Tuesday, December 16, 2025

HANYA BAYANG-BAYANG 14

 HANYA BAYANG-BAYANG  14

(Tien Kumalasari)

 

Sekar masih mengamati ibu sambungnya dan sopirnya yang berduaan turun dan masuk ke dalam rumah, seperti pemilik rumah itu sendiri. Agak terasa aneh. Lalu Sekar teringat, ketika dia dan suaminya mengunjungi sang ayah, lalu suaminya melihat Srikanti sedang bercanda dengan Priyadi. Ia hampir melupakan pemandangan itu dan menganggap mereka hanya bercanda selintas, bukan sesuatu yang serius, walau Sekar dan suaminya tetap menganggapnya hal yang tidak pantas. Istri dari seorang pengusaha besar, bercanda begitu asyik dengan sopirnya?

Lalu sekarang Sekar melihat mereka berdua memasuki sebuah rumah yang kelihatannya baru selesai dibangun. Rumah siapa, dan apa hubungannya dengan sang ibu sambung serta sopirnya? Mereka juga berjalan berdampingan dengan akrab. Bukankah seharusnya sopir berjalan dibelakang majikannya sebagai rasa menghormati? Lalu apakah ayahnya mengetahui tentang rumah itu?

Sekar bimbang, antara ikut memasuki rumah itu atau mengabaikannya. Tapi ia tak punya alasan seandainya ikut masuk ke sana. Jadi akhirnya dia memilih pergi, dengan seribu satu pertanyaan yang tak terjawab.

“Mungkinkah ada hubungan tidak wajar antara ibu sambungnya dan Priyadi?”

Sekar tak bisa berpikir lebih banyak. Ia membutuhkan teman berbincang, yaitu suaminya yang baru akan pulang besok paginya. Tak mungkin juga ia langsung bicara dengan sang ayah.

Kemudian Sekar harus segera sampai di kantornya karena ada urusan pekerjaan  yang harus ditanganinya.

***

“Bagaimana menurutmu?” tanya Priyadi ketika bersama Srikanti memeriksa seisi rumah, sementara para petugas pengirim barang membantu meletakkan perabot yang dikirimkannya hari itu, menurut perintah Srikanti dan Priyadi.

“Apakah ada yang kurang?”

“Hampir semuanya sudah. Kurang perabot dapur.”

“Bisa belakangan, paling-paling kamu tak akan sempat memasak.”

“Kalau ada Nilam, bukankah dia bisa belajar memasak? Kelak kalau dia punya suami, sudah bisa melayani suaminya dengan masakan-masakannya sendiri,” kata Srikanti tulus, sementara Priyadi tersenyum nyengir. Bukankah Nilam adalah setengah istri baginya? Tinggal menunggu waktu kalau dia ingin menikahinya. Tapi semuanya harus diatur, agar semuanya tampak baik-baik saja.

“Kalau begitu besok kita beli peralatan dapur. Bukankah hari Sabtu Nilam libur, dia bisa kita ajak untuk memilih peralatan yang dia suka.”

“Tapi kalau libur kan aku harus di rumah. Kalau suami ada, mana mungkin aku bisa keluyuran bersama kamu?”

“Bagaimana kalau Nilam saja kita suruh belanja? Aku yang mengantarnya.”

“Terserah kamu saja. Begitu juga baik, beri tahu aku habisnya berapa, nanti langsung aku transfer dari rumah.”

“Pasti Nilam suka. Sepekan bekerja di kantor, hari libur pasti menyenangkan kalau diajak belanja-belanja.”

“Atur saja oleh kamu. Bukankah Nilam juga akan menjadi anakku?”

“Iya, aku lupa. Tapi apakah tuan mengijinkan?”

“Tak ada yang tidak kalau aku yang memintanya, percayalah.”

“Bagus sekali. Kalau kita tidak bisa berharap pada Puspa, kita bisa berharap pada Nilam. Tapi cobalah kamu bicara lagi dengan Puspa.”

“Anak itu keras kepala. Kalau dia sudah bilang tidak, ya tidak. Berkali-kali aku mengajaknya bicara, jawabnya tetap saja ‘tidak’."

“Bagaimana kalau kamu berterus terang saja pada Puspa, bahwa sebenarnya dia adalah anakku?”

“Jangan sekarang Pri, nanti malah bisa kacau semuanya. Soalnya sekarang ini dia sedang fokus pada kuliahnya. Nanti akan aku carikan dia suami yang bisa menguasai dia, dan membuatnya menurut. Selama ini dia adalah pembangkang. Kesal aku dibuatnya.”

“Baiklah, pelan tapi pasti, kita akan bisa menguasai kekayaan tuan Sanjoyo.”

Keduanya tertawa-tawa senang, tak peduli pada pengirim barang yang sudah menyelesaikan tugasnya.

