JANGAN PERGI 04
(Tien Kumalasari)
Radit melangkah ke belakang, menepuk
bahu bibik yang sedang mengangkat cerek dari atas kompor.
“Adduuuh, Mas Radit !” teriaknya,
lalu buru-buru meletakkan cerek di lantai begitu saja.
“Kalau air mendidih itu numpahin
badan bibik, bagaimana?” keluhnya sambil merengut. Tapi bibik surut kebelakang,
melihat wajah Radit muram, bahkan serem, seakan ingin menerkamnya.
“Ada apa sih Mas,” katanya dengan
nada rendah, sedikit takut melihat sorot mata Radit.
“Bibik taruh di mana foto yang ada di
meja aku?” tanya Radit, tanpa senyum.
Bibik mengerutkan keningnya.
“Foto apa ya Mas?”
“Foto pacar aku, yang ada di atas
meja. Bibik lupa ya, kalau di atas meja di samping tempat tidur aku itu selalu
ada foto terpampang?”
“Foto … ooh, foto non Listi?”
“Iya, Bibik taruh di mana foto itu?
Mengapa Bibik berani sekali memindahkan foto itu?” tanya Radit dengan mata
benar-benar memancarkan api, membuat bibik ketakutan.
“Manaa?” Radit yang biasanya lemah lembut
mendadak menjadi singa galak yang siap menelan mangsanya.
“Bb … bukan bibik Mas … bukan bibik …”
kata bibik ketakutan sambil lebih mundur lagi kebelakang, takut kalau
benar-benar Radit menelannya bulat-bulat.
“Bukan Bibik? Jadi siapa? Mengapa
foto itu tak ada di tempatnya? Mana Bik? Bibik pasti tahu kan?” Bibik mundur
lagi selangkah.
“Itu … it..tuu … “ tangan bibik
menunjuk ke arah gudang?”
“Apa? Di gudang? Tempat barang-barang
rongsokan itu?” teriak Radit.
Bibik hanya mengangguk, dia sudah
mepet di depan kulkas dan kalau ingin mundur lagi tak akan bisa.
“Mengapa bibik taruh di gudang?”
“Bbukan ssaa … saya Mas, bukan …”
bibik menggoyang-goyangkan tengannya, benar-benar ketakutan.
“Kalau bukan Bibik, lalu siapa?
Bukankah Bibik yang menggantikan seprei, tadi?”
“Beb … benar … tap pi .. bibik tidak
memindahkan foto itu, hanya membersihkan saja. Tahu-tahu, ibu membawanya ke
belakang dan melemparkannya ke gudang,” kata bibik yang mulai lancar berbicara
karena sudah mengatakan yang sebenarnya.
Radit melangkah ke gudang, masuk ke
dalamnya, dan dengan marah dia memungut foto kekasihnya teronggok di atas
kardus barang-barang bekas, kemudian membawanya keluar. Sebelah tangannya
meraih serbet yang tersampir di kursi dapur, lalu dipergunakannya untuk
membersihkan pigura yang agak kotor.
Radit mendekap foto itu di dadanya,
lalu melangkah kembali ke kamar. Sebelum masuk ke kamar, dia berpapasan dengan
ibunya.
“Mengapa Ibu membuang foto ini?”
tegur Radit dengan wajah masam.
“Ya ampun Dit, ibu sedih kamu masih
terus menerus mengingat dia. Dia sudah meninggalkan kamu, tak semestinya kamu
terus memujanya,” kata ibunya lembut.
“Radit sudah tahu apa yang Radit
lakukan, tapi Radit tidak suka Ibu menyingkirkan foto ini. Dia menemani Radit
setiap malam.”
“Itulah yang ibu tidak suka Dit. Kamu
harus bisa melupakannya. Kalau foto itu tak ada lagi, perlahan kamu pasti akan
bisa melupakan dia. Mira gadis yang baik dan terpelajar, mengapa kamu tidak
mencoba memperhatikannya?”
