KEMBANG CANTIKKU
28
(Tien Kumalasari)
“Heru, maukah menemani aku, walau semalam ini saja?
Aku takut tidur sendirian Heru,” rengeknya.
“Di sini ada pembantu, dia bisa aku suruh menemani
kamu, walau sebetulnya aku merasa, bahwa lebih baik kamu pergi dari sini dan
pulang ke rumah kamu.”
“Ya ampun Heru, kamu itu lebih tampan dari ayah kamu,
tapi hatimu tak selembut ayah kamu.”
“Karena aku tidak ingin tersesat dalam hidup ini.”
“Apa maksudmu tersesat?”
“Tersesat adalah salah jalan. Bukan lorong hitam ini
yang harus kamu lalui, tapi lorong yang benderang. Aku tidak mau itu, karena
dalam tersesat aku hanya bisa berjalan sambil meraba-raba, semuanya serba tidak
jelas.”
“Bukankah menyenangkan, meraba-raba?” kata Qila sambil
tersenyum simpul.
Dalam berbicara, tak sedikitpun Heru melihat kearah
lawan bicaranya. Selain ia sebenarnya tidak suka berbincang dengan wanita
berhati kotor seperti Qila, ia juga tidak suka cara dia duduk, cara dia
berbicara, dan semua yang dimilikinya.
“Aku akan pergi sekarang.”
“Heru, kamu benar-benar tidak kasihan sama aku?” Kalau
ayahmu tidak sedang sakit, ia tak akan membiarkan aku kesepian dalam
malam-malamku.”
“Aku adalah aku, bukan ayahku.”
“Tapi wajahmu mirip.”
“Hatiku tidak,” kata Heru sambil berdiri.
“Heru,” kata Qila sambil mengikutinya berdiri.
“Dengar, aku akan menemani kamu, tapi bukan malam ini.”
“Apa? Benarkah?” mata Qila langsung berbinar. Heru melirik
sekilas, dan melihat percikan api dari mata liar itu.
“Benar, tapi tidak sekarang.”
“Kapan?”
“Kamu tunggu saja sampai aku mengabari kamu.”
“Mengapa harus menunggu?”
“Kamu kan tahu bahwa keluargaku sedang berkabung
karena nenek aku meninggal? Mana mungkin aku bersenang-senang sementara
keluargaku sedang berduka.”
“Berapa hari aku harus menunggu? Jangan lama-lama
dong.”
“Beri aku nomor ponselmu, aku akan mengabari kamu.”
Qila berjingkrak kegirangan. Ia merasa bahwa Heru
hampir terjerat bujuk rayunya. Dengan lincah ia menuliskan nomor kontaknya di ponsel
Heru.
“Ini sayang, baiklah hari ini aku bisa mengerti. Aku
akan menunggu kamu. Kalau boleh memilih, tentu saja aku lebih memilih kamu
daripada ayahmu,” katanya sambil mendekatkan tubuhnya ke tubuh Heru.
Heru menghindar dengan mengundurkan diri.
“Heru, kau harus meninggalkan sesuatu, di sini,” katanya
sambil menunjuk ke arah pipinya.
Heru memalingkan wajahnya lagi.
“Jangan melakukan hal yang tidak pantas, ada sopir
ayahku. Aku takut dia melaporkannya,” katanya kemudian bergegas pergi.
Qila mengejarnya, tapi Heru sudah masuk ke dalam
mobil, lalu menutupnya. Ia segera menyuruh sopirnya pergi secepatnya dari
tempat yang membuat bulu kuduknya meremang.
***
Heru tidak langsung ke rumah sakit, tapi langsung ke
rumah neneknya, di mana beberapa tamu masih duduk-duduk dirumah neneknya,
ditemani kerabat yang lain.
Ia berbasa-basi sebentar diantara para tamu, terutama
tentang ayahnya yang mengalami kecelakaan, kemudian ia mencari ibunya, yang ternyata
sedang beristirahat di kamar.
“Bu …”
“Heru?”
“Iya Bu.”
“Ibu menunggu kamu sejak tadi.”
“Ada apa Bu?”
“Ada apa … ada apa … Bagaimana bisa kamu membawa pacar
kamu atau menyuruh pacar kamu datang ke rumah sakit? Itu nomor satu ya, nomor
duanya, bagaimana kamu bisa mempunyai pacar seperti itu,” kata Hartati sambil
duduk, sementara Heru duduk di sofa, menghadap ke arah ibunya.
