JANGAN PERGI 23
(Tien Kumalsari)
Bu Cipto panik karena wanita itu terkulai.
“Ya ampun Bu, mana yang teluka? Ibu sih, nyebrang
nggak lihat jalan. Mana yang terluka?” katanya sambil menggoyang-goyangkan
tubuhnya.
“Pak becak, tolong ini, apa harua dibawa ke rumah
sakit?”
Beberapa orang mendekat.
“Disitu kan ada puskesamas Bu,” kata seseorang.
“Oh iya, benar, bawa ke situ saja.”
“Tolong Pak, tolong papah dia.”
“Tidak, sudah … aku tidak apa-apa,” kata wanita yang
terjatuh itu.
“Benar tidak apa-apa?”
Wanita itu melangkah pergi dengan lunglai, tampak
bahwa dia tidak sedang baik-baik saja. Bu Cipto memegang lengannya.
“Bagaimana kalau kita minum di warung itu? Ibu tampak
lemas,” katanya sambil menarik ke dalam warung.
“Pak, tolong tas saya itu bawa kemari, sampeyan saya
bayar dulu, saya nanti saja pulangnya, mau menemani ibu ini dulu,” katanya kepada si
tukang becak.
“Nggak apa-apa Bu, saya tunggu Ibu disini. Belanjaan
Ibu biar di atas becak saya.”
“Baiklah, kalau begitu.”
Bu Cipto memegangi lengan wanita itu dengan kencang,
karena ia tampak ingin kabur. Untunglah keadaannya sedang lemas, sehingga
tenaganya juga tak begitu kuat. Akhirnya dia pasrah, menurut saja ketika bu
Cipto menariknya ke dalam warung, dan mengajaknya duduk di sebuah bangku.
Bu Cipto memesan dua gelas teh panas dan beberapa
cemilan. Ia memandangi wanita itu yang terus menerus menundukkan kepalanya.
“Apakah ibu bernama Tarmi?” akhirnya tanya bu Cipto,
setelah memaksa wanita itu meneguk teh hangatnya.”
Wanita itu mengangguk.
“Ibu pernah mengenal saya, bukan?” tanya bu Cipto
lagi.
Wanita itu kembali mengangguk.
“Saya sudah ingat siapa Ibu, dan apa yang Ibu lakukan
saat bertemu saya.”
Wanita bernama Tarmi itu mengangkat wajahnya, tampak pucat.”
“Apa … ibu … mau melaporkan saya?”
Bu Cipto menggeleng.
“Melaporkan apa? Pada siapa?”
“Ke polisi, karena saya telah membohongi ibu.”
“Tidak, mengapa bu Tarmi mengira bahwa saya akan
melaporkan pada polisi? Dan itukah sebabnya maka ketika melihat saya, ibu lalu
melarikan diri?”
“Saya kan berbohong pada Ibu.”
Bu Cipto menghela napas panjang.
“Tentang bayi itu,” kata Tarmi, lalu menundukkan
wajahnya.
Bu Cipto kembali mengangguk. Terbayang peristiwa
puluhan tahun silam, ketika dia sedang menunggu taksi yang dipanggilnya, lalu
seorang wanita mengulurkan bayi. Benar, sekarang ia benar-benar ingat wajah
wanita itu, yang sekarang sudah tampak tua, tapi wajah aslinya masih tampak
cantik.
“Bu, tolong, saya nitip bayi saya sebentar ya, saya
mau ke kamar kecil umum itu, perut saya mulas sekali,” kata wanita itu sambil
mengulurkan seorang bayi. Bu Cipto menerimanya, lalu mendekap bayi itu.
Bayi yang cantik, berkulit bersih, bermata bening, berumur
kira-kira baru dua bulanan.
Lalu bu Cipto membawanya ke tepi jalan, mencari tempat
yang teduh, dan duduk di sebuah bangku, sambil menunggu ibu bayi itu, yang
sedang sakit perut.
