Sunday, November 13, 2022

JANGAN PERGI 23

 

JANGAN PERGI  23

(Tien Kumalsari)

 

Bu Cipto panik karena wanita itu terkulai.

“Ya ampun Bu, mana yang teluka? Ibu sih, nyebrang nggak lihat jalan. Mana yang terluka?” katanya sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya.

“Pak becak, tolong ini, apa harua dibawa ke rumah sakit?”

Beberapa orang mendekat.

“Disitu kan ada puskesamas Bu,” kata seseorang.

“Oh iya, benar, bawa ke situ saja.”

“Tolong Pak, tolong papah dia.”

“Tidak, sudah … aku tidak apa-apa,” kata wanita yang terjatuh itu.

“Benar tidak apa-apa?”

Wanita itu melangkah pergi dengan lunglai, tampak bahwa dia tidak sedang baik-baik saja. Bu Cipto memegang lengannya.

“Bagaimana kalau kita minum di warung itu? Ibu tampak lemas,” katanya sambil menarik ke dalam warung.

“Pak, tolong tas saya itu bawa kemari, sampeyan saya bayar dulu, saya nanti saja  pulangnya, mau menemani ibu ini dulu,” katanya kepada si tukang becak.

“Nggak apa-apa Bu, saya tunggu Ibu disini. Belanjaan Ibu biar di atas becak saya.”

“Baiklah, kalau begitu.”

Bu Cipto memegangi lengan wanita itu dengan kencang, karena ia tampak ingin kabur. Untunglah keadaannya sedang lemas, sehingga tenaganya juga tak begitu kuat. Akhirnya dia pasrah, menurut saja ketika bu Cipto menariknya ke dalam warung, dan mengajaknya duduk di sebuah bangku.

Bu Cipto memesan dua gelas teh panas dan beberapa cemilan. Ia memandangi wanita itu yang terus menerus menundukkan kepalanya.

“Apakah ibu bernama Tarmi?” akhirnya tanya bu Cipto, setelah memaksa wanita itu meneguk teh hangatnya.”

Wanita itu mengangguk.

“Ibu pernah mengenal saya, bukan?” tanya bu Cipto lagi.

Wanita itu kembali mengangguk.

“Saya sudah ingat siapa Ibu, dan apa yang Ibu lakukan saat bertemu saya.”

Wanita bernama Tarmi itu mengangkat wajahnya, tampak pucat.”

“Apa … ibu … mau melaporkan saya?”

Bu Cipto menggeleng.

“Melaporkan apa? Pada siapa?”

“Ke polisi, karena saya telah membohongi ibu.”

“Tidak, mengapa bu Tarmi mengira bahwa saya akan melaporkan pada polisi? Dan itukah sebabnya maka ketika melihat saya, ibu lalu melarikan diri?”

“Saya kan berbohong pada Ibu.”

Bu Cipto menghela napas panjang.

“Tentang bayi itu,” kata Tarmi, lalu menundukkan wajahnya.

Bu Cipto kembali mengangguk. Terbayang peristiwa puluhan tahun silam, ketika dia sedang menunggu taksi yang dipanggilnya, lalu seorang wanita mengulurkan bayi. Benar, sekarang ia benar-benar ingat wajah wanita itu, yang sekarang sudah tampak tua, tapi wajah aslinya masih tampak cantik.

“Bu, tolong, saya nitip bayi saya sebentar ya, saya mau ke kamar kecil umum itu, perut saya mulas sekali,” kata wanita itu sambil mengulurkan seorang bayi. Bu Cipto menerimanya, lalu mendekap bayi itu.

Bayi yang cantik, berkulit bersih, bermata bening, berumur kira-kira baru dua bulanan.

Lalu bu Cipto membawanya ke tepi jalan, mencari tempat yang teduh, dan duduk di sebuah bangku, sambil menunggu ibu bayi itu, yang sedang sakit perut.

Ketika taksi yang dipesannya datang, ia membatalkannya dengan memberinya sejumlah uang, karena ia belum ingin pulang sekarang.

