SETANGKAI BUNGAKU
19
(Tien Kumalasari)
Pratiwi menunggu sampai Ardian tiba didekatnya,
barulah menyapa.
“Kok Mas Ardian ada di sini?”
“Iya, lagi pengin jalan-jalan. Lha kalian mau belanja
apaan? Mau masuk ke toko komputer itu?”
Pratiwi tersipu. Sesungguhnya dia hanya baru ingin
melihat-lihat.
“Cuma melihat-lihat kok mas.”
“Yang kamu mau masuk itu, jualan laptop bekas.”
“Iya. Laptop bekas saja belum tentu terbeli. Sekali
lagi baru ingin melihat-lihat saja.”
“Beli laptop untuk Nano?”
“Iya Mas, nggak tahu tuh, sekolah sekarang, masih SMP
sudah harus punya laptop.”
“No, nggak usah beli. Di rumah ada laptop tidak
terpakai. Bukan baru sih, tapi masih bagus. Nanti bisa diservis dulu karena
lama tidak dipakai.”
“Maksudnya, harus beli punya mas Ardian?” tanya Nano
polos.
Ardian tertawa.
“Tidak, memangnya aku jualan laptop? Laptop itu gratis
untuk kamu.”
“Apa? Benarkah?” Nano bersorak kegirangan.
“Jangan Mas, biar Nano menabung dulu, nanti keterusan
selalu membuat repot orang lain,” kata Pratiwi sungkan, sambil menarik adiknya
ke arah toko, nekat ingin melihat-lihat. Tapi dengan cekatan Ardian memegang
tangan Nano.
“Pratiwi, punyaku tidak terpakai, karena untuk
bekerja, bapak telah menyediakan yang baru. Dari pada tidak terpakai, biar saja
dipakai Nano.”
Nano menatap kakaknya yang tampak keberatan.
“Tiwi, mengapa kamu ini? Itu laptop tidak terpakai,
tapi masih layak pakai. Ayolah.”
“Saya selalu menyusahkan orang lain.”
“Siapa yang merasa susah karena kamu? Tidak, ayo
pulang, ikut aku sekalian ke rumah, lalu kembali kemari untuk menservis
laptopnya,” kata Ardian sambil masih memegangi tangan Nano.
“Kami berboncengan naik sepeda Mas,” kata Pratiwi.
“Baiklah, segera pulang, lalu ke rumahku, ya No."
“Bagaimana Mbak?” Nano ragu-ragu karena belum mendapat
persetujuan kakaknya.
“Ayolah Tiwi, sungguh itu barang yang tidak terpakai.
Daripada membuang-buang uang,” kata Ardian sambil menatap Tiwi lekat-lekat.
“Terima kasih banyak,” akhirnya kata Tiwi
“Nah, ayo pulang, lalu Nano ke rumah setelahnya ya,”
kata Ardian sambil melepaskan tangan Nano.
Pratiwi mengangguk, lalu menghampiri sepedanya,
kembali memboncengkan adiknya, menuju pulang.
“Beruntung ya Mbak, kita tidak usah membeli,” kata
Nano saat berada di boncengan kakaknya.
“Jangan merasa senang karena sebuah pemberian. Diberi
seseorang itu adalah beban,” kata Prafiwi tandas.
“Apa maksudnya?”
“Memang kita diberi, memang kita tidak usah mengeluarkan uang, tapi kita punya beban kebaikan yang diberikan orang lain kepada kita.”
“Lalu mengapa tadi kita tidak menolaknya?”
“Menolak juga bukan sesuatu yang baik, selama si
pemberi memberikannya dengan tulus.”
“Lalu apa yang harus kita lakukan?”
“Mensyukuri semua itu sebagai sebuah anugerah, tapi
jangan bersorak karena mendapatkannya. Nanti bisa keterusan, selalu
mengharapkan pemberian. Itu tidak baik.”