Ketika taksi yang dipesannya datang, ia membatalkannya
dengan memberinya sejumlah uang, karena ia belum ingin pulang sekarang.
Bu Cipto terus memandangi bayi itu, yang diam dan matanya
terpejam. Ia sedikit merengek, bu Cipto mengayunkannya perlahan, lalu bayi itu
kembali tertidur. Sesekali ia menoleh ke arah kamar kecil umum itu, untuk
melihat apakah ibu bayi itu sudah selesai membuang hajatnya. Tapi belum juga
kelihatan si ibu keluar dari sana.
Bu Cipto membawa bayi itu ke arah yang lebih teduh,
karena kasihan bayi itu kepanasan. Bu Cipto mendekapnya dengan sayang.
“Alangkah cantiknya anak ini.”
Sejam sudah berlalu, bu Cipto mulai gelisah.
Jangan-jangan ibu bayi itu pingsan di kamar kecil karena menahan sakit. Bu
Cipto berdiri, lalu berjalan mendekat ke arah kamar kecil umum yang terletak
beberapa puluh meter dari tempat dia duduk.
“Bu, ibu tidak apa-apa?” teriaknya.
Tak ada jawaban dari dalam.
Bu Cipto mengetuk pintu itu, tapi tanpa dinyana pintu
itu terdorong dan terbuka. Betapa terkejutnya dia karena kamar kecil itu
ternyata kosong.
“Lho, tadi seperti masik ke sini?” gumamnya.
Ada dua kamar kecil umum berjajar disana, bu Cipto
mengira wanita itu ada di dalam ruang satunya. Ia mendorongnya, tapi tak
berhasil. Bu Cipto merasa sedikit lega. Rupanya ada di kamar satunya.
Bu Cipto ingin memanggilnya, tapi kemudian pintu itu
terbuka, dan yang keluar adalah orang yang berbeda.
“Ibu mau ke kamar kecil? Bukankah yang satu itu
kosong? Mengapa menunggu di sini?” tegur wanita itu, sambil berlalu.
Bu Cipto tertegun. Dia bukan ingin berebut kamar kecil,
tapi sedang mencari seseorang. Lalu dia mendekati seorang wanita yang duduk di
samping meja kecil, dimana ada sebuah kotak tempat memasukkan koin setelah
selesai menggunakan kamar kecili umum itu.
“Bu, apakah ibu melihat seorang wanita berbaju merah
masuk ke dalam situ?” tanya bu Cipto yang masih mendekap bayi itu.
“Wanita berbaju merah? Tadi hanya mauk ke situ sebentar
lalu pergi setelah memasukkan uang di sini,” katanya sambil menunjuk ke arah
kotak di depannya.
“Pergi?” tanya bu Cipto heran.
“Kenapa Bu? Dia penipu?”
“Oh, tidak … baiklah, terima kasih,” kata bu Cipto
sambil bergegas pergi, kemudian kembali duduk di tempatnya semula, menunggu barangkali
ibu si bayi sedang belanja.
Tapi sudah berjam-jam kemudian ibu itu tak juga
kembali. Hari sudah siang, dan tampaknya bayi itu mulai merengek. Bu Cipto
kebingungan. Ibu itu tak meninggalkan botol berisi susu untuk berjaga-jaga
apabila si bayi kehausan atau kelaparan. Bu Cipto berdiri, kemudian ia memasuki
sebuah apotek. Ia beli susu bayi kira-kira berumur dua bulan, dan botol susunya
juga. Tapi ia bingung, bagaimana bisa membuat susu, sementara bayi itu semakin
keras menangis. Ia nekat memasuki sebuah warung, minta ijin untuk mencuci
botol, dan minta air hangat untuk mengoplos susunya. Ia melakukannya dengan
cepat, kemudian memasukkan dot itu kemulutnya, yang kemudian disedotnya dengan
lahap.
“Ya ampun Nak, kamu kehausan ya? Aku bingung, dimana
ibumu tadi Nak. Lalu aku harus bagaimana ini?”
