ADUHAI AH 42
(Tien Kumalasari)
Danis terkejut, ia mencengkeram ponselnya lebih erat.
“Ini dengan Bapak Daniswara?” suara berat dari
seberang.
“Benar.”
“Anda mengenal seorang wanita bernama Nungki
Saraswati?”
“Ya, saya mengenalnya.”
“Dia ditemukan kecelakaan di jalan, dan tampaknya dia
berusaha untuk bunuh diri.”
“Apa?”
“Anda kerabatnya? Soalnya ada beberapa nomor yang saya
hubungi tidak ada yang menyahut.”
“Ya. Di mana? Bagaimana keadaannya?”
“Dia luka parah, masih di ruang ICU rumah sakit pusat.”
“Baiklah, terima kasih.”
Danis menutup ponselnya dengan perasaan tak menentu.
“Ada apa?”
“Nungki berusaha bunuh diri, tampaknya di jalanan.
Aduh, belum jelas benar, dia luka parah, sekarang masih di ICU rumah sakit.”
“Ayo kita ke sana sekarang,” kata Danarto yang segera
mengganti pakaiannya dari pakaian rumah yang semula dikenakannya.
“Dia benar-benar gila. Mengapa melakukan semua itu?
Seperti tidak mengenal Tuhan saja,” gerutu Danis yang berjalan mondar mandir
sambil menunggu Danarto selesai berpakaian. Bagaimanapun Nungki bekas
isterinya. Bukan karena masih cinta ketika dia menjadi gelisah, tapi rasa
kemanusiaan masih ada padanya.
“Ayuk kita berangkat,” ajak Danarto. Danis
mengikutinya.
“Pakai mobil aku saja,” kata Danis yang mendahului
menuju mobilnya, sementara Danarto mengunci pintu rumahnya setelah menyalakan
lampu teras. Hari sudah sore, dan dia tak ingin rumahnya tampak gulita saat dia
pulang nanti.
“Dasar gila,” Danis masih mengomel sambil menghidupkan
mesin mobilnya.
“Biar aku saja yang menyetir. Kamu tidak tenang kan?”
“Tidak, aku tidak apa-apa.”
Dan mobil itu melaju menuju rumah sakit.
***
Desy yang sudah mendengar cerita tentang Kinara,
merasa terharu dan timbul rasa iba di hatinya. Rasa keibuannya muncul, dan
sangat tidak bisa mengerti, mengapa seorang ibu tega meninggalkan bayinya
begitu saja.
“Kalau ibunya tidak mengambilnya, biarlah nanti
menjadi anak angkat aku saja,” kata Desy sambil mengelus bayi cantik yang
sedang dipangku Tutut.
“Jangan Mbak, ini akan menjadi anak aku,” kata Tutut
sambil mendekap bayi itu.
“Hei, apa kamu siap menjadi ibu?” seru Desy sambil
tertawa.
“Aku sayang banget sama bayi ini. Lihat, dia cantik
seperti aku.”
“Tutut, kalau kamu sudah ingin merawat bayi, maka kamu
harus segera menikah. Itu baru pas.”
“Apa?” pekik Tutut, dan membuat Nara yang semula tidur
dari gendongan kemudian membuka matanya.
Tutut berdiri, mendekap dan mengayunkannya. Wajahnya
bersemu merah. Menikah? Belum pernah terbayang dia akan menikah.
“Mana mungkin belum menikah bisa memiliki anak? Nggak
pantas, pantasnya jadi anak aku, karena
aku sudah mau menikah.”
“Pengantin baru membawa anak?” Hiih, nggak pantas juga
tuh,” kata Tutut, kali ini lebih pelan, karena Nara sudah memejamkan matanya
kembali.
“Ini ada apa, kok pada ribut berebut bayi?” Tindy
tiba-tiba muncul, tertawa geli mendengar anak-anaknya berebut merawat bayi.
“Ini Bu, Desy kan ingin, nanti setelah menikah akan
mengambil Nara untuk dijadikan anak angkat Desy. Tapi Tutut berkeras ingin merawatnya,”
kata Desy sambil menunjuk ke arah adiknya.
Tindy tertawa
lebar.
“Anak itu kan ada orang tuanya, mana boleh kalian
mengambil seenaknya.”
“Tadi Desy bilang, kalau ibunya tidak mau
mengambilnya. Kan seakan dia sudah membuangnya. Meninggalkan anaknya di rumah
kosong. Berarti dia tidak menghendakinya lagi.”
