Thursday, June 16, 2022

ADUHAI AH 49

 

ADUHAI AH  49

(Tien Kumalasari)

 

Langkah pak RT dan yu Sukini yang sudah berada di pintu keluar terhenti. Ia menoleh ke arah dalam, melihat bu Sriani meronta, diseret dua orang petugas untuk dimasukkan kedalam mobil tahanan.

“Kasihan sebenarnya,” gumam pak RT.

“Tapi kalau mengingat kelakuannya kok ya gemeesss banget aku. Apalagi kalau ingat waktu ketemu di rumah bu Mintarsih itu. Duuuh, memaki-maki semua orang seperti penguasa saja.”

“Orangnya sangat keras dan tidak tahu malu.”

“Benar. Kasihan nak Hesti waktu itu, hanya diam dan ketakutan.”

***

Sriani yang merasa kacau, tak tahu harus berbuat apa. Ia merasa telah terjerumus dalam permainannya sendiri. Bukan keuntungan yang didapat, malah petaka menghimpitnya. Ia seperti tak sadar, hanya berteriak-teriak tak menentu.

“Dasar anak tak tahu diuntung. Tidak punya rasa terima kasih, bersikap seakan baik, tapi ingin menghancurkan aku secara kejam. Anak durhaka, celakalah kamu,” dia mengumpat dengan sumpah serapah yang tak habis-habisnya.

“Diamlah Bu, apa tidak capek berteriak-teriak terus?” kata petugas yang mengawalnya.

“Diam kamu!”

“Dasar perempuan gila,” salah seorang petugas sudah mengangkat tangannya, bermaksud menampar mulut Sriani, tapi seorang lagi menahan tangannya.

“Jangan lakukan, kamu bisa kena masalah.”

“Mulutnya harus disumpal supaya berhenti mengoceh.”

“Dia memang gila.”

“Apa kamu bilang? Aku tidak gila. Aku ini difitnah, tahu?!”

“Bukan di sini tempatnya kalau mau protes, menghabiskan tenaga sampeyan, nggak ada gunanya.”

“Diam ! Aku tidak butuh nasehatmu.”

“Orang tidak waras, diamkan saja,” tegur salah satu petugas lainnya.

“Kamu, kalian semua yang tidak waras. Aku ini tidak salah! Aku difitnah !”

“Diamkan saja, nanti kita bisa ikutan gila!”

“Kalian yang gila. Gilaaaa. Gilaaa!” teriaknya tak terkendali, tapi para petugas yang mengawalnya mendiamkannya.

Sriani benar-benar tak bisa mengendalikan diri lagi. Saat persidangan adalah saat-saat penantian akan nasibnya. Dunia seakan runtuh. Tak ada harapan untuk menang, karena ia menyadari semua adalah benar. Ia frustasi, ingin mengamuk, tapi petugas telah memborgolnya dengan tanpa ampun.

***

 Sita baru pulang dari bekerja, ketika dilihatnya seseorang berdiri di depan kamar kostnya.

Sita melangkah mendekat, lalu seseorang itu menoleh ke arahnya. Ternyata pengacara yang murah senyum itu, dan kali itu juga menyambutnya dengan senyuman, memikat sih, itu menurut Sita.

“Selamat sore …” sapa Luki, sang pengacara.

“Selamat sore.”

“Saya senang, pas saya datang, Mbak Sita juga datang. Seperti orang kencan ya?” candanya.

Sita tersenyum. Pengacara yang kocak. Pikirnya.

“Silakan duduk Mas,” katanya mempersilakan, sementara dia membuka kamarnya, melepas sepatu dan meletakkan tas nya, kemudian keluar menemui tamunya.

“Ada yang bisa saya bantu?”

“Mbak Sita sudah menerima panggilan untuk menjadi saksi?”

“Oh, sudah Mas, dua hari lagi kan? Saya sudah ijin ke majikan saya untuk dua hari kedepan.”

“Bagus Mbak, saya kira Mbak lupa.”

“Nggak lupa kok.”

“Maukah bareng saya besok sore?”