Wajah Radit bertambah gelap mendengar
ibunya menyebut nama Mira. Dia tidak suka Mira. Gadis itu tidak tahu malu.
Beberapa hari yang lalu, hari masih pagi, dan tiba-tiba ban motornya kempes di
depan rumah, lalu minta Radit mengantarnya ke kampus. Radit dengan terpaksa
melakukannya, hanya karena kasihan.
Radit melanjutkan langkahnya, masuk
ke dalam kamar dan meletakkan foto itu kembali di atas nakas, setelah
mendekapnya erat di dadanya.
“Mengapa kamu pergi? Mengapa aku
tidak pernah bisa melupakan kamu?” bisiknya, lalu membaringkan tubuhnya di
ranjang.
***
Setelah bertemu Radit, bu Listyo menuju
dapur.
“Kok dia tahu bahwa foto itu ada di
gudang?” tanya bu Listyo pada bibik.
“Ya ampun Bu, saya takut sekali, mas
Radit marah-marah, sampai saya tuh merasa mau diterkam, gitu.”
“Kenapa marahnya sama kamu?”
“Lha mas Radit kan mengira bahwa saya
yang menyingkirkan foto itu, daripada saya diterkam, saya tunjukkan saja ke
arah gudang.”
“Aku sedih memikirkan Radit. Orang
sudah pergi, nggak jelas, maunya masih memandangi fotonya terus. Ada gadis
cantik yang suka sama dia, ee … dia melengos saja.”
“Lha iya sih Bu, mas Radit itu kan
ganteng, gagah, dokter pula, pasti banyak gadis-gadis yang mengejarnya.”
“Dia tuh nggak pernah peduli pada
gadis-gadis itu. Masa sih harus menunggu Listi terus. Listi itu pergi begitu
saja, tanpa kabar, tanpa alasan jelas. Bodoh sekali Radit kalau masih
memikirkannya.”
“Cinta kok bisa sampai segitunya ya
Bu,”kata bibik sambil menghidangkan minuman di depan majikannya.
“Itulah yang membuat aku sedih Bik.
Dicarikan jodoh, nggak pernah cocok, didatangi gadis-gadis cantik, nggak pernah
peduli, dilirik saja tidak,” kata bu Listyo sambil menghirup teh hangatnya.
“Semoga segera ketemu jodohnya Bu.
Bukankah jodoh itu tidak usah dicari, nanti akan datang sendiri, entah
bagaimana caranya,” hibur bibik.
***
Sejak kejadian itu, Radit selalu
mengunci kamarnya setiap sebelum pergi. Radit sendiri tidak tahu, mengapa dia
sangat mendambakan Listi, dan selalu berharap pada suatu hari akan kembali.
Kerinduan itu selalu ditumpahkannya
pada Ratri, guru cantik yang wajahnya sangat mirip Listi. Jatuh cinta kah Radit
pada Ratri? Entahlah, Radit juga tidak bisa menjawabnya. Dia hanya merasa
tenang dan nyaman apabila sudah bertemu dan berbincang dengan Ratri.
Malam itu dengan seijin bu Cipto,
Radit mengajak Ratri jalan-jalan. Sejauh ini Ratri tidak tahu apa sebenarnya
yang terkandung di hati Radit terhadapnya. Hanya berteman biasa, atau lebih
dari itu? Ratri hanya merasa senang setiap kali bersamanya, dan selalu berdebar
setiap kali Radit memandangnya.
Mereka berdua sedang menikmati makan
malam di sebuah restoran. Duduk berhadapan dan terkadang saling pandang dengan
perasaan yang entah bagaimana, tidak disadari oleh keduanya.
“Aku memenuhi janjiku,” kata Radit.
“Janji apa?”
“Janji mengajak kamu makan di luar.”
“Ooh.Iya …”
Ratri tersenyum.