“Pertama, dia mengira yang mengalami kecelakaan itu
Heru. Sedang yang ke dua, memangnya kenapa Bu?”
“Kamu serius sama gadis itu, yang ibu bahkan tidak
ingin tahu siapa namanya?” kesal
Hartati.
Heru tertawa, membuat Hartati bertambah gemas.
“Heru tidak bersungguh-sungguh Bu.”
“Tidak bersungguh-sungguh bagaimana?”
“Hanya iseng kok.”
“Eh, jangan sembarangan mengucapkan iseng. Itu berarti
kamu mempermainkan wanita bukan?”
“Tidak. Kami hanya dekat, tidak sungguh-sungguh
pacaran.”
“Dekat bagaimana? Kamu jangan sembarangan dekat dengan
wanita. Wanita terkadang seperti ular. Kalau dia membelit maka susah sekali kamu melepaskan diri.”
Heru lagi-lagi tertawa.
“Mengapa ibu mengatakan bahwa wanita itu sepeti ular?
Maaf, bukankah ibu juga seorang wanita?”
“Kamu jangan kurangajar Heru.”
“Kan Heru sudah minta maaf, dan Ibu sendiri yang mengatakannya
bukan” kata Heru sambil mendekati ibunya.
“Ibu tidak mengatakan semua wanita kan. Ibu bilang, ‘terkadang’.
Dan amit-amit deh, ibu tidak seperti itu”
“Jadi wanita yang bagaimana yang menurut ibu seperti
ular?”
“Ya yang bukan wanita baik-baik, yang suka
membelit-belit, begitu.”
“Ibu kok bicaranya tidak jelas sih.”
“Begini Heru, kamu sudah dewasa, kamu harus mengerti,
bagaimana wanita yang baik, dan yang tidak. Kamu tahu, wanita yang kamu akui
sebagai pacar itu, matanya saja sudah liar. Cara berpakaian dia? Aduuh Heru,
harusnya kamu bisa dong membedakan mana wanita baik dan mana yang tidak. Kamu
tahu tidak, teman-teman kuliah kamu yang sering datang ke rumah itu,
cantik-cantik, santun, pintar. Masa kamu tidak tahu bedanya dengan pacar kamu
itu? Nggak Heru, ibu nggak suka. Sebelum terlambat, kamu harus segera
memutuskan hubungan kamu dengan perempuan itu.”
“Ibu yakin, dia bukan wanita baik-baik?”
“Naluri seorang ibu mengatakan itu. Kamu harus
percaya, Heru.”
“Begitukah?”
“Ya, begitu!!!” kata Hartati tandas sambil menatap
anaknya, yang hanya cengar-cengir menggemaskan.
“Baiklah ibu, kalau memang itu mau ibu, Heru akan
lakukan.”
“Sungguh?”
Heru mengangguk, kemudian merangkul ibunya dengan
kasih sayang.
“Setelah ini kembalilah ke rumah sakit. Kasihan ayahmu
tak ada yang menemani.”
Heru mempererat pelukannya. Wanita cantik anggun yang adalah ibunya ini, benar-benar wanita yang luar biasa. Tanpa sadar bahwa
suaminya berselingkuh, ia masih sangat
memperhatikan ayahnya. Aduhai.
***
“Apa yang kamu lakukan tadi, Heru?” tegur ayahnya,
yang bukan berterima kasih atas perbuatannya menyelamatkannya dari amukan sang
istri, tapi malah menatapnya dengan teguran.
“Apa Heru salah? Kalau Heru tidak melakukannya, entah
apa yang terjadi. Barangkali akan ada perang di dalam ruangan ini.”
“Maksudku, setelah kamu membawanya pergi, mengapa kamu
lama sekali? Kamu mengantarnya sampai ke mana?”
“Ke rumah Bapak. Dia belum pergi dari sana, menunggu
Bapak mengusirnya,” kata Heru seenaknya sambil berbaring di sofa.
“Memangnya dia tidak membawa mobil sendiri?”
“Membawa sih. Tapi dia tidak mau beranjak dari sini
kalau Heru tidak mengantarnya.”
“Jadi itu sebabnya kemudian kamu mengantarnya?”
“Ya.”
“Lalu apa yang kamu lakukan di sana?”
“Bolehkah Heru bicara sebagai sesama laki-laki?”
“Apa maksudmu?” tanya Purnomo yang mulai merasa
was-was.
