DALAM BENING MATAMU 19
DALAM BENING MATAMU 19
(Tien Kumalasari)
"Ke om Haris pak?" tanya Retno tertegun. Pasti berat bagi seorang gadis kalau harus kesana kemari, mana jauh lagi.
"Hanya beliau yang nanti bisa memberikan keterangan yang dibutuhkan Mirna," kata Raharjo mantap.
"Kasihan ya.."
"Herannya aku, mbak Widi tak pernah berhenti menggangu mas Galang."
"Sementara wajahnya sudah cacat lho mas, kalau menurut Mirna, mbak Widi sudah bukan lagi perempuan cantik yang memikat. Wajahnya rusak, pasti mengerikan."
"Lalu Mirna itu anak siapa?"
"Ya nggak tau mas, mbak Widi mengakuinya sebagai anaknya, sementara Mirna sendiri merasa jadi anaknya karena sejak dia kecil mbak Widi yang mengasuhnya. Mungkin anak bawaan suaminya, atau entahlah. Mungkin Mirna sendiri juga sedang menanggung beban yang lebih berat karena pasti ingin tau siapa sebenarnya orang tuanya."
"Kasihan...."
"Iya pak..
"Apa besok aku antar saja dia ke Jakarta? Tapi di kantor lagi banyak urusan tuh.. kalau dia mau menunggu satu dua hari ya nggak apa-apa."
"Bapak bilang saja nanti sama dia."
Namun ketika Raharjo menawarkan untuk mengantar, Mirna menolaknya. Mungkin merasa tidak enak karena merepotkan.
"Terimakasih pak, tapi nggak apa-apa, saya mohon alamatnya pak Haris saja, nanti saya akan mencarinya sendiri.
"Kasihan kamu nak.. mencari alamat di Jakarta kan tidak mudah... kenapa nggak mau menunggu sampai suamiku bisa mengantar saja."
"Jangan tante, pasti nanti ada jalan, apalagi saya cuma minta ijin 3 hari dari kantor.. terimakasih sudah sangat dibantu. Semoga setelah ini Mirna bisa memilih jalan mana yang terbaik buat ibu."
"Benar nak, kalau bisa hentikan keinginan yang tidak pada tempatnya itu, karena kalau terjadi malapetaka lagi, ibumu atau kamu juga akan terkena getahnya."
"Saya mengerti tante.."
"Baiklah, saya tuliskan alamat perusahaan pak Haris, kamu bisa menemuinya di kantornya kalau sampai disana siang. Nanti akan aku pesankan pesawat terpagi."
"Terimakasih banyak pak, saya bukan siapa-siapa, tapi telah merepotkan keluarga ini," kata Mirna lirih, diikuti perasaan yang teramat pedih. Hidupnya seperti sebuah teka teki, dan ia seakan sedang melayang di awang sana, tanpa pegangan.
"Aku harus kuat, dan bisa mengurai semua ini," bisiknya pilu. Sementra Raharjo dan Retno menatapnya dengan rasa iba. Berpuluh tahun silam, sebuah kejadian pahit bagi Widi, tidak membuatnya menemukan jalan terang, justru sebaliknya membawa bawa orang lain terlibat dalam dendamnya.
***
Siang itu Galang baru saja keluar dari ruangan pak Haris untuk membicarakan sesuatu yang penting. Sebelum masuk keruangannya sendiri, ia berpapasan dengan seorang gadis, yang ia belum pernah melihatnya. Gadis itu menganggukkan kepalanya yang dibalas dengan anggukan kepala juga oleh Galang. Gadis itu berhenti seakan ingin mengatakan sesuatu.
"Pak..." sapanya
"Ya mbak...mbak mencari siapa?"
"Saya mau ketemu bapak Haris, oleh satpam disuruh menunggu disitu," kata gadis itu yang adalah Mirna, sambil menunjuk kearah serangkaian kursi tamu didekat mereka.
"Oh, baiklah, silahkan menunggu dulu, rupanya mereka sedang melaporkan kedatangan mbak pada pak Haris. Sudah janjian ?"
"Belum.."
"Oh, mbak dari mana ?"
"Solo pak tapi saya baru saja dari Medan..."
"Oh, Medan ? Anak buahnya pak Raharjo?"
"Bukan pak, saya bukan pegawai di perusahaan yang di Medan, saya dari Solo."
"Oh.. baiklah, kalau begitu silahkan menunggu. Kalau pak Haris siap menerima pasti mbak akan diberi tau."
"Baik pak, terimakasih."
Mirna duduk, sementara Galang melangkah menuju ke ruangannya.. Tapi tiba-tiba sebuah panggilan mengejutkan Mirna.
"Pak Galang, ada telehone untuk pak Galang, apakah akan diterima?"
"Oh ya.. baiklah," jawab Galang sambil bergegas masuk keruangannya, sementara Mirna terpana.
"Dia bernama Galang? Ayahnya Adhitama? Begitu tampan dan baik. Laki-laki itulah yang dibenci ibunya, dan akan dihancurkannya hidupnya. pikir Mirna dengan perasaan tak menentu. Ia merasa seakan tenggelam dalam suasana yang sangat menyakitkan. Melihat musuh ibunya, dan sebentar lagi akan mendengar sebuah cerita perihal hubungan ibunya dengan laki-laki ganteng itu. Mirna mengambil selembar tissue dari dalam tas nya dan mengusap setitik air mata yang tak bisa ditahannya.
