Saturday, February 18, 2023

SETANGKAI BUNGAKU 23

 

SETANGKAI BUNGAKU  23

(Tien Kumalasari)

 

“Namamu Hartono?” sapa wanita itu lagi.

Nano mengangguk. Ia bingung, mengapa ada bidadari turun dan menyapanya begitu manis.

“Kenapa kamu tampak takut? Aku temannya kakakmu.”

“Temannya mbak Tiwi namanya Ratih,” kata Nano polos. Ratih juga cantik, tapi wanita itu memoles wajah cantiknya dengan riasan yang memukau. Alisnya tebal, bulu matanya sangat                                 panjang, melengkung ke atas, menghiasi sepasang matanya yang indah bak sepasang mata bintang.

“Memangnya teman kakak kamu cuma satu? Banyak dong.”

Tapi Nano belum pernah melihat salah satu teman kakaknya yang cantik, dan wanginya melebihi wangi ketika Ratih memasuki rumahnya. Apa wanita ini mandi minyak wangi setiap hari? Pikir Nano.

“Tapi saya belum pernah melihat Mbak.”

“Sekarang sudah melihat bukan? Nah, ini aku bawa buah-buahan untuk kamu. Ini buah sehat, supaya kaki kamu segera pulih.”

Nano menatap parsel yang diletakkan di atas meja, di samping tempat dia berbaring. Matanya berkejap-kejap. Pasti segar buah-buah itu. Ada jeruk, ada apel, ada pear, ada anggur, yang semuanya baru pernah dilihat dalam gambar, belum pernah dinikmatinya. Nano menutup mulutnya, menahan air liurnya yang nyaris menetes.

“Kamu mau makan jeruk? Biar aku kupaskan,” kata wanita yang adalah Susana itu, sambil membuka parsel dan mengambil sebutir jeruk, kemudian dikupaskan untuk Nano. Entah mengapa, tiba-tiba Susana datang melihat Nano di rumah sakit.

“Biar saya kupas sendiri,” kata Nano sungkan.

“Tidak apa-apa, biar aku kupas, sekaligus aku suapkan sama kamu.”

Nano tak berani membantah. Ia terus mengawasi jari-jari lentik yang sedang mengupas jeruk untuknya.

“Biar aku makan sendiri.”

“Sebelah tangan kamu terikat dengan jarum infus, bagaimana bisa makan sendiri? Biar aku suapi.”

Nano kembali tak bisa menolak. Ia habiskan sebutir jeruk yang manis dan segar itu, yang disuapkan oleh wanita cantik yang mengaku teman kakaknya.

“Kakak kamu ke mana?”

“Pulang, karena ibu tidak ada temannya.”

“Bapak kamu?”

“Bapak sudah meninggal.”

“Ibu sudah tua?”

“Ibu belum begitu tua, tapi dia tuna netra.”

“Oh?”

“Mbak Tiwi jualan sayur.”

“Kamu sekolah?”

“Klas lima.”

“Kakak kamu jualan sayur untuk membiayai sekolah kamu?"

Nano mengangguk.

“Semuanya kakak kamu yang mencukupinya?”

Nano kembali mengangguk.

“Saya sedih karena membuat mbak Tiwi susah. Kata mbak Tiwi, polisi sedang mencari orang yang mobilnya menyerempet saya.”

Susana mengangguk. Ia sudah menduga apa yang terjadi. Banyak yang dilakukan Sony, yang menurutnya tidak masuk akal, demi gadis bernama Pratiwi itu.

Dia bukan hanya cemburu pada Pratiwi, tapi juga merasa kasihan pada nasibnya.  Pratiwi hanya gadis miskin yang berusaha memenuhi semua kebutuhan keluarganya, tapi juga rela berkorban apa saja demi menyelamatkannya.

Mengapa Sony begitu tertarik sama dia? Susana mencari-cari, di mana letak menariknya Pratiwi. Cantik sih, tapi cantik yang lugu, sederhana. Sony hanya ingin mempermainkannya?

“Kasihan,” bisik Susana tanpa sadar.

“Saya juga kasihan sama mbak Tiwi,” sahut Nano tanpa mengerti arti kasihan yang diungkapkan Susana.

***

Ketika Susana pergi, Nano meraih sebuah apel yang bisa diraihnya dengan tangan kanannya. Ia menggigitnya, dan menggigitnya lagi dengan nikmat.

