SEBUAH JANJI 48
(Tien Kumalasari)
“Pak … itu ada … bu … bu Yanti,” bibik -lah yang lebih
dulu mengingatkan pak Winarno. Tapi pak Winarno bukan tidak melihatnya, karena
sejak mulai duduk dia sudah menghadap ke arah luar. Ia hanya terkejut, ketika
bekas istrinya tiba-tiba muncul.
“Kamu, Yanti?” sapa pak Winarno, pelan.
“Maaf, bolehkah aku masuk?” tanya Yanti, ragu.
“Masuklah, dan duduk. Tampaknya kamu ada keperluan.”
Bibik yang sudah berdiri kemudian beranjak ke
belakang.
“Apa kabarmu, Yanti?” tanya pak Winarno berusaha
ramah.
“Aku … ya seperti ini Mas.”
“Semoga kamu baik-baik saja.”
“Aku … buruk,” katanya sedih.
“Bagaimana bisa, kamu berkata buruk? Kamu sudah
memilih jalan yang menurut kamu terbaik.”
Tiba-tiba Yanti menutup wajahnya dengan kedua tangan,
lalu menangis terisak-isak, membuat pak Winarno bingung. Ia merasa, Yanti
datang dengan membawa masalah.
Pak Winarno membiarkan Yanti menangis sampai beberapa
saat lamanya. Ia masih saja menangis sambil menutupi wajahnya, sampai ketika
bibik keluar dan menyajikan teh hangat untuknya.
“Minumlah, agar kamu merasa lebih tenang,” kata pak
Winarno pelan.
Yanti menurunkan kedua belah tangannya, dan mengusap
air mata dengan ujung bajunya.
“Itu,ada tissue," kata pak Winarno sambil menunjuk ke arah meja, dimana tersedia sekotak tissue.
Yanti menarik tissue, lalu mengusap wajahnya begitu
saja.
“Kalau kamu sudah merasa tenang, kamu boleh mengatakan
apa masalahmu. Kamu memang bukan apa-apa lagi di dalam keluarga aku. Tapi
sebagai sesama manusia, aku ikut prihatin, akan keadaan buruk yang sedang
menimpa kamu."
“Aku minta maaf,” akhirnya katanya sambil mengusap
lagi air matanya dengan tissue.
“Aku sudah memaafkan kamu sebelum kamu memintanya,”
kata pak Winarno lagi, datar.
“Aku … tidak punya apa-apa lagi, bahkan tempat untuk
berlindung.”
“Apa maksudmu? Bukankah aku memberikan rumah yang dulu
kita tinggali?”
“Aku menjualnya.”
“Yaa, sebenarnya aku sudah tahu, karena
ada yang melapor bahwa rumah itu sudah ditinggali orang lain. Tapi rumah itu kan mahal? Uangmu pasti banyak.”
“Dia menipu aku. Menghabiskan uangku.”
“Oh ya? Kasihan sekali kamu. Siapa
dia?”
“Suami aku.”
“Hm, suami kamu? Hebat sekali dia,
dan betapa bodohnya kamu.”
“Aku memang bodoh.”
“Lalu kamu datang kemari, dengan
maksud apa?”
“Tolong aku, biarkan aku kembali
kemari.”
Pak Winarno tercengang.
“Apa maksudmu? Kita bukan apa-apa
lagi, maaf, aku tidak bisa menerima kamu kembali.”
“Maafkan aku, Aku akan memperbaiki
semuanya.”
“Maaf Yanti, aku sudah mendapatkan
ketenangan dalam hidup aku, aku mohon jangan lagi kamu mengusiknya.”
“Tolong … “ Yanti kembali menangis.
“Sungguh aku tidak bisa. Kamu sudah
memilih jalan kamu dan marilah kita berjalan pada pilihan kita masing-masing.
Tapi aku lihat kamu membawa mobil. Berarti kamu masih bisa berusaha.”
