Wednesday, June 15, 2022

ADUHAI AH 48

 

ADUHAI AH  48

(Tien Kumalasari)

 

“Kasihan gadis itu, tapi itu kesalahannya sendiri,” kata Danis seperti bergumam.

Tutut belum menstarter mobilnya. Tentang keinginan wanita itu menggugurkan kandungan yang ternyata berbuah petaka,  sangat membuatnya terbengong.

“Banyak orang tak punya anak dan sangat menginginkannya, mengapa dia menghancurkannya? Dan akhirnya dia tak akan bisa memiliki selamanya,” kata Tutut pada akhirnya.

“Ya, itulah, manusia yang terkadang bisa saja tersesat. Semoga kita bisa memaknai hidup dengan segala kebaikan,” kata Danis.

“Aamiin. Ya sudah, aku pulang dulu ya Mas.”

“Baiklah, aku mengerti. Segera selesaikan ya, semoga lancar dan sukses. Setelah itu aku mau melamar kamu,” kata Danis mengiringi Tutut yang mengundurkan mobilnya.

Tutut tak menjawab, tapi tersenyum penuh arti.

“Buuu… Buuu…” pekik kecil itu menyadarkan Danis, yang semula masih berdiri sambil menatap jalanan, walau mobil gadis yang dicintainya sudah tak kelihatan lagi. Ia membalikkan tubuhnya, dan melihat si kecil Nara berteriak-teriak sambil melonjak-lonjak diatas kereta dorongnya.

“Hallo, gadis kecilku … ibu sudah pergi ya?”

Nara tertawa-tawa ketika Danis mengangkatnya dan menaikkannya di atas kepalanya.

“Mbak Tutut lama ya di sini?” tanya Danis kepada suster Murni.

“Tidak, paling hanya satu jam, katanya sedang mengerjakan skripsi, dan tadi hanya kangen sama Nara.”

“Iya, aku tahu. Nara tidak rewel?”

“Tidak dok. Tapi besok saatnya imunisasi.”

“Iya, aku ingat, nanti aku yang mengantarkan ke puskesmas.”

“Baik, dok.”

“Bapak mandi dulu ya sayang, nih … bapak bau kan?” kata Danis sambil menurunkan Nara ke atas kereta dorongnya lagi.

“Buu … buu…”

Danis terkekeh. Nara sedang senang mengucapkan kata-kata itu. Kalau Tutut ada, bisa dijadikannya bahan untuk menggodanya. Ia senang melihat Tutut cemberut. Eh bukan hanya itu, Danis juga suka melihat senyumnya, tawanya, bahkan kalau marah sekalipun. Ah, walaupun duda, rasa jatuh cintanya ternyata sama.

Dengan senandung kecil, Danis melangkah ke kamarnya, bersiap mandi untuk menyegarkan tubuhnya.

***

“Hei, kamu? Katanya sibuk, kok bisa datang kemari?” sapa Desy ketika adiknya mampir.

“Kangen sama Nara, cuma sebentar tadi di sana,” jawab Tutut sambil membuka kulkas dan mengambil air dingin dari dalamnya. Desy meletakkan gelas kosong di meja, lalu Tutut menuangkan air itu.

“Kangen sama Nara atau kangen sama bapaknya?” canda Desy.

“Ihh, nggak ya, saat aku mau pulang,  bapaknya baru datang.”

“Masa?”

“Katanya ada operasi siang ini. Seorang wanita harus diangkat rahimnya karena menggugurkan kandungan di tukang pijit.”

Desy tercengang. Ia ingat Endah, yang beberapa hari yang lalu datang kepadanya.

“Siapa dia?”

“Nggak tahu aku, nggak nanya juga. Hanya miris mendengar ada perempuan setega itu.”

“Iya sih. Jangan-jangan dia yang datang kemari minta resep terlambat datang bulan. Tapi mudah-mudahan bukan,” kata Desy.

“Siapa?”

“Itu … anaknya bu Nina  yang namanya Endah.”

“Nina siapa ya … oo.. dia?”

Pastilah seluruh keluarga sudah tahu siapa Nina, siapa Endah  dan adiknya.

“Punya suami kah?”