Bu Cipto terus memandangi bayi itu, yang diam dan matanya terpejam. Ia sedikit merengek, bu Cipto mengayunkannya perlahan, lalu bayi itu kembali tertidur. Sesekali ia menoleh ke arah kamar kecil umum itu, untuk melihat apakah ibu bayi itu sudah selesai membuang hajatnya. Tapi belum juga kelihatan si ibu keluar dari sana.

Bu Cipto membawa bayi itu ke arah yang lebih teduh, karena kasihan bayi itu kepanasan. Bu Cipto mendekapnya dengan sayang.

“Alangkah cantiknya anak ini.”

Sejam sudah berlalu, bu Cipto mulai gelisah. Jangan-jangan ibu bayi itu pingsan di kamar kecil karena menahan sakit. Bu Cipto berdiri, lalu berjalan mendekat ke arah kamar kecil umum yang terletak beberapa puluh meter dari tempat dia duduk.

“Bu, ibu tidak apa-apa?” teriaknya.

Tak ada jawaban dari dalam.

Bu Cipto mengetuk pintu itu, tapi tanpa dinyana pintu itu terdorong dan terbuka. Betapa terkejutnya dia karena kamar kecil itu ternyata kosong.

“Lho, tadi seperti masik ke sini?” gumamnya.

Ada dua kamar kecil umum berjajar disana, bu Cipto mengira wanita itu ada di dalam ruang satunya. Ia mendorongnya, tapi tak berhasil. Bu Cipto merasa sedikit lega. Rupanya ada di kamar satunya.

Bu Cipto ingin memanggilnya, tapi kemudian pintu itu terbuka, dan yang keluar adalah orang yang berbeda.

“Ibu mau ke kamar kecil? Bukankah yang satu itu kosong? Mengapa menunggu di sini?” tegur wanita itu, sambil berlalu.

Bu Cipto tertegun. Dia bukan ingin berebut kamar kecil, tapi sedang mencari seseorang. Lalu dia mendekati seorang wanita yang duduk di samping meja kecil, dimana ada sebuah kotak tempat memasukkan koin setelah selesai menggunakan kamar kecili umum itu.

“Bu, apakah ibu melihat seorang wanita berbaju merah masuk ke dalam situ?” tanya bu Cipto yang masih mendekap bayi itu.

“Wanita berbaju merah? Tadi hanya mauk ke situ sebentar lalu pergi setelah memasukkan uang di sini,” katanya sambil menunjuk ke arah kotak di depannya.

“Pergi?” tanya bu Cipto heran.

“Kenapa Bu? Dia penipu?”

“Oh, tidak … baiklah, terima kasih,” kata bu Cipto sambil bergegas pergi, kemudian kembali duduk di tempatnya semula, menunggu barangkali ibu si bayi sedang belanja.

Tapi sudah berjam-jam kemudian ibu itu tak juga kembali. Hari sudah siang, dan tampaknya bayi itu mulai merengek. Bu Cipto kebingungan. Ibu itu tak meninggalkan botol berisi susu untuk berjaga-jaga apabila si bayi kehausan atau kelaparan. Bu Cipto berdiri, kemudian ia memasuki sebuah apotek. Ia beli susu bayi kira-kira berumur dua bulan, dan botol susunya juga. Tapi ia bingung, bagaimana bisa membuat susu, sementara bayi itu semakin keras menangis. Ia nekat memasuki sebuah warung, minta ijin untuk mencuci botol, dan minta air hangat untuk mengoplos susunya. Ia melakukannya dengan cepat, kemudian memasukkan dot itu kemulutnya, yang kemudian disedotnya dengan lahap.

“Ya ampun Nak, kamu kehausan ya? Aku bingung, dimana ibumu tadi Nak. Lalu aku harus bagaimana ini?”