“Ini makanan orang kaya. Harganya pasti mahal. Mbak Tiwi hebat, temannya orang kaya semua. Mbak Aira yang sudah meninggal. Mbak Ratih, mas Roy, mas Ardian, bu Sasmi, bu Ratna, semua orang kaya. Tapi ada yang bukan orang kaya sih. Pak Dirman, bu Sartono, siapa lagi ya,” Nano bergumam sendiri sambil menikmati apelnya sampai habis, sebelum kemudian terlelap kekenyangan.

***

Yu Kasnah terkejut, ketika akhirnya Pratiwi berterus terang pada ibunya, tentang keadaan Nano. Pratiwi mengatakan, karena sudah tidak ada lagi yang harus dikhawatirkannya. Operasi sudah selesai, dan dia sudah melunasi biayanya. Masih ada uang tersisa, untuk membeli obat yang harus diminum Nano selama luka operasi itu belum sembuh.

“Mengapa kamu baru cerita bahwa separah itu keadaan Nano?”

“Pratiwi tak ingin Ibu bersedih. Dan sekarang Ibu tidak boleh bersedih karena Nano baik-baik saja. Lukanya akan segera pulih, dan dia sudah bisa dibawa pulang.”

“Kapan anak itu boleh pulang?”

“Sabar ya Bu, barangkali dua tiga hari lagi, kalau keadaan membaik, Tiwi akan meminta dokter agar dipergolehkan rawat jalan saja, supaya biayanya tidak terlalu mahal.”

“Habis berapa untuk pengobatan adik kamu? Si penabrak itu yang membiayai?”

“Si penabrak belum tertangkap. Nomor polisi yang dicatat warga adalah nomor palsu. Jadi susah mencarinya.”

“Ya ampun, ada orang sejahat itu. Memalsu nomor polisi juga, menabrak tidak bertanggung jawab,” gerutu yu Kasnah.

“Ya sudah Bu, biarkan saja, tidak usah dipikirkan. Yang penting Nano segera sembuh.”

“Lalu siapa yang membayar seluruh biaya adik kamu?”

“Ibu-ibu di kampung sini juga membantu. Lalu ada lagi yang perlu ibu ketahui, yaitu Minggu depan Pratiwi sudah akan mulai bekerja,” kata Pratiwi hati-hati.

"Kamu? Akhirnya akan bekerja? Sudah kamu pikirkan buruk baiknya, untung ruginua?”

“Sudah Bu. Semoga waktu Tiwi bekerja, Nano sudah pulang ke rumah. Nanti setelah Nano sekolah, apa ibu keberatan menunggu Nano pulang? Tidak apa-apa kah kalau ibu sendirian?”

“Kan ibu sudah pernah bilang bahwa ibu tak apa-apa. Rumah ini dengan segala lekuk likunya ibu sudah hafal. Ya kan?”

“Baiklah, maaf ya Bu, Tiwi terpaksa melakukannya, karena sebagian gaji Tiwi sudah Tiwi pergunakan untuk biaya operasi Nano.”

“Jadi kamu membayarnya dari gaji kamu? Belum bekerja tapi sudah digaji?”

“Iya Bu.”

“Baik benar perusahaannya itu.”

“Sekarang Ibu Tiwi temani makan, lalu Tiwi kembali ke rumah sakit ya?”

“Iya, kasihan kalau adik kamu sendirian.”

“Tadi bu Sasmi juga menelpon Tiwi.”

“Iya, tadi ke sini, mencari kamu akan beli apa, gitu … lalu bertanya pada ibu.”

“Iya, tadi bu Sasmi juga mengatakannya.”

“Kamu tadi sempat masak? Tidak kan?”

“Karena harus menunggui Nano operasi, jadi Tiwi tidak masak. Ini tadi Tiwi beli, untuk makan siang ibu, dan makan malam nanti.”

“O, beli ya. Ya sudah nggak apa-apa, keadaan mengharuskan begitu. Untuk Nano, kamu juga belikan?”

“Nano kan sudah mendapat jatah makan dari rumah sakit. Tiwi hanya membelikan cemilan saja.”

“Syukurlah, anak itu kan suka cemilan.”

Pratiwi menemani makan ibunya, menungguinya sampai sore, melayani ibunya mandi, kemudian siap-siap kembali ke rumah sakit.”