"mBak, ditunggu pak Haris diruangannya," kata satpam yang tadi menerimanya.
"Oh, terimakasih, disana ruangannya?"
"Itu, diujung, dekat kolam."
Mirna nerdiri, mengangguk dan melangkah kearah yang ditunjuk satpam itu. Hatinya berdebar. Ia berhenti didepan kolam, mengamati sekeliling. Mengamati ikan-ikan yang berenang dengan riang di kolam itu. Diam-diam dia berfikir, alangkah nikmatnya menjadi ikan, berenang kesana kemari tanpa beban..Mirna menghela nafas, lalu melanjutkan langkahnya. Disebuah pintu ia membaca sebuah tulisan. Ir. Haris Aksa..
Dengan gemetar dia mengetuk pintu, lalu sebuah suara berat didengarnya samar.
"Masuk."
Mirna membuka pintu, dan melihat seorang laki-laki tua yang masih tampak perlente, duduk disebuah kursi, didepan meja yang lumayan besar.Laki-laki berkaca mata itu memandangi Mirna tajam, seperti meng ingat-ingat, apakah pernah bertemu tamunya.
"Selamat siang," sapa Mirna sambil membungkuk.
"Siang, anda mau ketemu saya?"
"Bapak Haris..."
"Oh, silahkan duduk," kata pak Haris sambil tersenyum.
"Terimakasih, bapak," jawab Mirna sambil duduk.
"Ya, saya Haris. Anda siapa?"
"Nama saya MIrna, saya dari Solo pak."
"Solo? Pak Haris mengangkat alisnya tinggi-tinggi."
"Saudaranya Galang? Putri? Raharjo? Retno?"
Mirna menggeleng.
"Pernah mengenal nama saya dari mana?"
"Pak Raharjo dari Medan yang menyarankan saya datang kemari."
"Oo.. tapi anda bukan saudaranya?"
"Buk...bukan," kata Mirna karena teringat bahwa dia bukan benar-benar anaknya Widi, jadi bukan kerabat Raharjo ataupun Retno, apalagi pak Haris, laki-laki tua yang ada dihadapannya ini, yang semestinya dipanggilnya kakek.
"Ada yang bisa saya bantu?"
Mirna menata duduknya agar lebih nyaman. Gemetar bibirnya ketika ingin memulai sebuah percakapan tentang ibunya atau ibu angkatnya, entahlah.
"Saya.. anaknya..mm.. ibu Widi..."
Pak Haris mengangkat wajahnya. Nama itu tentu saja dikenalnya, sangat dikenalnya karena masih terhitung keponakannya.
"Kamu anaknya Widi? Widiati... Semarang? Mana mungkin Widi punya anak, dia sudah tidak punya rahim lagi puluhan tahun lalu."
"Ya, saya baru tau itu dari tante Retno."
"Jadi kamu sudah ketemu Retno, dan juga Raharjo?"
Mirna mengangguk. Ia menatap wajah laki-laki tua dihadapannya, berwibawa tapi tampak bersahaja. Dia juga menerimanya tanpa ada keangkuhan seorang pemilik perusahaan besar. Ia merasa menjadi tamunya yang dihargai seperti tamu-tamu lainnya.
"Mereka menyarankan saya untuk ketemu bapak."
"Oh.. ada apa sebenarnya?"
Lalu dengan berlinangan air mata Mirna menceritakan semuanya, semua yang ibunya pernah katakan, semua keinginan ibunya untuk membalas dendam, tapi kemudian ia ingin tau asal muasal tumbuhnya dendam itu. Mirna barun saja tau bahwa dia bukan anak Widi ketika bertemu Retno.
Pak Har8s meng angguk-angguk.
"Widi itu memalukan, buruk, busuk, nista, itulah sebabnya aku mengusirnya dari perusahaan ini."
Mirna terhenyak di kursinya. Mulai me raba-raba apa yang akan dikatakan lelaki tua yang berwibawa ini.
***
Siang itu telephone di ruang kantor Adhitama berdering. Adhit mengangkatnya, dn mendengar suara serak yang penah dikenalnya.
"Hallo selamat siang, ini ibunya Mirna?"
"Siang, bagus kalau anda mengenal suara saya."
"Ada perlu apa bu? Apa Mirna sakit lagi?"
"Bagaimana anda ini, saya justru mau bertanya, kemana anda suruh Mirna bertugas..." suara Widi sedikit kesal. Tapi Adhitama heran, karena tidak merasa menugaskan Mirna kemanapun.
"Ibu, Mirna minta ijin selama 3 hari sejak kemarin, Katanya ada urusan keluarga, bukan karena mendapat tugas dari kantor."
"Apa? Jadi anak itu berbohong sama aku?" kata Widi dengan nada marah. Adhit merinding mendengar kata-kata setengah berteriak dan itu terdengar seram.
"Ma'af bu...." Adhitama masih ingin bicara, tapi Widi sudah menutup telephone nya.
"Ada apa ini," keluh Adhit.. Ia seperti menemukan sebuah misteri pada kehidupan sekretarisnya. Mengapa ia berbohong pada ibunya dan mengatakan mendapat tugas dari perusahaan? Pergi kemana dia?
Baru saja Adhit meletakkan gagang telephone itu, CS yang diluar mengatakan bahwa ada tamu polisi ingin mencari Mirna.
"Polisi ?" Adhitama terkejut.
***
besok lagi ya
No comments:
Post a Comment