“Besok sore? Harus menginap dong.”

“Iya, supaya nggak terlalu capek saja. Saya sudah menghubungi mas Sarman, dia bersedia berangkat bareng-bareng.”

“Oh, Mas Sarman juga mau bareng?”

“Iya, mobil saya cukup kok kalau hanya ber empat saja.”

“Jadi di mana menginapnya?”

“Kata mas Sarman, gampang, cari penginapan, hanya semalam saja. .”

“Oh sama Hesti juga ya?”

“Kalau masih ada waktu, bisa sambil jalan-jalan. Maksudnya berangkat sore, supaya paginya tidak terburu-buru. Karena sidangnya dimulai pagi.”

“Hm, pengacara yang satu ini sempat-sempatnya mengajak jalan-jalan, padahal sedang menangani sebuah kasus. Tapi nggak apa-apa, kan cuma sehari itu saja," kata batin Sita.

“Maukah?”

“Iya Mas, kalau sama Hesti aku mau.”

“Iya lah, masa sama saya sendiri. Nanti bisa lupa jalan pulang,” candanya.

“Hiih, bagaimana bisa lupa jalan pulang?”

“Bingung … bareng orang cantik."

Sita tersenyum. Ia merasa pengacara muda yang murah senyum ini suka bercanda. Tapi ia senang, ia santun dan baik kok.

“Kalau begitu saya permisi, mau ketemu mas Sarman dulu. Nanti mas Sarman yang akan mengabari ke sini kalau kami mau berangkat."

“Baiklah, terima kasih ya.”

Luki berpamit sambil kembali meninggalkan senyuman.

Sita menghela napas. Ada ya, jatuh cinta pada pandangan pertama? Tapi apakah benar, aku suka sama dia. Mana mungkin, aku hanya terkesan pada senyuman manisnya saja. Lagipula mana dia peduli sama aku yang hanya seorang pegawai toko. Kata batin Sita sambil masuk kembali ke dalam kamarnya.

***

“Apa nanti yang harus aku katakan?” kata Hesti dengan gelisah.

Saat itu dia sedang makan malam bersama Desy dan Danarto.

“Hesti, kamu tidak boleh kebingungan seperti itu. Jawab apa adanya, jangan ditambah dan jangan dikurangi,” jawab Danarto.

“Benar. Kamu seperti ketakutan begitu sih?” sambung Desy.

“Iya, aku agak takut,” kata Hesti terus terang.

“Jangan sampai kamu salah bicara,” kata Danarto lagi.

“Iya, akan aku coba.”

“Tadi Sarman menelpon kan?”

“Dia bilang besok masih harus kuliah, sementara mas Luki mengajak berangkat  besok sore.”

“Siapa mas Luki?”

“Pengacara itu namanya Lukito.”

“Ooh.”

“Berarti harus menginap dong kalau berangkatnya besok sore.”

“Iya Mbak. Menginap di rumah nenek boleh nggak ya? Kalau nggak ya harus mencari penginapan,” kata Hesti.

“Mestinya tidak boleh sembarang orang masuk ke rumah itu. Ada police line di sana. Jadi nggak bisa kalau mau menginap.”

“Mengapa harus besok sore, berangkat pagi-pagi kan bisa?” sambung Desy.

“Takutnya terburu-buru. Soalnya mau nyamperin pak RT segala,” kata Hesti.

“Ya sudah, tidak apa-apa. Kamu harus hati-hati. Minum dulu sebelum menjawab, supaya tidak keselek,” kata Danarto bercanda.

Desy tertawa.

“Kok bisa keselek sih? Memangnya sambil makan, sidangnya?”

“Kalau sangat gugup, tuh lihat, dia ketakutan kok.”

“Nggak Mas, aku sudah mengerti, tenaaang, tenaaang,” kata Hesti sambil mengelus dadanya, membuat Danarto dan Desy tertawa.

“Bagus, besok juga harus begitu. Kamu tuh masih seperti anak kecil saja Hes,” gerutu Desy saat mengakhiri makan malamnya.

