BUKAN MILIKKU 15
(Tien Kumalasari)
Wahyudi menatap pria itu lekat, demikian juga sang
pria yang ternyata adalah Budiono. Merasa pernah saling melihat, Budiono justru
mendekati Wahyudi.
“Mm_mas … Wahyudi?”
“Ya, ya … bagaimana mengenal nama saya?”
“Mbak Retno mengatakannya.”
“Oh … “ kata Wahyudi yang heran mengapa suaminya
memanggil isterinya dengan sebutan ‘mbak’, tapi kemudian dipikirnya bahwa
karena belum lama kenal sebelumnya jadi masih canggung untuk memanggil namanya
begitu saja.
“Retno … sakit?” tanya Wahyudi hati-hati, khawatir
‘suami’ Retno curiga karena kelihatannya tahu bahwa ada hubungan cinta dengan
dirinya sebelum menjadi isterinya.
“Ya. Barusan kami ke dokter, karena dia panas.”
“Sakit apa?”
“Tadinya agak demam, tapi kata dokter tidak apa-apa.
Dia hanya perlu istirahat saja. Siapa yang sakit Mas?”
“Ini … ibunya teman saya ini,” katanya sambil menunjuk
ke arah Wuri, yang kemudian tersenyum sambil mengangguk setelah sebelumnya
marah-marah.
“O, sakit apa?” tanya Budi sambil menatap ke arah
Wuri.
“Tidak apa-apa, hanya kecapekan saja.”
“Syukurlah. Tapi itu, Mbak Retno ada di mobil sama Ibu
saya, barangkali Mas Wahyudi mau ketemu.”
“Tidak … tidak … sampaikan saja salam saya,” kata
Wahyudi cepat-cepat. Sungguh ia tak ingin mengganggu hubungan pengantin baru
itu.
“Baiklah, kalau begitu saya permisi. Nanti salamnya
akan saya sampaikan,” kata Budi ramah, kemudian berlalu setelah mengangguk juga
kepada Wuri.
“Suaminya Retno?”
“Iya, yang dulu datang ke rumah,” jawab Wahyudi sambil
kembali duduk. Ada perasaan nyeri yang kembali mengiris dadanya. Tapi ada yang
sedikit menghibur, ketika mengetahui bahwa suami Retno sangat baik dan santun.
Seandainya Wahyudi tahu.
“Suaminya ganteng, dan baik,” gumam Wuri sambil duduk
kembali di samping Wahyudi.
Wahyudi tak menjawab. Diam dan mencoba mengikis rasa
perih yang kembali melandanya.
“Mas Yudi sedih ya?”
Wahyudi tersenyum tipis, menggeleng pelan.
“Pasti pertemuan dengan suami Retno itu membuat Mas
jadi teringat kembali sama dia. Aku tahu, pasti sakit. Tapi kan Mas sudah
pernah bilang bahwa akan melupakannya?”
Wahyudi mengangguk.
"Tapi aneh ya, masa sih memanggil isterinya dengan
sebutan ‘mbak’. Santun sekali suami Retno itu.
“Ya sudah, jangan dibicarakan lagi. Ngomong yang
lainnya saja,” sergah Wahyudi yang enggan membicarakan Retno lagi.
“Kalau begitu jangan sedih dong. Tahu nggak, kalau Mas
sedih begitu, wajahnya kelihatan kucel, jelek, gantengnya hilang deh,” goda
Wuri yang kumat cerewetnya.
Dipancing godaan seperti itu, mau tak mau Wahyudi tersenyum.
“Berarti aku ini aslinya ganteng dong.”
“Eh, siapa bilang?”
“Kamu kan?”
“Kapan aku bilang bahwa Mas ganteng, nggak deh.”
“Baru saja kamu bilang, sudah mengelak.”
“Aku bilang ganteng, gitu? Mimpi ‘kali.”
“Lha tadi bilang, kalau aku sedih, wajahku jadi kucel,
gantengnya hilang, berarti aslinya aku ini ganteng dong.”
“Waaah, salah ngomong berarti aku,” kata Wuri
seenaknya, dan tak urung membuat Wahyudi tertawa. Hm, hanya sepatah dua patah
kata, Wuri selalu bisa menghapus duka walau tak sepenuhnya hilang. Paling tidak, ada sedikit kesedihan yang hilang.
“Kamu tahu, ucapan itu seperti anak panah melesat dari
busurnya.”
“Eh, apa tuh artinya?”
