Friday, January 17, 2020

DALAM BENING MATAMU 88

DALAM BENING MATAMU  88

(Tien Kumalasari}

 

Mirna tertunduk, ada bahagia yang disembunyikan dibalik senyumnya. Bagaimanapun ia merasa sungkan ketika seorang suami menyatakan cinta kepad perempuan lain, didepan isterinya.

Anggi menelan kegetiran itu dalam hati. Senyumnya melebar, digenggamnya tangan Mirn erat-erat, dengan telapak tangan yang sama-sama berkeringat.

"Kau sudah mendengar Mirna, dan mas Adhit tak pernah membohongi perasaannya. Itu sebabnya aku tau bahwa dia sangat mencintai kamu sejak lama."

Mirna menghela nafas. Seperti mimpi rasanya dilamar oleh seorang isteri, demi suaminya. Pak Kadir yang diam sedari tadi, kahirnya angkat bicara.

"Bagaimanapun, saya sebagai orang tua tidak bisa memaksakan kehendak. Baiklah, memang urusan cerai antara Mirna dan Aji sudah selesai. Saya percaya anak saya akan melakukan hal terbaik yang akan membuatnya bahagia.  Dulu saya pernah melakukannya dan ternyata gagal. Bukan bahagia yang didapat Mirna tapi derita. Sekarang ini, Mirna sudah lebih dewasa. Saya berharap untuk kehidupan selanjutnya dia tak akan  gagal lagi. Jadi, saya titipkan anak saya pada nak Adhit dan nak Anggi, lindungi dan sayangi dia, dan hapus air mata yang selama ini selalu menggenangi pelupuknya."

"Saya akan melindungi dan mencintai kedua isteri saya nanti, dengan sepenuh hati saya, tanpa membedakan antara satu dan yang lainnya," janji Adhit sambil menatap Anggi dan Mirna bergantian.

"Terimakasih sebelumnya nak Adhit, dan juga nak Anggi," jawab pak Kadir dengan mata berkaca-kaca.

"Kita akan berbahagia bersama pak Kadir, percayalah," kata Anggi meyakinkan. 

Begitu pembicaraan itu usai, Adhit mengajak Anggi dan Mirna pergi menemui bu Susan. Walau tekatnya sudah bulat, Adhit merasa bahwa restu seorang tua juga amat diperlukan.

***

Namun tanggapan bu Susan sudah lebih lunak dari sebelumnya. Mungkin kata-kata Galang, dan juga Dewi yang pernah menjadi tempat berkeluhnya, telah sedikit membuka hatinya untuk bisa memahami keinginan anaknya. Apalagi ketika begitu datang, ketiganya segera bersimpuh dihadapannya, merangkul kakinya tanpa mengucapkan kata-kata.

"Ada apa ini? Apa maksudnya kalian bertiga bersmpuh disini?" kata bu Susan pelan, setitik demi setitik rasa gusarnya berjatuhan, yang ada hanyalah haru yang memenuhi dadanya.

"Mama, kami mohon restu," kata Adhit yang disusul Anggi dengan kata-kata yang sama.

"Eyang, ma'afkan Mirna," bisik Mirna sambil tersedu. Ia bahkan kemudian merangkul kaki bu Susan erat-erat.

Mirna sudah mendengar perihal ibunya yang membuat bu Susan sedih dan kecewa, sekarang ia akan menebusnya dengan sungguh-sungguh memohon ampunannya. 

"Dan ma'afkan juga semua kesalahan almarhum ibu," lanjutnya tanpa melepaskan pelukannya.

Tak urung runtuhlah air mata bu Susan. Ia adalah seorang ibu, kebahagiaan mana yang bisa dirasakan kecuali melihat anaknya bahagia juga? 

"Sudah, sudah, kalian berdirilah, ayo berdiri."

"Mirna mohon ma'af, untuk Mirna, dan untuk almarhum ibu Daniar," Mirna belum melepaskan pelukannya.