Setelah si bayi kemudian tertidur lagi, bu Cipto kembali memanggil taksi. Sudah jelas si ibu tidak akan datang mengambil anaknya. Ia kemudian berpesan kepada penjaga toko, yang ada di depan tempat, dimana ibu itu menitipkan bayinya, dengan meninggalkan alamat.

“Mbak, nanti kalau ada ibu-ibu mencari anaknya, tolong beri tahukan alamat ini. Bayi ini saya bawa pulang.”

“Memangnya itu anak siapa Bu?”

“Seorang ibu menitipkan anaknya pada saya, katanya lagi sakit perut, lalu memasuki sebuah kamar kecil yang ada di sana itu. Tapi sudah lama saya menunggu, dia tidak kembali. Saya mencari di kamar kecil itu, ibu itu tak ada lagi. Saya tanyakan ke penjaganya, katanya sudah pergi. Saya masih menunggu sampai bayi ini menangis, lalu saya berikan susu. Tapi kan saya tidak bisa menunggu terlalu lama, karena saya sedang berbelanja tadi,” kata bu Cipto panjang lebar.

Penjaga toko mengerti, lalu menyimpan kertas yang ada alamat rumah bu Cipto. Lalu bu Cipto pulang dengan membawa bayinya, setelah membelikan beberapa potong pakaian untuk bayi, dan semua perlengkapan bayi sekalian.

“Apakah ibu akan melaporkan saya ke polisi?” ulangnya.

“Tidak, saya hanya penasaran saat Ibu tiba-tiba lari ketika melihat saya. Saya lupa siapa Ibu. Dan baru ingat ketika melihat acara di televisi, dan melihat sosok seorang bayi digendong di sana.”

“Maaf.”

“Setelah melihat Ibu, lalu ibu melarikan diri, saya selalu bertanya-tanya, siapa Ibu ini dan ada apa lari dari saya. Hampir setiap hari saya ke pasar ini, tapi tidak pernah ketemu. Yang terakhir adalah ketika Ibu dikejar-kejar oleh seorang wanita.”

Tarmi menghela napas panjang.

“Dosa saya sangat banyak.”

“Membuang bayi ibu sendiri, adalah dosa yang besar. Mengapa ibu melakukannya? Bayi itu sudah dewasa sekarang, dan dia saya anggap sebagai anak saya sendiri.”

“Syukurlah.”

“Apakah Ibu tidak ingin melihat anak Ibu itu sekarang?”

Dan tanpa diduga, Tarmi menggeleng.

“Tidak?” tanya bu Cipto dengan rasa heran. Ada ya, seorang ibu yang begitu tega kepada anaknya sendiri?”

“Dia bukan anak saya,” lirih Tarmi.

“Apa? Lalu bayi siapa itu? Ibu mencurinya?” tanya bu Cipto. Geram rasanya mengingat kelakuan Tarmi yang seperti tak bertanggung jawab.

“Bayi seorang wanita yang sangat saya benci,” katanya kemudian, lalu berdiri.

“Bu, tunggu Bu.”

“Tolong jangan laporkan saya ke polisi. Saya memang salah, dan saya sudah menerima balasan dari dosa saya,” katanya lalu melangkah keluar dari warung itu dengan cepat.

Bu Cipto membayar minuman dan makanan yang dipesannya, kemudian beranjak mengejar. Dia harus tahu siapa ibu dari bayi yang sudah dirawatnya hingga dewasa. Ratri. Dialah bayi itu,

Tapi Tarmi seperti memiliki ajian ‘halimunan’. Dia lenyap bagai ditelan bumi.

Becak yang semula menunggu, sangat heran melihat bu Cipto tampak mencari-cari.

“Ibu mencari wanita tadi?”

“Iya, kemana dia pergi?”

“Dia sudah naik angkot yang kebetulan lewat.”

“Ya Tuhan,” keluh bu Cipto. Kemudian ia naik ke atas becaknya, yang kemudian  membawanya pulang.

***

Ratri pulang agak pagi hari itu, karena hanya beberapa jam pelajaran dia mengajar. Biasanya dia masih duduk-duduk di ruang guru, untuk membahas apa saja, atau mengerjakan sesuatu, tapi karena perasaannya tidak enak, dia pamit untuk langsung pulang.