“Mengapa Mas Radit melakukan semua
ini?”
Radit tak menjawab. Matanya
menerawang jauh ke depan, diantara orang-orang yang sedang menikmati makan malam,
tapi bukan mereka yang dipandangnya. Pertanyaan Ratri membuatnya teringat
kekasih hatinya yang pergi entah kemana.
“Mas Radit memikirkan apa?” tanya
Ratri yang merasa heran melihat sikap Radit.
Radit menatap Ratri. Bayangan Listi ada
di wajah itu. Tapi ketika tersenyum, bayangan itu hilang. Ratri sangat terlihat
manis kalau tersenyum. Itu berbeda dengan senyuman Listi. Dimana ya
perbedaannya, tapi Radit merasa Ratri lebih tulus. Apakah berarti Listi tidak
tulus dalam memberikan senyuman kepadanya?
“Kamu bertanya apa?”
“Mas Radit memikirkan apa, kok
seperti sedang melamunkan sesuatu?”
“Memikirkan seorang gadis,” katanya
sambil menatap tajam Ratri.
“Oh, pacar Mas Radit?”
“Pacar?”
“Gadis itu, yang sedang mas pikirkan.”
Radit tertawa.
“Nggak, aku bercanda ….”
“Nggak lucu ah.”
“Kok tersenyum? Pasti lucu dong.”
“Aku kan murah senyum?”
“Itu benar ….” Kata Radit, tulus.
“Jadi pertanyaanku belum terjawab
dong.”
“Pertanyaan yang mana? Kamu banyak
tanya sih?”
“Nggak tuh. Nggak banyak. Hanya dua
dan semuanya belum terjawab.”
“Nanti kamu akan tahu jawabnya.”
“Kapan?”
“Nanti.”
“Nanti malam?”
“Lhoh, boleh ya aku datang nanti
malam dan memberi jawaban?”
“Iih … mas Radit tuh.”
“Baiklah, hidangan sudah tersedia,
lebih baik segera disantap, supaya kita tidak pulang terlalu malam, nanti ibu
bertanya-tanya, lalu aku dikira menculik kamu.”
“Memang mudah, menculik aku?”
“Kayaknya sih … mudah deh …”
“Mudah?”
“Buktinya bisa aku bawa kemari, aku
ajak makan, sambil bercanda. Aku senang sekali lhoh. Kalau kamu mau diculik,
aku mau kok.”
Lalu keduanya tertawa-tawa, menikmati
makan malam yang entah enak atau tidak rasa masakannya, tapi hati senang, dan
itu membuat apa saja yang masuk ke dalam mulut jadi terasa enak. Tapi canda itu terhenti ketika
sebuah pesan masuk ke ponsel Radit.
“Dari bu Dewi,” gumamnya, lalu
membaca pesan itu.
“Dia minta siang besok aku bisa
datang ke sekolah, setelah jam pelajaran selesai,” katanya setelah membaca.
Kemudian memasukkan ponsel ke dalam saku bajunya.
Ratri tak berkomentar, paling juga
masalah pembangunan yang sudah dimulai sejak seminggu lalu.
***
“Tadi kemana saja?” tanya bu Ciptp
ketika sedang menikmati sepiring lontong opor oleh-oleh dari Radit dan Ratri.
“Hanya jalan-jalan, lalu makan. Mas
Radit takut ibu khawatir kalau jalan kelamaan.”
“Berarti nak Radit itu orangnya baik.
Mengerti tata krama membawa anak gadis orang.”
“Iya, dia baik.”
“Besok kalau mencari suami, harus
yang baik seperti nak Radit. Ganteng, baik, pengertian,” kata bu Cipto.
“Ibu ada-ada saja, mana ada perempuan
mencari suami? Yang ada ya laki-laki dong yang mencari istri.”
“Maksud ibu, kalau ada yang mau
mengambil kamu sebagai istri, harus yang baik seperti nak Radit.”