Setelah si bayi kemudian tertidur lagi, bu Cipto
kembali memanggil taksi. Sudah jelas si ibu tidak akan datang mengambil
anaknya. Ia kemudian berpesan kepada penjaga toko, yang ada di depan tempat, dimana ibu itu menitipkan bayinya, dengan meninggalkan alamat.
“Mbak, nanti kalau ada ibu-ibu mencari anaknya, tolong
beri tahukan alamat ini. Bayi ini saya bawa pulang.”
“Memangnya itu anak siapa Bu?”
“Seorang ibu menitipkan anaknya pada saya, katanya
lagi sakit perut, lalu memasuki sebuah kamar kecil yang ada di sana itu. Tapi
sudah lama saya menunggu, dia tidak kembali. Saya mencari di kamar kecil itu,
ibu itu tak ada lagi. Saya tanyakan ke penjaganya, katanya sudah pergi. Saya
masih menunggu sampai bayi ini menangis, lalu saya berikan susu. Tapi kan saya
tidak bisa menunggu terlalu lama, karena saya sedang berbelanja tadi,” kata bu
Cipto panjang lebar.
Penjaga toko mengerti, lalu menyimpan kertas yang ada
alamat rumah bu Cipto. Lalu bu Cipto pulang dengan membawa bayinya, setelah
membelikan beberapa potong pakaian untuk bayi, dan semua perlengkapan bayi
sekalian.
“Apakah ibu akan melaporkan saya ke polisi?” ulangnya.
“Tidak, saya hanya penasaran saat Ibu tiba-tiba lari
ketika melihat saya. Saya lupa siapa Ibu. Dan baru ingat ketika melihat acara
di televisi, dan melihat sosok seorang bayi digendong di sana.”
“Maaf.”
“Setelah melihat Ibu, lalu ibu melarikan diri, saya
selalu bertanya-tanya, siapa Ibu ini dan ada apa lari dari saya. Hampir setiap
hari saya ke pasar ini, tapi tidak pernah ketemu. Yang terakhir adalah ketika Ibu dikejar-kejar oleh seorang wanita.”
Tarmi menghela napas panjang.
“Dosa saya sangat banyak.”
“Membuang bayi ibu sendiri, adalah dosa yang besar.
Mengapa ibu melakukannya? Bayi itu sudah dewasa sekarang, dan dia saya anggap
sebagai anak saya sendiri.”
“Syukurlah.”
“Apakah Ibu tidak ingin melihat anak Ibu itu sekarang?”
Dan tanpa diduga, Tarmi menggeleng.
“Tidak?” tanya bu Cipto dengan rasa heran. Ada ya,
seorang ibu yang begitu tega kepada anaknya sendiri?”
“Dia bukan anak saya,” lirih Tarmi.
“Apa? Lalu bayi siapa itu? Ibu mencurinya?” tanya bu
Cipto. Geram rasanya mengingat kelakuan Tarmi yang seperti tak bertanggung
jawab.
“Bayi seorang wanita yang sangat saya benci,” katanya
kemudian, lalu berdiri.
“Bu, tunggu Bu.”
“Tolong jangan laporkan saya ke polisi. Saya memang
salah, dan saya sudah menerima balasan dari dosa saya,” katanya lalu melangkah keluar
dari warung itu dengan cepat.
Bu Cipto membayar minuman dan makanan yang dipesannya,
kemudian beranjak mengejar. Dia harus tahu siapa ibu dari bayi yang sudah dirawatnya
hingga dewasa. Ratri. Dialah bayi itu,
Tapi Tarmi seperti memiliki ajian ‘halimunan’. Dia
lenyap bagai ditelan bumi.
Becak yang semula menunggu, sangat heran melihat bu
Cipto tampak mencari-cari.
“Ibu mencari wanita tadi?”
“Iya, kemana dia pergi?”
“Dia sudah naik angkot yang kebetulan lewat.”
“Ya Tuhan,” keluh bu Cipto. Kemudian ia naik ke atas
becaknya, yang kemudian membawanya
pulang.