“Bapak laki-laki, Heru juga laki-laki.”
“Kamu melakukan apa sama dia?” mulai dengan nada
tinggi.
“Tapi laki-laki yang satu dan lainnya itu tidak sama.”
Purnomo mengangkat wajahnya untuk bisa menatap anak
laki-lakinya yang terbaring di sofa.
“Dia memang menarik bukan? Pasti susah bagi Bapak
untuk melupakannya.”
“Kamu kelamaan Heru. Jawab pertanyaan Bapak.”
“Heru tidak tertarik sama dia.”
Purnomo menghempaskan napas lega.
“Tapi dia yang tertarik sama Heru.”
“Apa?”
“Itu benar. Tapi kan Bapak sama Heru itu berbeda. Beda
selera juga.”
Heru membalikkan tubuhnya membelakangi ayahnya.
“Heru.”
“Heru letih sekali Pak, mau tidur sebentar saja.”
Purnomo meletakkan kembali kepalanya yang semula
diangkatnya dengan jalan meninggikan letak bantalnya. Ia belum benar-benar merasa
lega. Keterangan yang didengarnya masih terasa menggantung. Tapi tampaknya Heru
sudah pulas. Purnomo mendengar napas teratur dari arah sofa, dimana Heru
terbaring. Purnomo membiarkannya, tampaknya Heru memang sangat lelah.
Barangkali juga semalam dia belum sempat tidur.
***
Pagi hari itu Mila terbangun dan tiba-tiba saja menangis, lalu berteriak-teriak memanggil Wahyudi.
“Pak Udi manaaa…pak Udi manaa ….”
Tinah yang mendekati tak diacuhkannya.
“Mila, ayo minum susunya dulu ya, ini, sudah Tinah
siapkan. Sini cantiiik,” rayu Tinah.
“Nggak mau …. Aku mau pak Udi … mana pak Udi ….”
“Pak Udi masih sakit, besok kalau sudah sembuh pasti
datang kemari,” bujuk Tinah sambil membawa botol susu untuk Mila.
“Nggak mauuu … tadi ada … pak Udi ada …”
“Ada apa ini, tumben, pagi-pagi rewel, Mila?” tanya bu
Kartiko yang masuk ke kamar Mila karena tak biasanya Mila rewel pagi-pagi.
“Pak Udi mana … tadi ada … mau ituuut… pak Udi manaaa …”
“Minum susu dulu ya, ini susunya …”
“Pak Udi manaaa …”
“Rupanya dia mimpi ketemu Wahyudi,” gumam bu Kartiko.
“Iya Bu, tak biasanya begini,” kata Tinah.
Mila duduk di lantai sambil menangis, tak mau diam
walau Tinah berusaha membujuknya.
“Dengar cantik, bagaimana kalau nanti siang kita
ketemu pak Udi?”
“Mana pak Udi?”
“Pak Udi masih di rumah sakit. Mila kangen ya? Tadi
mimpi ketemu pak Udi? Ya sudah, sekarang diam dulu, minum susunya, trus mandi trus
dandan yang cantik, lalu kita ke rumah sakit.”
Mila diam tiba-tiba, sambil menatap neneknya.
“Benar Mila, nanti ikut nenek ke rumah sakit ya?
Disana ada pak Udi …”
Tinah mengulurkan botol susunya. Mila kembali
membaringkan tubuhnya di kasur dan minum susu botolnya dengan nikmat.
***
“Mengajak anak kecil ke rumah sakit, apa tidak bahaya
sih Bu. Ibu ada-ada saja, nanti kalau tidak benar-benar diajak anak itu pasti
rewel,” tegur pak Kartiko ketika mendengar istrinya mau mengajak Mila ke rumah
sakit.
“Kamar Wahyudi itu agak terpisah, kita tidak harus
melewati pasien-pasien yang sedang sakit. Ibu kira tidak apa-apa. Habis tadi
dia rewel, menangis tak mau berhenti. Apa dia mimpi ketemu Wahyudi ya?”
“Mungkin saja begitu. Anak itu kan dekat sekali dengan
Wahyudi.
“Itulah sebabnya, ibu nekat mau mengajaknya, supaya
dia tahu bahwa Wahyudi benar-benar ada di rumah sakit.”
“Kalau begitu aku juga ikut ah Bu. Pengin lihat keadaannya.”