“Ya kalau sudah terucap, tidak bisa dicabut kembali.
Makanya hati-hati mengucapkan kata-kata. Apalagi kalau akhirnya akan
diingkari.”
“Oh, baiklah. Tapi namanya kelepasan bicara, mau apa
lagi.”
“Ya seperti kataku tadi, sudah terlepas, mana bisa
kembali.”
“Di ralat dong.”
“Hm … sudah terlanjur dicatat tuh.”
“Ee, kesenangan ya, dibilang ganteng.”
“Memangnya tidak?”
“Ibu Sumantri,” suara petugas apotek terdengar, dan
pertengkaran itu terhenti.
***
Retno duduk bersandar dengan mata terpejam. Budiono
menatapnya khawatir,.
“Masih berasa sakit?”
Retno menggeleng.
“Nanti sesampai di rumah obatnya langsung diminum ya Ret.”
“Iya Bu.”
“Untunglah tadi tidak terlalu lama menunggu di apotek.
Kalau lama akan Ibu suruh pulang dulu dan minta obatnya dikirim.”
“Obatnya tidak harus diracik, jadi cepat jadi. Oh ya,
ada salam dari Mas Wahyudi.”
Retno mengangkat kepalanya, melupakan rasa pusing yang
semula membebaninya.
“Apa?”
“Ketemu Mas Wahyudi waktu di apotek tadi.”
“Dia sakit?”
“Bukan, mengantar temannya yang sedang mengambil obat
untuk ibunya.”
“Teman wanita?”
“Ya.”
Retno terdiam. Ia sudah bisa membayangkan siapa wanita
itu. Pasti yang dilihatnya sedang bersama Wahyudi ketika dia datang ke rumah.
“Siapa Wahyudi?” tanya Bu Siswanto tiba-tiba.
“O, itu … temannya Mbak Retno,” jawab Budi yang tak
ingin mengatakan apa adanya. Takut pertanyaan ibunya akan bertambah panjang.
“Kamu kenal?”
“Ya … pernah ketemu saja, waktu Budi mengantarkan Mbak
Retno.”
“O …” untunglah hanya itu yang dikatakan bu Siswanto.
Retno kembali menyandarkan kepalanya. Iapun merasakan nyeri yang menggigit
mendengar penuturan Budi.
“Tadi aku suruh untuk ketemu Mbak Retno, tapi dia
menolak,” lanjut Budi.
Retno tak menjawab. Bukankah lebih baik untuk tidak
ketemu? Pertemuan hanya akan saling menyakiti. Retno berusaha menghilangkan
bayangan Wahyudi tapi ternyata tak mudah menghapusnya. Retno kembali memejamkan
matanya, dan menahan titik air matanya.
***
“Asih, tolong ambilkan makan untuk Bu Retno. Bawa ke
kamarnya,” kata bu Siswanto begitu sampai di rumah, dan menyuruh Retno segera
beristirahat.
“Baik Bu.”
“Bawa obatnya, suruh dia minum sekalian. Kalau aku
yang memberikan obatnya, nanti dia sungkan.”
“Ya bu, nanti saya minta agar segera diminum setelah
makan.”
“Ada dua macam yu, yang satu hanya sore saja, satunya
tiga kali sehari,” sambung Budi.
“Iya Mas Budi.”
“Kamu bisa membaca kan Yu?”
“Bisa Mas, ini sudah ada tulisannya. Sekarang diminum
dua-duanya, tapi besok yang satu ini hanya diminum sore atau malam, ya kan?”
“Pinter, Yu Asih. Ya sudah, segera bawa ke kamar,
supaya bisa segera diminum.”
Asih membawa nampan berisi makanan dan obat untuk
Retno.
“Apakah kakakmu harus Ibu beri tahu ya Bud?”
“Tentang apa Bu?”
“Bahwa Retno sakit.”
“Tidak usah Bu, kan tidak sakit berat. Nanti mbak Kori
mendengar, malah jadi rame.”
“Ya sudah kalau begitu. Ibu mau ganti pakaian dulu.”
***
“Bu Retno, ini ca brokoli udang, sama keripik paru,
makan banyak ya?” kata Asih begitu sudah menata makanan di nakas.
“Aku makan nanti saja Yu,” kata Retno lemah.
“Tidak bisa Bu. Bu Retno harus makan sekarang, karena
obatnya harus diminum. Nih, tulisannya sesudah makan semua.”