Hesti berdiri, mengangkat semua piring-piring kotor, dan membawanya ke dapur. Setiap langkahnya dia selalu berbisik … tenaaaang … tenaaaang.

***

“Mas Sarman, jadi ini sudah benar ya. Ini yang terakhir, besok aku harus sudah menyerahkan tugas akhir ini,” tanya Tutut kepada Sarman.

“Bagus, semuanya sudah oke. Mudah-mudahan tidak ada revisi,” kata Sarman sambil mengacungkan jempolnya.

“Terima kasih, mas ku yang ganteng, yang pinter, yang hebat,” puji Tutut sambil bertepuk tangan.

“Hm,  Cuma terima kasih saja?”

“Terus, maunya apa?”

“Traktir dong.”

“Oke, siap Mas, tapi katanya besok Mas mau ke Surabaya?”

“Iya, paginya aku kuliah dulu sampai siang, lalu sorenya ke Surabaya. Mau ikut?”

“Ikut? Kayaknya asyik juga tuh, aku mau bilang ibu dulu ah, boleh ikut nggak ya. Tapi tidak deh Mas, aku sudah janji mau ketemu Nara, sudah sebulan lebih nggak ketemu, sudah bisa apa ya.”

“Janji sama Nara, atau bapaknya?” goda Sarman.

“Ih, kok Mas Sarman ikut-ikutan sih.”

“Ikutan sama siapa?”

“Mbak Desy sama mas Danar juga begitu. Sebel deh.”

Sarman tertawa.

“Berarti banyak orang punya harapan yang sama dong.”

“Nggak tahu deh, aku mau sama Nara dulu, stop dilarang komentar,” kata Tutut sambil berlari menjauh, membuat Sarman tertawa sambil geleng-geleng kepala.

“Ada apa, kok lari-lari?” tanya Tindy yang hampir saja tertabrak ketika Tutut masuk ke ruang makan tanpa melihat siapa yang keluar dari sana.”

“Itu Bu, Mas Sarman nakal,” rengek Tutut seperti anak kecil.

“Kamu itu sudah hampir jadi sarjana, masih seperti anak kecil saja.”

Sarman berlalu sambil tersenyum menatap ibunya dan Tutut.

“Man,” panggil Tindy.

Sarman menghentikan langkahnya.

“Katanya kamu besok mau ke Surabaya?”

“Iya Bu, sidangnya besok lusa, pagi hari, jadi mau berangkat besok sore saja.”

“Kamu mau membawa mobil bapak, atau ibu?”

“Tidak Bu, mas Luki membawa mobil, kami diajak berangkat bareng-bareng.”

“Mas Luki itu pengacaranya kan?”

“Iya Bu.”

“Ya sudah, hati-hati. Semoga semuanya lancar.”

“Aamiin. Terima kasih Bu.”

“Sebenarnya Tutut mau ikut. Tapi Tutut sudah lama nggak ketemu Nara. Jadi besok mau ke sana saja.”

“Ya sudah. Kalau kamu ikut nanti malah ngrepotin.”

“Iya Bu, nanti rewel di jalan,” ejek Sarman.

“Hiiih, jelek deh, kata Tutut sambil memukul bahu kakaknya.”

“Kalian ini, nggak sama Desy, nggak sama Sarman, kalau ketemu pasti rame,” kata Tindy sambil tertawa, lalu menarik Tutut duduk di sofa.

“Tutut mau ambil minum dulu Bu. Tadi simbok membuat jus wortel, Ibu mau saya ambilkan?”

“Iya, ibu mau.”

“Aku juga mauu … teriak Sarman.”

“Nggak mau, Mas Sarman jelek.”

Sarman hanya nyengir, karena ternyata walau marah-marah, Tutut mengambilkan juga segelas jus untuk dirinya.

***

Tanpa Hesti, kemudian Danarto dan Desy hanya membuat nomor yang disusun di meja depan, sehingga pasien yang masuk tinggal mengurutkan nomor saja. Kebetulan pasien tidak begitu banyak sehingga belum begitu malam mereka sudah bisa beristirahat.