“Doakan ya Bu. Tapi saat ini Ratri belum
memikirkan soal itu,” jawab Ratri, yang berharap agar ibunya tidak mengatakan
bahwa tampaknya Radit menyukainya. Hal itu akan membuat dirinya terganggu.
Iya kalau iya, kalau tidak? Ratri tidak ingin berharap terlalu tinggi, agar kalau
jatuh, jatuhnya tidak terasa sakit.
“Kamu sudah dewasa.”
“Ratri masih ingin melayani Ibu,
belum memikirkan suami.”
“Nanti jadi perawan tua lhoh.”
“Doakan yang terbaik untuk Ratri ya
Bu.”
“Iya, ibu pasti akan selalu berdoa
untuk kamu. Kalau kamu hidup tenang, bahagia, pasti ibu juga akan bahagia.”
“Iya Bu.”
“Kamu tidak makan, masih ada tuh,
lontongnya, sama sayurnya.”
“Ratri sudah kenyang, tadi makan di
sana. Biar Ratri masukkan kulkas saja, besok bisa untuk sarapan.”
“Ya sudah, terserah kamu kalau
begitu.”
Ratri bersyukur, ibunya benar-benar
tidak mengatakannya.
***
“Dari mana Dit? Nggak capek kamu,
seharian bekerja, malamnya pergi lagi,” tanya bu Listyo ketika Radit baru saja
masuk ke dalam rumah.
“Makan bersama teman Bu.”
“Seorang gadis?”
“Ya.”
“Syukurlah. Apa dia cantik?”
“Cantik.”
“Senang mendengarnya. Apa kamu
menyukai dia?”
“Ibu ada-ada saja.”
“Ibu senang kalau kamu menyukai
seorang gadis. Ibu ingin segera punya menantu, lalu menimang cucu.”
“Hanya makan bersama, ibu mikirnya
sampai ke cucu,” kata Radit sambil tersenyum.
Bu Listyo tak menjawab. Ada rasa
kecewa mendengar jawaban Radit. Berarti hati Radit belum beralih dari Listi. Itu
membuatnya prihatin.
“Tadi Mira juga lama menemani ibu di
sini.”
Radit hanya melirik ibunya sekilas,
kemudian berjalan ke arah kamarnya.
“Anak itu. Gadis secantik Mira masih
juga tidak bisa menarik hatinya, tetap menunggu Listi, sampai kapan? Ya kalau
kembali, kalau tidak …?” gumam bu Listyo kesal. Radit mendengarnya, tapi tak
menjawab apapun.
Di kamar, Radit sedang memikirkan
perasaan hati yang sebenarnya dirasakan. Apakah dia masih mencintai Listi, atau
mencintai Listi yang lain? Yang wajahnya mirip, tapi lebih lembut dan tampak
tulus, biarpun sederhana.
Terngiang kembali kata-kata ibunya,
apakah dia akan tetap menunggu Listi? Sampai kapan? Bagaimana kalau dia tidak
kembali? Lalu Radit berpikir lagi, dia setengah mati memuja Listi, apakah Listi
juga cinta pada dirinya? Kalau cinta, mengapa pergi?
Radit memijit kepalanya yang tiba-tiba
terasa pusing. Ia bangkit, meraih foto itu, menatapnya dengan sendu, kemudian
memasukkannya ke dalam laci, lalu tidur.
***
Siang itu pelajaran sudah usai.
Gempita sorak anak-anak yang keluar dari kelas memekakkan telinga. Ratri
tersenyum melihatnya. Masa kanak-kanak adalah masa yang sangat menyenangkan.
Masa dimana tak ada beban, yang ada hanyalah gembira. Ia tersenyum ketika
sebelum murid-muridnya keluar, menyalaminya satu persatu.
“Selamat siang Bu.”
“Siang nak, hati-hati di jalan ya.”
Ucapan-ucapan rutin yang selalu
terdengar saat mengiringi mereka.