Tapi Ratri heran, ketika sampai di rumah, melihat ibunya masih berkutat di dapur.

Tanpa berganti baju terlebih dulu, Ratri langsung menghampirinya.

“Ibu, masak apa hari ini? Biasanya sudah selesai, sini Ratri bantu.”

“Kamu sudah pulang? Ini jam berapa?”

“Baru jam dua belas. Tadi Ratri sudah selesai, langsung pulang.”

“Keburu lapar ya? Ini baru mau nggoreng tahu. Sayur asem, sudah matang.”

“Nggak kok Bu, belum lapar, sabar menunggu nih. Mana Ratri bantu nggoreng tahunya.”

“Nggak usah, sudah sana, kamu cuci kaki tangan, lalu ganti baju saja dulu, tinggal ini saja kok. Setelah kamu selesai, ibu pasti juga sudah siapkan semuanya.”

“Baiklah kalau begitu,” kata Ratri sambil menuju ke arah kamarnya.

Bu Cipto menatap punggungnya, ada rasa haru menyelinap. Anak yang dikasihinya, sebenarnya anak siapa? Mengapa wanita itu tidak mau mengatakannya? Bu Cipto tahu, tampaknya karena melakukan kesalahan, wanita itu takut dipenjara.

Sudah bertahun-tahun bu Cipto merawat Ratri yang dicintainya bagai anak sendiri. Tapi setelah bertemu wanita bernama Tarmi itu, pikirannya menjadi terganggu. Perasaan ingin tahu siapa orang tuanya, membuatnya selalu gelisah.

Memang sih, Ratri sudah menjadi anaknya dan tak ada yang akan mengganggu gugat, tapi kenyataan bahwa ia tak bisa menemukan orang tua si anak, sangat membebaninya. Apalagi wanita bernama Tarmi teryata bukan ibunya. Apakah selamanya hal itu tak akan pernah terkuak?

“Bu, tahunya gosong …” teriak Ratri menyadarkannya.

Bu Cipto terkejut. Buru-buru ia mengentas tahu yang digorengnya. Sudah setengah gosong, padahal dia ada didepan penggorengan itu.

“Nggak apa-apa Bu, Ratri malah senang tahu setengah gosong,” kata Ratri berusaha menghibur ibunya agar tak kecewa.

“Ibu kok jadi melamun, sampai nggak sadar tahunya gosong.”

“Ibu memikirkan sesuatu?”

“Tidak. Hanya … agak gugup, sementara kamu sudah datang, ibu belum selesai masak.”

“Ya ampun Ibu, ini bukan masalah. Memang Ratri sudah harus pulang agak pagi. Lagian belum begitu lapar. Tapi sekarang jadi lapar, setelah mencium aroma tahu gosong itu lho,” kata Ratri sambil meletakkan tahu goreng diatas piring, lalu ia menata makan siang agar bisa segera disantap. Walau begitu, dia merasa bahwa sejak kemarin sikap ibunya tampak aneh. Pasti ada yang membuatnya begitu. Namun Ratri tak berani mendesaknya.

***

Malam itu, entah mengapa, Ratri ingin sekali tidur di samping ibunya. Ia merasa khawatir tentang sikap ibunya yang aneh. Jangan-jangan ibunya sedang terbebani oleh sesuatu yang berat, dan tak mau berterus terang pada dirinya.

Bu Cipto tampak senang Ratri tidur di sampingnya.

“Tumben pengin dikelonin ibu,” kata bu Cipto.

“Iya, kangen saat-saat Ratri kecil dulu, kalau tidak dikelonin ibu, nggak mau tidur,” kata Ratri sambil menarik selimutnya.

Bu Cipto memeluknya penuh kasih sayang.

“Ya sudah, sekarang tidurlah,” katanya lembut sambil menepuk-nepuk pantatnya.