Retno memejamkan matanya.
“Bu Retno sudah tidak begitu panas lagi. Tidak demam
kan?”
“Hanya sedikit pusing. Entah mengapa, badanku rasanya
sakit semua.”
“Bu Retno kecapekan karena kemarin ikut membantu Yu
Asih di dapur. Jadi badannya sakit semua.”
“Entahlah.”
“Ya sudah, Yu Asih suapin saja. Soalnya obatnya harus
segra diminum. Bu Retno kan tidak mau kalau sakit dan tidak sembuh-sembuh.
Padahal tadi sebenarnya Yu Asih mendengar kalau Ibu mau mengajak Bu Retno
jalan-jalan.”
Retno tersenyum tipis, tapi kemudian tidak menolak
ketika Yu Asih menyuapinya.
“Sebenarnya aku bisa makan sendiri. Tapi badanku
rasanya sakit semua Yu.”
“Namanya lagi sakit Bu, biar Yu Asih yang nyuapin.
Nanti kalau sudah enak, bisa makan sendiri. Ya kan.”
***
“Nak Yudi, terima kasih banyak,” kata bu Sumantri, ibunya Wuri ketika mereka datang setelah dari apotek.
“Sama-sama Bu. Semoga Ibu cepat sehat ya.”
“Ibu agak kecapekan, kemarin mendapat pesanan nasi
kotak. Cuma seratus sih, tapi kebetulan pembantu tidak masuk, jadi hanya Wuri
yang membantu.”
“Lain kali Ibu tidak boleh terlalu capek. Kalau perlu
saya bisa membantu lho Bu.”
“Nak Yudi ada-ada saja. Memasak kan pekerjaan
perempuan. Lagi pula nak Yudi setiap
hari bekerja, mana bisa membantu.”
“Siapa tahu bisa Bu.”
“Sudah, sekarang Ibu mau beristirahat dulu, supaya
besok bisa bangun pagi-pagi dengan tubuh lebih sehat.”
“Iya Bu, sebaiknya Ibu segera beristirahat. Sekarang
saya mohon pamit.”
“Sekali lagi terima kasih lho nak. Wuri sih, harusnya
bisa sendiri, kenapa ngrepotin nak Yudi.”
“Motor Wuri kan agak rewel Bu, nanti kalau mogok
dijalan bagaimana," protes Wuri.
“Tidak apa-apa kok bu. Lagian saya juga sedang tidak
ada pekerjaan.”
“Mas Yudi bagaimana sih, aku buatkan minum, kok malah
mau pulang?”
“Lha rumahku kan hanya beberapa langkah dari sini,
seperti tamu saja, dibuatkan minum segala.”
“Ya tidak apa-apa Mas, Mas Yudi kan pastinya haus
setelah mengantarkan aku ke apotek.”
“Ya sudah. Aku minum ya,” kata Wahyudi yang kembali
duduk karena takut diomelin Wuri yang sudah cemberut melihat dirinya
berpamitan.
“Terima kasih. Tehnya manis sekali.”
“Iya lah mas, sesuai dengan yang membuat,” kata Wuri
kemayu.
Wahyudi tertawa.
“Iya benar, kamu itu manis dan ayu.”
“Benarkah?” kata Wuri dengan mata berbinar.”
“Kalau aku tuh jujur. Beda dengan kamu, mau bilang aku
ganteng saja malu.”
“Eh, masih ingat juga?”
“Ingat dong. Namanya orang dipuji itu pasti nggak akan
melupakannya. Kamu juga nanti pasti nggak akan bisa tidur karena aku
bilang manis dan ayu.”
“Bisa lah, itu kan sudah biasa.”
“Eh, sombong ya. Padahal aku kan cuma asal ngomong,
dan itu belum tentu benar lho,” goda Wahyudi.
“Oh ya?” Wuri cemberut, membuat Wahyudi tertawa.
“Apalagi kalau cemberut,” kata Wahyudi sambil berdiri,
takut kena cubit rupanya, karena Wuri kalau mencubit sakit sekali.
“Sudah ah, aku mau pulang. Ada pekerjaan yang harus
aku selesaikan.”
“Tunggu dulu, tadi aku menggoreng pisang. Nih, bawa
pulang dan buat cemilan supaya tidak mengantuk saat bekerja,” kata Wuri sambil
memberikan beberapa potong pisang goreng diatas piring kecil.