Ratri masuk ke ruang guru, untuk
mengambil tas-nya. Ia bersiap pulang, tapi ketika melihat ruang kepala sekolah,
dilihatnya Dewi masih duduk di kursinya sambil mengotak-atik ponselnya.
Ratri melongok kedalam dan menyapa.
“Bu Dewi belum pulang?”
“Sebentar lagi Bu Ratri, pak Radit
meminta bertemu saya siang ini, setelah pelajaran usai,” katanya sambil
tersenyum manis.
Ratri mengangguk, lalu melanjutkan
langkahnya. Ia ingat, semalam Radit mengatakan bahwa bu Dewi ingin ketemu. Kok
tadi dia bilang bahwa pak Radit yang ingin ketemu ya. Ada perasaan aneh
menyelinap. Kenapa bu Dewi berbohong?
Ratri sudah sampai di gerbang sekolah
ketika tiba-tiba sebuah mobil masuk, membuat dirinya harus minggir ke belakang
gerbang. Tiba-tiba mobil itu berhenti.
“Ratri? Mau pulang? Ternyata Radit
yang menyapanya.
“Oh, Mas Radit, mau menemui bu Dewi?”
“Iya, entah ada keperluan apa. Tunggu
dulu, nanti aku antar pulang.”
“Tidak usah Mas, barangkali ada
pembicaraan penting.”
Radit turun dari mobil.
“Tidak, kamu harus ikut, nanti kita
pulang sama-sama.”
Tatapan mata itu menghunjam ke arah ulu
hatinya, membuatnya tak berdaya, dan tak memiliki pilihan lain, kecuali
mengikuti kemauannya. Dia akan menunggu diluar saja nanti, supaya tidak
mengganggu.
***
Besok lagi ya.
Siapakah juara 1;di episode 04 JANGAN PERGI, malam ini???
ReplyDeleteYogja, Sragen, Bojonegoro, Jakarta apa Kuta Bali???
atau.....
Bandung???
Wow gantian kakek juara 1
DeleteJuara 1 nya Bandung
DeleteSelamat Bandung juara 1
DeleteTrimakasih bu Tien Jangan Pergi 04 telah tayang. Aduhai
Matur nuwun Mbak Tien sayang. Salam Aduhai
DeleteAssalamualsikum wrwb ,, aduhai,, bunda,
DeleteMana bisa kuta juara?? Masih nunal nunul ,,
Aduh jangan2 bu Dewi jatuh cinta juga dengan sang dokter??
Alhamdulillah
ReplyDelete
ReplyDeleteMtnuwun mbk Tien 🙏🙏
Matur nuwun mbak Tien-ku Jangan Pergi tayang
ReplyDeleteHatur nuwun mbakyu Tienkumalasari sayang sehat selalu salam kangen
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeletealhamdulillah ... maturnuwun🙏
ReplyDeleteAlhamdulillah , Terima kasih bunda Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah .....
ReplyDeleteYg ditunggu2 sdh datang...
Matur nuwun bu Tien ...
Semoga sehat selalu....
Tetap semangat ..
Terima kasih untuk
ReplyDeletePak Djoni
Ibu Mundjiati Habib
Ibu Sri Hastuti
Ibu Ave
Ibu Rery Wijaya Laksmi
Yang telah bersedia membaca cerbung says di NovelToon
Memberi like dan komentar.
Semoga segala kebaikan mendapatkan kurnia berlimpah. Aamiin
Juga ibu I'in Jogya.
ReplyDeleteTerima kasih banyak atas komennya di Noveltoon
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bu tien
Semoga bu tien sehat2 selalu
Hallow mas2 mbak2 bapak2 ibu2 kakek2 nenek2 ..