"Baiklah, baiklah.. aku akan melupakan semuanya, aku ma'afkan ibumu, "

"Dan juga Mirna, eyang."

"Ya, juga untuk kamu, sudah, berdirilah."

Mirna berdiri, Adhit dan Anggi membantu mengangkat lengannya di kanan-kiri. Bu Susan meng geleng-gelengkan kepalanya, melihat kerukunan diantar mereka. Apa lagi yang bisa dia lakukan untuk menentangnya?

Ketika mereka duduk, bu Susan memandangi ketiganya brganti-ganti.

"Adhit, dulu aku menitipkan Anggi, agar kamu bisa melindungi dan mencintainya. Sekarang aku ingin meminta hal yang sama. Dan lagi, jangan biarkan Anggi tersiksa, sedih, merana."

"Saya berjanji ma, mama tidak usah khawatir," jawab Adhit.

***

Pernikahan itu tidak diadakan dengan pesta yang meriah. Mirna yang memintanya. Tapi ada rasa bahagia karena kedua orang tua Adhit, orang tua Mirna dan Anggi datang menghadirinya. Itu sebuah wujud dari restu orang tua, dan itu juga melegakan semuanya.

Agak rikuh juga ketika Mirna harus seatap dengan Anggi. Ia diberi kamar tersendiri, bukan kamar Anggi yang terdahulu. Mirna yang menolaknya, karena tak ingin menghapus kenangan tentang kebahagiaan Anggi ketika menikah dengan Adhit. Barangkali kamar itu penuh cerita, penuh kenangan, dan Mirna tak ingin merubahnya.

"Mengapa Mirna, itu kamar terbesar dirumah ini," kata Anggi waktu itu.

"Jangan tante, itu akan tetap menjadi kamar tante. Biarlah aku dikamar yang berbeda."

Rumah keluarga Subroto memang lumayan besar. Ada banyak kamar didalamnya, dan tak sulit memilih yang ternyaman bagi masing-masing untuk menempatinya. 

Di hari pertaman pernikahan Adhit dan Mirna, Anggi berpamit untuk pergi kerumah mamanya. Mirna menahannya dan bersikeras ingin ikut, tapi katanya ada pertemuan keluarga almarhum papanya diluar kota. Banyak alasan untuk memberi kesempatan untuk berduaan bagi pengantin baru, pikir Anggi. Walau perih tapi rela, apakah ia harus menangisinya? Tidak, Anggi berusaha tegar, tak ada wajah suram, tak ada air mata. Biarlah tangis itu mengendap dalam hati.

Tapi Adhit dan Mirna tau, Anggi sedang memberinya kesempatan agar mereka bisa berduaan, menikmati malam-malam mereka dengan penuh bahagia. Melampiaskan segenap cinta yang terpendam, dalam aroma sorga yang membuai dan memabokkan.

"Mirna, aku bahagia akhirnya bisa menemukanmu," bisik Adhit di malam pertama ia bisa memeluknya dalam suka cita.

"Saya tidak mengira bisa menjalani hidup seperti ini. Saya tidak mengira tante Anggi memiliki hati mulia seperti mutiara," tukas Mirna.

Adhit mengecup kening Mirna, menyibakkan anak rambut yang terurai didahinya.

"Jangan membuat tante Anggi bersedih," bisik Mirna sendu.

"Tentu tidak," jawab Adhit sambil mengecup bibir tipis Mirna.

"Bapak harus mencintainya seperti bapak mencintai saya."

"Aku berjanji."

Lalu tirai-tirai malam tersibak oleh desah angin yang menderu, mengoyak keheningan yang mencekam, dan bintang-bintang dilangit bagai memercikkan kembang api, berburai-burai menghiasi langit biru.