“Belum tentu juga akan begitu. Seorang ibu mana tega berpisah
dengan anaknya?”
“Dia sudah menunjukkan itu lho Bu,” seru Tutut sengit.
Ia sangat kesal melihat Nara melengking-lengking tanpa teman di rumah Danis
yang telah kosong.
“Tapi kan ada ayahnya.”
“Mas Danis itu kan_”
“Tidak, bagaimanapun dia tercatat sebagai ayahnya.
Kalian ini seperti sedang berebut mainan saja. Itu nyawa lho. Seorang anak.”
“Iya Bu, Desy tahu. Tapi benar, Desy mau kok
seandainya tidak ada yang merawatnya.”
“Tutut juga mau.”
“Yeeey, kamu menikah dulu, baru boleh merawat bayi,” kata
Desy sengit.
“Ya ampuun, kalian ini kenapa?” Tindy tertawa lebar.
“Biar aku saja yang merawatnya,” kata Hesti yang
semula diam karena sedang menempelkan alamat-alamat di kartu undangan.
“Yaaah, kamu lagi, gadis ingusan,” ejek Tutut.
“Habisnya, Mbak berebut, aku juga ingin berebut deh.”
“Kamu menikah dulu sama mas Sarman, baru boleh,” kata
Desy.
“Waaaauw.” Hesti menjerit kecil, lalu menutupi
mulutnya, khawatir jeritannya membangunkan Nara.
“Memangnya kenapa?”
“Kan aku masih gadis ingusan? Mana ada gadis ingusan
menikah?”
“Sudah, sudah … kalian ini apa-apaan sih, Danis kan sedang mencarikan perawat dan akan membawanya
pulang ke rumah,” kata Tindy.
Yang terjadi adalah, kedatangan Nara di rumah itu
membuat rumah menjadi semarak. Ternyata semuanya menyukai bayi mungil cantik
itu, dan sudah kelihatan lucu. Terkadang dia merengek, seperti mencari-cari
ibunya, tapi melihat disekelilingnya banyak yang mengajaknya bercanda, iapun
diam. Barangkali ia belum mampu menanyakan ‘dimana ibuku’ karena memang belum
pintar bicara. Kehadiran orang-orang yang menyayanginya, seperti membuatnya terhibur.
Saat menangis, ia cukup memeluk botol susunya dan menghisapnya habis, kemudian
terlelap kembali, selebihnya adalah bermain boneka milik Tutut, yang kemudian
dikeluarkannya agar Nara bisa bermain.
***
Danis dan Danarto langsung memasuki ruangan ICU.
Dilihatnya Nungki terbaring tak berdaya, kepalanya penuh balutan dan berbecak
darah. Kedua kakinya patah. Sebuah selang infus terhubung di tubuhnya, dan hidungnya
tersambung selang oksigen.
Nungki tidak sadar sama sekali. Napasnya terdengar
lelah.
“Mengapa kamu melakukannya Nungki? Banyak yang bisa
kamu lakukan. Kamu punya tanggung jawab besar atas anak kamu. Mengapa kamu
melakukannya?”
Tak ada sahutan. Entah Nungki bisa mendengarnya atau
tidak, dan kalaupun dia mendengar, mana mampu dia mengeluarkan suara untuk
menjawabnya? Dari saksi mata yang memberi keterangan kepada polisi, Nungki
tiba-tiba menabrakkan diri ke arah mobil yang sedang melaju.
“Ya Tuhan,” Danis mengeluh, mengusap wajahnya dengan
kedua tangan.
Danarto menarik Danis, diajaknya duduk .
“Menurutmu apa?” tanya Danis.
“Maaf Danis, kemungkinan tertolong sangat tipis.
Kepala terkena benturan keras. Trauma yang cukup berat di bagian kepala. Paru-paru
juga rusak. Entahlah, hanya keajaiban yang bisa menolongnya,” kata Danarto
pelan. Ia tahu, biarpun Danis tidak mencintainya, tapi ia pernah hidup bersama hampir
setahun lamanya. Ikatan itu pasti ada. Selain dari pada itu, rasa kemanusiaan
juga pasti dimiliki oleh sahabatnya ini. Dia tahu, Danis bingung harus melakukan
apa.”