Nano terdiam, tampak merenungi apa yang dikatakan
kakaknya. Pratiwi terlalu baik, tapi tidak suka mendapat pemberian. Ia hanya
harus bersyukur, tapi tidak suka mengharapkan memberian berikutnya. Itu
sebabnya dia ingin mencoba pekerjaan yang ditawarkan Ratih, agar tidak selalu
mendapatkan belas kasihan.
***
Ardian sudah sampai di rumah, masuk ke gudang mencari
laptop yang lama sudah tidak dipakainya. Ia membawanya keluar, dan
membersihkannya dari debu.
Roy heran melihatnya.
“Apa yang kamu lakukan Ar? Untuk apa itu?”
“Kan sudah lama tidak aku pakai, coba di servis dulu,
kalau masih bagus akan aku berikan pada Nano.”
“Nano adiknya Pratiwi?”
“Iya.”
“Tadi main ke sana? Katanya mau beli buku bacaan.”
“Aku ketemu, ketika Pratiwi dan Nano sedang mencari
laptop bekas. Nano membutuhkannya, tapi tampaknya uangnya belum cukup. Aku
ingat masih punya ini. Masih bagis sih, tapi karena lama tidak dipakai,
barangkali harus di servis lagi. Semoga masih bisa.”
“Sudah lama sekali. Bagaimana kalau nggak bisa dipakai
lagi?”
“Gampang, di sana dijual macam-macam merk laptop
bekas. Kasihan, Pratiwi pasti agak berat menyandang beban sekolah anak jaman
sekarang. Kebutuhannya macam-macam, padahal tidak semua orang mampu memenuhinya
kan?”
“Iya sih.”
“Kamu mau ke mana? Kok dandan rapi banget? Ini sudah
mau maghrib.”
“Mau keluar, nanti setelah maghrib.”
“Ke mana?”
“Mau tahu saja.”
Ardian tertawa mengetahui Roy tampak merahasiakan
kepergiannya.
“Tapi kayaknya aku tahu deh,” goda Ardian.
“Jangan sok tahu,” sergah Roy sambil menjauhi
kakaknya.”
“Ke rumah Ratih kan?” teriak Ardian. Tapi Roy sudah
masuk ke dalam kamarnya.
“Siapa Ratih?” tanya Sasmi yang baru saja keluar dari
belakang.
“Itu Bu, adiknya Aira.”
“O, sekarang Roy dekat sama dia?”
“Sepertinya begitu Bu, wajahnya mirip Aira.”
“Karena itu, maka Roy suka?”
“Entahlah, dia penuh rahasia. Pada Ardian juga tidak
mau berterus terang.”
Sasmi tertawa, ada rasa senang menyadari anak-anaknya
beranjak dewasa. Kalaupun jatuh cinta pada seseorang, semoga tidak salah dalam
memilih.
“Ibu senang kan, akhirnya Roy benar-benar tertarik
pada seseorang. Baru kali ini saya melihatnya begitu."
“Iya, senang. Bagaimana yang namanya Ratih?
Cantikkah?”
“Cantik, cerewet, tapi baik. Dia berbeda dengan almarhumah
kakaknya yang manja dan kolokan.”
“Iya, ibu pernah dengar, Roy tidak suka pada
almarhumah, kok sekarang suka sama adiknya?”
“Barangkali ada perbedaan perangai yang menarik untuk
dia.”
“Semoga tidak salah pilih. Tapi bagaimana dengan kamu?
Bukankah kamu lebih tua dan harus juga segera menemukan gadis yang kamu suka?”
Ardian hanya tertawa, tak menjawab apapun.
“Ardian, kenapa tertawa?”
“Belum ada Bu. Sabar ya?” kata Ardian yang kemudian
juga menjauhi ibunya. Rupanya dia belum menemukan gadis yang bisa dipamerkan
kepada ibunya, atau barangkali juga belum yakin akan apa yang ada di dalam
hatinya.
***
Ratih baru saja selesai shalat ketika ponselnya
berdering. Dari Sony.