“Wah, ini kesukaan aku. Kalau begitu kamu benar-benar
cantik deh,” goda Wahyudi sambil berlalu, membiarkan Wuri yang menatapnya tetap dengan wajah cemberut. Tapi benar kok,
Wuri memang manis. Itulah yang dipikirkan Wahyudi akhir-akhir ini.
***
Sudah sebulan lebih Sapto kembali ke Jakarta bersama
isterinya, dan melakukan tugasnya sebagai pemimpin perusahaan mebel milik
ayahnya, yang memiliki cabang dimana-mana. Kori tak pernah mengomel atau
mencelanya karena Sapto tetap berada di sisinya.
Tapi sore itu Kori merasa kesal, karena Sapto
mengatakan bahwa akan pergi ke Jepara atas perintah ayahnya.
“Mengapa Bapak selalu menyuruh Mas Sapto? Mengapa
bukan Budi saja? Bukankah tugas Mas disini sudah berat?” protes Kori.
“Budi punya tugas yang lain. Dan mengapa kamu sekarang
peduli sama tugas-tugas aku?”
“Aku hanya tak ingin Mas pergi terlalu lama.”
“Kamu harus mengerti, Bapak sedang membangun cabang
yang baru, dan Bapak ingin pulang dulu ke Solo. Aku hanya akan kesana untuk
berbicara dengan ahli ukir yang akan bekerja bersama kita.”
“Mengapa bukannya dia saja yang disuruh datang ke
mari?”
“Aku harus melihat bagaimana pekerjaannya. Hei, kenapa
kamu ini? Pergilah bersenang-senang bersama teman-teman kamu dan jangan ikut
mengurusi tugas aku,” kesal Sapto sambil meninggalkan Kori sendirian di teras.
Tapi kemudian Kori menyusulnya.
“Berapa hari Mas akan ke sana?”
“Beberapa hari, tidak akan lama.”
“Apa Mas akan mampir ke Solo juga?” Kori menatapnya
curiga.
“Apa kamu mau ikut? Aku akan naik mobil bersama sopir.”
“Nggak usah, aku sudah janji akan ke pantai dua hari
lagi.”
“Nah, lakukan apa yang kamu suka,” kata Sapto yang
mulai kesal terhadap isterinya.
***
Hari terus berjalan, dan Retno sudah merasa sehat. Dia
sedikit tenang karena Sapto sudah berada jauh di Jakarta. Entah mengapa dia
merasa tak nyaman berada di dekatnya. Lebih-lebih setelah malam itu, dimana dia
terpaksa harus melayaninya, bahkan sambil berurai air mata.
“Memang sih dia suami aku, tapi aku sama sekali tidak
bisa mencintainya. Aku benci melihat matanya, yang dingin dan terkesan sangat
pemaksa,” gumam Retno yang bahkan setiap hari dia merasakannya.
“Retno, maukah hari ini menemani Ibu belanja?” tanya
bu Sis sore itu.
“Iya bu, sekarang?”
“Iya, kita bersiap dulu, sambil menunggu Budi pulang
dari kantor. Dia akan mengantarkan kita. Ibu sudah siap nih.”
“Baiklah Bu, saya hanya akan berganti pakaian.”
“Selama di sini kamu juga belum pernah belanja
pakaian. Nanti kita beli sekalian.”
“Tidak usah Bu, yang ada masih cukup.”
“Jangan begitu. Sapto mengatakan telah memberikan ATM nya
yang setiap bulan selalu akan diisinya. Kamu harus mempergunakannya untuk
belanja apapun yang kamu suka.”
“Tapi Retno sudah merasa cukup Bu.”
“Retno, kamu juga boleh memberikan sebagian uang kamu
untuk orang tua kamu.”
Retno terdiam. Kadang-kadang dia ingin memberi ibunya
uang, tapi segan karena ayahnya pasti akan memanfaatkannya.
“Tidak apa-apa kamu memberikannya, aku tahu orang tua
kamu juga butuh bersenang senang dengan belanja atau makan makanan enak,” kata
bu Sis lagi.
“Iya Bu, nanti. Lain kali Retno akan pulang sebentar.”
“Bagus. Kamu juga harus menengok orang tua kamu.
Jangan sampai mereka mengira kami melarang kamu menemui orang tua.”
“Baiklah Bu.”
“Sekarang bersiaplah, Budi sebentar lagi akan sampai
di rumah.”
Retno masuk ke dalam kamarnya, untuk berganti pakaian.
Sementara saat itu Budi sudah pulang dari kantornya.