ReplyDeleteWignyo, Opa, Kakek Habi, Bambang Soebekti, Anton, Hadi, Pri , Sukarno, Giarto, Gilang, Ngatno, Hartono, Yowa, Tugiman, Dudut Bambang Waspodo, Petir Milenium (wauuw), Djuniarto, Djodhi55, Rinto P. , Yustikno, Dekmarga, Wedeye, Teguh, Dm Tauchidm, Pudji, Garet, Joko Kismantoro, Alumni83 SMPN I Purwantoro, Kang Idih, RAHF Colection, Sofyandi, Sang Yang, Haryanto Pacitan, Pipit Ponorogo, Nurhadi Sragen, Arni Solo, Yeni Klaten, Gati Temanggung, Harto Purwokerto, Eki Tegal dan Nunuk Pekalongan, Budi , Widarno Wijaya, Rewwin, Edison, Hadisyah,
Wo Joyo, Tata Suryo, Mashudi, B. Indriyanto, Nanang, Yoyok, Faried, Andrew Young, Ngatimin, Arif, Eko K, Edi Mulyadi, Rahmat, MbaheKhalel, Aam M, Ipung Kurnia, Yayak, Trex Nenjap, Sujoko, Gunarto, Latif, Samiadi, Alif, Merianto Satyanagara, Rusman, Agoes Eswe, Muhadjir Hadi, Robby, Gundt, Nanung, Roch Hidayat, Yakub Firman, Bambang Pramono, Gondo Prayitno , Zimi Zaenal M. , Alfes, Djoko Bukitinggi, Arinto Cahya Krisna , HerryPur, Djoni August. Gembong. Papa Wisnu, Djoni, Entong Hendrik, Dadung Sulaiman, Wirasaba, Boediono Hatmo, R.E. Rizal Effendy, Tonni, Koko Hermanto, Radieska51, Henrinurcahyo, Subagyo, Bam's, Mbah Wi, Tjoekherisubiyandono, Apip Mardin
Alhamdulillah dah tayang, matur nuwun Bunda Tien.
ReplyDeleteMugi ta sah sehat salam Aduhai.
Hallow..
ReplyDeleteYustinhar. Peni, Datik Sudiyati, Noor Dwi Tjahyani, Caroline Irawati, Nenek Dirga, Ema, Winarni, Retno P.R., FX.Hartanti, Danar, Widia, Nova, Jumaani, Ummazzfatiq, Mastiurni, Yuyun, Jum, Sul, Umi, Marni, Bunda Nismah, Wia Tiya, Ting Hartinah, Wikardiyanti, Nur Aini, Nani, Ranti, Afifah, Bu In, Damayanti, Dewi, Wida, Rita, Sapti, Dinar, Fifi, Nanik. Herlina, Michele, Wiwid, Meyrha, Ariel, Yacinta, Dewiyana, Trina, Mahmudah, Lies, Rapiningsih, Liliek, Enchi, Iyeng Sri Setyawati , Yulie, Yanthi , Dini Ekanti, Ida, Putri, Bunda Rahma, Neny, Yetty Muslih, Ida, Fitri, Hartiwi DS, Komariah P., Ari Hendra, Tienbardiman, Idayati, Maria, Uti Nani, Noer Nur Hidayati, Weny Soedibyo, Novy Kamardhiani, Erlin, Widya, Puspita Teradita, Purwani Utomo, Giyarni, Yulib, Erna, Anastasia Suryaningsih, Salamah, Roos, Noordiana, Fati Ahmad, Nuril, Bunda Belajar Nulis, Tutiyani, Bulkishani, Lia, Imah P Abidin, Guru2 SMPN 45 Bandung, Yayuk, Sriati Siregar, Guru2 SMPN I Sawahlunto, Roos, Diana Evie, Rista Silalahi, Agustina, Kusumastuti, KG, Elvi Teguh, Yayuk, Surs, Rinjani, ibu2 Nogotirto, kel. Sastroharsoyo, Uti, Sis Hakim, Tita, Farida, Mumtaz Myummy, Gayatri, Sri Handay, Utami, Yanti Damay, Idazu, Imcelda, Triniel, Anie, Tri, Padma Sari, Prim, Dwi Astuti, Febriani, Dyah Tateki, kel. SMP N I Gombong, Lina Tikni, Engkas Kurniasih, Anroost, Wiwiek Suharti, Erlin Yuni Indriyati, Sri Tulasmi, Laksmie, Toko Bunga Kelapa Dua, Utie ZiDan Ara, Prim, Niquee Fauzia, Indriyatidjaelani,