Tapi Danarto agak khawatir melihat Desy tampak lesu tak bersemangat. Ia juga tidak memasak di sore harinya dan hanya membeli makan dengan pesan melalui online.

“Kamu kenapa?”

“Nggak tahu nih, kok males ngapa-ngapain.”

“Coba lihat,” kata Danarto sambil memegang kepala istrinya.”

“Nggak apa-apa, kamu kecapekan, sayang.”

“Ah …”

“Tapi hari ini kamu berbeda deh, coba aku periksa, yuk tiduran saja. Tadi kamu juga makannya cuma sedikit.”

“Iya Mas, nggak napsu makan nih.”

“Kamu hamil sepertinya,” pekik Danarto keras.

Desy membelalakkan matanya.

“Benarkah?”

“Ada test pack nggak?”

“Aduh, nggak ada. Besok saja periksa di laborat.”

Danarto menatap isterinya dengan mata berbinar.

“Semoga benar. Haaai, aku akan menjadi bapak,” pekik Danarto keras.

“Ah …”

Desy mencubit pinggang suaminya. Ada rona bahagia di wajah mereka.

“Semoga ini benar,” desis Desy saat Danarto memeluknya.

***

“Mengapa mau menginap di hotel? Di rumah pak RT ini juga bisa lho, ada dua kamar kosong,” kata pak RT malam itu ketika mereka sudah sampai di rumah pak RT.

“Terima kasih pak RT, tapi kami sudah memesan hotel, begitu datang.”

“Walaaah, kenapa tidak langsung ke sini. Tapi rumah pak RT ya hanya seperti ini, rumah sederhana. Cuma kalau mau, bisa ditata rapi kok.”

“Iya pak RT, bukan kami tak mau, cuma takut merepotkan.”

“Masa sih, merepotkan. Ya sudah, orang sudah terlanjur. Tapi makan malam di sini kan?”

“Kami juga sudah makan, pak RT,” jawab Luki sang pengacara.

“Lhaa, bagaimana sih?”

“Tidak apa-apa pak RT, tadi begitu datang lalu kelaparan, jadi makan dulu setelah mendapat penginapan,” sambung Sarman. Sita dan Hesti tak banyak bicara, karena kemudian Luki dan pak RT membicarakan soal sidang yang akan diadakan besok pagi.

“Besok yu Sukini akan datang pagi-pagi,” kata pak RT kemudian.

“Bagus, kalau begitu bisa datang bareng pak RT, nanti saya samperin saja,” kata Luki.

“Nanti ngrepotin, nak.”

“Tidak Pak, supaya bisa berangkat bareng-bareng saja.”

“Terserah kalau begitu. Pokoknya kami sudah siap.”

***

Sidang di pagi itu berjalan lancar. Hesti yang duduk di bangku saksi menatap ibu tirinya sesekali. Tak tahan lama menatapnya ketika wajah kurus itu juga sedang menatapnya dengan tatapan penuh kebencian. Disamping ibunya duduk seorang laki-laki setengah tua. Luki mengatakan bahwa itu pengacara ibu tirinya. Hesti menghela napas sedih. Ia tak ingin membenci ibu tirinya, tapi ibu tirinya sangat membencinya.

Beberapa pertanyaan hakim sudah di jawabnya, yang disyukurinya karena dia bisa menjawab semuanya dengan lancar.

Kemudian hakim mempersilakan pengacara untuk bertanya.

Lukito berdiri dan menghadapinya.

“Saudari Hesti Nurani, apakah anda telah menanda tangani sebuah surat?”

“Ya, benar.”

“Apakah isi surat yang anda tangani tersebut?”

“Saya tidak tahu,” jawab Hesti.

“Mengapa anda tidak tahu, tapi kemudian anda mau menanda tanganinya?”

“Saya … mm … dia bilang .. sangat tergesa-gesa karena taksinya menunggu.”

“Terima kasih,” jawab Luki.

Tapi tiba-tiba Sriani berteriak.

“Dia bohong !!”

***

 

Besok lagi ya.