“Ibu sudah siap rupanya?” kata Budi begitu turun dari
mobil.
“Iya, Retno juga sedang berganti pakaian. Apa kamu mau
mandi dulu?”
“Tidak usah Bu, nanti saja sepulang belanja Budi baru
mandi, ini masih wangi kok,” candanya sambil mencium baju di bagian lengannya.
“Baiklah. Nah itu Retno sudah siap.” Bu Sis melihat
Retno keluar. Tapi ia tak melihat bahwa Retno tampak lesu. Entah mengapa,
tiba-tiba badannya terasa kurang enak.
“Jadi kita berangkat sekarang?”
“Ya, sekarang saja, supaya tidak kemalaman pulangnya.”
Budi menuju ke arah mobilnya, diikuti Bu Sis dan
Retno.
“Retno di depan saja, menemani Budi,”
Lalu Budi membukakan pintu untuk ibunya, kemudian
untuk Retno, sebelum dia masuk ke dalamnya.
Tapi tiba-tiba terdengar mobil memasuki halaman. Budi
masih memegangi pintu mobil, ketika melihat Sapto turun, dan mendekatinya.
“Mau kemana?”
“Mengantar Ibu belanja, kok Mas naik mobil?”
“Ya, dari Jepara, langsung kemari.”
“Kamu bersama Kori Sap?” tanya bu Sis tanpa turun dari
mobil.”
“Tidak Bu, hanya bersama sopir.”
“Ibu pergi sebentar ya, kamu istirahat saja dulu.”
“Biar aku saja yang mengantar Ibu, kata Sapto yang
kemudian menutup pintu setelah Retno masuk, lalu dia sendiri kemudian duduk di
belakang kemudi.
“Bud, bilang sama yu Asih, suruh buatkan minum untuk
sopir,” perintahnya kepada Budi.
Budi mengangguk dengan masygul.
Wajah Retno muram seketika, dan tiba-tiba dia merasa
mual. Mobil sudah berjalan ketika tiba-tiba Retno berteriak.
“Tolong hentikan.”
Sapto menghentikan mobilnya.
“Ada apa?”
“Aku mau muntah,” katanya sambil membuka pintu dan
turun, lalu muntah disamping mobil karena tak bisa menahannya.
***
Beaok lagi ya.
Alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah, bukan milkku sdh hadir, sehat terus ya bunda 😍
DeleteAlhamdulilah
ReplyDeleteAlhamdulillah... matur nuwun buu
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMakasih Bunda cerbungnya
ReplyDeleteTrimakasih bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah tayang
ReplyDeleteAlhamdulillah, BM15 telah hadir,
ReplyDeleteTrm ksh mbak Tien, sehat selalu dan bahagia bersama keluarga. Salam aduhai
Alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah...salam aduhai
ReplyDeleteHallow..
ReplyDeleteYustinhar. Peni, Datik Sudiyati, Noor Dwi Tjahyani, Caroline Irawati, Nenek Dirga, Ema, Winarni, Retno P.R., FX.Hartanti, Danar, Widia, Nova, Jumaani, Ummazzfatiq, Mastiurni, Yuyun, Jum, Sul, Umi, Marni, Bunda Nismah, Wia Tiya, Ting Hartinah, Wikardiyanti, Nur Aini, Nani, Ranti, Afifah, Bu In, Damayanti, Dewi, Wida, Rita, Sapti, Dinar, Fifi, Nanik. Herlina, Michele, Wiwid, Meyrha, Ariel, Yacinta, Dewiyana, Trina, Mahmudah, Lies, Rapiningsih, Liliek, Enchi, Iyeng Sri Setyawati , Yulie, Yanthi , Dini Ekanti, Ida, Putri, Bunda Rahma, Neny, Yetty Muslih, Ida, Fitri, Hartiwi DS, Komariah P., Ari Hendra, Tienbardiman, Idayati, Maria, Uti Nani, Noer Nur Hidayati, Weny Soedibyo, Novy Kamardhiani, Erlin, Widya, Puspita Teradita, Purwani Utomo, Giyarni, Yulib, Erna, Anastasia