***
Ratri pulang agak pagi hari itu, karena hanya beberapa
jam pelajaran dia mengajar. Biasanya dia masih duduk-duduk di ruang guru, untuk
membahas apa saja, atau mengerjakan sesuatu, tapi karena perasaannya tidak
enak, dia pamit untuk langsung pulang.
Tapi Ratri heran, ketika sampai di rumah, melihat
ibunya masih berkutat di dapur.
Tanpa berganti baju terlebih dulu, Ratri langsung
menghampirinya.
“Ibu, masak apa hari ini? Biasanya sudah selesai, sini
Ratri bantu.”
“Kamu sudah pulang? Ini jam berapa?”
“Baru jam dua belas. Tadi Ratri sudah selesai,
langsung pulang.”
“Keburu lapar ya? Ini baru mau nggoreng tahu. Sayur
asem, sudah matang.”
“Nggak kok Bu, belum lapar, sabar menunggu nih. Mana
Ratri bantu nggoreng tahunya.”
“Nggak usah, sudah sana, kamu cuci kaki tangan, lalu ganti
baju saja dulu, tinggal ini saja kok. Setelah kamu selesai, ibu pasti juga
sudah siapkan semuanya.”
“Baiklah kalau begitu,” kata Ratri sambil menuju ke
arah kamarnya.
Bu Cipto menatap punggungnya, ada rasa haru menyelinap.
Anak yang dikasihinya, sebenarnya anak siapa? Mengapa wanita itu tidak mau
mengatakannya? Bu Cipto tahu, tampaknya karena melakukan kesalahan, wanita itu
takut dipenjara.
Sudah bertahun-tahun bu Cipto merawat Ratri yang
dicintainya bagai anak sendiri. Tapi setelah bertemu wanita bernama Tarmi itu,
pikirannya menjadi terganggu. Perasaan ingin tahu siapa orang tuanya,
membuatnya selalu gelisah.
Memang sih, Ratri sudah menjadi anaknya dan tak ada
yang akan mengganggu gugat, tapi kenyataan bahwa ia tak bisa menemukan orang
tua si anak, sangat membebaninya. Apalagi wanita bernama Tarmi teryata bukan
ibunya. Apakah selamanya hal itu tak akan pernah terkuak?
“Bu, tahunya gosong …” teriak Ratri menyadarkannya.
Bu Cipto terkejut. Buru-buru ia mengentas tahu yang
digorengnya. Sudah setengah gosong, padahal dia ada didepan penggorengan itu.
“Nggak apa-apa Bu, Ratri malah senang tahu setengah
gosong,” kata Ratri berusaha menghibur ibunya agar tak kecewa.
“Ibu kok jadi melamun, sampai nggak sadar tahunya
gosong.”
“Ibu memikirkan sesuatu?”
“Tidak. Hanya … agak gugup, sementara kamu sudah
datang, ibu belum selesai masak.”
“Ya ampun Ibu, ini bukan masalah. Memang Ratri sudah
harus pulang agak pagi. Lagian belum begitu lapar. Tapi sekarang jadi lapar, setelah
mencium aroma tahu gosong itu lho,” kata Ratri sambil meletakkan tahu goreng
diatas piring, lalu ia menata makan siang agar bisa segera disantap. Walau
begitu, dia merasa bahwa sejak kemarin sikap ibunya tampak aneh. Pasti ada yang
membuatnya begitu. Namun Ratri tak berani mendesaknya.
***
Malam itu, entah mengapa, Ratri ingin sekali tidur di
samping ibunya. Ia merasa khawatir tentang sikap ibunya yang aneh.
Jangan-jangan ibunya sedang terbebani oleh sesuatu yang berat, dan tak mau
berterus terang pada dirinya.
Bu Cipto tampak senang Ratri tidur di sampingnya.
“Tumben pengin dikelonin ibu,” kata bu Cipto.
