Monday, October 10, 2022

SEBUAH JANJI 48

 

SEBUAH JANJI  48

(Tien Kumalasari)

 

“Pak … itu ada … bu … bu Yanti,” bibik -lah yang lebih dulu mengingatkan pak Winarno. Tapi pak Winarno bukan tidak melihatnya, karena sejak mulai duduk dia sudah menghadap ke arah luar. Ia hanya terkejut, ketika bekas istrinya tiba-tiba muncul.

“Kamu, Yanti?” sapa pak Winarno, pelan.

“Maaf, bolehkah aku masuk?” tanya Yanti, ragu.

“Masuklah, dan duduk. Tampaknya kamu ada keperluan.”

Bibik yang sudah berdiri kemudian beranjak ke belakang.

“Apa kabarmu, Yanti?” tanya pak Winarno berusaha ramah.

“Aku … ya seperti ini Mas.”

“Semoga kamu baik-baik saja.”

“Aku … buruk,” katanya sedih.

“Bagaimana bisa, kamu berkata buruk? Kamu sudah memilih jalan yang menurut kamu terbaik.”

Tiba-tiba Yanti menutup wajahnya dengan kedua tangan, lalu menangis terisak-isak, membuat pak Winarno bingung. Ia merasa, Yanti datang dengan membawa masalah.

Pak Winarno membiarkan Yanti menangis sampai beberapa saat lamanya. Ia masih saja menangis sambil menutupi wajahnya, sampai ketika bibik keluar dan menyajikan teh hangat untuknya.

“Minumlah, agar kamu merasa lebih tenang,” kata pak Winarno pelan.

Yanti menurunkan kedua belah tangannya, dan mengusap air mata dengan ujung bajunya.

“Itu,ada tissue," kata pak Winarno sambil menunjuk ke arah meja, dimana tersedia sekotak tissue.

Yanti menarik tissue, lalu mengusap wajahnya begitu saja.

“Kalau kamu sudah merasa tenang, kamu boleh mengatakan apa masalahmu. Kamu memang bukan apa-apa lagi di dalam keluarga aku. Tapi sebagai sesama manusia, aku ikut prihatin, akan keadaan buruk yang sedang menimpa kamu."

“Aku minta maaf,” akhirnya katanya sambil mengusap lagi air matanya dengan tissue.

“Aku sudah memaafkan kamu sebelum kamu memintanya,” kata pak Winarno lagi, datar.

“Aku … tidak punya apa-apa lagi, bahkan tempat untuk berlindung.”

“Apa maksudmu? Bukankah aku memberikan rumah yang dulu kita tinggali?”

“Aku menjualnya.”

“Yaa, sebenarnya aku sudah tahu, karena  ada yang melapor bahwa rumah itu sudah ditinggali orang lain. Tapi rumah itu kan mahal? Uangmu pasti banyak.”

“Dia menipu aku. Menghabiskan uangku.”

“Oh ya? Kasihan sekali kamu. Siapa dia?”

“Suami aku.”

“Hm, suami kamu? Hebat sekali dia, dan betapa bodohnya kamu.”

“Aku memang bodoh.”

“Lalu kamu datang kemari, dengan maksud apa?”

“Tolong aku, biarkan aku kembali kemari.”

Pak Winarno tercengang.

“Apa maksudmu? Kita bukan apa-apa lagi, maaf, aku tidak bisa menerima kamu kembali.”

“Maafkan aku, Aku akan memperbaiki semuanya.”

“Maaf Yanti, aku sudah mendapatkan ketenangan dalam hidup aku, aku mohon jangan lagi kamu mengusiknya.”

“Tolong … “ Yanti kembali menangis.

“Sungguh aku tidak bisa. Kamu sudah memilih jalan kamu dan marilah kita berjalan pada pilihan kita masing-masing. Tapi aku lihat kamu membawa mobil. Berarti kamu masih bisa berusaha.”