Suryaningsih, Salamah, Roos, Noordiana, Fati Ahmad, Nuril, Bunda Belajar Nulis, Tutiyani, Bulkishani, Lia, Imah P Abidin, Guru2 SMPN 45 Bandung, Yayuk, Sriati Siregar, Guru2 SMPN I Sawahlunto, Roos, Diana Evie, Rista Silalahi, Agustina, Kusumastuti, KG, Elvi Teguh, Yayuk, Surs, Rinjani, ibu2 Nogotirto, kel. Sastroharsoyo, Uti, Sis Hakim, Tita, Farida, Mumtaz Myummy, Gayatri, Sri Handay, Utami, Yanti Damay, Idazu, Imcelda, Triniel, Anie, Tri, Padma Sari, Prim, Dwi Astuti, Febriani, Dyah Tateki, kel. SMP N I Gombong, Lina Tikni, Engkas Kurniasih, Anroost, Wiwiek Suharti, Erlin Yuni Indriyati, Sri Tulasmi, Laksmie, Toko Bunga Kelapa Dua, Utie ZiDan Ara, Prim, Niquee Fauzia, Indriyatidjaelani,
Bunda Wiwien, Agustina339, Yanti, Rantining Lestari, Ismu, Susana Itsuko, Aisya Priansyah, Hestri, Julitta Happy, I'in Maimun, Isti Priyono, Moedjiati Pramono, Novita Dwi S, Werdi Kaboel, Rinta Anastya, r Hastuti, Taty Siti Latifah, Mastini M.Pd. , Jessica Esti, Lina Soemirat, Yuli, Titik, Sridalminingsih, Kharisma, Atiek, Sariyenti, Julitta Happy Tjitarasmi, Ika Widiati, Eko Mulyani, Utami, Sumarni Sigit, Tutus, Neni, Wiwik Wisnu, Suparmia, Yuni Kun, Omang Komari, Hermina, Enny, Lina-Jogya, mbah Put Ika, Eyang Rini ,Handayaningsih, ny. Alian Taptriyani, Dwi Wulansari, Arie Kusumawati, Arie Sumadiyono, Sulasminah , Wahyu Istikhomah, Ferrita Dudiana, SusiHerawati, Lily , Farida Inkiriwang, Wening, Yuka, Sri, Mbah Wi, Si Garet, ibu Wahyu Widyawati, Rini Dwi, Pudya , Indahwdhany, Butut, Oma Michelle, Linurhay, Noeng Nurmadiah, Dwi Wulansari, Winar, Hnur, Umi Iswardono , Yustina Maria Nunuk Sulastri Rahayu Hernadi , Sri Maryani, Bunda Hayu Hanin, Nunuk, Reni, Pudya, Nien, Swissti Buana, Sudarwatisri, Mundjiati Habib, Savero, Ida Yusrida, Nuraida, Nanung, Arin Javania. Ninik Arsini, Neni , Komariyah, Aisya Priansyah, Jainah Jan. Civiyo, Mahmudah, Yati Sri Budiarti, Nur Rochmah. Uchu Rideen
. Ninik Arsini, Endah. Nana Yang, Sari P Palgunadi, Echi Wardani, Nur Widyastuti, Gagiga family, Trie Tjahjo Wibowo, Lestari Mardi, Susi Kamto, Rosen rina, Mimin NP, Ermi S, Ira, Nina, Endang Amirul, Wiwik Nur Jannah, Ibu Mulyono, Betty Kosasih, Nanik, Tita, Willa Sulivan,
Bu Tien, dan sahabat² blogger tienkumalasari22.blogspot yang kami sayangi dan banggakan.
ReplyDeleteDi malam Nisfu Sya'ban 1443-H ini saya sekeluarga mohon maaf lahir batin. Semoga Allah mengampuni dosa² kita dan mengijabah doa² kita.
Terima kasih bu Tien BM_15 sudah hadir menghibur kita semua.
Salam ADUHAI dari Bandung.
Karipan yah Om Kakek?
DeleteAlhamdulillah, matur nuwun bunda Tien.
ReplyDeleteSehat selalu bunda ..
BM, dah dateng
ReplyDeleteApa Retno hamil?
Maturnuwun mb Tien
Salam manis nan aduhai
Yuli Suryo
Alhamdulillah
ReplyDeleteGasik
Matur nuwun bu Tien
Alhamdulillah BM15 sdh bisa dinikmati, teroma kasih bunda Tien, salam Aduhai
ReplyDeleteAlhamdulillah sdh hadir..
ReplyDeleteTerima kasih Ibu Tien..
Semoga sehat selalu.
Salam *ADUHAI*
Terimakasih mbak Tien .. Salam Aduhai .. semangat sehat bahagia .. saya bacanya marathon ..
