Friday, October 11, 2019

DALAM BENING MATAMU 20

DALAM BENING MATAMU  20

(Tien Kumalasari)

 

Adhitama menemui tamunya dengan penuh tanda tanya.

"Apakah ada seorang karyawan disini bernama Mirna Rianti?"tanya polisi itu setelah Adhitama mempersilahkannya duduk.

"Ya, tapi sa'at ini dia sedang cuti. Mungkin lusa baru dia bekerja kembali. Ada apa ya?"

 "Seseorang menemukan sebuah tas, ada kartu pegawai diperusahaan ini atas nama Mirna Rianti."

"Oh ya, beberapa hari yang lalu tas nya dirampas orang, dan sudah lapor ke polisi bukan?"

"Saya tidak tau, ada panggilan untuk none Mirna untuk dimintai keterangan di kantor polisi."

"Oh, tentang pencopetan itu?"

"Ada sesuatu didalam tas yang ditemukan, sebuah obat, yang kemudian diminum oleh seseorang, lalu orang itu meninggal."

Adhitama terkejut.

"Apa sesuatu itu milik Mirna?"

"Entahlah, sebaiknya saudari Mirna datang kekantor untuk menjelaskan."

"Tapi dia sedang tidak ada. Mungkin keluar kota."

"Boleh tau dimana alamatnya?"

"Saya harus mencarinya di daftar kepegawaian, tapi saya kira bapak tidak bisa menemukan dia dirumahnya, karena dia sedang pergi."

"Ada nomor yang bisa dihubungi?"

"Ada, tapi sejak kemarin tidak aktif. Tapi akan saya berikan."

Adhitama memberikan nomor ponsel itu, Juga alamat rumah Mirna setelah memintanya pada Ayud. Smpai kemudian petugas kepolisian itu pergi,  Adhitama  terus ber tanya-tanya tentang apa yang dikatakan polisi itu. Ditemukan  sesuatu di tas Mirna lalu seseorang meninggal? Apa itu?  Lalu Adhitama mencoba menghubungi lagi nomor Mirna, tetap tidak tersambung karena Mirna mematikan ponselnya sejak dia minta ijin untuk cuti.

***

"Ada apa dengan sekretarismu mas ?" tanya Ayud ketika mereka sedang makan siang bersama.

"Aku juga lagi mikir..."

"Sejak awal aku kurang suka, ternyata ada apa-apanya.. mencurigakan dia itu kan?"

"Lho, katamu dulu karena matanya genit.. sekarang mencurigakan .."

"Awalnya nggak suka nglihat matanya, dan ternyata ada sesuatu tersembunyi dibalik mata itu kan?"

"Apa itu?"

"Entah mas, urusan dengan polisi, sampai ada yang meninggal.. waduh, itu kan kasus berat.."

"Ah, belum tentu Mirna terlibat, kan tas nya dicopet orang,"

"Iya sih..."

"Semoga saja tidak terlibat suatu kejahatan apapun. Kasihan aku melihat anak itu."

"Lho.. dari kasihan lama-lama bisa jadi suka lho mas.."

"Ayuddd...." kata Adhit sambil memelototi adiknya, yang kemudian seperti biasa, hanya memeletkan lidahnya.

Hari itu Adhitama dan Ayud pulang agak siang karena ibnya akan kembali ke Jakarta. 

Sebelum boarding ibunya sempat berpesan kembali pada Adhit, yang membuat Adhit sedih.

"Adhit, selalu ingat pesan ibu ya, jangan lanjutkan, jangan membuat ibu sama bapak sedih," bisik Putri ditelinga Adhit ketika ia memeluknya erat-erat.

"Ibu...," keluh Adhit.

"Ingat baik-baik, kalau kamu memang sayang sama bapak dan ibu."

Lalu Putri berlalu, membiarkan Adhit termenung tak mengerti.

"Ada apa mas ?" tanya Ayud ketika melihat seperti ada pesan khusus dari ibunya untuk Adhit.

"Nggak ada apa-apa, biasa lah pesan seorang ibu," jawab Adhit sambil melangkah keluar diikuti adiknya.

"O, ibu minta mas Adhit segera cari isteri, barangkali?"

"Semacam itu lah.."