Danis menatap tubuh tergolek itu dengan perasaan
gelisah. Hanya selang-selang yang terjulur itulah yang menopang kehidupan
Nungki.
Danis menyesali sikap Nungki yang begitu mudah putus
asa. Banyak jalan yang bisa dilakukannya, mengapa memilih jalan pintas ini?
Danis kembali mendekat, ketika seorang perawat
mengontrol selang oksigen yang
tersambung.
Danis memegang tangannya. Lalu dilihatnya Nungki
membuka matanya yang memerah.
“Nungki …”
“Maafkan … aku …titip … Na … ra …”
Lalu mata itu terpejam, dan telinga Danis mendengar
sebuah suara mirip peluit panjang yang membuatnya miris. Itu sebuah akhir
kehidupan.
Tak urung air mata Danis menetes. Setidaknya Nungki
adalah teman, dan kehilangan teman adalah sesuatu yang menyedihkan.
Danarto mendekat, dan menepuk bahunya.
Kedua laki-laki gagah itu berkomat kamit melantunkan
doa, sementara petugas lainnya melepas semua selang yang terhubung di jasad Nungki.
***
Danis memakamkan bekas isterinya dengan layak. Kedua
orang tuanya tak bisa menghadiri pemakaman itu karena kondisinya yang kurang
sehat. Walau sedih, mereka merelakan kepergian anaknya. Bagaimanapun itu jalan
yang dipilihnya. Hanya doa yang bisa dipanjatkan, semoga Allah subhanahu wa ta’ala
mengampuni segala dosanya.
“Danis, biarlah untuk sementara Nara berada di rumah
aku. Kami merawatnya dengan baik kok,” kata Desy setelah upacara pemakaman itu
selesai.
“Terima kasih Desy, tapi keluarga kamu kan sedang
sibuk, tadi aku sudah mendapatkan seorang baby sitter. Dia akan membantu
merawatnya di rumah aku.”
“Baiklah kalau begitu. Kami akan sering menjenguknya.
Tutut sudah sangat menyayanginya.”
Danis tersenyum tipis.
“Terima kasih sekali lagi. Besok aku akan menjemputnya
bersama suster Murti. Aku sudah bicara sama dia.”
“Bagus, aku kenal suster Murti, dia rajin dan sabar
merawat bayi. Dan sudah selayaknya kamu merawatnya bukan, Nara tidak berdosa.
Ia butuh seseorang yang bisa menjaga dan mengasihinya.”
“Benar. Aku akan merawat dan membesarkannya.
Bagaimanapun dia kan anakku juga,” kata Danis mantap.
Desy tersenyum senang. Bukankah rasa ikhlas itu membahagiakan?
***
Semenjak Nara di jemput Danis, Tutut sangat rajin
menjenguknya. Apalagi dengan alasan menjemput Hesti yang bekerja di rumah
Danarto yang baru. Bukankah mereka bertetangga?
Terkadang Tutut lebih dulu ke rumah Danis untuk
bertemu Nara, setelah puas bermain barulah menjemput Hesti.
“Ya ampuun, yang begitu sayang sama calon anak,” goda
Hesti.
“Issh, kamu ada-ada saja, aku cuma sayang sama Nara.
Tahu.” Sergah Tutut.
“Kalau sama bapaknya, sayang tidak?”
“Yah, enggak lah.”
“Masa sih? Bapaknya kan baik.”
“Kamu itu anak kecil suka menggoda orang tua ya, awas
kuwalat kamu. Biar aku sumpahin supaya cepat dapat pacar, tahu rasa.”
Hesti tertawa keras.
“Sumpahnya enak kan? Bagus kan?”
“Segera dapat pacar, apa itu bagus?”
“Bagus dong, setelah itu menikah…”
“Ya ampun Mbak, sumpahnya nggak enak tahu, aku kan
masih kecil, kuliah saja baru awal.”
“Lama-lama kan besar juga.”
Dan tiba-tiba Sarman muncul dengan sepeda motornya,
membuat keduanya terkejut.
“Kok Mas Sarman kesini sih?” tanya keduanya hampir
bersamaan.
“Ibu yang menyuruh. Katanya kamu ke kampus sampai
sore,” kata Sarman sambil menatap Tutut.
“Nggak, aku sudah pulang dari tadi. Terus ketemu Nara,
baru menjemput Hesti. Ya sudah kalau Hesti mau bareng Mas, aku kembali ke rumah
mas Danis saja,” kata Tutut.