“Mobil itu dibeli dengan uang aku,
tapi atas nama dia.”
“Jadi kamu benar-benar tak punya
apa-apa lagi?”
“Itu sebabnya aku minta tolong Mas,
biarkan aku kembali.”
Tiba-tiba sebuah mobil berhenti di
halaman.
Pak Winarno heran, ia ingat itu mobil
kantornya Barno dan Sekar. Tak lama kemudian memang Barno dan Sekar-lah yang
turun dari mobil. Mereka mendekati rumah, menatap Yanti dengan pandangan aneh.
“Kenapa kalian pulang?”
“Ada bu Yanti?” sapa Sekar tanpa
menjawab pertanyaan ayahnya.
“Sekar, ibu minta maaf. Ibu mau agar
ayah kamu menerima aku kembali.”
Sekar tersenyum.
“Ibu, bukan berarti kami tidak mau,
tapi bapak sudah merasa tenang dalam hidupnya, jadi jangan sampai ada masalah
lagi.”
“Aku tidak akan membuat masalah.
Sungguh.”
“Bu, sebaiknya Ibu tidak mengganggu bapak
lagi. Aku akan memberikan ibu sejumlah uang, kalau ibu mau, barangkali sedikit
bisa membantu. Tapi kan ibu masih bisa memiliki mobil. Tuh yang diluar.”
“Itu bukan mobil aku. Itu mobil
Samadi. Maksudnya, pemiliknya atas nama dia, sementara uangnya dari uang aku.
Aku sudah tidak punya apa-apa lagi. Sudah hampir setengah bulan aku lari dari
rumah. Samadi menipu semua uang hasil penjualan rumah pemberian ayah kamu.”
“Laporkan saja ke polisi.”
“Bagaimana caranya?”
“Ibu tinggal datang ke kantor polisi
dan menceritakan semuanya. Selesai,” sambung Barno yang kemudian ikut bicara.
“Benar Bu, itu satu-satunya jalan.”
“Tapi aku tidak punya apa-apa lagi.
Uang yang tersisa sudah habis.”
“Nanti aku beri ibu uang, biarpun
tidak seberapa, tapi mungkin bisa sedikit membantu,” kata Sekar yang kemudian
memberikan sejumlah uang, yang diterima Yanti dengan air mata bercucuran.
“Aku minta maaf Yanti, tidak bisa
membantu.”
“Saya mohon ibu tidak mengganggu
bapak lagi.”
“Baiklah, aku pergi,” kata Yanti
dengan lunglai.
“Jangan lupa ibu langsung ke kantor polisi. Mobil tidak usah dikembalikan ke Samadi. Nanti kalau proses hukum sudah selesai, ibu bisa menjual mobil itu dan mempergunakannya untuk berdagang atau apa saja. Kalau sekarang, pasti susah menjualnya karena mobil itu bukan atas nama Ibu sendiri,” sambung Barno lagi.
Yanti terus keluar. Entah dia mau
mendengar saran Barno, atau tidak, entahlah.
“Mengapa kalian pulang? Kamu belum
menjawab pertanyaan bapak,” kata pak Winarno.
“Bibik memberi tahu, bahwa ada bu
Yanti di rumah. Sekar takut bapak kenapa-kenapa atas kedatangan bu Yanti,”
jawab Sekar sambil memegangi tangan ayahnya.
“Bapak baik-baik saja. Sebelum kalian
datang, bapak juga sudah menolak dia.”
“Syukurlah, Sekar hanya tidak ingin
bapak terbebani dengan masalah-masalah baru.”
***
Elsa dan bu Ridwan berjalan-jalan di
sekitar pasar. Setelah membeli rujak, Elsa mengajak bu Ridwan beli makanan
pasar yang jarang dibelinya. Ia membeli gethuk, kelepon, cenil, makanan pasar
yang entah mengapa hari itu sangat menarik untuk dibelinya. Membuat bu Ridwan
heran.
“Kamu doyan, makanan seperti itu?”