"Mau aku carikan? Teman kuliah Ayud itu cantik-cantik.. dan..."

"Nggak.. nggak... nggak.. "

"Lho.. kalau nggak bisa cari sendiri ya harus dicarikan donk."

"Sudah, jangan cerewet, urus saja diri kamu. Aku ini laki2, jadi perjaka tua juga nggak memalukan, tapi kamu perempuan, sudah sa'atnya punya suami. Jadi pikirkan saja itu."

"Yaaa... mas Adhit kok jadi balik menyerang aku sih.."

"Karena kamu sudah mendapatkan yang pas, menurut aku."

"Raka lagi kan?"

"Dia itu baik, dan percayalah bahwa dia itu suka sama kamu."

"Kan aku sudah bilang ber kali-kali bahwa aku lebh tua?"

"Apa salahnya lebih tua kamu daripada dia. Kamu itu lebih tua tapi cara berfikir kamu kadang masih seperti anak-anak, sedangkan Raka lebih muda tapi dia bersikap lebih dewasa."

"Hm... "

"Kok..hmm..?"

"Sudah ayo kita pulang dulu, malah ngomongin jodoh disini."

***

Mirna terpaku ditempat duduknya, segala yang ingin diketahuinya, dibuka lebar-lebar oleh pak Haris, tak ada satupun yang ditutupinya. Sesekali Mirna mengusap air matanya yang menitik turun. 

"Itulah semuanya tentang Widi, aku telah mengatakan semuanya karena kamu harus mengetahuinya kalau memang kamu itu anaknya atau anak angkatnya. Bukankah ibumu tak mau mengatakannya terus terang? Katakan nanti pada ibumu, bahwa ia harus menghentikan rasa dendam atau tidak sukanya pada aku, pada Galang atau siapapun juga yang dibencinya, dan minta agar dia memohon ampun kepada Tuhan atas semua dosa-dosanya."

Mirna meng angguk-angguk. Ia merasa benci pada ibunya, ia merasa bahwa ibunya telah membohonginya, menganggapnya anaknya tapi tak perduli pada keselamatannya. Ia sudah merasakannya.  Ia sudah mantap akan apa yang harus dilakukannya. Ia harus menentang keinginan ibunya. Bahkan ia harus memaksa ibunya untuk mengatakan, siapa sebenarnya orang tuanya.

"Kamu jangan sedih Mirna, kamu harus jadi penyelamat bagi ibumu. Itu perbuatan mulia." kata pak Haris yang merasa iba ketika melihat wajah Mirna pucat dan tampak tersiksa."

"Ya pak, terimakasih banyak, saya mohon diri," kata Mirna sambil bersiap untuk pergi.

"Tunggu, kamu mau pulang ke Solo sekarang? Ini sudah terlalu sore, besok hari libur dan kamu akan susah mendapatkan tiket pesawat. Jadi kamu harus menginap disini dan besok pagi baru bisa pulang."

Mirna ragu-ragu. Menginap disini? 

"Tt..tappi..."

"Sebentar..." kata pak Haris sambil memencet interkom yang ada dihadapannya.

"Galang, kemari sebentar," perintah pak Haris.

Mirna berdebar, mengapa pak Haris memanggil Galang? Mirna menundukkan muka sambil mempermainkan jemarinya, sampai ketika Galang sudah masuk dan berdiri didepan pak Haris.

"Galang, aku minta tolong sama kamu."

"Ya pak."

"Gadis ini, akan pulang ke Solo, tapi sudah nggak mungkin sekarang mendapatkan tiketnya. Jadi, aku minta, biarlah semalam ini ia menginap dirumahmu. Kamu tidak keberatan?"

Galang ingin betanya tentang Mirna, tapi pak Harus lebih dulu mengatakannya.

"Nanti kamu boleh bertanya siapa dia sebenarnya, tapi jangan khawatir, dia akan bersikap baik. Kamu akan mengerti semuanya."

Galang mengangguk, dan mengatakan bersedia walau belum mengerti apa dan siapa sebenarnya gadis itu.

"Baiklah, tapi sepulang kantor saya harus menjemput isteri saya pak, jadi gadis ini akan saya bawa juga ke airport sebelum pulang."