“Mobil itu dibeli dengan uang aku, tapi atas nama dia.”

“Jadi kamu benar-benar tak punya apa-apa lagi?”

“Itu sebabnya aku minta tolong Mas, biarkan aku kembali.”

Tiba-tiba sebuah mobil berhenti di halaman.

Pak Winarno heran, ia ingat itu mobil kantornya Barno dan Sekar. Tak lama kemudian memang Barno dan Sekar-lah yang turun dari mobil. Mereka mendekati rumah, menatap Yanti dengan pandangan aneh.

“Kenapa kalian pulang?”

“Ada bu Yanti?” sapa Sekar tanpa menjawab pertanyaan ayahnya.

“Sekar, ibu minta maaf. Ibu mau agar ayah kamu menerima aku kembali.”

Sekar tersenyum.

“Ibu, bukan berarti kami tidak mau, tapi bapak sudah merasa tenang dalam hidupnya, jadi jangan sampai ada masalah lagi.”

“Aku tidak akan membuat masalah. Sungguh.”

“Bu, sebaiknya Ibu tidak mengganggu bapak lagi. Aku akan memberikan ibu sejumlah uang, kalau ibu mau, barangkali sedikit bisa membantu. Tapi kan ibu masih bisa memiliki mobil. Tuh yang diluar.”

“Itu bukan mobil aku. Itu mobil Samadi. Maksudnya, pemiliknya atas nama dia, sementara uangnya dari uang aku. Aku sudah tidak punya apa-apa lagi. Sudah hampir setengah bulan aku lari dari rumah. Samadi menipu semua uang hasil penjualan rumah pemberian ayah kamu.”

“Laporkan saja ke polisi.”

“Bagaimana caranya?”

“Ibu tinggal datang ke kantor polisi dan menceritakan semuanya. Selesai,” sambung Barno yang kemudian ikut bicara.

“Benar Bu, itu satu-satunya jalan.”

“Tapi aku tidak punya apa-apa lagi. Uang yang tersisa sudah habis.”

“Nanti aku beri ibu uang, biarpun tidak seberapa, tapi mungkin bisa sedikit membantu,” kata Sekar yang kemudian memberikan sejumlah uang, yang diterima Yanti dengan air mata bercucuran.

“Aku minta maaf Yanti, tidak bisa membantu.”

“Saya mohon ibu tidak mengganggu bapak lagi.”

“Baiklah, aku pergi,” kata Yanti dengan lunglai.

“Jangan lupa ibu langsung ke kantor polisi. Mobil tidak usah dikembalikan ke Samadi. Nanti kalau proses hukum sudah selesai, ibu bisa menjual mobil itu dan mempergunakannya untuk berdagang atau apa saja. Kalau sekarang, pasti susah menjualnya karena mobil itu bukan atas nama Ibu sendiri,” sambung Barno lagi.

Yanti terus keluar. Entah dia mau mendengar saran Barno, atau tidak, entahlah.

“Mengapa kalian pulang? Kamu belum menjawab pertanyaan bapak,” kata pak Winarno.

“Bibik memberi tahu, bahwa ada bu Yanti di rumah. Sekar takut bapak kenapa-kenapa atas kedatangan bu Yanti,” jawab Sekar sambil memegangi tangan ayahnya.

“Bapak baik-baik saja. Sebelum kalian datang, bapak juga sudah menolak dia.”

“Syukurlah, Sekar hanya tidak ingin bapak terbebani dengan masalah-masalah baru.”

***

Elsa dan bu Ridwan berjalan-jalan di sekitar pasar. Setelah membeli rujak, Elsa mengajak bu Ridwan beli makanan pasar yang jarang dibelinya. Ia membeli gethuk, kelepon, cenil, makanan pasar yang entah mengapa hari itu sangat menarik untuk dibelinya. Membuat bu Ridwan heran.

“Kamu doyan, makanan seperti itu?”

“Elsa tadi sudah mencobanya, ibu. Enak sekali ternyata, sungguh Elsa belum pernah memakannya.”

“Memang enak, ibu sudah sering beli setiap kali belanja ke pasar.”

“Ini juga Elsa beli untuk bibik, kasihan di rumah sendirian.”

“Pasti dia senang, itu makanan tradisional yang jarang dijual di toko-toko besar, adanya di pasar tradisional.”

“Masih adakah makanan pasar yang lain Bu?”

“Banyak, tapi ini sudah kelewat siang. Kalau mau makanan pasar, harus pagi-pagi.”

“Besok Elsa mau bangun pagi, lalu mengajak bibik belanja ke pasar.”

“Bisa kah kamu bangun pagi-pagi?”

“Besok,  Elsa akan menyuruh bibik  membangunkan Elsa pagi-pagi.”

“Bangun pagi, shalat subuh, hm… kalau kamu tahu bagaimana segarnya udara pagi, pasti kamu ketagihan.”

“Shalat ya Bu? Elsa sudah lupa bacaannya, nanti Elsa mau minta bibik mengajarinya."

“Buku tuntunan shalat itu ada di toko.”

“Benarkah? Ayo kita beli.”

Bu Ridwan senang sekali. Hari ini tiba-tiba banyak sekali perubahan pada diri Elsa. Ini membuatnya sangat takjub. Ia heran, mengapa Elsa baru melakukannya sekarang, setelah Seno memutuskan pertunangan itu. Kalau sebelumnya sudah dilakukan, pasti Elsa sudah menjadi menantunya. Seno menyukai gadis sederhana, dan Elsa tidak melakukan sebelumnya.

Ketika berjalan itu bu Ridwan berhenti, saat melihat seorang perempuan tua duduk dibawah pohon waru. Ia membuka dompetnya, dan memberikan uang sepuluh ribuan kepada perempuan itu. Elsa heran.

“Mengapa ibu memberinya uang?”

“Dia orang tak punya, kita wajib memberinya.”

“Mengapa ibu hanya memberi sepuluh ribu?”

Tiba-tiba Elsa mengambil dompetnya, dan mengambil uang seratus ribu, diberikan kepada sang wanita tua yang melongo ketika tangannya menerima uang berwarna kemerahan.

Wajahnya yang kotor tampak sumringah, lalu mengangguk berkali-kali sambil mengucapkan terima kasih.

“Lihatlah, dia senang sekali menerima pemberian kamu. Bagaimana perasan kamu melihat raut wajah yang kegirangan tadi?”

“Elsa senang sekali Bu.”

“Ternyata membuat orang lain merasa senang itu membahagiakan.”

“Iya.”

“Kita harus bersyukur diberikan hidup berkecukupan. Masih banyak kaum papa yang hidup serba kekurangan.”

Hanya dalam sehari, banyak hal yang membuka mata hati Elsa, yang pada awalnya hanyalah menuruti saran Sekar agar dia berpakaian lebih santun. Entah mengapa tiba-tiba Elsa bisa berubah, bukan hanya dari cara dia berpakaian, tapi juga ketika tiba-tiba ada makanan sederhana yang rasanya enak, dan rasa puas bisa memberi kepada orang miskin.

***

“Bibiiiik …. Bibiiik …”

Elsa berteriak-teriak begitu memasuki rumah.

Si bibik tergopoh menghampiri, karena biasanya kalau Elsa memanggil dan kelamaan datangnya, maka dia pasti kena semprot.

“Ya Non.”

“Kamu tidur ya?”

“Tidak Non, sedang menyetrika baju-baju.”

“Ini, aku bawakan oleh-oleh untuk bibik. Aku pernah mendengar namanya, tapi baru sekarang membeli dan merasakannya.”

“Apa ini Non, baunya wangi, gurih.”