“Tidak. Miris juga, dia di perkosa hingga hamil.”

“Di mana mereka?”

“Ibu dan adiknya meninggal karena kecelakaan.”

“Innalillahi …  Apakah itu pembalasan yang harus diterimanya?”

“Ssst, jangan menghakimi seseorang dengan apa yang diterimanya. Sebenarnya Allah sedang memberi pelajaran agar seseorang bisa menyadari jalan salah yang ditempuhnya. Ada peringatan yang terkadang menyakitkan. Tapi kalau kita menyadarinya maka kita akan bisa membenahi jalan hidup kita.”

“Lama-lama Mbak Desy seperti Mbak Lala ya?”

“Aku sudah semakin tua, dan mulai bisa mengendapkan segala rasa. Tapi kamu bicara tentang Mbak Lala, aku jadi ingat, mereka belum bisa pulang karena belum mendapatkan cuti.”

“Iya, kangen sama Narend juga. Semoga kalau aku menikah, kita semua bisa berkumpul ya.”

“Hm, tampaknya sudah bersiap menikah nih? Atau ada yang bersiap melamar ?”

“Eh, siapa yang mau dilamar?” tiba-tiba Danarto yang baru selesai mandi muncul diantara mereka.

“Hmm, kompak nih kalau nggangguin adiknya. Ya sudah, aku pulang saja,” kata Tutut sambil tersipu karena merasa kelepasan bicara.

Danarto dan Desy tertawa.

“Ya sudah, pulang sana, selesaikan tugas kamu. Siapa tahu sudah ada yang siap melamar,” kata Desy lagi sambil berdiri mengikuti adiknya.

“Hesti belum pulang ya?” tanya Tutut sambil menjauh.

“Belum, dia bilang tadi ada kuliah sampai sore.”

***

“Desy terkejut, ketika di rumah sakit menemui wanita yang dioperasi kemarin, dan ternyata benar Endah adanya.

“Mengapa kamu melakukannya?” tegur Desy, bukannya kasihan tapi dia kesal.

“Saya tidak tahan dok,” katanya pelan.

“Tidak tahan apanya?”

“Tidak bisa merawatnya, dan malu, dan akhirnya putus asa.”

“Kamu tidak bisa menyadari bahwa janin itu tidak berdosa.”

“Saya sekarang menyesalinya.”

“Penyesalan selalu terlambat datangnya.”

“Maaf,” isaknya.

“Jangan kepadaku. Memohonlah kepada Tuhan, dan bertobatlah. Dan kamu harus ingat, bahwa tanaman yang baik akan berbuah baik. Jadi mulai sekarang lakukan hal-hal yang baik, agar kamu juga menemukan kehidupan yang baik.”

Endah mengusap air matanya, lalu mengangguk lemah.

“Dan bersyukurlah kamu bisa selamat, karena perdarahan kemarin hampir merenggut nyawa kamu juga. Dan itu berarti Allah masih memberi waktu buat kamu agar kamu bertobat. Sadarilah itu.”

“Baiklah, dokter.”

Endah menatap punggung dokter cantik itu saat meninggalkan ruang rawatnya yang sederhana, senyap tanpa seorangpun menjenguknya. Lalu disadarinya bahwa dia benar-benar sendirian.

“Allah memberi waktu untuk aku, agar aku bertobat,” desisnya pelan. Lalu menitiklah air matanya semakin deras, ketika mulutnya berkomat kamit melantunkan doa.

“Ya Allah, ampunilah hambaMu ini. Hamba bertobat kepadaMu Ya Allah, tuntunlah aku ke jalan yang Engkau ridhoi."

Dan doa didalam tangis adalah doa yang membubung tinggi ke atas sana, yang semoga Allah mendengar dan mengabulkanNya.

***

Hesti,” kata Sarman siang itu saat Hesti ada di rumah. Akhir-akhir ini Sarman sering menemui Hesti ketika perkara bu Sriani mau  disidangkan.

“Hesti …” ulangnya, karena Hesti sepertinya tak mendengar.

“Mas Sarman selalu membuat aku kaget,” kata Hesti yang kali itu duduk sendirian di teras.