“Iya, kangen saat-saat Ratri kecil dulu, kalau tidak
dikelonin ibu, nggak mau tidur,” kata Ratri sambil menarik selimutnya.
Bu Cipto memeluknya penuh kasih sayang.
“Ya sudah, sekarang tidurlah,” katanya lembut sambil
menepuk-nepuk pantatnya.
Ratri terlelap dalam haru yang menyengat. Pasti lah
dia tahu bahwa ibunya sangat menyayangi dirinya.
Tapi di tengah malam, Ratri terkejut mendengar igauan
ibunya.
“Kamu bukan anakku. Kamu anak siapa?”
Ratri terkejut, ia membuka telinganya lebar-lebar, dan
bu Cipto berkali-kali mengucapkannya tak terasa.
***
Besok lagi ya.
πΎπΎπΉπΉ☘️☘️♣️♣️❤️❤️
ReplyDeleteYessss......!!!
Alhamdulillah JePe_23 sdh hadir.
Terima kasih bu Tien Semoga bu Tien sehat selalu dan selalu sehat, sehingga tetap ADUHAI berkiprah menulis dan menulis yang bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.
ππππππππππ
Kakek Pasti jaga gawang iki
DeleteMatur nuwun bu Tien JP telah tayang.
DeleteGawang udah di pasang sarung
DeleteWkwkwk
HorΓ© kakek juara 1
Alhamdulillah,
DeleteMatur nuwun bunda Tien π
Matur nuwun Mbak Tien sayang. SJ 23 sudah hadir. Smoga Mbak Tien selalu sehat. Salam Aduhai selalu.
DeleteMaaf maksudnya JP
DeleteAamiin YRA
ReplyDeleteMtnuwun mbk Tien ππ
Lha wingi lagi mulih saka Jakarta kesel ya isa mblayu buanter ngunu lho.
DeleteSenajan isih sarungan lan nganggo teklek, isih iso mbalap si kecil mungi dari Ngayojakarta Hadiningrat.
Mtrnwn
ReplyDeleteAsyik sdh muncul
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien.
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nuwun Bu Tien Kumalasari, salam aduhai selalu
ReplyDeleteHallow..
ReplyDeleteYustinhar. Peni, Datik Sudiyati, Noor Dwi Tjahyani, Caroline Irawati, Nenek Dirga, Ema, Winarni, Retno P.R., FX.Hartanti, Danar, Widia, Nova, Jumaani, Ummazzfatiq, Mastiurni, Yuyun, Jum, Sul, Umi, Marni, Bunda Nismah, Wia Tiya, Ting Hartinah, Wikardiyanti, Nur Aini, Nani, Ranti, Afifah, Bu In, Damayanti, Dewi, Wida, Rita, Sapti, Dinar, Fifi, Nanik. Herlina, Michele, Wiwid, Meyrha, Ariel, Yacinta, Dewiyana, Trina, Mahmudah, Lies, Rapiningsih, Liliek, Enchi, Iyeng Sri Setyawati , Yulie, Yanthi , Dini Ekanti, Ida, Putri, Bunda Rahma, Neny, Yetty Muslih, Ida, Fitri, Hartiwi DS, Komariah P., Ari Hendra, Tienbardiman, Idayati, Maria, Uti Nani, Noer Nur Hidayati, Weny Soedibyo, Novy Kamardhiani, Erlin, Widya, Puspita Teradita, Purwani Utomo, Giyarni, Yulib, Erna, Anastasia Suryaningsih, Salamah, Roos, Noordiana, Fati Ahmad, Nuril, Bunda Belajar Nulis, Tutiyani, Bulkishani, Lia, Imah P Abidin, Guru2 SMPN 45 Bandung, Yayuk, Sriati Siregar, Guru2 SMPN I Sawahlunto, Roos, Diana Evie, Rista Silalahi, Agustina, Kusumastuti, KG, Elvi Teguh, Yayuk, Surs, Rinjani, ibu2 Nogotirto, kel. Sastroharsoyo, Uti, Sis Hakim, Tita, Farida, Mumtaz Myummy, Gayatri, Sri Handay, Utami, Yanti Damay, Idazu, Imcelda, Triniel, Anie, Tri, Padma Sari, Prim, Dwi Astuti, Febriani, Dyah Tateki, kel. SMP N I Gombong, Lina Tikni, Engkas Kurniasih, Anroost, Wiwiek Suharti, Erlin Yuni Indriyati, Sri Tulasmi, Laksmie, Toko Bunga Kelapa Dua, Utie ZiDan Ara, Prim, Niquee Fauzia, Indriyatidjaelani,