Ratri terlelap dalam haru yang menyengat. Pasti lah dia tahu bahwa ibunya sangat menyayangi dirinya.

Tapi di tengah malam, Ratri terkejut mendengar igauan ibunya.

“Kamu bukan anakku. Kamu anak siapa?”

Ratri terkejut, ia membuka telinganya lebar-lebar, dan bu Cipto berkali-kali mengucapkannya tak terasa.

***

Besok lagi ya.

42 comments:

  1. 🌾🌾🌹🌹☘️☘️♣️♣️❤️❤️

    Yessss......!!!
    Alhamdulillah JePe_23 sdh hadir.

    Terima kasih bu Tien Semoga bu Tien sehat selalu dan selalu sehat, sehingga tetap ADUHAI berkiprah menulis dan menulis yang bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.

    πŸ‘€πŸ‘€πŸ‘€πŸ‘€πŸ‘€πŸ‘€πŸ‘€πŸ‘€πŸ‘€πŸ‘€

    ReplyDelete
    Replies
    1. Matur nuwun bu Tien JP telah tayang.

      Delete
    2. Gawang udah di pasang sarung
      Wkwkwk

      HorΓ© kakek juara 1

      Delete
    3. Alhamdulillah,
      Matur nuwun bunda Tien πŸ™

      Delete
    4. Matur nuwun Mbak Tien sayang. SJ 23 sudah hadir. Smoga Mbak Tien selalu sehat. Salam Aduhai selalu.

      Delete
  2. Replies
    1. Lha wingi lagi mulih saka Jakarta kesel ya isa mblayu buanter ngunu lho.
      Senajan isih sarungan lan nganggo teklek, isih iso mbalap si kecil mungi dari Ngayojakarta Hadiningrat.