ReplyDeleteMakasih bunda BM nya
ReplyDeleteAlhamdulilah....BM 15 sdh tayang....matur nuwun bunda Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah BuMil dah tayang ..
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien .. semoga tetep sehat Aamiin🌷🌷🌷🌷🌷
Alhamdulillaikkah
ReplyDeleteAlhamdulillah bukan Milikku sudah hadir
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien
Salam sehat dan aduhai
Terima kasih bu
ReplyDeleteTken salamsehat dan salam aduhai...waah retno sdh mulai hamil kah????
Trima kasih jeng Tien,,kok masih sepi ya kemana ini,,,Aku prihatin sama Retno ,,mudah² an bisa berbahagia,,,tapi kok kasihan kalo sama Sapto,,apalagi Sapto sudah punya istri ,,galak lagi,,,
ReplyDeleteSami2 Mbak Yanik
DeleteADUHAI
Alhamdulillah... terima kasih mbu Tien...
ReplyDeleteMakin terngiang trs, Retno dkk.... asyiik bacanya.... sehat² Mbu Tien....
Sami2 Pak Zimi
DeleteAamiin
Alhamdulillah... Terima kasih Bu Tien... Selamat malam selamat beristirahat semoga Bu Tien selalu sehat... Salam aduhai... 🙏🙏🙏
ReplyDeleteSami2 Ibu Sri
DeleteADUHAI selalu
Aamiin YRA🤲🙏 trmksh mb Tien bm 15nya.. apakah Retno muntah mual tanda hamil? wah Sapto berhsl akan menjd seorang ayah😘... akankah Retno bahagia? hanya mb Tien ygv ahu jln crtnya🙏 slm seroja selalu utk mb Tien dan para pctk🤗
ReplyDeleteSami2 jeng Sapti
DeleteADUHAI deh
Hamilkah Retno ?
ReplyDeleteTerimakasih bu Tien.
Ceritanya bikin penasaran saja.
Sami2 Inu Sri
ReplyDeleteADUHAI
Aduhai bu Tien. Karipan kabeh kie😄😄😄
ReplyDeleteADUHAI Ibu Umi
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun bu Tien untuk BMnya
Retno hamil kah,,,
Wah Aduhaaii nih
Salam sehat wal'afiat semua bu Tien
Selamat beristirahat 🙏🤗💖
Sami2 Ibu Ika Laksmi
DeleteADUHAI sehat
Retno hamil, kusah seru baru dimulai.
ReplyDeleteTerima kasih mbak tien. salam sehat selalu.
Sami2 Pak Andrew
DeleteSalam sehat
Terimakasih bu Tien,,, tambah penasaran dgn lanjutan ceritanya
ReplyDeleteDitunggu kelanjutannya
Semangat dan sehat selalu
Salam Aduhaiii
𝐖𝐀𝐃𝐔𝐇 𝐑𝐄𝐓𝐍𝐎 𝐌𝐔𝐍𝐓𝐀𝐇 𝐊𝐀𝐑𝐄𝐍𝐀 𝐇𝐀𝐌𝐈𝐋 𝐀𝐓𝐀𝐔 𝐌𝐔𝐀𝐊 𝐌𝐄𝐋𝐈𝐇𝐀𝐓 𝐒𝐄𝐏𝐓𝐎 𝐘𝐀...🤩🤩🤩
ReplyDelete𝐌𝐀𝐓𝐔𝐑 𝐒𝐔𝐖𝐔𝐍 𝐁𝐔 𝐓𝐈𝐄𝐍 𝐄𝐏𝐒 𝐁𝐌 15 𝐒𝐃𝐇 𝐓𝐀𝐘𝐀𝐍𝐆..𝐒𝐀𝐋𝐀𝐌 𝐒𝐄𝐇𝐀𝐓 𝐒𝐄𝐋𝐀𝐋𝐔 𝐔𝐓𝐊 𝐁𝐔 𝐓𝐈𝐄𝐍 𝐃𝐀𝐍 𝐊𝐄𝐋𝐔𝐀𝐑𝐆𝐀...🙏🙏🙏
Wadhuh.. sptnya Retno hamil ya mbak Tien
ReplyDeleteAduhai cepetnya
Alhamdulillah BM 15 telah tayang, terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Wouw Retno mulai hamil rupanya.
ReplyDeleteAnaknya nanti untuk Sapto bersama Cory.
Lalu Retno akan dicerai.