“Memangnya mas Danis ada di rumah?”
“Ya enggak, dia pasti masih di rumah sakit. Aku kan cuma
mau main sama Nara.”
“Ya ampuun, kamu benar-benar suka anak kecil ya?”
canda Sarman.
“Iya, makanya cepat punya istri, dan segera punya
anak, nanti aku yang momong anak Mas,” canda Tutut.
Sarman melirik Hesti tanpa sengaja. Kok Hesti ya, apa
Sarman berharap Hesti yang akan menjadi isterinya? Keburu tua dong. Ya enggak
lah, cowok itu tak punya waktu terlambat untuk menikah. Beda dengan cewek.
Kalau tidak segera menikah, dikatain perawan tua. Mana ada istilah jejaka tua.
Curang kan?
“Tuh, kok Mas Sarman malah melirik Hesti sih?”
Hesti tersipu, kemudian mencubit pinggang Tutut.
“Aduuh, sakit tahu?”
“Habis, kenapa aku dibawa-bawa?”
“Ya sudah, Hesti mau pulang sama siapa? Kalau sama
Tutut, aku mau pulang, sekalian ada perlu nih,” kata Sarman.
“Ya sudah, aku sama mbak Tutut saja, daripada dia
kembali ke rumah mas Danis. Nanti bisa lupa pulang dia,” kata Hesti.
“Ngawur ih. Ya sudah, ayo kita pulang,” kata Tutut
sambil menarik tangan Hesti.
"Pulang sana, biar aku yang mengunci pintunya,” kata
Sarman.
***
Hari terus berjalan, dan tibalah saat hari pernikahan
Desy dan Danarto. Pasangan yang cantik dan tampan, membuat para tamu kagum
melihatnya. Dengan balutan kebaya berwarna hijau toska, dan kain bermotif
Sidomukti, berjalan perlahan disamping sang suami yang mengenakan kain yang
sama, dan beskap berwarna sama pula. Tidak hanya itu, pengiring pengantinnya
juga membuat para tamu berdecak kagum, Daniswara dan Hastuti Andayani, juga sepasang
anak muda yang ganteng dan cantik menawan. Tutut yang semula merasa ribet
dengan pakaian Jawa, kemudian senang ketika melihat penampilannya di cermin.
“Aku cantik ya?” desisnya pelan.ketika itu.
“Mbak Tutut memang cantik,” kata Hesti yang juga
mengenakan pakaian Jawa. Ia dan Sarman mengiringi di belakang Danis dan Tutut,
mengantarkan kedua mempelai duduk di pelaminan bersama dengan keluarga yang
lain.
Diantara tamu undangan, tampak Harun dan dokter Nisa,
datang bersama Bunga dan Azka. Melihat Desy, Bunga berteriak.
“Apakah itu Aunty?” teriak Bunga.
“Aunty … Aunty …” Azka berjingkrak ketika mendekati
kedua pengantin.
“Sayang, kamu benar, ini Aunty,” kata dokter Nisa.
“Ibu, ini seperti bidadari yang ibu dongengkan kemarin
bukan?” tanya Bunga yang sudah terbiasa memanggil dokter Nisa ‘ibu’ walau Harun
belum menikahinya.
“Iya benar Bunga.
Ini bidadari dan pangeran,” sambung Harun.
“Selamat ya,” Harun dan Nisa menyalami dengan hangat,
sementara Bunga dan Azka mencium tangannya.
“Kapan menyusul Nis?” tanya Danarto.
“Tanya sama dia,” kata dokter Nisa menunjuk ke arah
Harun.
“Secepatnya, kami pasti mengundang dokter, doakan ya,”
kata Harun.
Danarto dan Desy tersenyum senang.
“Pasti lah, kami doakan.”
“Ibu, bukankah pangeran menjemput bidadari dengan kuda
putih?” tanya Bunga ketika Nisa menggandengnya turun dari panggung.
“Iya sayang, tadi pangeran menjemputnya dengan kuda putih,”
kata dokter Nisa. Yang mendengar celoteh Bunga pasti tertawa.
“Kuda putih yang bisa terbang?”
“Iya, kuda putih yang bisa terbang.”
Salah seorang tamu mencubit pelan pipi Bunga dengan
gemas.
***
Besok lagi ya.