“Ada apa?” sapa Ratih singkat.
“Waduh, kok jawabnya galak banget.”
“Aku kan memang galak? Katakan ada apa, aku mau jalan
jalan.”
“Sama siapa?”
“Mau tahu saja.”
“Baiklah, ikut senang mendengarnya, semoga dia ganteng
seperti aku.”
“Iih, jauh lebih ganteng dong,” canda Ratih.
“Masa sih, ada orang yang lebih ganteng dari aku?”
“Sok deh. Memangnya kamu ganteng?”
“Ganteng lah. Oh ya, bagaimana kabarnya Pratiwi, sudah
ada jawabannya?”
“Kirimkan alamat kantor kamu, berikut siapa yang harus
ditemui. Sepertinya dia tertarik.”
“Bagus. Aku sudah tahu bahwa kamu pintar merayu.”
“Eh, aku sama sekali tidak merayu, aku hanya
menginformasikan, keputusannya terserah dia, Padahal sesungguhnya aku berharap
agar dia tidak menerimanya.”
“Jahat sekali kamu. Sama sahabat sendiri tega ya.”
“Ini bukan masalah tega. Sebenarnya aku meragukan
ketulusan hati kamu.”
“Hm, berani sumpah disambar geledek deh. Aku berniat baik. Ingin menolong. Kok kamu
selalu tidak percaya sih?”
“Ya sudah, kirimkan saja nama perusahaan, alamat, dan
siapa HRD nya, atau siapa yang harus ditemui.”
“Baiklah, tuan putri, akan hamba kirimkan sekarang,”
kata Sony riang.
Ratih tak peduli ketika pesan Sony terkirim, karena
pembantunya mengatakan bahwa makan malam sudah siap.
Ketika ia beranjak ke ruang makan, dilihatnya ayah
ibunya sudah duduk menunggu.
“Makan dulu Tih, apa kamu mau pergi?”
“Nanti akan jalan sama mas Roy.”
“Kok anak bapak semua suka pada Roy sih?”
“Hanya berteman,” kata Ratih singkat.
“Lho, ini simbok kok masak macam-macam? Ada sup, kok
ada sayur apa nih, lodeh daun singkong?” kata bu Juwono.
“Iya Bu, itu Ratih bawa dari rumah mbak Pratiwi, enak
lhoh masakan dia.”
“Ini? Masa sih?” tanya bu Juwono yang langsung
menyendok sayur lodehnya.
“Enakkah?” tanya pak Juwono.
“Enak tuh, hm … enak, harusnya ada ikan asin di sini.”
“Kalau nanti masih sisa, suruh simbok besok beli ikan asin.”
“Sisa dong, ini banyak benar. Cobain Pak,” kata bu
Juwono.
Ratih tersenyum senang, karena ayah ibunya menyukai
sayur masakan Pratiwi yang dibawanya.
“Ratih, kamu harus belajar memasak juga, supaya besok
di sayang suami.”
“Baiklah, besok aku mau belajar memasak sama mbak
Pratiwi.”
“Mengapa tidak belajar sama ibumu saja? Masakan ibumu
juga begini lho,” kata pak Juwono sambil mengacungkan jempolnya.
“Iya, Ratih tahu. Tapi kalau Ratih pulang kuliah,
biasanya ibu sudah selesai memasak.”
“Akan ada waktu, ketika kamu ingin belajar. Ibu ingin,
kamu menjadi istri yang sempurna. Cantik, setia, pintar memasak dan pintar
mengurus rumah tangga.”
“Terima kasih Ibu,” kata Ratih yang menikmati makan
malamnya dengan lahap.
“Besok pagi, simbok akan memasak pecel untuk sarapan.”
“O, iya, simbok bilang kamu membawa sayuran.”
“Ratih beli dari mbak Pratiwi tadi.”
“Ibu lupa, Pratiwi jualan sayur ya.”
“Iya, tapi nanti kalau jadi, dia akan bekerja di
kantornya mas Sony.”