      Delete
  3. Alhamdulillah, matur nuwun Bu Tien Kumalasari, salam aduhai selalu

    ReplyDelete
  4. Hallow..
    Yustinhar. Peni, Datik Sudiyati, Noor Dwi Tjahyani, Caroline Irawati, Nenek Dirga, Ema, Winarni, Retno P.R., FX.Hartanti, Danar, Widia, Nova, Jumaani, Ummazzfatiq, Mastiurni, Yuyun, Jum, Sul, Umi, Marni, Bunda Nismah, Wia Tiya, Ting Hartinah, Wikardiyanti, Nur Aini, Nani, Ranti, Afifah, Bu In, Damayanti, Dewi, Wida, Rita, Sapti, Dinar, Fifi, Nanik. Herlina, Michele, Wiwid, Meyrha, Ariel, Yacinta, Dewiyana, Trina, Mahmudah, Lies, Rapiningsih, Liliek, Enchi, Iyeng Sri Setyawati , Yulie, Yanthi , Dini Ekanti, Ida, Putri, Bunda Rahma, Neny, Yetty Muslih, Ida, Fitri, Hartiwi DS, Komariah P., Ari Hendra, Tienbardiman, Idayati, Maria, Uti Nani, Noer Nur Hidayati, Weny Soedibyo, Novy Kamardhiani, Erlin, Widya, Puspita Teradita, Purwani Utomo, Giyarni, Yulib, Erna, Anastasia Suryaningsih, Salamah, Roos, Noordiana, Fati Ahmad, Nuril, Bunda Belajar Nulis, Tutiyani, Bulkishani, Lia, Imah P Abidin, Guru2 SMPN 45 Bandung, Yayuk, Sriati Siregar, Guru2 SMPN I Sawahlunto, Roos, Diana Evie, Rista Silalahi, Agustina, Kusumastuti, KG, Elvi Teguh, Yayuk, Surs, Rinjani, ibu2 Nogotirto, kel. Sastroharsoyo, Uti, Sis Hakim, Tita, Farida, Mumtaz Myummy, Gayatri, Sri Handay, Utami, Yanti Damay, Idazu, Imcelda, Triniel, Anie, Tri, Padma Sari, Prim, Dwi Astuti, Febriani, Dyah Tateki, kel. SMP N I Gombong, Lina Tikni, Engkas Kurniasih, Anroost, Wiwiek Suharti, Erlin Yuni Indriyati, Sri Tulasmi, Laksmie, Toko Bunga Kelapa Dua, Utie ZiDan Ara, Prim, Niquee Fauzia, Indriyatidjaelani,
    Bunda Wiwien, Agustina339, Yanti, Rantining Lestari, Ismu, Susana Itsuko, Aisya Priansyah, Hestri, Julitta Happy, I'in Maimun, Isti Priyono, Moedjiati Pramono, Novita Dwi S, Werdi Kaboel, Rinta Anastya, r Hastuti, Taty Siti Latifah, Mastini M.Pd. , Jessica Esti, Lina Soemirat, Yuli, Titik, Sridalminingsih, Kharisma, Atiek, Sariyenti, Julitta Happy Tjitarasmi, Ika Widiati, Eko Mulyani, Utami, Sumarni Sigit, Tutus, Neni, Wiwik Wisnu, Suparmia, Yuni Kun, Omang Komari, Hermina, Enny, Lina-Jogya, mbah Put Ika, Eyang Rini ,Handayaningsih, ny. Alian Taptriyani, Dwi Wulansari, Arie Kusumawati, Arie Sumadiyono, Sulasminah , Wahyu Istikhomah, Ferrita Dudiana, SusiHerawati, Lily , Farida Inkiriwang, Wening, Yuka, Sri, Si Garet, ibu Wahyu Widyawati, Rini Dwi, Pudya , Indahwdhany, Butut, Oma Michelle, Linurhay, Noeng Nurmadiah, Dwi Wulansari, Winar, Hnur, Umi Iswardono , Yustina Maria Nunuk Sulastri Rahayu Hernadi , Sri Maryani, Bunda Hayu Hanin, Nunuk, Reni, Pudya, Nien, Swissti Buana, Sudarwatisri, Mundjiati Habib, Savero, Ida Yusrida, Nuraida, Nanung, Arin Javania. Ninik Arsini, Neni , Komariyah, Aisya Priansyah, Jainah Jan. Civiyo, Mahmudah, Yati Sri Budiarti, Nur Rochmah. Uchu Rideen
    . Ninik Arsini, Endah. Nana Yang, Sari P Palgunadi, Echi Wardani, Nur Widyastuti, Gagida family, Trie Tjahjo Wibowo, Lestari Mardi, Susi Kamto, Rosen Rina, Mimin NP, Ermi S, Ira, Nina, Endang Amirul, Wiwik Nur Jannah, Ibu Mulyono, Betty Kosasih, Nanik, Tita, Willa Sulivan, Mimin NP, Suprilina, Endang Mashuri, Rin, Amethys, Adelina, Sari Usman, Caecilia RA, Mimiet,

    ReplyDelete

  5. Alhamdulillah JANGAN PERGI~23 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien πŸ™

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah.
    Matur nuwun nggih Mbak Tien ..
    Semoga kita semua diparingi sehat Aamiin.🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah akhirnya Bu Tien Kumala siap lembur di hari libur nya.....

    Matur nuwun Bu Tien....

    Moga Bu Tien sehat selalu dan dimudahkan segala urusannya.....

    Aamiin....

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah .....
    Yg ditunggu2 sdh datang...
    Matur nuwun bu Tien ...
    Semoga sehat selalu....
    Tetap semangat ...

    ReplyDelete
  9. Wih sakti ni bu.Tarmi punya ajian Halimunan
    bisa ngilang tp g bisa balik lagi, jd repot ntr...πŸ˜‚πŸ˜‚

    Matur nuwun bunda Tien JP emang oye...