***

Roy dan Ardian kaget, ketika mendengar dari ibunya, bahwa Nano kecelakaan dan harus dioperasi.

“Bagaimana keadaannya?”

“Tertangkap nggak penabraknya?”

“Kamu coba tanyakan pada Pratiwi, nanti kalau sudah ketemu. Tadi yu Kasnah tidak bisa bercerita banyak, karena tampaknya Pratiwi tidak berterus terang pada ibunya tentang keadaan Nano yang sebenarnya.”

“Mungkin khawatir kalau ibunya terkejut.”

“Atau akan mengatakannya kalau keadaan Nano sudah membaik,” tukas Ardian.

“Nanti Ardian mau ke rumah sakit saja, Pratiwi pasti ada di sana.”

“Aku janjian sama Ratih, nanti aku samperin saja Ratih, aku ajak ke rumah sakit,” kata Roy.

“Padahal besok pagi laptop yang akan aku berikan pada Nano sudah jadi,” kata Ardian lagi.

“Berarti besok kamu bisa memberikannya sebagai hadiah, biar dia senang.”

“Betul. Besok saat istirahat akan aku ambil dan aku bawa ke rumah sakit.”

“Ya sudah, kita mandi dulu saja. Tapi aku menelpon Ratih dulu,” kata Roy.

“Katanya sudah janjian.”

“Maksudnya memberi tahu Ratih bahwa Nano kecelakaan.”

***

Sony sedang santai di kamar hotelnya, tersenyum-senyum senang. Ia membayangkan wajah Susana yang cemberut, dan tampaknya cemburu dengan keputusannya membantu Poratiwi. Marsam yang ada di depannya ikut senang, karena kalau keinginan majikannya terpenuhi, maka dia tidak akan uring-uringan seperti beberapa hari terakhir ini.

“Kamu tahu Sam, aku sedang merasa geli.”

“Memangnya kenapa tuan?”

“Susan itu membantu sepenuhnya sehingga Pratiwi bersedia bekerja di kantor kita. Tapi sesungguhnya dia itu cemburu,” kata Sony sambil tertawa.

“Cemburu tuan? Tak biasanya non Susan cemburu.”

“Kali ini, aku nggak tahu kenapa, dia marah-marah terus. Begitu aku datang, wajahnya sudah cemberut. Aku janjikan untuk mengajaknya bersenang-senang, lalu membelikan apa yang dia mau, sama sekali dia tidak tertarik. Heran kan? Kesimpulanku, dia itu cemburu.”

“Saya sudah tahu tuan, bahwa non Susan itu suka sama tuan.”

“Yah, kamu kan tahu Sam, aku ini ganteng. Wanita mana yang tidak suka sama aku? Ah ya, ada … satu … gadis bau itu.”

“Maksudnya gadis bau … tuan?”

“Siapa lagi, si penjual sayur itu.”

“O, dia? Pratiwi?” kata Marsam, lalu ia tertawa keras.

“Tuan, kembali ke non Susan. Dia itu bukan hanya suka, tapi jatuh cinta sama tuan. Itu sebabnya, ketika mengetahui tuan mengejar dia, maka non Susan cemburu.”

“Bukankah dia tahu bahwa aku sering bermain-main sama wanita, dan dia mendiamkannya saja?”

“Karena tuan hanya bermain, bukan jatuh cinta. Tapi kali ini lain. Ya kan?”

“Sam! Apa kamu sudah gila? Kamu menuduh aku jatuh cinta sama penjual sayur itu?”

“Maksud saya, non Susan yang menuduh itu, bukan saya tuan,” kata Marsam yang takut kalau Sony memarahinya lagi.

“Aku sudah bilang bahwa aku tak akan jatuh cinta. Kalau aku mengejar Pratiwi, aku hanya ingin menundukkan dia. Menghancurkan kesombongannya. Hanya itu Sam.”

“Dan dengan itu tuan menghabiskan ber ratus-ratus juta untuk membuat cabang baru di sini, bahkan menuruti apa yang menjadi keinginan dia. Coba tuan pikir, mana ada karyawan, maksud saya calon karyawan, mengajukan syarat sebelum dia bersedia bekerja? Tapi tuan menurutinya, bukan?”