***

Hari itu Dinda mnemui Anggi dirumah mamanya. Wajah cantiknya muram karena kesal terhadap sahabatnya. Dulu ketika pernikahan Adhit dan Mirna dia tidak bisa datang karena sedang menghadapi ujian. Sekarang dia enggan menemui kakaknya karena masih menganggap Adhit melukai hati Anggi. Tapi dengan penuh kesabaran Anggi menenangkan hati Dinda.

"Kamu tidak perlu sewot kepada mas Adhit, dia tidak bersalah."

"Tidak bersalah? Dia mengingkari janjinya, dia mempunyai isteri lagi dan mengesampingkan kamu kan?"

"Tidak Dinda, kamu jangan salah sangka, akulah yang menjodohkan Mirna dengan mas Adhit. Aku yang ingin mereka menikah."

"Memang kamu sudah gila. Aku juga mendengar semua itu dari mbak Ayud."

"Kalau begitu jangan marah-marah pada mas Adhit. Dengar, mas Adhit harus punya keturunan. Walau dia tak mengatakannya, aku tau dia ingin. Aku berharap mereka segera memilikinya."

"Anggi, aku baru tau ada perempuan seperti kamu."

Anggi hanya tertawa.

"Hari ini aku mau pulang, sudah seminggu aku meninggalkan rumah, kamu mau ikut?"

"O, jadi kamu sedang memberi kesempatan agar mereka berduaan?"

"Iya lah, kalau aku ada dirumah, mereka akan sungkan bermesraan. Ya kan?"

"Aduhai bidadari tanpa cela... aku harus belajar untuk bisa mencintai dengan sebenar-benarnya cinta, seperti kamu. Tapi aku jadi takut punya suami."

"Hush, mengapa takut? Punya suami itu menyenangkan," canda Anggi.

"Bagaimana rasana jika suami mencintai perempuan lain? Ya Tuhan, aku pasti akan menghajar dua-duanya sampai kapok."

Anggi tertawa.

"Yang aku alami ini kan berbeda Din, jangan samakan nasib aku ini dengan nasib semua perempuan. Aku bahagia bisa melakukan ini, membahagiakan orang yang aku cintai."

"Ya, aku kan sudah bilang kamu ini bidadari sorga yang tak ada cacat celanya."

"Sudah jangan cerewet, ikut yuk, pasti mas Adhit juga kangen sama kamu."

"Ogah, aku mau pulang saja, nanti kalau aku sudah bisa meredam rasa kesal aku, baru aku mau menemui mereka."

"Mengapa kesal Dinda? Aku yang menjalani saja bisa ter tawa-tawa, kok kamu yang kesal."

"Karena aku tidak percaya tak ada luka dihati kamu."

"Dinda..."

"Itu benar kan? Ya sudah, aku pulang dulu saja, titip salam saja buat mas Adhit dan Mirna. Eh.. nggak jadi, nggak usah nitip apa-apa. Daaag Anggi," kata Dinda sambil berdiri dan melangkah pergi meninggalkan Anggi yang termangu didepan pintu.

"Karena aku tidak percaya tak ada luka dihati kamu," kata Dinda terngiang kembali ditelinganya.

Benarkah tak ada luka ? Anggi menepiskannya, lalu bersiap untuk kembali pulang kerumah.

***

Ketika sampai dirumah, dilihatnya Mirna tak ada. Bu Broto sedang memberi petunjuk pada yu Supi tentang apa-apa yang harus dimasaknya. Anggi langsung kedapur, lalu memeluk bu Broto dari belakang.

"Aduh Anggi, eyang kaget bener... ya Tuhan, hampir copot jantung eyang nih," canda bu Broto sambil membalas pelukan Anggi.

"Eyang lagi ngapain?"

"Lagi itu, mengatur masakan yang mau dimasak Supi, ayo kedepan, kamu nggak usah ikut-ikut kedapur," kata bu Broto sambil menarik tangan Anggi diajaknya keruang tengah.

"Lama sekali kamu perginya nduk."