“Buka aja, tapi sisakan untuk aku sepiring kecil saja cukup, tadi aku sudah mencicipi di depan penjualnya. Enak.”

Bibik terbelalak melihat apa yang dibawa majikannya. Seumur-umur dia belum pernah melihat majikannya makan makanan pasaran seperti ini.

“Cepat dimakan, jangan dipelototi terus.”

“Oh iya Non, baiklah, saya taruh di piring dulu yang untuk Non.”

“Taruh di meja dapur saja, aku mau makan di sana. Tapi aku ganti baju dulu,” kata Elsa sambil menuju ke arah kamarnya.

Bibik sangat heran melihat perubahan yang tiba-tiba itu. Bukan hanya cara dia berpakaian, tapi juga kesukaannya makan.

Tak lama setelah bibik menata makanan pasar itu, Elsa sudah kembali ke dapur. Mulutnya tersenyum melihat makanan berwarna warni itu. Ia segera melahapnya.

“Bik, jangan pergi dulu.”

“Ya Non.”

“Besok, bangunkan aku pagi-pagi ya.”

“Jam berapa Non? Jam tujuh, atau delapan, atau lebih?”

“Bibik gimana sih. Pagi-pagi.”

“Itu kan sudah pagi Non, biasanya Non bangun jam sebelas siang.”

“Eh, Bibik, mulai besok bangunkan aku jam empat pagi.”

Bibik melongo.

“Jam empat pagi? Atau sore?” bibik masih belum percaya.

“Aduh Bibiiiiik, aku bilang pagi, kenapa jadi sore?”

“Eeh, ppa … pagi ya Non?”

“Aku mau shalat subuh, lalu kita akan kepasar bersama.”

“Non mau shalat? Lalu ke pasar?”

“Iya, tapi aku mau menghafal dulu bacaannya, sudah lupa. Ini, aku sudah beli bukunya.”

Bibik tersenyum lebar, perubahan yang tiba-tiba dan tidak terduga ini membuatnya senang.  Majikannya juga bersikap manis seharian, tidak membentak-bentak seperti biasanya.

“Nanti malam, setelah makan, kamu ambil semua baju-baju aku, bungkus, lalu kita bawa sekalian.”

“Untuk apa Non?”

“Aku berikan kepada pengemis yang bajunya kumel dan bau.”

“Ya ampun Non, baju-baju Non kan modelnya aneh-aneh, mana pantas diberikan pengemis?”

“Nggak pantas ya?”

“Baju-baju ketat, terbuka, rok pendek. Mana ada pengemis berpakaian ala para model seperti yang ada di tivi.”

“Kalau begitu kita beli baju-baju di pasar saja, beberapa potong ya Bik?”

“Terserah Non, kalau beli di pasar kan kebanyakan baju yang sederhana, seperti yang dipakai bibik ini.”

“Baju-baju aku mau diapakan Bik? Untuk Bibik saja, aku nggak mau lagi memakainya.”

“Hadduuuh, Non, nanti kalau bibik memakai baju Non, bisa dikira pasien rumah sakit jiwa terlepas. Nggak usah Non, bibik simpan dulu saja di gudang. Kalau ada waktu akan bibik  rombak semuanya, menjadi baju pantas untuk bibik, atau untuk diberikan ke orang.”

“Memangnya bibik bisa merombak?”

“Ya dicoba nanti, lalu dijahit lagi, atau disambung-sambung, belum tahu bibik. “

“Baiklah, terserah Bibik saja. Oh ya, untuk makan malam bibik sudah siapkan?”

“Sudah bikin sayurnya, tahu tempe goreng, nanti saja digorengnya, biar anget.”

“Terserah, sekarang bibik diam, catat semua pesan aku, aku mau menghabiskan makanan ini dulu.”

Bibik pergi menjauh sambil tersenyum senang.