“Sudah, jangan bicara lagi. Sudah aku katakan bahwa aku tidak terima kalau dia menolaknya dan aku ingin menundukkan dia. Mengapa kamu masih bicara yang itu-itu saja?”

“Maaf tuan.”

“Sekarang kamu tidur sana, aku menunggu Susana datang malam ini, sebelum besok pagi kita kembali ke Jakarta.”

“Baiklah.”

Tapi sampai malam Susana tidak juga datang. Sony menggerutu sambil mengambil kunci mobilnya, kemudian menuju ke rumah Susana di rumah kontrakannya. Untuk wanita yang satu ini, Sony tak akan pernah marah dan merasa kesal. Walau tidak mencintainya, tapi Susana adalah karyawan kesayangannya.

***

Pratiwi heran, melihat buah-buahan di meja Nano, yang sebagian sudah dimakannya. Kelihatan ada potongan-potongan buah yang tidak termakan, menumpuk di meja itu juga.

“Ya ampun, kamu jorok Nano, mengapa kotor sekali mejanya?”

“Maaf Mbak, habis, nggak ada tempat sampahnya.”

Pratiwi tersenyum. Ada tempat sampah, tapi jauh dari jangkauan Nano. Ia membuang sampah itu, lalu duduk di samping adiknya.

“Siapa yang memberi buah-buahan ini?”

“Seorang bidadari,” jawab Nano seenaknya.”

“Apa maksudmu bidadari?”

“Wanita, sangat cantik, alisnya tebaaal, bulu matanya lentik panjang, terus bibirnya kemerahan, terus rambutnya ikal. Satu lagi, baunya wangi sekali. Apa mbak tidak menicum aroma wangi di ruangan ini? Sudah banyak berkurang, tadi wangi sekali. Pasti dia mandi minyak wangi.”

Pratiwi melongo mendengar ungkapan Nano tentang wanita yang memberinya buah-buahan.

“Siapa namanya?”

“Aku lupa menanyakan namanya. Tapi dia bilang, dia itu temannya Mbak Tiwi.”

“Temanku? Cantik? Apa dia Ratih?”

“Mbak Ratih kan aku sudah mengenalnya. Itu aku belum pernah melihatnya.”

“Siapa ya? Aku juga tidak memberi tahu siapa-siapa bahwa kamu lagi sakit. Tapi ya sudah, nanti mbak ingat-ingat lagi. Sekarang bagaimana keadaan kamu?”

“Sudah terasa sakitnya. Tapi hanya sedikit.”

“Tidak apa-apa, kamu harus bersabar. Besok kalau dokternya ada, aku akan minta supaya kamu boleh rawat jalan saja.”

“Iya, aku nggak kerasan tidur di sini.”

“Baiklah. Tapi nanti maukah kamu tidur sendiri? Di kiri kanan kamu ada beberapa pasien lain, jadi kamu tidak sendirian. Kalau kamu butuh apa-apa, kamu bisa memanggil suster. Ada bel di atas kamu, kamu boleh memencetnya, lalu dia akan datang membantu kamu.”

“Iya, aku tahu. Kasihan ibu kalau sendirian malam-malam.”

“Bagus, anak baik, syukurlah kalau kamu mengerti.”

***

Pratiwi mengayuh sepedanya pelan, saat hari mulai gelap. Ia melewati deretan pertokoan yang ramai, lalu teringat olehnya akan membeli lauk lagi, agar bisa dipakai sarapan juga, karena yang tadi dibelinya hanya cukup untuk makan malam saja.

“Tapi jangan di sini ah, cari warung pinggir jalan saja, ini kan rumah makan besar semua,” gumamnya.

Pratiwi meneruskan mengayuh sepedanya, lalu terkejut ketika melihat seorang wanita turun dari sebuah mobil. Ia mengenalnya, karena wanita itu adalah Susana. Yang membuatnya lebih terkejut lagi ialah, bahwa Susana tidak sendiri.

***

Besok lagi ya.

 

33 comments:

  1. Matur nuwun mbak Tien-ku, Tiwi sudah mruput.

    ReplyDelete
  2. Slamat mlm bunda..terima ksih SB nya..slm seroja dri skbmi🙏😍🌹❤️

    ReplyDelete
  3. Terus Susana bicara dengan Sony tentang Tiwi, tentang Nano dll. Mungkin tentang kecelakaan itu juga?
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
    Replies
    1. .. rasanya ga sabar nich nunggu hr senin yaa.. lanjutan ceritanya...

