Wednesday, September 11, 2019

SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA 57

SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA  57

(Tien Kumalasari)

Galang terdiam, pandangan mertuanya tajam kearahnya, menusuk jantungnya, ada nyeri dan pasti sakit dipandangi seperti itu. Dia adalah suami Putri, tapi ia kurang suka orang lain mengaturnya, walau itu ayahnya sendiri. Galang tak tau, ketika Putri menari, datanglah tragedi itu. Tragedi yang memporakpandakan harga dirinya, menorehkan aib yang tak terlupakan oleh keluarga Subroto.

"Sebetulnya untuk acara apa tarian itu Galang?"tanya bu Broto

"Untuk acara ulang tahun perusahaan bude, pak Haris pimpinan saya ingin agar diacara itu ada acara tari Jawa, yang ditarikan oleh karyawan dan keluarganya. Kebetulan kan Putri pinter menari, dia nanti akan menari bersama Raharjo, teman saya." jawab Galang datar.

"Raharjo siapa teman kamu itu?" tanya pak Broto.

Galang ingin menjawab, tapi Putri menatapnya dengan pandangan melarang. Galang mengangguk pelan.

"Ya teman sekantor, kebetulan juga pintar menari."

"Apa perusahaan kamu itu peruhahaan miskin sehingga tak kuat membayar penari dari luar dengan membayarnya?" kata pak Broto menyengat.

"Bukan pakde, hanya merasa bangga anak buahnya ada yang bisa menari Jawa."

"Ya jangan bilang miskin gitu ta pak, kalau miskin masa memberi rumah dinas kepada karyawannya sebagus ini. Bapak itu kalau bicara mbok ya jangan suka menyakiti orang lain. Nanti kalau yang namanya pak Haris itu mendengar kan ya tersinggung, omel bu Broto."

"Orangnya juga nggak ada," gerutu pak Broto sambil kebali menatap ponselnya.

"Kan ada karyawannya," masih kesal nada suara bu Broto, tapi suaminya tak perduli. Keduanya sudah terbiasa berdebat seperti itu. Yang satu suka merendahkan orang, satunya selalu mengomel mengingatkan, tapi tak pernah ada jera-jeranya. Putri juga terdiam, sepertinya hal seperti itu sudah sering didengarnya. 

Putri berdiri ketika tiba-tiba mendengar rengek Adhit.. vergegas pula Galang mengikuti langkah isterinya, memasuki kamar. Dilihatnya Adhit sudah tengkurap, kepalanya diangkat angkat sambil menangis keras.

"O sayang, kamu sudah bangun? Heran ya ini dimana, kok beda kamarnya?" kata Putri sambil mengangkat anaknya.

"Ini rumah baru Adhit, bagus nggak? O.. pengin nenen ya, kok kepalanya nyusup-nyusup didada ibu begitu," kata Galang sambil mencium anaknya.

"Iya mas, sudah waktunya minum," kata Putri sambil duduk ditepi pembaringan dan siap meneteki anaknya. 

  "Hm.. rakus bener, haus ya le?" kata Galang sambil menowel pipi anaknya.

"Mas, apakah disini ada yang jual srabi seperti di Solo?" tanya Putri sambil membenarkan letak duduknya karena merasa kurang nyaman.

"Apa ? Srabi? Maksudmu srabi Notosuman?" tanya Galang yang mau keluar dari kamar.

"Iya, aku waktu di Solo makan setiap hari, enak lho mas."

"Kamu pengin?"

"Iya mas, kalau disinin ada aku mau, tapi yang seperti di Notosuman itu lho,"

"Kayaknya ada, didaerah Jakarta Selatan, nanti aku tanyakan. Pengin sekali ya?"

"Ho oh mas."

"Kamu ngidam?"

"Ah, mas Galang nih, kayak simbok aja, Orang pengin dikira ngidam."

"Ya kalau ngidam kan aku senang, Adhit bakal dapat adik kan?"

"Hmh, nggak tau aku, sudah sana dulu, nanti Adhit minumnya sambil melirik ke bapaknya terus nih."

Galang tertawa lalu keluar kamar. Tapi ia enggan menemui mertuanya yang masih duduk diruang depan. Galang ke belakang melihat simbok memasak.