Yes
ReplyDeleteYes...... Bu Tien.... Aduhai..... Ah
DeleteTerimakasih Bu Tien,
DeleteADUHAI AH yang ke empat puluh dua sudah tayang,
Sehat sehat selalu doaku, semoga sejahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta. Aamiin Ya Robbal'aalamiin>
Kakek Habi Bandung+++
Selamat jeng Iin Maimun juara 1, menyongsong kehadiran Nara
DeleteTerima
Alhmdllh.... terima ksih....
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMakasih Bunda, sehat selalu dan met malam
ReplyDeleteAlhamdulillah, salam sehat mbak Tien..
ReplyDeleteAlhamdullilah sdh tayang AA nya..mksih bunda Tien..slmt mlm dan slm istrht..salam sayang dan tetap aduhai dri skbmi..🙏🌹
ReplyDeleteAlhamdulillah gasik tayangnya
ReplyDeleteAlhamdulillah ADUHAI-AH 42 telah tayang , terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Alhamdulillah AA42 sudah tayang, terima kasih mbak Tien.
ReplyDeleteSemoga tetap sehat, dan bahagia bersama keluarga. Aamiin.
Wow...sangat menyenangkan....terima kasih mbak Tien...salam aduhai...
ReplyDeletealhamdulillah...
ReplyDeleteAlhamdulillah.... trimakasih Bu Tien semoga bu Tien sehat selalu
ReplyDeleteAlhamdulillah....
ReplyDeleteAlhamdulillah ADUHAI AH~42 sudah hadir..
ReplyDeleteMaturnuwun bu Tien.. 🙏
Semoga tetap sehat.. aamiin..🤲
Terima kasih Bu Tien .... Semoga selalu sehat.
ReplyDeleteAlhamdulillah, mtr nuwun bunda Tien . .
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku, ADUHAI AH sudah tayang.
ReplyDeleteTinggal seorang Sriani yang belum terselesaikan. Besuk lagi ya...
Salam sehat mbak Tien yang selalu ADUHAI AH.
Suwun ibu....mugi tansah sehat njih
ReplyDeleteYa AA dah tayang ... salam kasadayana mangga baca ya yang pantas
ReplyDeleteAlhamdulillah ADUHAI AH Episode 42 sudah tayang, matur nuwun mbak Tien Kamalasari.
ReplyDeleteSemoga tetap sehat, bahagia bersama keluarga, dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin Yaa Robbal Alamiin.
Alhamdulillah...eps 42 tayang... Salam sehat selalu utk bu Tien dan keluarga..🙏🙏🙏
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatursuwon Bunda Tien semoga semakin Aaaaah....
ReplyDeleteRona - rona kebahagiaantelah datang di AA42..
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien...🙏
Alhamdulillah ... dherek bingah Bu Tien ,akhirnya Danar Desi menikah smg semua happy end Aamiin🌷🌷🌷🌷🌷
ReplyDeleteTrims Bu Tien untuk hari ini
ReplyDelete𝙏𝙚𝙧𝙞𝙢𝙖 𝙠𝙖𝙨𝙞𝙝 𝙢𝙗𝙖𝙠 𝙏𝙞𝙚𝙣...
ReplyDeleteMakasih AA hari ini, bu Tien. ❤❤
ReplyDeleteSalam Aduhai💖💗
Alhamdulillah, terimakasih bu Tien, semoga bu Tien sehat selalu. Aamiin 🤲
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteSelamat malam ..nuhun bu Tien
ReplyDeleteBagaimana pun sudah berakhir petualangan Nungki, hanya bisa dimaklumi dan doa mengantar ke peristirahatan terakhir.
ReplyDeleteKetenangan ortunya, karena cucunya ada pada Danis; yang merawat nya dan melindungi.
Biasa penyesalan datang diakhir, itu yang sering terjadi; sayang tidak memberi kesempatan Sang Maha untuk campur tangan berkarya dikehidupanya, Nungki memilih mengakhiri hidupnya dengan caranya sendiri, iya ya nanti puajang ceritanya; ratusan episode lagi.
Nggamblèh..
Beberapa pasang sudah terlihat; kaya mode show, karepé cèn wis di yasa ké, bèn ngayem-ayemi, arêp åpå kowé; yå wis nggamblèh kok didedåwå, lho piyé apiké waé lah.
Mungkêk kåyå orong² kepidak.