      Delete
    2. Coba teh Hermin lanjutkan ceritanya, nanti biar cepat selesai.

      Delete

  4. Alhamdulillah SETANGKAI BUNGAKU~23 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏

    ReplyDelete
  5. Hoooreeee.... gasik matur nuwun bu Tien, salam sehat n slmt brakhir pekan

    ReplyDelete
  6. Alhamdulilah Pratiwi tayang gasik..
    Tks bunda Tien..
    Salam Aduhai..dan semoga sehat selalu..
    🙏🙏🌹❤️

    ReplyDelete
  7. Maturnuwun bu Tien, paring gasik terus....salam seroja, sehat rohani jasmani.

    ReplyDelete
  8. Pasti Susana sama Sony ya.
    Makasih mba Tien.
    Selalu sehat dan tetap semangat.
    Aduhai

    ReplyDelete
  9. Alhamdulillah, SETANGKAI BUNGAKU (SB) 23 telah tayang ,terima kasih bu Tien salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu.  Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah.... Wah.. Tambah seruu nih... Apakah akan terpatahkan? Pratiwi?
    Sehat selalu mbakyu 🧕

    ReplyDelete
  11. Terima kasih Bu Tien
    Semoga bu Tien sehat selalu.

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillah SB-23 sdh hadir
    Terima kasih Bunda Tien, semoga Bunda sehat dan bahagia selalu.
    Aamiin

    ReplyDelete
  13. Alhamdulillah, mtr nuwun, sehat selalu bunda Tien ..

    ReplyDelete
  14. Rupanya Susana masih disuruh merahasiakan kalau Sony bos nya, tapi perhatian Susana pada Pratiwi bukan untuk mengalahkan Pratiwi tapi Susana semakin simpatik pada Pratiwi bahkan berusaha mengawasi ketat Sony bila berdekatan dengan Pratiwi, berusaha agar Sony tidak mempermainkan Pratiwi, seperti yang sudah sudah.
    Pertanyaannya ada hubungan apa Sony dan Susana, sementara soal penabrak itupun Susana sudah curiga kalau itu bagian dari rencana Sony; itulah Susana semakin simpatik sama Pratiwi dan dana yang dibutuhkan itu untuk keperluan membayar biaya rumah sakit, bukan untuk bangga banggaan apalagi untuk biaya penampilan.
    Adakah Pratiwi curiga; Sony bosnya Susana, jangan jangan(bumbuné piyé kuwi) ini bos perusahaan itu, pantesan seberapa pun permintaan nya di setujui, nah lho.
    ADUHAI

    Terimakasih Bu Tien
    Setangkai bungaku yang ke dua puluh tiga sudah tayang
    Sehat sehat selalu doaku
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
  15. Terima kasih mbak Tien, SB 23 sudah nongol walau tadi pagi seharian kumpul2 bersama teman2 di Semarang.Salam sehat2 selalu dan terus semangat dari Neni Tegal.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih ibu Neni. Terima kasih juga perhatiannya , jauh2 dari Tegal datang untuk hadir

      Delete
  16. Alhamdulilah
    Terimakasih cerbungnya bunda Tien
    Semoga bunda Tien sekeluarga selalu sehat wal'afiat aamiin

    ReplyDelete
  17. Alhamdulillah
    Semoga selamet Tiwi dr laki2 ...
    Jadi mls bacanya

    ReplyDelete
  18. Ayo sahabat2ku, segera :
    1. Pesan novel AYNA, stok tinggal sedikit lagi.
    2. Segera daftar untuk gabung dengan Jumpa Fans-4 di Kinasih Resort TAPOS DEPOK, acara jumpa dengan bu Tien Kumalasari, dengan agenda :
    1. Jum'at 9 Maret, malam. Kebersamaan dengan sang IDOLA (Tien Kumalasari) .
    2. Sabtu pagi senam, lanjut city tour ke TMII, KOTA TUA BATAVIA, Tugu MONAS, dilanjutkan kuliner malam minggu seputaran Jl. Sabang....
    3. Minggu pagi, car free day Thamrin.
    Sayonara.

    ReplyDelete

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 48

  CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  48 (Tien Kumalasari)   Satria tertegun. Tentu saja dia mengenal penjual kain batik itu. Ia hanya heran, ba...