“Soalnya kamu sedang melamun, jadi tidak menyadari bahwa aku sudah beberapa saat lalu ada di depan kamu.”

“Benarkah?”

“Melamunkan apa?”

“Bukankah hari ini sidang dimulai?”

“Iya.”

“Sebenarnya aku ingin datang menghadiri sidang itu.”

“Nanti saja, saat kamu diperlukan, aku akan mengantarmu.”

“Aku selalu sedih membayangkan ibu duduk di kursi terdakwa.”

“Jangan begitu Hesti, itu bisa melemahkan kamu. Kamu harus kuat. Kamu harus sadar bahwa kalau kamu telah dijahati oleh ibu tiri  kamu.”

“Iya, aku tahu. Tapi kalau aku ingat, selalu saja aku merasa kasihan sama dia.”

“Semua yang diterimanya sekarang ini, adalah peringatan dari Allah. Semoga semuanya akan membuatnya bisa memperbaiki kesalahannya, dan berjalan di atas kebenaran.”

***

Hari ini sidang pertama kasus penipuan dan penggelapan atas Sriani disidangkan. Duduk di kursi terdakwa, Sriani tampak kurus dan kusut. Tak pernah diimpikannya, anak tirinya yang lugu bisa melakukan semua ini. Ia menjawab semua pertanyaan hakim dengan lemah, menahan sakit yang menusuk dadanya.

Saat jaksa membacakan dakwaan, Sriani mendengarkan dengan perasaan gusar. Bagaimana semuanya jadi berbalik seperti ini? Dia yang semula merasa aman dengan tanda tangan Hesti maka semuanya akan berjalan mulus, ternyata menjadi bumerang yang mencelakai dirinya.

Betapa sakit mendengar dakwaan yang dibacakan jaksa. Betapa sakit saat menyadari bahwa mimpi-mimpinya akan kandas dan lebur berkeping menjadi serpihan mimpi. Ya, hanya serpihan karena ia merasa tak ada sisa yang bisa dipungutnya.

Ia menatak ke sekeliling, melihat pak RT, Yu Sukini dan beberapa tetangga bu Mintarsih duduk berjajar di sana.  Tapi dia tak melihat Hesti maupun teman laki-lakinya yang bernama Sarman itu. Nama yang menurutnya tidak berkelas, yang ia tahu bahwa pasti laki-laki itu yang menuntun Hesti hingga berani melakukannya.

“Mereka akan menyoraki kegagalanku,” desisnya  pelan. Ingin dia menjerit dan meronta.

Sriani terkejut ketika mendengar suara keras yang menyebut namanya.

“Apa ibu Sriani mengerti atas dakw0q⁸aan yang telah dibacakan?”

Sriani tak mau berlama-lama di tempat itu, dan kalau dia menjawab tidak mengerti pun, apakah dakwaan itu akan dibacakannya lagi, atau diubahnya sekalian?

“Ya, saya mengerti.”

Sriani juga pasrah ketika kemudian petugas kembali membawanya ke dalam kurungan. Ia melirik sekilas ke arah pak RT, lirikan penuh kebencian, karena ia yakin bahwa laki-laki setengah tua itu tak akan mendukungnya. Ia sudah tahu bagaimana sikapnya, ketika ia mengajaknya bicara. Tak ada manis-manisnya, bahkan setengah menentangnya.

Tiba-tiba kemarahannya memuncak. Ia meronta dan membalikkan tubuhnya.

“Hmh, mengapa tidak sekalian saja dihukum? Dan harus menunggu lagi?” cetus yu Sukini ketika pak RT mengajaknya pulang.

“Ya tidak bisa langsung begitu Yu, nanti kita juga akan dipanggil sebagai saksi, lalu disumpah, dan diminta kesaksian kita, atau  mungkin menunjukkan bukti-bukti dan sebagainya,” terang pak RT.

“Hm, aku sudah berdebar tadi, dan siap menjawab kalau ditanya sama pak hakim.”

“Nanti ada saatnya Yu, kata mas pengacara kita akan mendapat surat panggilan dulu untuk bersaksi.

“Saya sudah gemes sama dia pak RT.  Pak RT tahu tidak, dia menoleh ke arah kita dengan mata bengisnya.”