Memang dimasa kanak-kanak sebaiknya diberi kesempatan berangan angan walau dipandu buku cerita; kan jalan masih panjang biarkan berkreasi mewarnai kehidupan nya mendatang.
Iyå tå yå, ora kåyå kowé yå wis kewut arêp macêm-macêm; wèh yå oralah, mlaku waé kesandhung kesampar ngono; kokèhan ménga-méngo; ha wong spioné ora dinggo, yå menga méngo tå.
Udah ganti hari nunggu lanjutan nya saja, siapa tahu nanti diberitahu siapa yang nyolèk pipi bakpao Bunga.
Terimakasih Bu Tien,
ADUHAI AH yang ke empat puluh dua sudah tayang,
Sehat sehat selalu doaku,
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Hallow mas2 mbak2 bapak2 ibu2 kakek2 nenek2 ..
ReplyDeleteWignyo, Opa, Kakek Habi, Bambang Soebekti, Anton, Hadi, Pri , Sukarno, Giarto, Gilang, Ngatno, Hartono, Yowa, Tugiman, Dudut Bambang Waspodo, Petir Milenium (wauuw), Djuniarto, Djodhi55, Rinto P. , Yustikno, Dekmarga, Wedeye, Teguh, Dm Tauchidm, Pudji, Garet, Joko Kismantoro, Alumni83 SMPN I Purwantoro, Kang Idih, RAHF Colection, Sofyandi, Sang Yang, Haryanto Pacitan, Pipit Ponorogo, Nurhadi Sragen, Arni Solo, Yeni Klaten, Gati Temanggung, Harto Purwokerto, Eki Tegal dan Nunuk Pekalongan, Budi , Widarno Wijaya, Rewwin, Edison, Hadisyah,
Wo Joyo, Tata Suryo, Mashudi, B. Indriyanto, Nanang, Yoyok, Faried, Andrew Young, Ngatimin, Arif, Eko K, Edi Mulyadi, Rahmat, MbaheKhalel, Aam M, Ipung Kurnia, Yayak, Trex Nenjap, Sujoko, Gunarto, Latif, Samiadi, Alif, Merianto Satyanagara, Rusman, Agoes Eswe, Muhadjir Hadi, Robby, Gundt, Nanung, Roch Hidayat, Yakub Firman, Bambang Pramono, Gondo Prayitno , Zimi Zaenal M. , Alfes, Djoko Bukitinggi, Arinto Cahya Krisna , HerryPur, Djoni August. Gembong. Papa Wisnu, Djoni, Entong Hendrik, Dadung Sulaiman, Wirasaba, Boediono Hatmo, R.E. Rizal Effendy, Tonni, Koko Hermanto, Radieska51, Henrinurcahyo, Subagyo, Bam's, Tjoekherisubiyandono
Hallow Pejaten, Tuban, Sidoarjo, Garut, Bandung, Batang, Kuningan, Wonosobo, Blitar, Sragen, Situbondo, Pati, Pasuruan, Cilacap, Cirebon, Bengkulu, Bekasi, Tangerang, Tangsel,Medan, Padang, Mataram, Sawahlunto, Pangkalpinang, Jambi, Nias, Semarang, Magelang, Tegal, Madiun, Kediri, Malang, Jember, Banyuwangi, Banda Aceh, Surabaya, Bali, Sleman, Wonogiri, Solo, Jogya, Sleman, Sumedang, Gombong, Purworejo, Banten, Kudus, Ungaran, Pamulang, Nusakambangan, Purworejo, Jombang, Boyolali. Ngawi, Sidney Australia, Boyolali, Amerika, Makasar, Klaten, Klipang, JAKARTA...hai..., Mojokerto, Sijunjung Sumatra Barat, Sukabumi, Lamongan, Bukittinggi, Hongkong, El Segudo, California, Bogor, Tasikmalaya, Baturetno, Wonogiri, Salem, Boston Massachusetts, Bantul, Mataram, Terimakasih atas perhatian dan support yang selalu menguatkan saya. Aamiin atas semua harap dan do'a.
ReplyDeleteADUHAI.....
Sudah sampai episode 42, mungkin sebentar lagi akan selesai. Untuk mengakhiri petualangan Sriani mungkin saja ia terlibat tindak penipuan dan ditangkap polisi. Harta nenek kembali kepada Hesti.
ReplyDeleteKita tunggu sebentar lagi.