“Elsa tadi sudah mencobanya, ibu. Enak
sekali ternyata, sungguh Elsa belum pernah memakannya.”
“Memang enak, ibu sudah sering beli
setiap kali belanja ke pasar.”
“Ini juga Elsa beli untuk bibik,
kasihan di rumah sendirian.”
“Pasti dia senang, itu makanan tradisional
yang jarang dijual di toko-toko besar, adanya di pasar tradisional.”
“Masih adakah makanan pasar yang lain
Bu?”
“Banyak, tapi ini sudah kelewat
siang. Kalau mau makanan pasar, harus pagi-pagi.”
“Besok Elsa mau bangun pagi, lalu
mengajak bibik belanja ke pasar.”
“Bisa kah kamu bangun pagi-pagi?”
“Besok, Elsa akan menyuruh bibik membangunkan Elsa pagi-pagi.”
“Bangun pagi, shalat subuh, hm… kalau
kamu tahu bagaimana segarnya udara pagi, pasti kamu ketagihan.”
“Shalat ya Bu? Elsa sudah lupa
bacaannya, nanti Elsa mau minta bibik mengajarinya."
“Buku tuntunan shalat itu ada di
toko.”
“Benarkah? Ayo kita beli.”
Bu Ridwan senang sekali. Hari ini
tiba-tiba banyak sekali perubahan pada diri Elsa. Ini membuatnya sangat takjub.
Ia heran, mengapa Elsa baru melakukannya sekarang, setelah Seno memutuskan
pertunangan itu. Kalau sebelumnya sudah dilakukan, pasti Elsa sudah menjadi
menantunya. Seno menyukai gadis sederhana, dan Elsa tidak melakukan sebelumnya.
Ketika berjalan itu bu Ridwan
berhenti, saat melihat seorang perempuan tua duduk dibawah pohon waru. Ia membuka
dompetnya, dan memberikan uang sepuluh ribuan kepada perempuan itu. Elsa heran.
“Mengapa ibu memberinya uang?”
“Dia orang tak punya, kita wajib
memberinya.”
“Mengapa ibu hanya memberi sepuluh
ribu?”
Tiba-tiba Elsa mengambil dompetnya,
dan mengambil uang seratus ribu, diberikan kepada sang wanita tua yang melongo ketika
tangannya menerima uang berwarna kemerahan.
Wajahnya yang kotor tampak sumringah,
lalu mengangguk berkali-kali sambil mengucapkan terima kasih.
“Lihatlah, dia senang sekali menerima
pemberian kamu. Bagaimana perasan kamu melihat raut wajah yang kegirangan tadi?”
“Elsa senang sekali Bu.”
“Ternyata membuat orang lain merasa
senang itu membahagiakan.”
“Iya.”
“Kita harus bersyukur diberikan hidup
berkecukupan. Masih banyak kaum papa yang hidup serba kekurangan.”
Hanya dalam sehari, banyak hal yang
membuka mata hati Elsa, yang pada awalnya hanyalah menuruti saran Sekar agar
dia berpakaian lebih santun. Entah mengapa tiba-tiba Elsa bisa berubah, bukan
hanya dari cara dia berpakaian, tapi juga ketika tiba-tiba ada makanan
sederhana yang rasanya enak, dan rasa puas bisa memberi kepada orang miskin.
***
“Bibiiiik …. Bibiiik …”
Elsa berteriak-teriak begitu memasuki
rumah.
Si bibik tergopoh menghampiri, karena
biasanya kalau Elsa memanggil dan kelamaan datangnya, maka dia pasti kena
semprot.
“Ya Non.”
“Kamu tidur ya?”
“Tidak Non, sedang menyetrika baju-baju.”
“Ini, aku bawakan oleh-oleh untuk
bibik. Aku pernah mendengar namanya, tapi baru sekarang membeli dan
merasakannya.”
“Apa ini Non, baunya wangi, gurih.”
“Buka aja, tapi sisakan untuk aku
sepiring kecil saja cukup, tadi aku sudah mencicipi di depan penjualnya. Enak.”
Bibik terbelalak melihat apa yang
dibawa majikannya. Seumur-umur dia belum pernah melihat majikannya makan
makanan pasaran seperti ini.
“Cepat dimakan, jangan dipelototi
terus.”
“Oh iya Non, baiklah, saya taruh di
piring dulu yang untuk Non.”
“Taruh di meja dapur saja, aku mau
makan di sana. Tapi aku ganti baju dulu,” kata Elsa sambil menuju ke arah
kamarnya.
Bibik sangat heran melihat perubahan
yang tiba-tiba itu. Bukan hanya cara dia berpakaian, tapi juga kesukaannya
makan.
Tak lama setelah bibik menata makanan
pasar itu, Elsa sudah kembali ke dapur. Mulutnya tersenyum melihat makanan
berwarna warni itu. Ia segera melahapnya.
“Bik, jangan pergi dulu.”
“Ya Non.”
“Besok, bangunkan aku pagi-pagi ya.”
“Jam berapa Non? Jam tujuh, atau
delapan, atau lebih?”
“Bibik gimana sih. Pagi-pagi.”
“Itu kan sudah pagi Non, biasanya Non
bangun jam sebelas siang.”
“Eh, Bibik, mulai besok bangunkan aku
jam empat pagi.”
Bibik melongo.
“Jam empat pagi? Atau sore?” bibik
masih belum percaya.
“Aduh Bibiiiiik, aku bilang pagi,
kenapa jadi sore?”
“Eeh, ppa … pagi ya Non?”
“Aku mau shalat subuh, lalu kita akan
kepasar bersama.”
“Non mau shalat? Lalu ke pasar?”
“Iya, tapi aku mau menghafal dulu
bacaannya, sudah lupa. Ini, aku sudah beli bukunya.”
Bibik tersenyum lebar, perubahan yang
tiba-tiba dan tidak terduga ini membuatnya senang. Majikannya juga bersikap manis seharian, tidak
membentak-bentak seperti biasanya.
“Nanti malam, setelah makan, kamu
ambil semua baju-baju aku, bungkus, lalu kita bawa sekalian.”
“Untuk apa Non?”
“Aku berikan kepada pengemis yang
bajunya kumel dan bau.”
“Ya ampun Non, baju-baju Non kan modelnya
aneh-aneh, mana pantas diberikan pengemis?”
“Nggak pantas ya?”
“Baju-baju ketat, terbuka, rok
pendek. Mana ada pengemis berpakaian ala para model seperti yang ada di tivi.”
“Kalau begitu kita beli baju-baju di
pasar saja, beberapa potong ya Bik?”
“Terserah Non, kalau beli di pasar kan
kebanyakan baju yang sederhana, seperti yang dipakai bibik ini.”
“Baju-baju aku mau diapakan Bik?
Untuk Bibik saja, aku nggak mau lagi memakainya.”
“Hadduuuh, Non, nanti kalau bibik
memakai baju Non, bisa dikira pasien rumah sakit jiwa terlepas. Nggak usah Non,
bibik simpan dulu saja di gudang. Kalau ada waktu akan bibik rombak semuanya,
menjadi baju pantas untuk bibik, atau untuk diberikan ke orang.”
“Memangnya bibik bisa merombak?”
“Ya dicoba nanti, lalu dijahit lagi, atau disambung-sambung, belum tahu bibik. “
“Baiklah, terserah Bibik saja. Oh ya,
untuk makan malam bibik sudah siapkan?”
“Sudah bikin sayurnya, tahu tempe
goreng, nanti saja digorengnya, biar anget.”
“Terserah, sekarang bibik diam, catat
semua pesan aku, aku mau menghabiskan makanan ini dulu.”
Bibik pergi menjauh sambil tersenyum
senang.
***
Yanti kebingungan. Ia sudah melupakan
rasa malunya untuk memohon agar pak Winarno mau menerimanya kembali, ternyata
ditolak. Ternyata susah mengembalikan keparcayaan orang atas semua yang pernah
dilakukannya. Yanti mulai meratapi semua kelakuannya yang tidak benar. Tapi
Yanti kebingungan. Ia mencari jalan yang ternyata gelap semuanya.
Sangat sulit menyibakkan kegelapan yang melingkupi jiwanya.
Ia masih bersyukur, Sekar mau
memberikan sejumlah uang yang barangkali cukup untuk hidup beberapa waktu lagi.
Selama ini dia tidur di mobil, dan beli pakaian seadanya, mandi di POM bensin, karena ia enggan
pulang oleh rasa marahnya kepada Samadi.
Lalu dia teringat saran Barno agar
melaporkannya kepada polisi atas kelakuan Samadi.
“Tapi bagaimana caranya melapor ke
polisi?”
Yanti tidak begitu pintar. Dia hanya
mondar mandir di depan kantor polisi, tanpa berani memasukinya.
***
Besok lagi ya.
Matur nuwun mbak Tien-ku Sebuah Janji telah tayang
ReplyDeleteHorre....Pak Latief juara 1 nya
DeleteYessss SJ_48 sdh tayang.
DeleteAlhamdilillah pa Latief juara 1
Terima kasih bu Tien, selamat malam dan salam ADUHAI
Matur nuwun Mbak Tien sayang. Salam Aduhai selalu.
DeleteAlhamdulillah...
ReplyDeleteTerima kasih
ReplyDeleteNomer siji. Nuwun mbak Tien dan salam taklim untuk mas Tom Widayat
ReplyDeleteSami2 mas Djoko Rianto
DeleteWa'alaikum salam dari mas Tom Widayat.
Mugi mbak Tien lan mas Tom tansah kaparingan sehat. Aamiin
DeleteSelamat p. Latief juara 1
ReplyDeleteAlhamdulillaah sdh tayang , kirain libur. Alhamdulillaah sehat nggih bu tien
ReplyDeleteYes... Td ditengok blm tayang.. tyt sdh ada yg no. 1
ReplyDeleteAlhamdulillah SJ48 sdh hadir. Matur nuwun Bunda Tien. Salam sehat selalu...🙏🌹🦋
ReplyDeleteWah, ditinggal sejenak langsung tayang, hebat bu Tien...trmksh.🙏😀
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeletealhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah tayang
ReplyDeleteKemarin-kemarin ga sampai jam set 10 malam.... sehat-sehat ya bu Tien...sugeng ndalu
Alhamdulillah Maturnuwun
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹
Alhmdllah, yg ditunggu datang juga... Terima kasih....
ReplyDeleteAlhamdulillaah, Jazakillaah khoir... Semoga bunda Tien Kumalasari selalu sehat
ReplyDeleteSekar - Barno sudah mantap.
ReplyDeleteSeno mungkin kembali ke Elsa.
Tinggal Yanti yang bloon akan kemana...
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerimakasih bu Tien
Alhamdulillah SEBUAH JANJI~48 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏
ReplyDeleteAlhamdulillah,
ReplyDeleteAlhamdulillah, maturnuwun bu Tienku
ReplyDeleteKasihan Yanti,,,,
Salam sehat wal'afiat bu Tienku 🤗🥰
Akhirnya yanti sadar atas kesalahannya, terima kasih bu tien
ReplyDeleteSalut sama pak Winarnp yg sangat bijak, tanpa emosi kedatangan Yanti yg minta diterima lagi.
ReplyDeleteTanpa sedikitpun rasa benci dihati akan membuat badan sehat segar.
Barno - Sekar kapan nikah. Jangan lupa pengiring mantennya sahabatmu sendiri Seno yg dulu dan Elsa yg sudah berubah baik.
Makin penasaran aja. Matur nuwun ibu Tien, Berkah Dalem
Matur nuwun bunda Tien...🙏
ReplyDeleteTerima kasih mbak Tien...
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun bu
Semiga sehat selalu
Tks bunda Tien..
ReplyDeleteAlhamdulilah..
Semoga sehat dan bahagia selalu
Salam aduhai dr sukabumi
Alhamdulillahi Rabbil'alamiin
ReplyDeleteTerima kasih buTien..
Semoga bu tien sehat2 selalu
Hallow mas2 mbak2 bapak2 ibu2 kakek2 nenek2 ..
ReplyDeleteWignyo, Opa, Kakek Habi, Bambang Soebekti, Anton, Hadi, Pri , Sukarno, Giarto, Gilang, Ngatno, Hartono, Yowa, Tugiman, Dudut Bambang Waspodo, Petir Milenium (wauuw), Djuniarto, Djodhi55, Rinto P. , Yustikno, Dekmarga, Wedeye, Teguh, Dm Tauchidm, Pudji, Garet, Joko Kismantoro, Alumni83 SMPN I Purwantoro, Kang Idih, RAHF Colection, Sofyandi, Sang Yang, Haryanto Pacitan, Pipit Ponorogo, Nurhadi Sragen, Arni Solo, Yeni Klaten, Gati Temanggung, Harto Purwokerto, Eki Tegal dan Nunuk Pekalongan, Budi , Widarno Wijaya, Rewwin, Edison, Hadisyah,
Wo Joyo, Tata Suryo, Mashudi, B. Indriyanto, Nanang, Yoyok, Faried, Andrew Young, Ngatimin, Arif, Eko K, Edi Mulyadi, Rahmat, MbaheKhalel, Aam M, Ipung Kurnia, Yayak, Trex Nenjap, Sujoko, Gunarto, Latif, Samiadi, Alif, Merianto Satyanagara, Rusman, Agoes Eswe, Muhadjir Hadi, Robby, Gundt, Nanung, Roch Hidayat, Yakub Firman, Bambang Pramono, Gondo Prayitno , Zimi Zaenal M. , Alfes, Djoko Bukitinggi, Arinto Cahya Krisna , HerryPur, Djoni August. Gembong. Papa Wisnu, Djoni, Entong Hendrik, Dadung Sulaiman, Wirasaba, Boediono Hatmo, R.E. Rizal Effendy, Tonni, Koko Hermanto, Radieska51, Henrinurcahyo, Subagyo, Bam's, Mbah Wi, Tjoekherisubiyandono, Apip Mardin,
Hallow..
ReplyDeleteYustinhar. Peni, Datik Sudiyati, Noor Dwi Tjahyani, Caroline Irawati, Nenek Dirga, Ema, Winarni, Retno P.R., FX.Hartanti, Danar, Widia, Nova, Jumaani, Ummazzfatiq, Mastiurni, Yuyun, Jum, Sul, Umi, Marni, Bunda Nismah, Wia Tiya, Ting Hartinah, Wikardiyanti, Nur Aini, Nani, Ranti, Afifah, Bu In, Damayanti, Dewi, Wida, Rita, Sapti, Dinar, Fifi, Nanik. Herlina, Michele, Wiwid, Meyrha, Ariel, Yacinta, Dewiyana, Trina, Mahmudah, Lies, Rapiningsih, Liliek, Enchi, Iyeng Sri Setyawati , Yulie, Yanthi , Dini Ekanti, Ida, Putri, Bunda Rahma, Neny, Yetty Muslih, Ida, Fitri, Hartiwi DS, Komariah P., Ari Hendra, Tienbardiman, Idayati, Maria, Uti Nani, Noer Nur Hidayati, Weny Soedibyo, Novy Kamardhiani, Erlin, Widya, Puspita Teradita, Purwani Utomo, Giyarni, Yulib, Erna, Anastasia Suryaningsih, Salamah, Roos, Noordiana, Fati Ahmad, Nuril, Bunda Belajar Nulis, Tutiyani, Bulkishani, Lia, Imah P Abidin, Guru2 SMPN 45 Bandung, Yayuk, Sriati Siregar, Guru2 SMPN I Sawahlunto, Roos, Diana Evie, Rista Silalahi, Agustina, Kusumastuti, KG, Elvi Teguh, Yayuk, Surs, Rinjani, ibu2 Nogotirto, kel. Sastroharsoyo, Uti, Sis Hakim, Tita, Farida, Mumtaz Myummy, Gayatri, Sri Handay, Utami, Yanti Damay, Idazu, Imcelda, Triniel, Anie, Tri, Padma Sari, Prim, Dwi Astuti, Febriani, Dyah Tateki, kel. SMP N I Gombong, Lina Tikni, Engkas Kurniasih, Anroost, Wiwiek Suharti, Erlin Yuni Indriyati, Sri Tulasmi, Laksmie, Toko Bunga Kelapa Dua, Utie ZiDan Ara, Prim, Niquee Fauzia, Indriyatidjaelani,
Bunda Wiwien, Agustina339, Yanti, Rantining Lestari, Ismu, Susana Itsuko, Aisya Priansyah, Hestri, Julitta Happy, I'in Maimun, Isti Priyono, Moedjiati Pramono, Novita Dwi S, Werdi Kaboel, Rinta Anastya, r Hastuti, Taty Siti Latifah, Mastini M.Pd. , Jessica Esti, Lina Soemirat, Yuli, Titik, Sridalminingsih, Kharisma, Atiek, Sariyenti, Julitta Happy Tjitarasmi, Ika Widiati, Eko Mulyani, Utami, Sumarni Sigit, Tutus, Neni, Wiwik Wisnu, Suparmia, Yuni Kun, Omang Komari, Hermina, Enny, Lina-Jogya, mbah Put Ika, Eyang Rini ,Handayaningsih, ny. Alian Taptriyani, Dwi Wulansari, Arie Kusumawati, Arie Sumadiyono, Sulasminah , Wahyu Istikhomah, Ferrita Dudiana, SusiHerawati, Lily , Farida Inkiriwang, Wening, Yuka, Sri, Si Garet, ibu Wahyu Widyawati, Rini Dwi, Pudya , Indahwdhany, Butut, Oma Michelle, Linurhay, Noeng Nurmadiah, Dwi Wulansari, Winar, Hnur, Umi Iswardono , Yustina Maria Nunuk Sulastri Rahayu Hernadi , Sri Maryani, Bunda Hayu Hanin, Nunuk, Reni, Pudya, Nien, Swissti Buana, Sudarwatisri, Mundjiati Habib, Savero, Ida Yusrida, Nuraida, Nanung, Arin Javania. Ninik Arsini, Neni , Komariyah, Aisya Priansyah, Jainah Jan. Civiyo, Mahmudah, Yati Sri Budiarti, Nur Rochmah. Uchu Rideen
. Ninik Arsini, Endah. Nana Yang, Sari P Palgunadi, Echi Wardani, Nur Widyastuti, Gagida family, Trie Tjahjo Wibowo, Lestari Mardi, Susi Kamto, Rosen Rina, Mimin NP, Ermi S, Ira, Nina, Endang Amirul, Wiwik Nur Jannah, Ibu Mulyono, Betty Kosasih, Nanik, Tita, Willa Sulivan, Mimin NP, Suprilina, Endang Mashuri, Rin, Amethys, Adelina, Sari Usman
Sipp
ReplyDeleteAyo kpn ini Sekar barno
ReplyDeletenikahnya...trims Bu Tien sehat sehat s lali
Terima ksih bunda SJ 48 nya.slmsht sll dri skbmi🙏🥰🌹
ReplyDeleteWah ada ulet bulut ibu Tiri yg sdh bingung hahahah mau kelaparan di jalan
ReplyDelete