Ardian mau ke rumah sakit saja, Pratiwi pasti
ada di sana.”
“Aku janjian sama Ratih, nanti aku samperin saja
Ratih, aku ajak ke rumah sakit,” kata Roy.
“Padahal besok pagi laptop yang akan aku berikan pada
Nano sudah jadi,” kata Ardian lagi.
“Berarti besok kamu bisa memberikannya sebagai hadiah,
biar dia senang.”
“Betul. Besok saat istirahat akan aku ambil dan aku
bawa ke rumah sakit.”
“Ya sudah, kita mandi dulu saja. Tapi aku menelpon
Ratih dulu,” kata Roy.
“Katanya sudah janjian.”
“Maksudnya memberi tahu Ratih bahwa Nano kecelakaan.”
***
Sony sedang santai di kamar hotelnya, tersenyum-senyum
senang. Ia membayangkan wajah Susana yang cemberut, dan tampaknya cemburu
dengan keputusannya membantu Poratiwi. Marsam yang ada di depannya ikut senang,
karena kalau keinginan majikannya terpenuhi, maka dia tidak akan uring-uringan
seperti beberapa hari terakhir ini.
“Kamu tahu Sam, aku sedang merasa geli.”
“Memangnya kenapa tuan?”
“Susan itu membantu sepenuhnya sehingga Pratiwi
bersedia bekerja di kantor kita. Tapi sesungguhnya dia itu cemburu,” kata Sony
sambil tertawa.
“Cemburu tuan? Tak biasanya non Susan cemburu.”
“Kali ini, aku nggak tahu kenapa, dia marah-marah terus. Begitu aku datang, wajahnya sudah cemberut. Aku janjikan untuk
mengajaknya bersenang-senang, lalu membelikan apa yang dia mau, sama sekali dia
tidak tertarik. Heran kan? Kesimpulanku, dia itu cemburu.”
“Saya sudah tahu tuan, bahwa non Susan itu suka sama
tuan.”
“Yah, kamu kan tahu Sam, aku ini ganteng. Wanita mana
yang tidak suka sama aku? Ah ya, ada … satu … gadis bau itu.”
“Maksudnya gadis bau … tuan?”
“Siapa lagi, si penjual sayur itu.”
“O, dia? Pratiwi?” kata Marsam, lalu ia tertawa keras.
“Tuan, kembali ke non Susan. Dia itu bukan hanya suka,
tapi jatuh cinta sama tuan. Itu sebabnya, ketika mengetahui tuan mengejar dia,
maka non Susan cemburu.”
“Bukankah dia tahu bahwa aku sering bermain-main sama
wanita, dan dia mendiamkannya saja?”
“Karena tuan hanya bermain, bukan jatuh cinta. Tapi
kali ini lain. Ya kan?”
“Sam! Apa kamu sudah gila? Kamu menuduh aku jatuh
cinta sama penjual sayur itu?”
“Maksud saya, non Susan yang menuduh itu, bukan saya
tuan,” kata Marsam yang takut kalau Sony memarahinya lagi.
“Aku sudah bilang bahwa aku tak akan jatuh cinta.
Kalau aku mengejar Pratiwi, aku hanya ingin menundukkan dia. Menghancurkan
kesombongannya. Hanya itu Sam.”
“Dan dengan itu tuan menghabiskan ber ratus-ratus juta
untuk membuat cabang baru di sini, bahkan menuruti apa yang menjadi keinginan
dia. Coba tuan pikir, mana ada karyawan, maksud saya calon karyawan, mengajukan
syarat sebelum dia bersedia bekerja? Tapi tuan menurutinya, bukan?”
“Sudah, jangan bicara lagi. Sudah aku katakan bahwa
aku tidak terima kalau dia menolaknya dan aku ingin menundukkan dia. Mengapa
kamu masih bicara yang itu-itu saja?”
“Maaf tuan.”
“Sekarang kamu tidur sana, aku menunggu Susana datang
malam ini, sebelum besok pagi kita kembali ke Jakarta.”
“Baiklah.”