***

Yanti kebingungan. Ia sudah melupakan rasa malunya untuk memohon agar pak Winarno mau menerimanya kembali, ternyata ditolak. Ternyata susah mengembalikan keparcayaan orang atas semua yang pernah dilakukannya. Yanti mulai meratapi semua kelakuannya yang tidak benar. Tapi Yanti kebingungan. Ia mencari jalan yang ternyata  gelap semuanya. Sangat sulit menyibakkan kegelapan yang melingkupi jiwanya.

Ia masih bersyukur, Sekar mau memberikan sejumlah uang yang barangkali cukup untuk hidup beberapa waktu lagi. Selama ini dia tidur di mobil, dan beli pakaian seadanya, mandi di POM bensin, karena ia enggan pulang oleh rasa marahnya kepada Samadi.

Lalu dia teringat saran Barno agar melaporkannya kepada polisi atas kelakuan Samadi.

“Tapi bagaimana caranya melapor ke polisi?”

Yanti tidak begitu pintar. Dia hanya mondar mandir di depan kantor polisi, tanpa berani memasukinya.

***

Besok lagi ya.

41 comments:

  1. Matur nuwun mbak Tien-ku Sebuah Janji telah tayang

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yessss SJ_48 sdh tayang.
      Alhamdilillah pa Latief juara 1
      Terima kasih bu Tien, selamat malam dan salam ADUHAI

      Delete
    2. Matur nuwun Mbak Tien sayang. Salam Aduhai selalu.

      Delete
  2. Nomer siji. Nuwun mbak Tien dan salam taklim untuk mas Tom Widayat

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sami2 mas Djoko Rianto
      Wa'alaikum salam dari mas Tom Widayat.

      Delete
    2. Mugi mbak Tien lan mas Tom tansah kaparingan sehat. Aamiin

      Delete
  3. Alhamdulillaah sdh tayang , kirain libur. Alhamdulillaah sehat nggih bu tien

    ReplyDelete
  4. Yes... Td ditengok blm tayang.. tyt sdh ada yg no. 1

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah SJ48 sdh hadir. Matur nuwun Bunda Tien. Salam sehat selalu...🙏🌹🦋

    ReplyDelete
  6. Wah, ditinggal sejenak langsung tayang, hebat bu Tien...trmksh.🙏😀

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah tayang
    Kemarin-kemarin ga sampai jam set 10 malam.... sehat-sehat ya bu Tien...sugeng ndalu

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah
    Syukron nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  9. Alhmdllah, yg ditunggu datang juga... Terima kasih....

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillaah, Jazakillaah khoir... Semoga bunda Tien Kumalasari selalu sehat

    ReplyDelete
  11. Sekar - Barno sudah mantap.
    Seno mungkin kembali ke Elsa.
    Tinggal Yanti yang bloon akan kemana...
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillah SEBUAH JANJI~48 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏

    ReplyDelete
  13. Alhamdulillah, maturnuwun bu Tienku
    Kasihan Yanti,,,,
    Salam sehat wal'afiat bu Tienku 🤗🥰

    ReplyDelete
  14. Akhirnya yanti sadar atas kesalahannya, terima kasih bu tien

    ReplyDelete
  15. Salut sama pak Winarnp yg sangat bijak, tanpa emosi kedatangan Yanti yg minta diterima lagi.
    Tanpa sedikitpun rasa benci dihati akan membuat badan sehat segar.

    Barno - Sekar kapan nikah. Jangan lupa pengiring mantennya sahabatmu sendiri Seno yg dulu dan Elsa yg sudah berubah baik.