“Bapak mau ikut? Bagaimana kalau tidak usah saja?”
kata bu Kartiko khawatir, karena kalau nanti pak Kartiko melihat ada bekas luka
di kepala Wahyudi, pasti akan timbul pertanyaan apa penyebabnya, dan bu Kartiko
belum ingin mengatakannya sampai Wahyudi benar-benar sembuh, paling tidak luka
bekas operasi itu.
“Mengapa tidak boleh sih Bu, apa Ibu malu jalan sama
laki-laki yang memakai kursi roda?”
“Bapak itu gimana, mosok ibu malu jalan sama suami.
Ibu itu khawatir, bapak kan belum sehat benar.”
“Tidak, aku sehat kok. Aku juga sudah latihan jalan
kemarin sama Nano. Aku kira kalau dipaksa, jalan pakai tongkat pasti aku sudah
bisa.”
“Ya sudah, terserah Bapak kalau begitu. Tapi sarapan
dulu, minum obat, eh … mandi dulu ya kan?”
“Iya, baiklah. Aku mandi dulu saja. Rupanya bukan
hanya Mila yang kangen sama Wahyudi, tapi aku juga,” kata pak Kartiko
bersemangat.
***
Pagi itu selesai badan di bersihkan dan sarapan,
Purnomo sudah mencoba duduk di tepi pembaringan. Masih ada rasa pusing, tapi
selebihnya dia merasa baik-baik saja. Lalu diambilnya ponselnya. Saat itu Heru
sedang mandi, sehingga Purnomo tak perlu sungkan kalau ingin menelpon Qila.
Sudah semalam ditahannya karena ada Heru di ruangan itu.
“Hallo, ini Heru ?” sapa Qila dari seberang sana.
“Apa maksudmu? Ini aku, Purnomo.”
“Ya ampuun, mas Purnomo, pagi-pagi sudah menelpon, aku
masih terbaring di ranjang nih, kesepian, kedinginan,” keluh Qila tanpa merasa
bersalah telah menyebut nama Heru dan itu membuat Purnomo kesal.
“Ini sudah jam sepuluh pagi, Qila? Kamu belum bangun?”
“Iya sih, semalam nggak bisa tidur, habis nggak ada
temannya.”
“Nanti setelah kesehatanku di cek semua, aku akan
segera cabut dari rumah sakit, dan langsung menemui kamu.”
“Benarkah?”
“Benar, aku kangen sekali sama kamu.”
“Baiklah, aku tunggu ya. Sekarang aku mandi dulu, lalu
sarapan. Aku enggan keluar, menyuruh pembantu yang bersih-bersih rumah itu saja
supaya beli makanan untuk aku.”
“Kamu benar. Kalau ada apa-apa, atau butuh apa-apa,
bilang saja sama dia. Aku akan segera kesana.”
“Bapak mau ke mana?” kata Heru tiba-tiba.
Purnomo menutup ponselnya, lalu merebahkan lagi
tubuhnya, pura-pura tidak mendengar pertanyaan anaknya.
***
Hari itu pak Kartiko bersama istri, dan juga Mila yang
tentu saja bersama Tinah pengasuhnya, sudah sampai di rumah sakit. Nano
mendorong kursi roda dimana pak Kartiko duduk di atasnya. Mila berlarian
mendahului, dan diikuti Tinah sambil berteriak-teriak.
“Milaaa, jangan lariiii, nanti jatuh, sayang,” teriak Tinah sambil mengejarnya.
Mila terkekeh senang sambil terus berlarian. Tiba-tiba
Mila melihat seorang anak kecil yang sebaya dengannya, dengan rambut dikepang
dua, persis seperti dirinya. Entah mengapa, Mila tertarik melihat gadis itu, ia
mendekati, lalu memegang-megang tangannya.
“Mbaak …” panggilnya. Gadis kecil yang disapa terkejut,
lalu lari menjauh. Mila terus mengejarnya.
“Mbaaak.”
“Qilaaaa, tuh ada yang memanggil kamu, ayo kenalan
dong,” teriak seorang wanita cantik.
Nano yang sedang mendorong kursi roda terkejut. Gadis
kecil itu memang Qila yang dicarinya.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah..
ReplyDeleteMtnuwun....🙏🙏
Matur nuwun mbak Tien-ku Kembang Cantikku sudah berkunjung
ReplyDeleteQila kecil bertemu anaknya Qila, kesempatan difoto oleh Nano.