“Oh sudah berdiri kantornya? Kemarin dulu pernah bilang
kalau mau buka cabang di kota ini. Nggak tahunya sudah berdiri?”
“Dan Pratiwi mau bekerja di sana?”
“Belum pasti Bu, kalau mbak Tiwi mau.”
“Kasihan gadis itu,” celetuk bu Juwono.
“Iya Bu. Dia sangat baik hati. Ratih suka main ke
rumahnya. Ibunya yang tuna netra, kalau memijit enak sekali.”
“Benarkah? Ibu pengin dong dipijit.”
“Kata mbak Tiwi, ibunya sudah dilarang memijit,
kasihan, sudah tua.”
“Sayang sekali, ibumu itu suka sekali pijit,” celetuk
pak Juwono.
“Selamat malam,” sebuah suara tiba-tiba saja terdengar
dari arah pintu.
“Mas Bondan?” teriak Ratih.
Suasana menjadi heboh ketika Bondan tiba-tiba datang
lalu ikut nimbrung makan malam bersama
keluarganya.
“Ini hari apa, kok kamu pulang?”
“Ada tugas ke Semarang, lalu mampir ke rumah, besok
sore baru kembali ke Jakarta,” kata Bondan.
“Senangnya, besok antar aku jalan-jalan ya,” kata Ratih riang.
"Enak saja. Segera cari pacar, supaya kamu tidak selalu
meminta aku untuk menemani kamu jalan,” goda Bondan.
“Hiih, jahat banget sama adiknya.”
Bondan tertawa. Sesungguhnya dia sangat menyayangi
satu-satunya adik yang tersisa, setelah Aira tak ada.
“Baiklah, jangan ngambeg dong, mau kemana, nanti mas
antarkan.”
“Aku tuh kalau main, paling ke rumah Mbak Tiwi.”
“Nah, itu aku suka.”
“Apa maksudmu suka?”
“Suka ngaterin kamu. Kenapa sih?”
Ketika itu tiba-tiba terdengar ketukan di pintu. Ratih
yang kebetulan sudah selesai makan kemudian beranjak keluar dengan cepat.
“Siapa tamunya?” tanya Bondan.
“Tadi bilang mau keluar sama Roy,” jawab ibunya.
“Roy?”
“Iya, itu dulu temannya Aira.”
“O, ya ampun, dulu bilang nggak suka sama Roy.”
Ayah dan ibunya tertawa. Ketika Bondan mau keluar
menemui, ibunya melarangnya.
“Biarkan saja. Jangan mengganggu adik kamu, nanti dia
marah.”
“Mereka pacaran?”
“Nggak tahu. Mungkin baru berteman. Tadi bilang hanya
berteman.”
“Semoga dia baik. Tapi Bondan sebaiknya keluar, nanti
dikira sombong,” kata Bondan yang segera keluar.
Roy terkejut melihat Bondan keluar.
“Selamat malam. Ini Mas Bondan bukan?”
“Iya, saya baru saja datang,” katanya sambil menyalami
Roy dengan hangat.
Mereka berbincang hangat, sehingga Ratih lupa
mengatakan tentang Pratiwi yang ingin bekerja seperti yang pernah ditawarkan.
***
Hampir tengah malam ketika Pratiwi akhirnya menerima
pesan dari Ratih, yang mengatakan tentang nama perusahaan dan alamatnya, serta
apa yang harus dilakukannya.
Pratiwi sibuk menulis lamaran yang akan dibawanya
besok setelah berjualan.
“Wi, apa kamu belum tidur?” suara ibunya dari dalam
kamar. Barangkali mendengar suara-suara ketika Pratiwi sedang menulis lamaran
dan menyiapkan apa yang dibutuhkannya.
“Iya Bu, belum tidur.”
“Ini sudah malam kan?”