Bunda Wiwien, Agustina339, Yanti, Rantining Lestari, Ismu, Susana Itsuko, Aisya Priansyah, Hestri, Julitta Happy, I'in Maimun, Isti Priyono, Moedjiati Pramono, Novita Dwi S, Werdi Kaboel, Rinta Anastya, r Hastuti, Taty Siti Latifah, Mastini M.Pd. , Jessica Esti, Lina Soemirat, Yuli, Titik, Sridalminingsih, Kharisma, Atiek, Sariyenti, Julitta Happy Tjitarasmi, Ika Widiati, Eko Mulyani, Utami, Sumarni Sigit, Tutus, Neni, Wiwik Wisnu, Suparmia, Yuni Kun, Omang Komari, Hermina, Enny, Lina-Jogya, mbah Put Ika, Eyang Rini ,Handayaningsih, ny. Alian Taptriyani, Dwi Wulansari, Arie Kusumawati, Arie Sumadiyono, Sulasminah , Wahyu Istikhomah, Ferrita Dudiana, SusiHerawati, Lily , Farida Inkiriwang, Wening, Yuka, Sri, Si Garet, ibu Wahyu Widyawati, Rini Dwi, Pudya , Indahwdhany, Butut, Oma Michelle, Linurhay, Noeng Nurmadiah, Dwi Wulansari, Winar, Hnur, Umi Iswardono , Yustina Maria Nunuk Sulastri Rahayu Hernadi , Sri Maryani, Bunda Hayu Hanin, Nunuk, Reni, Pudya, Nien, Swissti Buana, Sudarwatisri, Mundjiati Habib, Savero, Ida Yusrida, Nuraida, Nanung, Arin Javania. Ninik Arsini, Neni , Komariyah, Aisya Priansyah, Jainah Jan. Civiyo, Mahmudah, Yati Sri Budiarti, Nur Rochmah. Uchu Rideen
. Ninik Arsini, Endah. Nana Yang, Sari P Palgunadi, Echi Wardani, Nur Widyastuti, Gagida family, Trie Tjahjo Wibowo, Lestari Mardi, Susi Kamto, Rosen Rina, Mimin NP, Ermi S, Ira, Nina, Endang Amirul, Wiwik Nur Jannah, Ibu Mulyono, Betty Kosasih, Nanik, Tita, Willa Sulivan, Mimin NP, Suprilina, Endang Mashuri, Rin, Amethys, Adelina, Sari Usman, Caecilia RA, Mimiet,
ReplyDeleteAlhamdulillah JANGAN PERGI~23 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien π
Alhamdulillah.
ReplyDeleteMatur nuwun nggih Mbak Tien ..
Semoga kita semua diparingi sehat Aamiin.πΉπΉπΉπΉπΉ
Alhamdulillah akhirnya Bu Tien Kumala siap lembur di hari libur nya.....
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien....
Moga Bu Tien sehat selalu dan dimudahkan segala urusannya.....
Aamiin....
Alhamdulillah .....
ReplyDeleteYg ditunggu2 sdh datang...
Matur nuwun bu Tien ...
Semoga sehat selalu....
Tetap semangat ...
alhamdulillah
ReplyDeleteWih sakti ni bu.Tarmi punya ajian Halimunan
ReplyDeletebisa ngilang tp g bisa balik lagi, jd repot ntr...ππ
Matur nuwun bunda Tien JP emang oye...