    Makin penasaran aja. Matur nuwun ibu Tien, Berkah Dalem

    ReplyDelete
  16. Alhamdulillah
    Matur nuwun bu
    Semiga sehat selalu

    ReplyDelete
  17. Tks bunda Tien..
    Alhamdulilah..
    Semoga sehat dan bahagia selalu
    Salam aduhai dr sukabumi

    ReplyDelete
  18. Alhamdulillahi Rabbil'alamiin
    Terima kasih buTien..
    Semoga bu tien sehat2 selalu

    ReplyDelete
  19. Hallow mas2 mbak2 bapak2 ibu2 kakek2 nenek2 ..
    Wignyo, Opa, Kakek Habi, Bambang Soebekti, Anton, Hadi, Pri , Sukarno, Giarto, Gilang, Ngatno, Hartono, Yowa, Tugiman, Dudut Bambang Waspodo, Petir Milenium (wauuw), Djuniarto, Djodhi55, Rinto P. , Yustikno, Dekmarga, Wedeye, Teguh, Dm Tauchidm, Pudji, Garet, Joko Kismantoro, Alumni83 SMPN I Purwantoro, Kang Idih, RAHF Colection, Sofyandi, Sang Yang, Haryanto Pacitan, Pipit Ponorogo, Nurhadi Sragen, Arni Solo, Yeni Klaten, Gati Temanggung, Harto Purwokerto, Eki Tegal dan Nunuk Pekalongan, Budi , Widarno Wijaya, Rewwin, Edison, Hadisyah,
    Wo Joyo, Tata Suryo, Mashudi, B. Indriyanto, Nanang, Yoyok, Faried, Andrew Young, Ngatimin, Arif, Eko K, Edi Mulyadi, Rahmat, MbaheKhalel, Aam M, Ipung Kurnia, Yayak, Trex Nenjap, Sujoko, Gunarto, Latif, Samiadi, Alif, Merianto Satyanagara, Rusman, Agoes Eswe, Muhadjir Hadi, Robby, Gundt, Nanung, Roch Hidayat, Yakub Firman, Bambang Pramono, Gondo Prayitno , Zimi Zaenal M. , Alfes, Djoko Bukitinggi, Arinto Cahya Krisna , HerryPur, Djoni August. Gembong. Papa Wisnu, Djoni, Entong Hendrik, Dadung Sulaiman, Wirasaba, Boediono Hatmo, R.E. Rizal Effendy, Tonni, Koko Hermanto, Radieska51, Henrinurcahyo, Subagyo, Bam's, Mbah Wi, Tjoekherisubiyandono, Apip Mardin,