Pratiwi yang tak ingin ibunya keluar, kemudian
meletakkan kertas yang sedang ditelitinya lagi. Ia masuk ke kamar ibunya, dan
melihat ibunya sedang berbaring.
“Ada apa Bu? Ibu butuh sesuatu?”
“Tidak, ibu mendengar suara-suara, dan bertanya,
apakah kamu masih terjaga.”
“Iya, Tiwi sedang membuat lamaran kerja.”
“Kamu jadi, akan melamar pekerjaan itu?”
“Coba-coba dulu Bu, barangkali cocok, dan mendapat
penghasilan lebih baik.”
“Pikirkan lagi semuanya masak-masak, tentang baik
buruknya, dan untung ruginya. Jangan melakukan sesuatu hanya karena iming-iming
gaji besar.”
"Pratiwi juga baru akan mencoba, nanti bagaimana."
“Baiklah, kalau sudah selesai, tidurlah. Ini sudah
malam.”
***
Selesai berjualan, setelah berdandan rapi, ia sudah
berada di depan sebuah kantor. Ia membaca papan nama yang tertulis di kantor
itu. MEGAH PERKASA.
“Tidak begitu besar, bagaimana bisa menawarkan gaji
tinggi? Tapi kan belum tentu juga kantornya kecil lalu perusahaan ini kecil. Mungkin
hanya kantor cabang.
Pratiwi menyandarkan sepedanya di tembok kantor
satpam, yang disapa dengan ramah oleh satpam di kantor itu.
“Selamat siang, Mbak.”
”Selamat siang, saya ingin ketemu ibu Susana.”
“Oh, silakan masuk, ini Mbak Pratiwi?”
Pratiwi mengangguk.
“Mbak sudah ditunggu. Ruang kerjanya yang paling depan.”
“Terima kasih.”
Pratiwi heran, bahkan satpam sudah tahu namanya, dan
pasti juga sudah tahu apa kepentingannya.
***
Besok lagi ya.
Makasih mbak
ReplyDeletePa Bambang jaga gawang, diikuti jeng Mimiet, jeng Nani, kakek Habi di jam yang sama.
DeleteMaturnnuwun bu Tien SB Eps 19 sdh tayang. Semoga brsuk tayang hasil, sebab besuk ada agenda Zoom meeting, pada pukul 19.45 sd 22.00 WIB.
Dimana bu Tien sebagai BINTANG TAMU.
Mtrnwn
ReplyDeleteAlhamdulillah....
ReplyDeleteYesssss
ReplyDeleteπΉπΏπΉπΏπ¦πΏπΉπΏπΉ
ReplyDeleteAlhamdulillah SB 19 telah
hadir. Matur nuwun Bunda
Tien. Semoga sehat selalu
dan tetap smangaaats...
Salam Aduhai...
πΉπΏπΉπΏπ¦πΏπΉπΏπΉ
Alhamdulillah Maturnuwun
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku, Tiwi sudah hadir.
ReplyDeleteTerima ksih mbakyu Tienkumalasari SBnya, salam SeRoJa selalu untuk jenengan & kelg tercinta, wassalam dari Gn3, Tanggamus, LampungπππΉ
ReplyDeleteReply
Maturnuwun Bu Tien...
ReplyDeleteππ
ReplyDeleteAlhamdulillah SETANGKAI BUNGAKU~19 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien π
Alhamdulillah...
ReplyDeleteMaturnuwun bu Tien...
Salam sehat selalu...
.
Alhamdulillah, matur nuwun, sehat dan bahagia selalu bunda Tien . .
ReplyDeletematurnuwun
ReplyDeleteAlhamdulillah, SETANGKAI BUNGAKU (SB) 19 telah tayang ,terima kasih bu Tien salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Alhamdulillah.... trimakasih bu Tien. Salam sehat selalu
ReplyDeleteMatur nuwun bu Tien sugeng ndalu
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien
ReplyDeleteKok sudah ditunggu... berarti sudah ada 'bocoran' Tiwi akan datang. Kalau peka, mestinya Tiwi bertanya ini itu yang mengarah siapa boss-nya. He he he he...