"Masa sih lama. Anggi ketemuan sama saudara-saudaranya papa yang ada diluar kota, tapi kemarin sore sudah pulang."

"Apa kabar kamu?"

"Seperti eyang lihat, baik eyang."

"Kamu kan masih harus minum obat?"

"Oh, iya eyang, Anggi minum terus kok, tinggal dua hari lagi habis."

"Kalau begitu bilang sama suamimu agar mengantar kamu kontrol lagi."

"Sudah ah, sudah baikan nih eyang, sudah doyan makan, nggak lemes-lemes.."

"Tapi tetep harus kontrol, jangan ngeyel."

"Kok sepi, Mirna mana ?"

"Lagi keluar sama Adhit, katanya mau beli apa.. gitu, eyang nggak tau. Tapi sudah dari tadi kok."

"Oh, ya udah. Mas Adhit belum ke kantor lagi ya?"

"Belum, katanya baru Minggu depan. Besok mereka mau ke Tawangmangu, tapi berangkatnya menunggu kamu pulang."

"Lhoh, mengapa harus menunggu Anggi eyang?"

"Pastinya akan mengajak kamu juga kan?"

"Nggak ah, lebih baik Anggi dirumah saja sama eyang."

"Mereka bilang nggak akan berangkat kalau kamu nggak ikut.."

"Masa sih?"

"Itu benar Nggi, " tiba-tiba Adhit dan Mirna sudah muncul diantara mereka.

"Eh, sudah pulang?" sapa Anggi sambil berdiri, memeluk lalu mencium Mirna dengan hangat.

"Tante perginya lama sekali," tegur Mirna sambil membawa belanjaannya kebelakang.

"Iya, acara kumpul-kumpulnya baru usai."

Adhit kemudian duduk disamping Anggi.

"Besok ke Tawangmangu ya?" kata Adhit.

"Nggak mas, Anggi nggak usah ikut."

"Kenapa Nggi? 

"Ya nggak kenapa-kenapa, ini kesempatan bagi mas untuk berbulan madu. Masa harus sama aku juga?"

"Anggi, Mirna nggak akan berangkat tanpa kamu."

"Nggak, nanti Anggi bilang sama Mirna. Mas saja berngkat berdua."

"Nggak tante, tante harus ikut," kata Mirna yang kemudian ikut duduk bersama mereka.

"Mirna, jangan memaksa tante, tante sudah lelah karena baru kemarin pulang dari bepergian sama keluarga papa."

"Kita kan nggak akan ber capai-capai Nggi, aku mengajak pak Sarno, kita akan santai disana."

"Aku pijitin tante kalau lelah."

Karena dipaksa akhirnya Anggi setuju ikut pergi keesokan harinya.

***

Pak Sarno sang sopir heran, melihat dua perempuan yang bermadu tampak rukun dan bersahabat. Jarang yang bisa menjalaninya. Sementara Adhit duduk disamping kemudi, Mirna dan Anggi duduk dibelakang sambil bercanda. Pak Sarno jadi senyum-senyum sendiri. Dalam hati juga terpikir, kalau aku mencari isteri lagi, bisakah kedua isteriku hidup rukun seperti kedua majikanku? Pikirnya. Ahaa... mana mungkin, pak Sarno pulang terlambat saja isterinya sudah siap dengan pertanyaan yang beruntun, nerocos  seperti burung tak diberi makan dua hari.

"Ada apa pak, kok senyum-senyum sendiri ?"

"Nggak apa-apa mas, " jawab pak Sarno tersipu.

"Kok senyum-senyum sendiri?"

"Itu mas, senang melihat mas Adhit tampak bahagia," kata pak Sarno tanpa berani mengatakan apa yang dipikirkannya.

"Senang melihat saya punya dua isteri yang cantik-cantik ya pak?"

"Ahaaa... iya lah mas,"

"Pak Sarno pengin ya seperti mas Adhit, bisa punya isteri dua?" canda Anggi.