"Udah mateng mbok?"

"Hampir pak, sebentar lagi nih, nanti kalau sudah siap simbok bilang kedepan deh."

"Iya, hm.. baunya itu lho mbok, aku jadi lapar. Ini masak apa ta mbok?

"Ini kakap masak bumbu kuning, ada sup kesukaan jeng Putri, ayam goreng.. "

"Waaah... cepetan mbok, perutku lapar nih," kata Galang sambil mengelus perutnya.

***

 Malam itu dikamarnya, Galang mencoba berbicara dengan isterinya tentang keinginan pak Haris yang bertubi-tubi dikatakannya padanya. Galang merasa terbebani. Barangkali lebih mudah berbicara dengan isterinya tentang hal itu, Galang ingin mencobanya, tapi ketika diingatnya bahwa pak Broto ikutan melarang, perasaan Galang jadi nggak enak.

"Putri," panggil Galang lembut sa'at terbaring disisi isterinya.

Putri memejamkan matanya, pura-pura tidur. Ia tau suaminya akan membicarakan apa.

"Sayang, baru saja  berbaring kok sudah tidur, bohong nih, ayo.. buka mata dulu.."

"Mas ahh, aku ngantuk nih."

"Ini masalah pak Haris," lanjut Galang. Putri membalikkan tubuhnya membelakangi suaminya. Galang tak terima, ia tau Putri pura-pura tidur.

Galang melompati tubuh isterinya dan berbaring menghadapi wajah isterinya. Putri tetap memejamkan matanya. Ia tak akan sanggup melakukannya, sungguh. Ia takut nanti suaminya ngambeg lagi walau sekarang membujuk-bujuknya.

"Putri," Galang menggelitik kupingnya, Putri menggeliat.

"Ini tanggung jawab mas Galang, nggak enak rasanya kalau tarian itu nggak terlaksana. Tapi kalau memang Putri benar-benar keberatan, mas Galang tak akan memaksa."

Putri membuka matanya, berkedip-kedip memandangi wajah suaminya yang tampak putus asa. Mungkin berat baginya memilih satu diatara dua, mengikhlaskan isterinya menari bersama bekas pacarnya untuk memenuhi permintaan pak Haris, atau menolak permintaan pak Haris dengan alasan yang belum diketemukannya.

Galang tidur tertelentang, menumpukan kepalanya pada kedua belah tangannya. Matanya menerawang keatas langit-langit yang berwarna putih bersih. Ada bayangan-bayangan sepasang manusia menari, cantik dan tampan, lalu tepuk tangan bergema diseluruh sudut ruangan, dan pak Haris menyalami kedua karyawannya dengan hangat. Ah, sudahlah, Galang memilih mencari alasan untuk menolaknya. Tapi apa? Dilarang oleh ayahnya? Ah, kayaknya aneh kalau alasan itu yang dikemukakan. Bukankah ketika menjadi seorang isteri yang berhak melarang atau mengijinkan adalah suami?

"Mas," bisik Putri

"Sudahlah, ayo tidur, besok kita bicara lagi."

***

 Siang itu Galang termenung dikantornya. Banyak hal yang harus dipikirkannya. Tadi rapat sebentar dengan staf yang akan menjadi panitia, diantaranya menyusun acara, menentukan menu dan tentang hiburan yang belum diputuskannya.

Suara ketukan dipintu menyadarkannya. Raharjo tiba-tiba masuk lalu duduk dihadapan Galang.

"Mas, kalau yang menari aku sendiri saja bagaimana?" kata Raharjo setelah duduk.

"Kamu sendiri?"

"Ya, kemarin ketika pak Haris menelpon sebelum pergi, aku juga sudah mengatakan kemungkinan untuk menari sendiri, tapi kayaknya pak Haris kurang suka."

"Benar, tapi aku belum berbicara lagi dengan isteriku. Kedua mertuaku masih disini, baru lusa kembali ke Solo."

"Mas Galang nggak usah memaksakan kehendak kalau memang dia keberatan. Nanti kita cari alasan yang tepat untuk menolaknya."