Alhamdulillah.. Hari libur juga hadir. Terima kasih Bu Tien. Semoga sehat selalu. Salam.*ADUHAI*
ReplyDeleteAlhamdulillah hari minggu tayang, obat kangen niih
ReplyDeleteAlhamdulillah JP 23 sudah tayang
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien, ceritanya semakin seru dan bikin penasaran.
Semoga Ibu sehat dan bahagia selalu.
Aamiin
Ternyata Ratri bener kembarannya Listie nih.
ReplyDeleteMbak Tien pinter muter2kan crita bikin penasaran.
Salam seroja mbak Tien dari Tegal.
Suwun Bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulilah Ratri tayang..
ReplyDeleteTks bunda Tien..
Semoga sehat dan berbahagia selalu...
Bu Tien memang Josh
ReplyDeleteJangan² kembaran Listy.
ReplyDeleteMakasih mba Tien
Matur nuwun, ibu Tien. Sehat selalu ya...ππ
ReplyDeleteAlhamdululah jp tayang dihari libur, msturnuwun bu tien..salam sehat π
ReplyDeleteDikira hari libur gak tayang, kok ada.. alhamdulillaah
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien... ternyata Ratri bukan anak kandung bu Cipto, Ratri saudara kembar Listi yang terpisah... kelanjutannya tetap ditunggu bunda Tien
ReplyDeleteJadi penasaran
ReplyDeleteTernyata Listi itu kakaknya Ratri, bagaimana kalau mereka bertemu ya?
ReplyDeleteAda satu hal yang menarik, cerbung JePe yang masuk di Episode 23 ini.
ReplyDeleteBu Tien sudah memasukkan unsur theori relatifitas.
Kenapa saya bilang teori relatifitas ?
Dalam alur ceritera disebutkan pasutri (pasangan suami istri) Yu Sutijah dihancurkan oleh *pelakor* Yu Sutarmi.
Hingga keluarga tersebut tercerai berai hancur luluh lantak.
Anaknya Listi yang terpaksa diberikan keluarga Suroto.
Anak keduanya Ratri, diculik Yu Sutarmi ditinggalkan kepada keluarga Sucipto.
Kedua anak² tersebut tumbuh kembang sesuai pola asuh masing² keluarga.
Dilain sisi akibat dari perbuatan orang tuanya.
Yu Sutijah dalam kehancurannya sampai masuk kepredikat ODGJ ( Orang Dalam Gangguan Jiwa ), tak terkecuali Yu Sutarmi juga akhirnya mendapat predikat yang sama.
Tetapi ternyata dalam babak kehidupannya sampai Episode 23.
Yu Sutijah menganggap penghacur rumah tangganya adalah Yu Sutarmi.
Sementara disisi lain Yu Sutarmi juga menganggap penghacur hidupnya adalah Yu Sutijah.
Runyem kan ?
Biarlah ibu Tien menyelesaikan konflik ini di episode berikutnya.
Salam sehat
Salam aduhai ......
Sepertinya... biarlah salah satu anaknya Sutijah mendpt secercah jln terang ya pa Hadi..
DeleteSemoga Ratri bs mendpt kehidupan yg layak berkat kasih sayang tulus dari bu Cipto krn menginginkan hadirnya seorang anak yg sgt diharapkan..
disini berlaku juga Amaluna Amalukum.. sesuai amalan yg sdh ditanamkan itulah yg akan dituai
Alhamdulillah
ReplyDeleteTrims Bu tien
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien
ReplyDeleteSemoga sehat selalu
Akhirnya teka-teki nya terjawab...
ReplyDeleteLanjut Bu Tien, makin geregetan bacanya.
Sehat selalu ya Bu...
Bacanya kalo menjelang tidur, jadi sblm tidur mesti klik dulu nyari kejora pagi jangan pergi. Mtr nuwun..
ReplyDeleteWah tahu Ratri yg membuat gelisah ibu Cipto..trima kasih ya bu Tien
ReplyDelete