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah.. Hari libur juga hadir. Terima kasih Bu Tien. Semoga sehat selalu. Salam.*ADUHAI*

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah hari minggu tayang, obat kangen niih

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillah JP 23 sudah tayang
    Terima kasih Bu Tien, ceritanya semakin seru dan bikin penasaran.
    Semoga Ibu sehat dan bahagia selalu.
    Aamiin

    ReplyDelete
  13. Ternyata Ratri bener kembarannya Listie nih.
    Mbak Tien pinter muter2kan crita bikin penasaran.
    Salam seroja mbak Tien dari Tegal.

    ReplyDelete
  14. Alhamdulilah Ratri tayang..
    Tks bunda Tien..
    Semoga sehat dan berbahagia selalu...

    ReplyDelete
  15. Jangan² kembaran Listy.
    Makasih mba Tien

    ReplyDelete
  16. Matur nuwun, ibu Tien. Sehat selalu ya...πŸ™πŸ˜€

    ReplyDelete
  17. Alhamdululah jp tayang dihari libur, msturnuwun bu tien..salam sehat πŸ™

    ReplyDelete
  18. Dikira hari libur gak tayang, kok ada.. alhamdulillaah

    ReplyDelete
  19. Terimakasih bunda Tien... ternyata Ratri bukan anak kandung bu Cipto, Ratri saudara kembar Listi yang terpisah... kelanjutannya tetap ditunggu bunda Tien

    ReplyDelete
  20. Ternyata Listi itu kakaknya Ratri, bagaimana kalau mereka bertemu ya?

    ReplyDelete
  21. Ada satu hal yang menarik, cerbung JePe yang masuk di Episode 23 ini.

    Bu Tien sudah memasukkan unsur theori relatifitas.

    Kenapa saya bilang teori relatifitas ?

    Dalam alur ceritera disebutkan pasutri (pasangan suami istri) Yu Sutijah dihancurkan oleh *pelakor* Yu Sutarmi.
    Hingga keluarga tersebut tercerai berai hancur luluh lantak.
    Anaknya Listi yang terpaksa diberikan keluarga Suroto.
    Anak keduanya Ratri, diculik Yu Sutarmi ditinggalkan kepada keluarga Sucipto.

    Kedua anak² tersebut tumbuh kembang sesuai pola asuh masing² keluarga.

    Dilain sisi akibat dari perbuatan orang tuanya.
    Yu Sutijah dalam kehancurannya sampai masuk kepredikat ODGJ ( Orang Dalam Gangguan Jiwa ), tak terkecuali Yu Sutarmi juga akhirnya mendapat predikat yang sama.

    Tetapi ternyata dalam babak kehidupannya sampai Episode 23.

    Yu Sutijah menganggap penghacur rumah tangganya adalah Yu Sutarmi.

    Sementara disisi lain Yu Sutarmi juga menganggap penghacur hidupnya adalah Yu Sutijah.

    Runyem kan ?
    Biarlah ibu Tien menyelesaikan konflik ini di episode berikutnya.

    Salam sehat
    Salam aduhai ......

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sepertinya... biarlah salah satu anaknya Sutijah mendpt secercah jln terang ya pa Hadi..
      Semoga Ratri bs mendpt kehidupan yg layak berkat kasih sayang tulus dari bu Cipto krn menginginkan hadirnya seorang anak yg sgt diharapkan..
      disini berlaku juga Amaluna Amalukum.. sesuai amalan yg sdh ditanamkan itulah yg akan dituai

      Delete
  22. Terima kasih Bu Tien
    Semoga sehat selalu

    ReplyDelete
  23. Akhirnya teka-teki nya terjawab...
    Lanjut Bu Tien, makin geregetan bacanya.

    Sehat selalu ya Bu...

    ReplyDelete
  24. Bacanya kalo menjelang tidur, jadi sblm tidur mesti klik dulu nyari kejora pagi jangan pergi. Mtr nuwun..

    ReplyDelete
  25. Wah tahu Ratri yg membuat gelisah ibu Cipto..trima kasih ya bu Tien

    ReplyDelete

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 49

  CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  49 (Tien Kumalasari)   Ketika menemui Sinah di rumah sakit, mbok Manis tidak pernah sendiri. Dewi yang tid...