Bunda Wiwien, Agustina339, Yanti, Rantining Lestari, Ismu, Susana Itsuko, Aisya Priansyah, Hestri, Julitta Happy, I'in Maimun, Isti Priyono, Moedjiati Pramono, Novita Dwi S, Werdi Kaboel, Rinta Anastya, r Hastuti, Taty Siti Latifah, Mastini M.Pd. , Jessica Esti, Lina Soemirat, Yuli, Titik, Sridalminingsih, Kharisma, Atiek, Sariyenti, Julitta Happy Tjitarasmi, Ika Widiati, Eko Mulyani, Utami, Sumarni Sigit, Tutus, Neni, Wiwik Wisnu, Suparmia, Yuni Kun, Omang Komari, Hermina, Enny, Lina-Jogya, mbah Put Ika, Eyang Rini ,Handayaningsih, ny. Alian Taptriyani, Dwi Wulansari, Arie Kusumawati, Arie Sumadiyono, Sulasminah , Wahyu Istikhomah, Ferrita Dudiana, SusiHerawati, Lily , Farida Inkiriwang, Wening, Yuka, Sri, Si Garet, ibu Wahyu Widyawati, Rini Dwi, Pudya , Indahwdhany, Butut, Oma Michelle, Linurhay, Noeng Nurmadiah, Dwi Wulansari, Winar, Hnur, Umi Iswardono , Yustina Maria Nunuk Sulastri Rahayu Hernadi , Sri Maryani, Bunda Hayu Hanin, Nunuk, Reni, Pudya, Nien, Swissti Buana, Sudarwatisri, Mundjiati Habib, Savero, Ida Yusrida, Nuraida, Nanung, Arin Javania. Ninik Arsini, Neni , Komariyah, Aisya Priansyah, Jainah Jan. Civiyo, Mahmudah, Yati Sri Budiarti, Nur Rochmah. Uchu Rideen
. Ninik Arsini, Endah. Nana Yang, Sari P Palgunadi, Echi Wardani, Nur Widyastuti, Gagida family, Trie Tjahjo Wibowo, Lestari Mardi, Susi Kamto, Rosen Rina, Mimin NP, Ermi S, Ira, Nina, Endang Amirul, Wiwik Nur Jannah, Ibu Mulyono, Betty Kosasih, Nanik, Tita, Willa Sulivan, Mimin NP, Suprilina, Endang Mashuri, Rin, Amethys, Adelina, Sari Usman, Caecilia RA, Mimiet,
ReplyDeleteAlhamdulillah JANGAN PERGI~04 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏
Halaaaah...mas kakek
ReplyDeleteSugeng daluuu... mbak Tien
ReplyDeleteSehat selalu njiih.... Salam kangen dr Surabaya, 😘❤️
Alhamdulillah JP 04 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien, Salam sehat selalu.
Aamiin
Tampaknya bu Dewi juga naksir pada Radit. Masih single ya...
ReplyDeleteSalam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Matur suwun bunda Tien , semoga selalu sehat
ReplyDeleteSalam Aduhaiiii dari bumi Arema Malang
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteMakasih, bu Tien 💖💖
ReplyDeleteMas Radit memang aduhaii 😍😍
Alhamdulillah. Mtr nuwun bunda Tien ..
ReplyDeleteTerimakasih.... Bu Tien.
ReplyDeletePuji Tuhan ibu Tien tetap sehat, semangat dan produktip shg JP 04 telah hadir bagi kami para penggandrungnya.