33 comments:

  1. Replies
    1. Maturnuwun mbak Tien sayang...wah makin seru nih ceritanya...Sriani...kapokmu kapan

      Delete
  2. Makasih Bunda, met malam dan met istirahat

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah ... Trimakasih bu Tien AA sdh tayang

    ReplyDelete
  4. Sugeng daluuuu..... wah tambah seru mb Tien Mugi tansah pinaringan keberkahan sehat dan panjang usia

    ReplyDelete
  5. Ah..... Mbak Desy hamil, yess...
    Tapi koq bu Sriani ngotot aja sih, gimana yaa Bu Tien kasih endingnya dia.. penasaran deh.


    Terimakasih ceritanya Bu, semoga senantiasa sehat.

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah AA tayang gasik. Trmksh mb Tien slm seroja selalu utk kita semua. Aamiin YRA🤲🙏

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah ADUHAI-AH 49 telah tayang , terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah, salam sehat bu Tien

    ReplyDelete
  9. Alhamdulillah ADUHAI AH~49 sudah hadir... maturnuwun dan salam sehat kagem bu Tien 🙏

    ReplyDelete
  10. Matur nuwun mbak Tien-ku ADUHAI AH sudah tayang.
    Tinggal penutup cerita saya kira, tapi kata Hesti dia tidak berminat terhadap harta warisan itu. Bagaimana akhir kisah Hesti - Sriani.
    Salam sehat mbak Tien yang selalu ADUHAI AH.

    ReplyDelete
  11. Alhamdullilah AA 49 sdh tayang..terima ksih bunda Tien..slm sht sll dan tetap Aduhai dri skbmi🙏🙏🥰🥰🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  12. Matur nuwun bunda Tien..AA 49 telah tayang..🙏

    ReplyDelete
  13. Alhamdulillah sudah tayang episode 49
    Terimakasih Cerbung nya bunda Tien Semoga bunda Tien selalu sehat wal'afiat dan bahagia bersama keluarga tercinta aamiin

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillah AA 49 sdh hadir
    Terima kasih Bu Tien, semoga Ibu sehat dan bahagia selalu.
    Aamiin

    ReplyDelete
  15. Alhamdulillah, matur nuwun bu Tien
    Aduhai Ah,,,Desy berharap hamil senangnya,,,

    Salam sehat wal'afiat semua ya bu Tien

    ReplyDelete
  16. Alhamdulillah..trimakasih bu Tien,
    Pasti ibu tiri ..setres gila kali

    ReplyDelete
  17. Alhamdulillah, matur nuwun bu Tien.
    Salam sehat dan Aduhai
    Bam's Bantul

    ReplyDelete
  18. Alhamdulillah ;
    1. KOPDAR PTCK Bandung-Cimahi dengan ibu Willa L. Sullivan (Boston) td siang sdh terlaksana, sebelumnya sdh KOPDAR dgn teman² PCTK Jabodetabek, Bali hari ini Bandung Cimahi. InsyaaAllah 23-26 Juni 2022, bisa KOPDAR dengan sahabat PCTK Yogja, Klaten, Solo, Sragen.
    Semoga terealisir

    2. Terima kasih bu Tien AA Eps 49 sdh tayang, mohon maaf agak terlambat koreksi dan share ke teman2 lagi zoom dgn komunitasku.

    Selamat malam, semoga bu Tien sehat selalu.

    ReplyDelete
  19. Makasih mba Tien.
    Salam sehat dan selalu aduhai...ah

    ReplyDelete
  20. Alhamdulillah... Terima kasih Bu Tien.

    ReplyDelete
  21. Alhamdullilah AA 49 sdh tayang, terima kasih mbak Tien, sehat selalu dan selamat berbahagia bersama keluarga

    ReplyDelete
  22. Alhamdulillah, suwun Bu Tien....
    Salam sehat selalu....😊🙏

    ReplyDelete

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 49

  CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  49 (Tien Kumalasari)   Ketika menemui Sinah di rumah sakit, mbok Manis tidak pernah sendiri. Dewi yang tid...