    ReplyDelete
  20. Hallow..
    Yustinhar. Peni, Datik Sudiyati, Noor Dwi Tjahyani, Caroline Irawati, Nenek Dirga, Ema, Winarni, Retno P.R., FX.Hartanti, Danar, Widia, Nova, Jumaani, Ummazzfatiq, Mastiurni, Yuyun, Jum, Sul, Umi, Marni, Bunda Nismah, Wia Tiya, Ting Hartinah, Wikardiyanti, Nur Aini, Nani, Ranti, Afifah, Bu In, Damayanti, Dewi, Wida, Rita, Sapti, Dinar, Fifi, Nanik. Herlina, Michele, Wiwid, Meyrha, Ariel, Yacinta, Dewiyana, Trina, Mahmudah, Lies, Rapiningsih, Liliek, Enchi, Iyeng Sri Setyawati , Yulie, Yanthi , Dini Ekanti, Ida, Putri, Bunda Rahma, Neny, Yetty Muslih, Ida, Fitri, Hartiwi DS, Komariah P., Ari Hendra, Tienbardiman, Idayati, Maria, Uti Nani, Noer Nur Hidayati, Weny Soedibyo, Novy Kamardhiani, Erlin, Widya, Puspita Teradita, Purwani Utomo, Giyarni, Yulib, Erna, Anastasia Suryaningsih, Salamah, Roos, Noordiana, Fati Ahmad, Nuril, Bunda Belajar Nulis, Tutiyani, Bulkishani, Lia, Imah P Abidin, Guru2 SMPN 45 Bandung, Yayuk, Sriati Siregar, Guru2 SMPN I Sawahlunto, Roos, Diana Evie, Rista Silalahi, Agustina, Kusumastuti, KG, Elvi Teguh, Yayuk, Surs, Rinjani, ibu2 Nogotirto, kel. Sastroharsoyo, Uti, Sis Hakim, Tita, Farida, Mumtaz Myummy, Gayatri, Sri Handay, Utami, Yanti Damay, Idazu, Imcelda, Triniel, Anie, Tri, Padma Sari, Prim, Dwi Astuti, Febriani, Dyah Tateki, kel. SMP N I Gombong, Lina Tikni, Engkas Kurniasih, Anroost, Wiwiek Suharti, Erlin Yuni Indriyati, Sri Tulasmi, Laksmie, Toko Bunga Kelapa Dua, Utie ZiDan Ara, Prim, Niquee Fauzia, Indriyatidjaelani,
    Bunda Wiwien, Agustina339, Yanti, Rantining Lestari, Ismu, Susana Itsuko, Aisya Priansyah, Hestri, Julitta Happy, I'in Maimun, Isti Priyono, Moedjiati Pramono, Novita Dwi S, Werdi Kaboel, Rinta Anastya, r Hastuti, Taty Siti Latifah, Mastini M.Pd. , Jessica Esti, Lina Soemirat, Yuli, Titik, Sridalminingsih, Kharisma, Atiek, Sariyenti, Julitta Happy Tjitarasmi, Ika Widiati, Eko Mulyani, Utami, Sumarni Sigit, Tutus, Neni, Wiwik Wisnu, Suparmia, Yuni Kun, Omang Komari, Hermina, Enny, Lina-Jogya, mbah Put Ika, Eyang Rini ,Handayaningsih, ny. Alian Taptriyani, Dwi Wulansari, Arie Kusumawati, Arie Sumadiyono, Sulasminah , Wahyu Istikhomah, Ferrita Dudiana, SusiHerawati, Lily , Farida Inkiriwang, Wening, Yuka, Sri, Si Garet, ibu Wahyu Widyawati, Rini Dwi, Pudya , Indahwdhany, Butut, Oma Michelle, Linurhay, Noeng Nurmadiah, Dwi Wulansari, Winar, Hnur, Umi Iswardono , Yustina Maria Nunuk Sulastri Rahayu Hernadi , Sri Maryani, Bunda Hayu Hanin, Nunuk, Reni, Pudya, Nien, Swissti Buana, Sudarwatisri, Mundjiati Habib, Savero, Ida Yusrida, Nuraida, Nanung, Arin Javania. Ninik Arsini, Neni , Komariyah, Aisya Priansyah, Jainah Jan. Civiyo, Mahmudah, Yati Sri Budiarti, Nur Rochmah. Uchu Rideen
    . Ninik Arsini, Endah. Nana Yang, Sari P Palgunadi, Echi Wardani, Nur Widyastuti, Gagida family, Trie Tjahjo Wibowo, Lestari Mardi, Susi Kamto, Rosen Rina, Mimin NP, Ermi S, Ira, Nina, Endang Amirul, Wiwik Nur Jannah, Ibu Mulyono, Betty Kosasih, Nanik, Tita, Willa Sulivan, Mimin NP, Suprilina, Endang Mashuri, Rin, Amethys, Adelina, Sari Usman

    ReplyDelete
  21. Ayo kpn ini Sekar barno
    nikahnya...trims Bu Tien sehat sehat s lali

    ReplyDelete
  22. Terima ksih bunda SJ 48 nya.slmsht sll dri skbmi🙏🥰🌹

    ReplyDelete
  23. Wah ada ulet bulut ibu Tiri yg sdh bingung hahahah mau kelaparan di jalan

    ReplyDelete

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 49

  CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  49 (Tien Kumalasari)   Ketika menemui Sinah di rumah sakit, mbok Manis tidak pernah sendiri. Dewi yang tid...