Sunday, January 13, 2019

SEPENGGAL KISAH 129

SEPENGGAL KISAH  129

(Tien Kumalasari)

 

Asri memandangi  perempuan itu dengan seksama. Mendengar nama Dewi membuat hatinya kebat kebit tidak menentu. Perempuan itu berdandan sederhana, pada pelipis kirinya tampak luka bekas jahitan. Wajahnya seperti tidak terawat, walau ada bekas kecantikan tersisa disana. Tapi perempuan ini jauh dari bayangan Asri tentang Dewi yang pernah dikenalnya, dan hampir meluluh lantakkan keluarganya. Dewi sangat sexy, berdandan ala gadis2 remaja, dan berbicara dengan gaya sangat genit terhadap siapa saja.

"Asri... kamu benar2 tidak mengenali aku? "tanya Dewi ketika melihat Asri tamak bingung.

"Aku ini Dewi,  Asri, kalau kamu tidak mengenali wajahku, pasti kamu tidak melupakan suaraku bukan?"

Asri memang mengenali suaranya. Itu suara Dewi, Tapi apa yang terjadi sehingga Dewi berpenampilan seperti itu? 

"mBak Dewi?" akhirnya Asri mampu mengeluarkan suaranya.

"Asri, aku ini orang yang sangat berdosa, terlebih kepadamu dan  mas Bowo. Maukan kamu mema'afkan aku ?"

Asri mengangguk 

"Lupakanlah mbak, tapi.. mbak Dewi sungguh berbeda.. ma'af aku tidak mengenalinya."

"Asri.. panjang ceriteranya... aku juga ingin mengatakan sesuatu padamu."

"Ibuuu... tiba2 terdengar Pandu berteriak, dan mendekat.

"Oh.. Pandu, ayo beri salam pada ibu Dewi.."

Pandu menyalami Dewi dan mencium tangannya. Sebuah kebiasaan yang diajarkan kedua orang tuanya apabila menyalami orang yang lebih tua. Tak lama kemudian Bowo mendekat, memandangi dengan heran wanita yang berdiri dihadapan isterinya.

"Mas Bowo, aku Dewi.."

"Ini mbak Dewi mas.."

"Oh," Bowo menerima salam Dewi kemudian menarik tangan Asri agar menjauh.

"Mas, mbakDewi sudah minta ma'af. Dia ingin omong2 dengan Asri mas. Tapi Pandu nggak boleh mendengarnya. Bisik Asri lirih supaya Dewi tidak mendengarnya. Jadi tolong ajak Pandu makan atau apa, nanti aku menyusul."

Bowo mengangguk:" Tapi hati2, telephone aku kalau ada apa2." Asri mengngguk, tampaknya Bowo masih merasa khawatir kalau Dewi melakukan kejahatan lagi. Lalu keranjang belanjaan Asri dimintanya lalu dibawanya ke kasir. Asri menarik tangan Dewi kesebuah cafe yang ada didekat situ.

"Mbak Dewi mau ngomong apa?" tanya Asri setelah memesan minuman untuk mereka berdua.

"Aku merasa sangat berdosa.." desah Dewi mengulangi kata2nya.

"Sudah, aku jga sudah melupakannya. Tapi aku heran melihat penampilan mbak Dewi sekarang ini, apa yang terjadi mbak?"

"Aku mengejar harta dan kemewahan, bersedia menjadi isteri simpanan Robert. Apa yang aku minta diberikan, rumah, mobil, uang, pakaian.. dan aku hidup penuh kesenangan walau suamiku jarang pulang."

Asri mengangguk angguk, ia menyodorkan minuman yang diantarkan pelayan kehadapan Dewi, dan meneguknya seteguk untuk dirinya sendiri.

"Silahkan diminum dulu mbak."

Dewi meneguk minumannya.

"Lalu dihotel itu, aku melihat mas Bowo, yang tadinya ketemu dirumah sakit karena luka2 diwajahnya. Oh ya, aku menemukan ponsel mas Bowo yang tertinggal dirumah makan. Dan ponsel itu aku pergunakan untuk mengganggu kamu."

Asri sudah tau karena Bowo sudah menceriterakan perihal ponsel itu.

"Aku kesal ketika melihatmu hidup bahagia bersama mas Bowo, aku benci kamu Asri, dan aku mendapat kesempatan untuk membalasmu  ketika melihatmu duduk berdua dengan seorang laki2. Aku memotretmu diam2 dan menyerahkannya pada ibu mertuamu."