Tapi sampai malam Susana tidak juga datang. Sony
menggerutu sambil mengambil kunci mobilnya, kemudian menuju ke rumah Susana di
rumah kontrakannya. Untuk wanita yang satu ini, Sony tak akan pernah marah dan
merasa kesal. Walau tidak mencintainya, tapi Susana adalah karyawan
kesayangannya.
***
Pratiwi heran, melihat buah-buahan di meja Nano, yang
sebagian sudah dimakannya. Kelihatan ada potongan-potongan buah yang tidak
termakan, menumpuk di meja itu juga.
“Ya ampun, kamu jorok Nano, mengapa kotor sekali
mejanya?”
“Maaf Mbak, habis, nggak ada tempat sampahnya.”
Pratiwi tersenyum. Ada tempat sampah, tapi jauh dari
jangkauan Nano. Ia membuang sampah itu, lalu duduk di samping adiknya.
“Siapa yang memberi buah-buahan ini?”
“Seorang bidadari,” jawab Nano seenaknya.”
“Apa maksudmu bidadari?”
“Wanita, sangat cantik, alisnya tebaaal, bulu matanya
lentik panjang, terus bibirnya kemerahan, terus rambutnya ikal. Satu lagi,
baunya wangi sekali. Apa mbak tidak menicum aroma wangi di ruangan ini? Sudah
banyak berkurang, tadi wangi sekali. Pasti dia mandi minyak wangi.”
Pratiwi melongo mendengar ungkapan Nano tentang wanita
yang memberinya buah-buahan.
“Siapa namanya?”
“Aku lupa menanyakan namanya. Tapi dia bilang, dia itu
temannya Mbak Tiwi.”
“Temanku? Cantik? Apa dia Ratih?”
“Mbak Ratih kan aku sudah mengenalnya. Itu aku belum
pernah melihatnya.”
“Siapa ya? Aku juga tidak memberi tahu siapa-siapa
bahwa kamu lagi sakit. Tapi ya sudah, nanti mbak ingat-ingat lagi. Sekarang
bagaimana keadaan kamu?”
“Sudah terasa sakitnya. Tapi hanya sedikit.”
“Tidak apa-apa, kamu harus bersabar. Besok kalau
dokternya ada, aku akan minta supaya kamu boleh rawat jalan saja.”
“Iya, aku nggak kerasan tidur di sini.”
“Baiklah. Tapi nanti maukah kamu tidur sendiri? Di
kiri kanan kamu ada beberapa pasien lain, jadi kamu tidak sendirian. Kalau kamu
butuh apa-apa, kamu bisa memanggil suster. Ada bel di atas kamu, kamu boleh
memencetnya, lalu dia akan datang membantu kamu.”
“Iya, aku tahu. Kasihan ibu kalau sendirian
malam-malam.”
“Bagus, anak baik, syukurlah kalau kamu mengerti.”
***
Pratiwi mengayuh sepedanya pelan, saat hari mulai
gelap. Ia melewati deretan pertokoan yang ramai, lalu teringat olehnya akan
membeli lauk lagi, agar bisa dipakai sarapan juga, karena yang tadi dibelinya
hanya cukup untuk makan malam saja.
“Tapi jangan di sini ah, cari warung pinggir jalan
saja, ini kan rumah makan besar semua,” gumamnya.
Pratiwi meneruskan mengayuh sepedanya, lalu terkejut
ketika melihat seorang wanita turun dari sebuah mobil. Ia mengenalnya, karena
wanita itu adalah Susana. Yang membuatnya lebih terkejut lagi ialah, bahwa
Susana tidak sendiri.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah...
ReplyDeleteMatur suwun
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku, Tiwi sudah mruput.
ReplyDeleteSlamat mlm bunda..terima ksih SB nya..slm seroja dri skbmi🙏😍🌹❤️
ReplyDeleteMatur nuwun jeng Tien
ReplyDeleteTerus Susana bicara dengan Sony tentang Tiwi, tentang Nano dll. Mungkin tentang kecelakaan itu juga?
ReplyDeleteSalam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
.. rasanya ga sabar nich nunggu hr senin yaa.. lanjutan ceritanya...