ReplyDeleteSalam sukses mbak Tien yang ADUHAI semoga selalu sehat, aamiin.
Alhamdulilah
ReplyDeleteTiwi berarti kerja juga di Sony ..hati2
ReplyDeleteHallow..
ReplyDeleteYustinhar. Peni, Datik Sudiyati, Noor Dwi Tjahyani, Caroline Irawati, Nenek Dirga, Ema, Winarni, Retno P.R., FX.Hartanti, Danar, Widia, Nova, Jumaani, Ummazzfatiq, Mastiurni, Yuyun, Jum, Sul, Umi, Marni, Bunda Nismah, Wia Tiya, Ting Hartinah, Wikardiyanti, Nur Aini, Nani, Ranti, Afifah, Bu In, Damayanti, Dewi, Wida, Rita, Sapti, Dinar, Fifi, Nanik. Herlina, Michele, Wiwid, Meyrha, Ariel, Yacinta, Dewiyana, Trina, Mahmudah, Lies, Rapiningsih, Liliek, Enchi, Iyeng Sri Setyawati , Yulie, Yanthi , Dini Ekanti, Ida, Putri, Bunda Rahma, Neny, Yetty Muslih, Ida, Fitri, Hartiwi DS, Komariah P., Ari Hendra, Tienbardiman, Idayati, Maria, Uti Nani, Noer Nur Hidayati, Weny Soedibyo, Novy Kamardhiani, Erlin, Widya, Puspita Teradita, Purwani Utomo, Giyarni, Yulib, Erna, Anastasia Suryaningsih, Salamah, Roos, Noordiana, Fati Ahmad, Nuril, Bunda Belajar Nulis, Tutiyani, Bulkishani, Lia, Imah P Abidin, Guru2 SMPN 45 Bandung, Yayuk, Sriati Siregar, Guru2 SMPN I Sawahlunto, Roos, Diana Evie, Rista Silalahi, Agustina, Kusumastuti, KG, Elvi Teguh, Yayuk, Surs, Rinjani, ibu2 Nogotirto, kel. Sastroharsoyo, Uti, Sis Hakim, Tita, Farida, Mumtaz Myummy, Gayatri, Sri Handay, Utami, Yanti Damay, Idazu, Imcelda, Triniel, Anie, Tri, Padma Sari, Prim, Dwi Astuti, Febriani, Dyah Tateki, kel. SMP N I Gombong, Lina Tikni, Engkas Kurniasih, Anroost, Wiwiek Suharti, Erlin Yuni Indriyati, Sri Tulasmi, Laksmie, Toko Bunga Kelapa Dua, Utie ZiDan Ara, Prim, Niquee Fauzia, Indriyatidjaelani,
Bunda Wiwien, Agustina339, Yanti, Rantining Lestari, Ismu, Susana Itsuko, Aisya Priansyah, Hestri, Julitta Happy, I'in Maimun, Isti Priyono, Moedjiati Pramono, Novita Dwi S, Werdi Kaboel, Rinta Anastya, r Hastuti, Taty Siti Latifah, Mastini M.Pd. , Jessica Esti, Lina Soemirat, Yuli, Titik, Sridalminingsih, Kharisma, Atiek, Sariyenti, Julitta Happy Tjitarasmi, Ika Widiati, Eko Mulyani, Utami, Sumarni Sigit, Tutus, Neni, Wiwik Wisnu, Suparmia, Yuni Kun, Omang Komari, Hermina, Enny, Lina-Jogya, mbah Put Ika, Eyang Rini ,Handayaningsih, ny. Alian Taptriyani, Dwi Wulansari, Arie Kusumawati, Arie Sumadiyono, Sulasminah , Wahyu Istikhomah, Ferrita Dudiana, SusiHerawati, Lily , Farida Inkiriwang, Wening, Yuka, Sri, Si Garet, ibu Wahyu Widyawati, Rini Dwi, Pudya , Indahwdhany, Butut, Oma Michelle, Linurhay, Noeng Nurmadiah, Dwi Wulansari, Winar, Hnur, Umi Iswardono , Yustina Maria Nunuk Sulastri Rahayu Hernadi , Sri Maryani, Bunda Hayu Hanin, Nunuk, Reni, Pudya, Nien, Swissti Buana, Sudarwatisri, Mundjiati Habib, Savero, Ida Yusrida, Nuraida, Nanung, Arin Javania. Ninik Arsini, Neni , Komariyah, Aisya Priansyah, Jainah Jan. Civiyo, Mahmudah, Yati Sri Budiarti, Nur Rochmah. Uchu Rideen