Asri juga sudah tau karena ia merasakan sakitnya akibat potret itu.

"Dari rumah sakit itu aku mengikuti mas Bowo, yang ternyata tidak langsung pulang kerumah tapi menginap dihotel. Diam2 aku memasuki kamarnya yang ketika itu ternyata kosong, tampaknya mas Bowo sedang keluar. Aku menunggu disana dan tiba2 suamiku datang dan menghajarku karena marah melihat aku berada dikamar seorang laki2. Aku hampir mati karena kehabisan darah "

Berlinang air mata Dewi katika menceriterakan itu semua. 

"Aku bersyukur karena aku selamat setelah hampir kehabisan darah. Robert yang marah telah mengambil semua yang pernah diberikannya padaku , rumah, mobil, semua uang yang perhiasan.. pokoknya semua diambilnya kembali. Tak lama kemudian dia ditangkap polisi karena aku yang melaporkannya. Luka dipelipisku ini juga karena dia."

Asri mengangguk mengerti. Jadi Dewi berpenampilan biasa karena sudah tak punya apa2.

"Aku miskin Asri, aku kemudian kembali bekerja dirumah makan teman, tapi aku tidak bisa bermewah mewah karena aku juga harus merawat ibu yang menderita strook."

"Ya mbak, aku pernah kerumah dan bertemu bu Harlan. Kasihan dia sendirian, tapi waktu itu masih bisa berjalan walau dibantu sebatang tongkat."

"Aku juga berdosa sama ibu karena meninggalkannya sendiria. Mendengar aku dirawat dan luka parah, ibu shock dan penyakitnya bertambah parah. Sekarang kalau kemana mana ibu harus duduk dikursi roda."

"Aku ikut prihatin mbak.. kapan2 aku ingin menengok ibu."

"Terimakasih Asri, kamu sungguh baik. Aku benar2 berdosa telah membuatmu hampir kehilangan keluargamu."

"Sudah, jangan bicarakan soal itu lagi. Oh ya, ini sudah siang, kapan2 kita ngobrol lagi ya, aku harus menemui Pandu dan mas Bowo."

"Baiklah Asri. Terimakasih ya.."

Asri berdiri, tapi sebelum melangkah jauh, Dewi memanggilnya.

"Oh ya Asri, ada yang ingin aku katakan padamu, aku melihat pak Damar dirumah sakit."

Asri berhenti melangkah, dan berbalik menghampiri Dewi.

"Dia opname dirumah sakit, tampak tua dan pucat."

"Rumah sakit jiwa?"

"Bukan? Mengapa kamu mengira dia ada dirumah sakit jiwa?"

"Oh, ma'af, aku salah bicara.

"Dirumah sakit pusat.Aku bertemu sebentar, ketika sedang mengantarkan ibu kontrol kesehatan dirumah sakit itu. Tapi tentu saja dia tidak mengenali aku."

Sampai ketika dalam perjalanan pulang bersama Pandu dan Bowo, Asri masih teringat kata2 Dewi bahwa Damar ada dirumah sakit, tampak tua dan pucat.

"Dewi mengatakan apa?" tanya Bowo tiba2.

"Nanti saja dirumah aku akan ceriterakan. "

Lalu Asri terdiam. Ingatan akan Damar selalu membuatnya sedih. Sesungguhnya sangat sulit melupakan Damar, yang ketika masih remaja pernah mengisi hari2nya dengan penuh ria dan bahagia.Memang itu bukan lagi cinta, tapi ikatan itu tetap masih ada. Asri tidak tau namanya, perasaan apakah itu.

Siang itu dirumah sakit bu Surya sedang menemui dokter yang merawat Damar. Ia cemas karena Damar tetap belum diperbolehkan pulang. Ia melihat Damar tertidur tapi wajahnya pucat.

Nancy menunggu dari kejauhan, tak tau apa yang dibicarakan neneknya dan dokter itu.

Agak lama dokter itu berbicara, tapi ketika neneknya berdiri dan mendatanginya, Nancy melihat air mata neneknya berlinang, kemudian meleleh disepanjang pipi tuanya. 

"Grandma, apa yang terjadi?"

#adalanjutannyaya#

No comments:

Post a Comment