"Aku bingung Jo, sebenarnya aku tak ingin mengecewakan pak Haris. Kita orang baru disini, hal yang sesungguhnya bisa kita lakukan saja mengapa kita menolaknya ya Jo."

"Aku tidak ingin bu Galang melakukan dengan terpaksa."

Raharjo tetap menyebutnya bu Galang, untuk menghilangkan kesan lain dari Galang terhadap dirinya.

"Aku juga, tapi nanti kalau kedua mertuaku sudah pulang saja aku bicara lagi, karena sepertinya mereka terutama bapak mertuaku tidak suka kalau puterinya menari."

Raharjo menghela nafas. Pasti pak Broto masih trauma ketika Putri memaksa menari dengan dirinya yang kemudian menyebabkan Putri sakit, entak sakit apa sampai sekarangpun Raharjo tak tau.

"Ya sudah mas, besok kita bicarakan lagi. Aku sama Retno mau melihat rumah yang sedang digarap pak Tarman, mungkin sudah selesai hari ini."

"Wah, bagus Jo, dan segera melamar calon isteri kamu."

"Do'akan tidak ditolak orang tuanya ya mas," kata Raharjo sambil berdiri untuk pergi.

"Iyalah, kamu itu Jo." Galang tertawa senang.

***

Hari itu pak Broto dan bu Broto sudah kembali ke Solo, karena pak Broto tak bisa meninggalkan usahanya terlalu lama. Sebelum pergi pak Broto sempat bertanya kepada Putri :" Apakah kamu mau kalau disuruh menari di kantor suamimu?"

"Belum tau pak,acara  itu tanggung jawabnya mas Galang, nanti biar mas Galang yang mengaturnya." 

"Kamu itu lho, kalau disuruh mau atau tidak?"

"Putri terserah mas Galang nanti bagaimana."

"Ya sudah biar saja ta pak, mereka itu sudah berumah tangga sendiri, pasti sudah tau mana yang terbaik bagi mereka, kita tidak usah mengaturnya," sergah bu Broto menengahi.

"Ya sudah kalau begitu. Mana cucuku, aku mau menggendong sekali lagi," kata pak Broto sambil mengacungkan tangannya kearah Adhit yang digendong Putri.

"Kamu cepat besar ya, lalu sekolah yang pintar. Nanti kalau eyang sudah tidak kuat lagi, kamulah penerus perusahaan eyang, ya?" kata pak Broto sambil mencium cucunya berkali-kali.

Galang menyipkan mobilnya untuk mengantar mertuanya ke bandara. 

"Putri mau ikut?" 

"Ya, aku mau ikut, sama Adhit ya, nanti pulangnya mampir beli srabi ?"

"Aduuh, srabi lagi, tempatnya belum jelas, nanti coba pesen on line kalau bisa," kata Galang.

"Simbok senndiri dirumah nggak apa-apa ya?"

"Ya pak, nggak apa-apa. Pintunya dikunci saja, jangan menerima sembarang tamu ya mbok, kalau nggak kenal nggak usah dibukain," pesan Galang wanti-wanti.

"Baik pak."

***

Namun diperjalanan pulang itu Putri memaksa suaminya mencari penjual srabi. Galang terpaksa mencari cari dengan membuka ponselnya. Tapi sebelum tempat itu diketemukan, tiba-tiba ponsel itu berdering.

"Dari simbok mas," kata Putri.

"Hallo mbok... ada apa?"

"Aduh jeng, diluar ada orang, tinggi besar jeng, simbok nggak berani buka pintunya, takut," keluh simbok ketakutan.

"Siapa dia?"

"Nggak tau jeng, simbok nggak berani nanya, sekarang dia duduk dikebun, dibawah pohon mangga, cepat pulang jeng," kata simbok hampir menangis.

"Mas, ayo kita pulang, simbok ketakutan, ada orang tinggi besar menunggu dibawah pohon mangga, nggak mau pergi."

***

besok lagi ya

 

 

 

 

 

 

 

 

No comments:

Post a Comment

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 49

  CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  49 (Tien Kumalasari)   Ketika menemui Sinah di rumah sakit, mbok Manis tidak pernah sendiri. Dewi yang tid...