. Ninik Arsini, Endah. Nana Yang, Sari P Palgunadi, Echi Wardani, Nur Widyastuti, Gagida family, Trie Tjahjo Wibowo, Lestari Mardi, Susi Kamto, Rosen Rina, Mimin NP, Ermi S, Ira, Nina, Endang Amirul, Wiwik Nur Jannah, Ibu Mulyono, Betty Kosasih, Nanik, Tita, Willa Sulivan, Mimin NP, Suprilina, Endang Mashuri, Rin, Amethys, Adelina, Sari Usman, Caecilia RA, Mimiet, Sofi, Mamacuss, Manggar Ch., Indrastuti, Yustina Maria Nunuk Sulastri,
Makasih mba Tien
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien..π
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nwn bu Tien, Salam sehat
ReplyDeleteAlhamdulilah SB-19 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien, semoga Ibu sehat dan bahagia selali.
Aamiin
Alhamdulillah .....
ReplyDeleteYg ditunggu2 sdh datang...
Matur nuwun bu Tien ...
Semoga sehat selalu....
Tetap semangat .....
Maturnuwun ibu Tien,semoga sehat selalu
ReplyDeleteTerima kasih Mbak Tien...
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteHeran juga sang ibu kenapa anak-anaknya suka sama Roy, Bondan pun ingin tahu perubahan adek cantiknya yang tinggal satu, walau sebenarnya dia sendiri ada kerinduan untuk jumpa dengan Pratiwi, bukan kah Ratih pernah bilang kalau memilih, mending pilih Ardian kakak Roy.
ReplyDeleteBiarkan jangan ganggu Ratih katanya berteman sama Roy, Bondan hanya mau menyapa Roy saja.
Berhasilkah Bondan bertemu Pratiwi, Ratih tahu dimana Pratiwi berada.
Susana pun tahu cuma akal akalan saja jadi hrd, terlihat settingan ruang kerja ada yang nggak beres, siapa berani protes sama bos.
Ah mungkin mereka tahu karena Ratih, hm ruang kerja begitu dingin sempit cuma pintu masuk; tanpa cendela ventilasi yang cukup, masuk ruang kerja suara luar ruangan tak terdengar lagi, kedap suara, sehatkah, ah mungkin biar tenang merangkum data yang dikerjakan.
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Setangkai bungaku yang ke sembilan belas sudah tayang
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
π
Ini Pratiwi hrsnya udah bs baca sikon
ReplyDeleteKl masuk aj blum kok lingkup udah mengenal
Andai bs merenung InshaAllah selamat
Ini seh harapanku aj
ππππ«’
Trims Bu Tien dan semoga selalu sehat dan bahagia
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien salam sehat selalu dan aduhai
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nuwun bu Tien
ReplyDeleteSehat wal'afiat bu Tien semuanya
Nah Bondan sdh drg ,,,
Pratiwi jgn bingung ya π€
Alhamdulillah, matursuwun ibu Tien,semoga sehat selalu
ReplyDeleteTerima ksih bunda SBnya..makin seruuu..smg Pratiwi slmet dri jebakan yg blm jls dri si Soni..slm sht sllu unkbundaπππΉ❤️
ReplyDelete