"Oh iya aku lupa, kamu pernah bilang bahwa isterimu ada di Solo karena kangen sama ibu dan anak-anakmu. Jadi dia pulang sore ini? Baguslah. Nggak apa-apa kan Mirna, menjamput isteri pak Galang dulu? "

Mirna hanya mengangguk, tak mampu mengucapkan sepatah katapun.

"Dan tolong uruskan tiketnya untuk dia pulang besok pagi."

***

"Eyang, tante Putri sudah pulang hari ini?" tanya Dinda ketika kembali dari rumah neneknya dan tak menemukan Putri dirumah itu.

"Iya Din, kan sebelum kamu berangkat kerumah simbah, tante Putri sudah pamit sama Dinda."

"Iya sih.. Mas Adhit sama mbak Ayud mengantar ya?"

"Iya, mungkin sebentar lagi mereka pulang."

"Dinda sebenarnya pengin ikut nganter sih, tapi tadi pergi sama simbah sampai sore."

"Nggak apa-apa, sudah bagus simbah sekarang sering ada yang nganter-nganter kalau mau ke mana-mana kan?"

"Oh ya Dinda, besok kalau kamu sudah kuliah, kalau tinggal disini apa nggak ke jauhan?"

"Maksud eyang?"

"Eyang tuh mikir, kalau kampusnya jauh, kamu bisa capek dong, apa nggak lebih baik cari kost saja ditempat yang lebih dekat kampus?"

"Iya sih eyang, tapi coba nanti Dinda pikirkan lagi. Soalnya kan mbak Ayud penginnya Dinda disini terus."

"Dinda itu seperti anak kecil, dia tidak memikirkan orang lain yang nantinya pasti capek.. atau bagaimana. Kan dia tidak bisa mengantarkan kamu kalau harus kuliah tiap hari? Eyang hanya kasihan saja."

Dinda mengangguk. Tapi dalam hati Dinda merasa bahwa bu Broto lebih suka kalau Dinda tidak tinggal dirumah itu. Apakah aku menyusahkan? Jadi nggak enak benarkah kasihan kalau aku kecapean, atau memang ingin aku pergi dari sini? Pikir Dinda yang kemudian langsung masuk kedalam kamarnya.

***

"Kemana anak setan itu pergi? Mengapa membohongi aku?"gerutu Widi sambil berjalan dari rumah majikannya sore itu, ketika keluar dari angkot dan memasuki gang kecil kearah rumahnya.

Widi sangat kesal juga karena ber kali-kali menghubungi ponsel Mirna tapi tak pernah bisa nyambung.

"Dasar anak setan !! Bagaimana mungkin kamu bisa membohongi orang yang sudah mengasuhmu dan menjadikanmu orang hahh?" mengomel panjang pendek Widi, tak perduli orang yang berpapasan dengannya kemudian memandangnya dengan aneh. 

"Tapi Adhitama bilang kamu ijin tiga hari, berarti besok lusa sudah harus berada dirumah, awas kamu ya, bisa aku hajar habis-habisan kalau ternyata kamu menyusahkan aku," omel Widi sambil membuka pagar drumahnya.

Ia terus melangkah, dan dengan kasar membuka pintu rumah yang lengang. Ia kemudian menutupnya lagi, dengan suara keras. Lalu meletakkan beanjaan yang tadi sempat dibelinya sebelum menaiki angkot menuju kampungnya.

Dituangnya  air putih disebuah gelas, lalu dilemparkannya cadar yang semula dipakainya begitu saja. Ia duduk dikursi dan menenggak habis minuman itu.

Ia kemudian berdiri untuk mandi ketika didengarnya sebuah ketukan.

"Hahhh... siapa itu? Apa Mirna telah pulang? 

Widi mengambil kembali cadarnya dan mengenakannya, kemudian berjalan kearah pintu. Widi tertegun dipintu, ketika melihat seorang polisi berdiri dihadapannya. Berdebar debar ketika polisi itu memandannya curiga. Widi merasa ada bahaya mengancam. Entah mengapa ia ingin melarikan diri dari sana. Ia mundur beberapa langkah dan menutupkan kembali pintunya lalu menguncinya.

***

besok lagi ya

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


1 comment: