SEPENGGAL KISAH 116
SEPENGGAL KISAH 116
(Tien Kumalasari)
Nancy yang semula duduk dihadapan Damar, langsung berdiri. Memandangi Damar yang tangannya menuding kearah hidungnya.
"Papa... bohong bukan?"
"Tidak, itu benar, kamu bukan darah dagingku. Lihat kearah kaca, pandangi matamu yang biru, pandangi kulitmu, pandangi hidungmu.. itu semua bukan seperti aku, seperti bapakmu yang entah siapa aku tak mau tau... dan pergilah !!"
"Papa..." suaran Nancy gemetar menahan tangis, namun wajah kaku itu tak menampakkan rasa iba sedikitpun. Ia membiarkan Nancy mundur beberapa langkah dengan mata berkaca kaca.Nancy membalikkan tubuh, keluar dari rumah ayahnya. Hari mulai gelap dan Nancy kesulitan mencari kendaraan kearah pulang. Ia mencarter taksi dan meninggalkan laki2 tampan yang dikaguminya, yang dikiranya ayahnya tapi ternyata dia bukan darah dagingnya. Lelaki yang seperti kesetanan memandanginya dengan penuh kebencian. Hilang sudah kebanggaannya karena merasa memiliki ayah walau tak pernah mencintai ibunya.
Nancy menangis disepanjang perjalanan. Dia tak tau siapa yang mengukir jiwa raganya. Dan dia harus menanyakannya pada ibunya.
Rumah Mimi sudah tertutup rapat ketika Nancy sampai. Ia mengetuk pintu keras2 dan mengejutkan bu Surya yang masih duduk didepan televisi.Bu Surya membuka pintu dan melihat Nancy dengan heran.
"Katanya mau menginap ?"
"Grandma... grandma..."Nancy merangkul neneknya sambil menangis.
"Ada apa Nancy... apa yang terjadi?"
"Katakan grandma, siapa papa nya Nancy..."
Bu Surya terkejut karena tiba2 Nancy menanyakan papanya. Tadinya dia sudah senang karena Damar mau dianggap papa oleh Nancy, tapi kenapa tiba2 Nancy bertanya begitu? Apakah Damar telah mengatakan semuanya?
"Nancy, mengapa kamu bertanya seperti itu?"Ayo duduklah dulu disini dan jangan bicara keras2 karena ibumu sudah tidur. Merekapun duduk dikursi yang ada diteras rumah.
"Papa Damar mengatakan itu grandma, aku bukan darah dagingnya, papaku orang bule.. "
"Mengapa tiba2 dia berkata begitu?"
"Papa sedang marah, habis berantem sama orang, dan orang itu adalah ayahnya Pandu."
"Apa? Ayahnya Pandu?"
"Nancy pernah nunjukin foto ibunya Pandu dan Pandu ketika foto bersama Nancy, papa bilang itu perempuan yang dicintai papa."
"Jadi... Asri itu .. Asri yang dulu pacarnya Damar?"
Bu Surya mengeleng gelengkan kepalanya.
"Grandma... siapa papanya Nancy ?" Nancy masih merengek. Bagaimana bu Surya bisa menjawabnya? Ketika itu dalam suatu pesta, dan Mimi tak sadarkan diri, siapa yang membuatnya hamil Mimi sendiri tak tau.
"Grandma...."
"Nancy, dengar.. nenek akan kasih tau kamu tapi jangan sampai ibumu tau. Kasihan ibumu."
Nancy mengangguk.
"Itu seperti sebuah kecelakaan..." Dan dengan singkat bu Surya berceritera tentang pesta yang memabokkan itu, dan membuat Mimi tak sadar akan apa yang terjadi..
Nancy mendengarkannya dengan sedih. ternyata tak jelas siapa yang membuatnya lahir didunia ini.
"Itukah sebabnya mengapa papa meninggalkan mama?"
"Tidak juga, sejak semula papamu memang tidak mencintai ibumu. Jadi ketika ibumu mengandung kamu papamu juga tidak merasa terluka. Grandma bersyukur ia mau menunggu kamu lahir sebelum menceraikan ibumu, sehingga kamu masih dianggap punya ayah."
"Tapi cinta ayah sama ibu Asri itu membabi buta grandma, Nancy kasihan pada ibu Asri, dia itu wanita yang baik.."
"Tapi grandma juga kasihan pada papa kamu, dia itu hidupnya kurang beruntung. Banyak penderitaan menimpanya."
Sampai malam tiba, Bowo yang ditunggu tak kunjung datang. Asri bingung harus melakukan apa. Kalau dia menelpon, pasti Dewi lagi yang menerimanya. Tapi kalau tidak, dia gelisah bukan alang kepalang.
"Bapak, apakah Pandu sudah tidur ?" tanya Asri kepada ayahnya, yang juga gelisah melihat situasi rumah tangga anaknya.
"Sudah bapak suruh tidur, dan sudah terlelap, mungkin kecapean bermain seharian."
"Asri sedang bingung harus melakukan apa nih pak, kalau Asri menelpon mas Bowo, nanti Dewi lagi yang menerima. "
"Bener nduk, dan nanti pasti bicara yang macam2 untuk memanas manasi kamu."
"Asri jadi bingung harus bagaimana, dan Asri khawatir kalau mas Bowo di apa2in sama Dewi. Mungkin dibius atau dibuat bagaimana supaya menurut... aduh pak, Asri tak berani membayangkannya."
"Yang bapak heran, tadi itu nak Bowo bilang mau pulang lho, kok bisa sampai sekarang belum sampai rumah."
"Itulah yang Asri khawatirkan pak.. ada apa ini mas Bowo.."
"Ya sudahlah nduk, berdo'a saja supaya nak Bowo tidk kenapa2."
Namun bisakah Asri merasa tenang? Suaminya ada bersama perempuan lain, dan apapun bisa terjadi. Bukan hanya menghawatirkan keselamatannya, tapi rasa cemburu juga pasti ada. Sangat cemburu bahkan. Apalagi mengingat penampilan Dewi ketika dilihatnya yang pertama kali itu, pasti banyak laki2 yang akan luluh pada rayuannya. Aduhai, ada rasa panas mengaliri darahnya. Sebaik baiknya seorang lelaki, apakah akan tahan apabila....
Dering telephone mengejutkannya. Asri mengangkat ponselnya, nomor telephone suaminya, pasti Dewi akan mengganggunya. Karenanya Asri tidak mengangkatnya. Namun dering itu terus2an berbunyi.
"Mengapa tidak kamu angkat nduk?"
"Nomor mas Bowo, pasti dia lagi."
"Tapi terus2an berdering, jangan2 benar dari nak Bowo."
"Coba bapak saja yang angkat, Asri segan melayani dia.."
Pak Marsam menerima ponsel itu dan diangkatnya.
"Hallo..."
"Hallo, ...." Suara dari seberang, tapi bukan Dewi, suara laki2, tapi juga bukan Bowo.
#adalanjutannyaya#
No comments:
Post a Comment