ReplyDeleteSabar Ratri, cintamu baru mau mulai bersemi sudah ada rintangan2 mungkin ibu Dewi Kepala sekolahmu ada hati kpd Radit. Percayalah Radit tetap menyukaimu...
Setuujuuu bu Yustiin...
DeleteMakasih bunda tayangannya.. salam sehat lanjut ceritanya
ReplyDeleteAlhamdulilah jangan pergi sudah tayang, met mslam bu tien ..salam sehat
ReplyDeleteLuruhkah Radityo; dapat saran dari ibunya, bahkan Bu Listyo mengungkapkan rasa syukur dan senang ketika Radityo bilang habis kencan bersama seorang gadis.
ReplyDeleteTuh kan seminggu sudah berjalan tapi Radityo nggak nongol ngecek atawa apalah, nah gantian Dewi ada hati sama Radityo, nah lho ketahuan; Dewi membelithuki Ratri, bilang pak Radityo mau bertemu sama Dewi.
Ratri maunya nunggu diluar saja, eh sama Radityo di pegang tangan Ratri bergandengan masuk keruang kepsek, nah lho nyesek nggak lihat pemandangan gitu.
Buyar deh skenario yang dirancang Dewi untuk ngajak ngobrol dan mungkin sampai makan siang bersama Radityo.
Lagian ngapain nungguin ngebangun sekolahan kan sudah diserahin anemer, biar nanti pihak sekolah bilang aja kurang gimana, Radityo kan dokter, ya nggak tahu soal bangunan, Dewi halu deh.
Radityo orangnya juga nggak sok; penyandang dana bolak balik nongol petentang petenteng ngawasin yang lagi kerja, buang buang waktu.
Begitulah bunyinya, tapi nggak diterusin soalnya kakinya nggak bertanduk.
ADUHAI
mié råndå piyé, jaré srondal srondol maraké dongkol.😁
Terimakasih Bu Tien
Jangan pergi(mbuh bumbuné piyé kuwi) yang ke empat sudah tayang.
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Terima kasih, ibu Tien...mulai muncul konfliknya nih...salam sehat.🙏😀
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nuwun bu Tien
ReplyDeleteRadityo jgn bikin harapan palsu ya 🤣🤭
Salam sehat wal'afiat ,,salam aduhaii bu Tien 🤗🥰
Alhamdulillah Maturnuwun
ReplyDeleteTerima kasih mbak Tien...
ReplyDeleteTerimaksih bu Tien..
ReplyDeleteSalam sehat
Terima kasih bu Tien nih br buka baca mau solat baca dulu biar gak penasaran
ReplyDeleteAlhamdulilah..
ReplyDeleteTks bunda Tien..
Salam sehat dan bajagia selalu..
Alhamdulillah Jangan Pergi Eps 04 sudah hadir menghibur. Matur nuwun mbak Tien Kumalasari. Semoga mbak Tien tetap sehat, bahagia bersama keluarga, dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin YRA. Salam sehat selalu.
ReplyDeleteHa..ha..Bu Dewi mau cari kesempatan nih.
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
Salam sehat selalu aduhai
Alhamdulillah, semoga Ratri berjodoh sama Radit... duo RR
ReplyDeleteSumonggo bu Tien sajalah. Salam sehat selalu
Alhamdulillah Matur nuwun Bunda Tien
ReplyDeleteSalam hangat buat semuanya
Sebelum tidur nunggu lanjutannya dulu ah
ReplyDeleteMenanti...
ReplyDeleteLagi menunggu
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien...tp tp 🙏
ReplyDeleteAlhamdulillah.
ReplyDeleteMatur nuwun Bunda Tien. Cerbung panjenengan saget damel kanca nglembur nilai PTS.
Salam Aduhai saking Jember Jawa Timur. Utaminipun SMPN 2 BALUNG JEMBER