DeleteTentunya sambil mengorek keterangan tentang Retno.
Salam sehat mbak Tien yang selalu ADUHAI.
Trimakasih bu Tien Kembang Cantikku 28 sudah tayang. Yuk mojok sama"
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulilah.. yg ditunggu sdh tayang
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien..
Alhamdulillah... Tayang
ReplyDeleteHoréé kakek kalah ma mb Nani
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien..
ReplyDeleteSemoga sehat selalu..
Sugeng dalu, matur nuwun mbakyu, episode 28 sampun tayang. Semakin asyik.
ReplyDeleteSalam taklim katur mas Tom Widayat. Saya Djoko Rianto, adik angkatan belau di Tirtomoyo
Alhamdulillah, matur nuwun, sehat dan bahagia selalu bunda Tien ..
ReplyDeleteMakasih bu... Salam dari jauh, from Jeddah with love
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun bu
Semoga sehat selalu
Alhamdulillah KEMBANG CANTIKKU~28 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏
ReplyDeleteAlhamdulillaah bunda tayang
ReplyDeletesuwun bu Tien Kembang Cantik ku 28 sudah tayang....salam aduhai n sehat selalu
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien.
ReplyDeleteNah ketemu sekarang Nano dgn Qila & Retno...Pasti asyiik nih Wahyudi bisa ingat semuanya asal diketemukan dgn Retno & Qila sigadis berkepang dua.
ReplyDeleteSalam sehat utk bu Tien & keluarga..🙏🙏🙏
Alhamdulillah KEMBANG CANTIKKU 28 telah tayang , terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Hatur nuhun Bu Tien... Tambah seru....
ReplyDeleteTrims Bu Tien
ReplyDeleteWah rupanya Retno hampir ketemu dengan Wahyudi nih jadi Wahyudi bisa cepat sembuh dan kembali ke rumahnya ketemu dengan Wuri jg.Salam seroja buat mbak Tien dr Tegal.
ReplyDeleteAlhamdulillah, Kembang Cantik 28 sudah tayang.
ReplyDeleteMature nuwun mbak Tien, semoga kita Semua tetap sehat, bahagia, dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin YRA
Alhamdulillah, KC 28 sdh tayang
ReplyDeleteMatursuwun bu Tien, smg tetap sehat bahagia selalu.
Maturnuwun
ReplyDeleteAsyik
ReplyDeletengebayangin dua bocah yang ingin berteman; menemukan orang yang di rindukan, sekaligus sebagai jalan terang untuk mengetahui asal usul Wahyudi.
Tanpa beban dalam keceriaan nya anak-anak yang masih lucu bisa mempertemukan orang yang pernah saling menyukai.
Awal dari penyembuhan seorang yang lupa semua masa lalunya.
ADUHAI
Purnomo yang dibuat sewot anaknya karena Heru mengatakan Qila suka sama dia, jadi bukan sebaliknya.
Tentu saja pilih yang brondong yang enggak ada masalah bila mau apa saja, laen donk kalau sama yang sudah punya gandengan.
Hartati pun tegas minta Heru melepaskan Qila, kelihatan dia bukan perempuan baek² dan menyanggupinya.
Kremut² tambah pusing Purnomo ternyata Qila ngikut omongan sang brondong.
Didepan Purnomo ulah Qila membuat mual, dibalik itu ada janji pada ibunya; Heru harus pisah.
Debut si cantik Qila dan brondong yang diharap jadi teman tapi mesra, bisakah itu terwujud.
Terimakasih Bu Tien,
Kembang cantikku yang ke dua puluh delapan sudah tayang.
Sehat-sehat selalu doaku, sejahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Luar biasa...
ReplyDeleteTerima kasih mbak Tien...
alhamdulillah
ReplyDeleteMakin seruu nih
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
Sehat dan selalu semangat.
Aduhai
Makin asyik .....
ReplyDeleteTerimakasih bu Tien, semoga sehat selalu.
Terima ksih bunda Tien KC nya..slmt pgii slm week and bersm kel..salam sht sll dri sukabumi🙏🥰
ReplyDeleteTerima kasih bu Tien
ReplyDeleteSemoga malam ini ceritanya Retno dananaknya Qila dipertemukandegan Wahyudi sehingga bisa segera kembali ingatannya.
ReplyDeleteTakdir Wahyudi itu di tangan mbak Tien.... 😀
DeleteAlhamdulillah
ReplyDelete