"Iya bu... eh... enggak.. enggak... " jawab pak Sarno gugup, yang kemudian disambut tawa oleh mereka bertiga.

***

Walau  mereka di Tawangmangu yang konon udaranya dingin sejuk, tapi Adhit mengajak kedua iisterinya untuk berenang. Ada kolam renang dihotel tempat mereka menginap.

Mirna dan Adhit turun untuk berenang, tapi Anggi memilih untuk menunggu ditepian kolam itu. Senang melihat Adhit dan Mirna bercanda didalam air, saling mengejar dan terkadang berpelukan ketika tertangkap. Ya, senanglah, atau berusaha senang, karena itu adalah maunya. 

Anggi bersandar pada sebuah kursi yang ada ditepi kolam itu, sambil memejamkan mata. Harusnya ia meminum obat hari itu, tapi obat yang hanya tinggal diminum sehari itu lupa dibawanya. Ber kali-kali dia bilang merasa sehat.Tapi hari ini Anggi merasa lemas. Ia terus memejamkan matanya, dan tak lagi perduli pada jeritan-jeritan Mirna karena Adhit terkadang bercanda sedikit "nakal".

Agak lama mereka bermain air, dan dengan terengah kemudian Mirna berenang ketepi. Adhit mengikutinya, lalu keduanya duduk dibibir kolam sambil mempermainkan kedua kakinya. Tiba-tiba Mirna menoleh kebelakang dan melihat Anggi bersandar dikursi dengan mata terpejam.

"Tampaknya tante Anggi capai, dia tertidur."

"Biarkan saja, ayuk ganti pakaian dulu lalu mengajaknya masuk. Benar, mungkin dia capek," kata Adhit sambil berdiri, dan menarik tangan Mirna untuk diajaknya ketempat ganti pakaian.

Namun ketika mereka kembali, dilihatnya Anggi masih bersandar dikursi.

"Nyenyak sekali tidurnya, jangan dibangunin mas, angkat saja langsung dan dibawa kekamar," kata Mirna.

Adhit mengangguk. Dengan kedua tangan kekarnya, diangkatnya tubuh Anggi. Anggi tak bergerak, bibirnya pucat, tubuhya dingin.

"Ya Tuhan, dia bukannya tertidur," teriak Adhit yang kemudian setengah berlari membawa Anggi kekamar. 

***

besok lagi ya

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


16 comments:

  1. Kenapa dengan Anggi... jangan-jangan...😢😢

    ReplyDelete
  2. Sepertinya sakitnya anggi tambah parah..

    ReplyDelete
  3. Smg yg terbaik utk Anggi dan Mirna..ditunggu part 89 nya mb Tien..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mba tien part 89 nya mana kok gak ada....langsung part 90

      Delete
  4. Seperti prediksi saya seblmnya. Mirna ada sejak episode 1. Anggi pd episode 60 an sbg tokoh baru. Hidup emang pilihan. Di negeri ini polygami tidak dilarang,, faktanya masih dipertentangkan. Apalagi pengarang nya wanita..heheeee

    ReplyDelete

  5. Menunggu...sambungannya😁meski deg2an

    ReplyDelete
  6. aduuuuuuh. seru mesra juga . begitulah hidup damai rukun berbahagia . istri solehah

    ReplyDelete
  7. Bu Tien,ditunggu episode 89 nya jgn lama2 .. 🙏

    ReplyDelete
  8. Numpang promo ya gan
    kami dari agen judi terpercaya, 100% tanpa robot, dengan bonus rollingan 0.3% dan refferal 10% segera di coba keberuntungan agan bersama dengan kami
    ditunggu ya di dewapk^^^ ;) ;) :*

    ReplyDelete

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 49

  CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  49 (Tien Kumalasari)   Ketika menemui Sinah di rumah sakit, mbok Manis tidak pernah sendiri. Dewi yang tid...