“Ya mata bengis itu yang membuat nak Hesti takut. Tapi untunglah banyak yang membantunya.”

“Iya pak RT, saya juga rela membantu kok. Saya pernah mendengar sendiri, bu Mintarsih akan memberikan perhiasannya itu pada nak Hesti. Kok tiba-tiba sudah hilang waktu kita memeriksa kamar almarhumah.”

“Iya Yu. Semoga saja semua ini bisa menjadi pelajaran untuk bu Sriani, sehingga dia bisa menyadari bahwa keserakahannya adalah hal yang salah.”

“Aamiin. Nanti kalau ada suratnya kan saya diberi tahu ya, pak RT.”

“Iya, pasti, pokoknya kita siap-siap saja dulu.”

Tapi tiba- tiba terdengar teriakan keras.

"Tidaaaaaak... aku difitnah!!"


***


 Besok lagi ya

 

40 comments:

  1. Alhamdulillah ADUHAI...AH Eps_48 sdh tayang......
    Terima kasih bunda Tien, salam sehat tetap semangat.
    ADUHAI AH..........

    ReplyDelete
  2. Alhamdulillah AA sdh tayang, Manusang bu Tien, slm Aduhai Ah

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah
    Syukron nggih Mbak Tien🌷🌷🌷🌷🌷

    ReplyDelete
  4. Matur nuwun mbakyu Tienkumalasari

    ReplyDelete
  5. Trimakasih bu Tien ... alhamdulillah sdh tayang ...
    Salam sehat

    ReplyDelete
  6. Terima ksih bunda Tien AA nya..slmt mlm dan slmt istrht..slm sht sll dan tetap aduhai dri 💖🌹🙏

    ReplyDelete
  7. Alhamdullilah AA 48 sdh tayang, terima kasih mbak Tien, sehat selalu dan selamat berbahagia bersama keluarga

    ReplyDelete
  8. Matur nuwun mbak Tien-ku ADUHAI AH sudah tayang.
    Apa masih ada kejutan yang akan muncul ya, kok terdengar teriakan...
    Salam sehat mbak Tien yang selalu ADUHAI AH.

    ReplyDelete
  9. Tapi tiba- tiba terdengar teriakan keras. "Tidaaaaaak... aku difitnah!!"

    Wong nek wis kesetanan...... gak gelem ndang ngakoni salahe, trus bertobat...... malah ngeyel...... DASAR

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah ADUHAI-AH 48 telah tayang , terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  11. Terimakasih bunda Tien... Salam sejat selalu..

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillah, matursuwun bu Tien sayang
    Semoga sehat selalu

    ReplyDelete
  13. Alhamdulillah sudah tayang episode 48
    Terimakasih bunda Tien semoga bunda Tien selalu sehat wal'afiat dan bahagia bersama keluarga tercinta aamiin Kutunggu kelanjutannya Cerbung nya

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillah ADUHAI AH~48 sudah hadir... maturnuwun dan salam sehat kagem bu Tien 🙏

    ReplyDelete
  15. Alhamdulillaah
    Terimakasih bu Tien ❤❤

    ReplyDelete
  16. Alhamdulillah, mmtr nuwun bunda Tien..

    ReplyDelete
  17. Alhamdulillah
    Matur nuwun bu Tien
    sehat wal'afiat dan bahagia bersama keluarga tercinta ya. aamiin
    Ditunggu kelanjutannya Cerbung nya

    ReplyDelete
  18. Alhamdulillah, suwun Bu Tien.....
    salam sehat selalu.....

    ReplyDelete
  19. Terima ksih bunda Tien🙏🌹🌹🙏

    ReplyDelete
  20. Ah, tiiiddaaaaakkkk. Kenapa lagi nih ibu jahat..
    😆😆😆😆😆

    ReplyDelete
  21. Sriani kena batunya.
    Makasih mba Tien.
    Salam Aduhai... Ah

    ReplyDelete

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 49

  CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  49 (Tien Kumalasari)   Ketika menemui Sinah di rumah sakit, mbok Manis tidak pernah sendiri. Dewi yang tid...