Mungkinkah yg bilang bukan milikku adalah Retno karena anaknya untuk Sapto dan Cory?
Semoga dgn berjalannya waktu hubungan Retno, Cory dan Sapto membaik...
Monggo ibu Tien,dilanjut aja penasaran terus...
Matur nuwun, Berkah Dalem.
wuaduh ketebak..........
DeleteTapi bu Tien tuh paling pinter kalau disuruh, ngaduk-aduk (koyo semen wae) perasaan pembaca, hahaha (gemes-2 piye gitu loh) ya nggak3x
DeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Bukan Milikku sudah tayang.
ReplyDeleteSudah punya sendiri " tidak usah mikirin milik orang lain. He he he... tidak jadi cerita kalau semua 'baik-baik saja ' tanpa masalah.
Salam sehat dari Sragentina mbak Tien yang selalu ADUHAI.
Matursuwun bu Tien,salam sehat dari Yk.aduhai....
ReplyDeleteMaturnuwun bu Tien BM15nya..
ReplyDeleteSalam sehat selalu dan aduhaiii..🙏💟🌷
Terimakasih mbak Tien BM15 dah tayang...
ReplyDeletelg hamil kali ya mb Retnonya...
Sehat2 selalu mbak Tien,
Salam aduhaiii
Alhamdulillah Bukan Miliku sdh hadir. Trm ksh bu Tien. Smg selalu sehat.
ReplyDelete𝘛𝘦𝘳𝘪𝘮𝘢 𝘬𝘢𝘴𝘪𝘩 𝘮𝘣𝘢𝘬 𝘛𝘪𝘦𝘯...
ReplyDeleteAlhamdulilah bisa lebih awal untuk mengikuti kisah Retno dan Sapto.
ReplyDeleteMatur nuwun M Tien. semoga Alloh memberikan ampunan dan keberkahan bulan Sya'ban dan dipertemukan dengan Bulan Romadhon untuk M Tien sklrg dan kita semua. Aamiin
Terima kasih bunda tien
ReplyDeleteTerima kasih bu Tien
ReplyDeleteSalam sehat, salam aduhai...
Waduh sicantik Retno muntah2 di depan Sapto n Bu Sis ... tanda2 hamilkah ... or muak melihat Sapto ya.??
ReplyDeleteAtau Retno pura2 muntah agar Bu Sis dan Sapto yakin dia sudah hamil. Dgn demikian Sapto tidak perlu lagi 'menidurinya dan langsung balik ke Jakarta.
Bu Tien, silahkan dilanjut cerita nya yg bikin penasaran terus nih...
Terimakasih Bu Tien, semoga selalu sehat walafiat dan semangat berkarya.
🙏
Mtr suwun bu tien...sehat selalu njih bu...
ReplyDeleteWah...Retno hamil ya...
ReplyDeleteBahagiakan Retno ya mba.
Makasih mba Tien .
Salam hangat selalu mba
Ini juga jadi pemikiran seandainya Retno hamil bisakah ia memiliki anak yg dikandungya karena sesuai perjanjian setelah melahirkan anak bisa saja Retno bercerai dg Sapto dan anaknya diamvil Sapto dan Kori kasihan Retno.
ReplyDeleteSalam kenal bu Tien saya bu Lis Yuni dari Purwokerto Jawa Tengah.
ReplyDeleteSalam kenal kembali Ibu Lis Yuni
DeleteAlhamdulillah BM 15 sdh ada, matursuwun bu Tien yang *Aduhai* . Salam sehat selalu
ReplyDeleteSami2 Ibu Umi
DeleteADUHAI
Critane diperkosa suami sah nya sendiri.....😂
ReplyDeleteApa kabar cak ?
DeleteLama nggk komen
Alhamdulillah iseng iseng bisa nomer satu..Wah sepertinya Retno hamil..nanti swtelah melahirkan biaa minta cerai dari Sapto..tapi apakah Sapto mau...sepertinya sudah mulai tertarik kepada Retno. Lha Budiono bagaimana ya..Bu Tien yang tahu. Matur nuwun bu Tien..jadi penasaran .
ReplyDeleteSami2 Ibu Noor
ReplyDeleteADUHAI
Bundaaaaaa.. Matur nuwun bund.. Shtsll y.. Muuaacchh.. Salamsht sll🙏🌹🌹🥰🥰
ReplyDeleteAlhamdulillah..nuhun bu Tien
ReplyDelete