DeleteCoba teh Hermin lanjutkan ceritanya, nanti biar cepat selesai.
DeleteMaturnuwun Bu Tien...
ReplyDelete🙏🙏
ReplyDeleteAlhamdulillah SETANGKAI BUNGAKU~23 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏
Hoooreeee.... gasik matur nuwun bu Tien, salam sehat n slmt brakhir pekan
ReplyDeleteAlhamdulilah Pratiwi tayang gasik..
ReplyDeleteTks bunda Tien..
Salam Aduhai..dan semoga sehat selalu..
🙏🙏🌹❤️
alhamdulillah... maturnuwun
ReplyDeleteMaturnuwun bu Tien, paring gasik terus....salam seroja, sehat rohani jasmani.
ReplyDeletePasti Susana sama Sony ya.
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
Selalu sehat dan tetap semangat.
Aduhai
Alhamdulillah, SETANGKAI BUNGAKU (SB) 23 telah tayang ,terima kasih bu Tien salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Alhamdulillah.... Wah.. Tambah seruu nih... Apakah akan terpatahkan? Pratiwi?
ReplyDeleteSehat selalu mbakyu 🧕
Alhamdulillah
ReplyDeleteTrims Bu tien
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien
ReplyDeleteSemoga bu Tien sehat selalu.
Maturnuwun
ReplyDeleteAlhamdulillah SB-23 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semoga Bunda sehat dan bahagia selalu.
Aamiin
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteAlhamdulillah, mtr nuwun, sehat selalu bunda Tien ..
ReplyDeleteRupanya Susana masih disuruh merahasiakan kalau Sony bos nya, tapi perhatian Susana pada Pratiwi bukan untuk mengalahkan Pratiwi tapi Susana semakin simpatik pada Pratiwi bahkan berusaha mengawasi ketat Sony bila berdekatan dengan Pratiwi, berusaha agar Sony tidak mempermainkan Pratiwi, seperti yang sudah sudah.
ReplyDeletePertanyaannya ada hubungan apa Sony dan Susana, sementara soal penabrak itupun Susana sudah curiga kalau itu bagian dari rencana Sony; itulah Susana semakin simpatik sama Pratiwi dan dana yang dibutuhkan itu untuk keperluan membayar biaya rumah sakit, bukan untuk bangga banggaan apalagi untuk biaya penampilan.
Adakah Pratiwi curiga; Sony bosnya Susana, jangan jangan(bumbuné piyé kuwi) ini bos perusahaan itu, pantesan seberapa pun permintaan nya di setujui, nah lho.
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Setangkai bungaku yang ke dua puluh tiga sudah tayang
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Terima kasih mbak Tien, SB 23 sudah nongol walau tadi pagi seharian kumpul2 bersama teman2 di Semarang.Salam sehat2 selalu dan terus semangat dari Neni Tegal.
ReplyDeleteTerima kasih ibu Neni. Terima kasih juga perhatiannya , jauh2 dari Tegal datang untuk hadir
DeleteAlhamdulilah
ReplyDeleteTerimakasih cerbungnya bunda Tien
Semoga bunda Tien sekeluarga selalu sehat wal'afiat aamiin
Alhamdulillah
ReplyDeleteSemoga selamet Tiwi dr laki2 ...
Jadi mls bacanya
Ayo sahabat2ku, segera :
ReplyDelete1. Pesan novel AYNA, stok tinggal sedikit lagi.
2. Segera daftar untuk gabung dengan Jumpa Fans-4 di Kinasih Resort TAPOS DEPOK, acara jumpa dengan bu Tien Kumalasari, dengan agenda :
1. Jum'at 9 Maret, malam. Kebersamaan dengan sang IDOLA (Tien Kumalasari) .
2. Sabtu pagi senam, lanjut city tour ke TMII, KOTA TUA BATAVIA, Tugu MONAS, dilanjutkan kuliner malam minggu seputaran Jl. Sabang....
3. Minggu pagi, car free day Thamrin.
Sayonara.
Terimakasih Mbak Tien...
ReplyDelete