Setelah beberapa saat lamanya, mereka baru beranjak keluar dan mempersilakan para pekerja itu pulang.

“Sudah saatnya tuan pulang, jangan sampai terlambat seperti yang sudah-sudah.”

***

Hari belum begitu malam, tapi tuan Sanjoyo mengeluh lelah. Karenanya ia sudah ingin beristirahat di kamarnya.

Dengan lemah lembut, Srikanti memijit kaki dan tangan suaminya.

“Apa dipijit begini lebih enak?”

“Coba bahuku ini Sri, rasanya pegal sekali.

“Baiklah.”

Srikanti mengalihkan pijitannya di bagian pundak.

“Lebih enakkah?”

“Iya, lumayan.”

“Mas, bagaimana dengan Nilam? Apa Mas melihat bahwa pekerjaannya bagus? Apa dia bisa mengerti semua yang harus dilakukannya?”

“Sejauh ini dia baik.”

“Kalau begitu dia bisa menggantikan menjadi sekretaris Mas,”

“Tidak bisa, Mila, sudah lama menjadi sekretarisku, pekerjaannya bagus, dan dia tak tergantikan.”

“Tapi Nilam bukan orang lain. Dia anak Priyadi, sopir Mas yang sudah mengabdi selama puluhan tahun. Bahkan sejak dia masih muda. Karena jasanya itu pula maka aku ingin mengangkatnya sebagai anak.”

“Dia sudah mendapatkan perhatian yang lebih. Mengapa harus mengangkat sebagai anak?”

”Nilam itu haus kasih sayang seorang ibu, kasihan kan Mas. Dia pasti bahagia kalau merasa memiliki ibu. Mas harus ingat jasa-jasa ayahnya juga.”

“Ya, terserah kamu saja,” kata tuan Sanjoyo yang suaranya semakin lemah karena sudah sangat mengantuk.

“Pijitnya sudah ya Mas?”

“Hm.”

Srikanti turun dari pembaringan, dan menyelimuti tubuh suaminya dengan tersenyum lega.

Nilam harus menjadi anaknya, sehingga mendapat perlakuan khusus di kantornya. Kalau Puspa tidak bisa diharapkan, maka Nilam sepertinya akan sangat berarti dalam menggapai kehidupan yang lebih enak baginya dan tentu saja bagi Priyadi. Kelak, Priyadi bukan hanya menjadi sopir, tapi dia punya kekuasaan juga di perusahaan Sanjoyo.

Tuan Sanjoyo yang semakin tua dan sakit-sakitan, tak akan berdaya nantinya, kecuali menuruti semua keinginannya. Bukankah dia adalah istri yang sangat berbakti dan bisa melayani suami dengan baik?

Karena itulah Srikanti yakin pada semua keinginannya yang pasti akan terwujud.

***

Pagi hari itu ia kembali merayu Puspa tentang melanjutkan usaha tuan Sanjoyo.

“Ibu, aku kan sudah bilang tidak mau.”

“Kamu harus memikirkan betapa sulitnya membuka usaha baru. Kok kamu seperti menyepelekan usaha yang sudah jadi.”

“Bukan menyepelekan Bu, Bapak masih sehat dan bisa mengendalikan perusahaan. Mengapa ibu tergesa-gesa menyuruh aku melanjutkan usaha bapak?”

“Bukan tergesa-gesa, hanya kamu harus bersiap untuk itu.”

“Aku tetap tidak mau Bu, aku akan bekerja dengan keringatku sendiri.”

“Dasar bodoh!”

“Aku akan mencobanya berusaha sendiri.”

“Aku sudah tahu kalau kamu keras kepala.”

“Tolong Bu, jangan memaksa. Lagipula aku sedang menyelesaikan skripsi, tak ingin memikirkan yang lain.”

“Ibu ini hanya meminta kesanggupan kamu. Bukan sekarang kamu harus menjalani.”

“Aku tidak ingin melakukannya.”

“Puspa!”

“Maaf Bu.”

“Apa kamu tahu bahwa sebenarnya kamu bukan_”

“Bukan apa Bu?”

Srikanti hampir keceplosan mengatakan tentang siapa sebenaranya Puspa. Ketika ia merayu tuan Sanjoyo, ia sudah hamil anak Priyadi. Tuan Sanjoyo tidak mengira kalau Puspa bukan darah dagingnya. Tuan Sanjoyo jatuh cinta pada Srikanti karena pintarnya dia mengambil hati sang tuan majikan.

“Bukan apa?” Puspa mengulang pertanyaannya.

“Bukan apa-apa,” kata Srikanti yang kemudian meninggalkan anaknya dengan kesal.

***

Dari kampus, Puspa mampir lagi ke rumah Sekar. Ia ingin mencurahkan isi hatinya kepada sang kakak, karena tak mungkin dia mengatakannya kepada sang ibu, apalagi ayahnya.

“Kamu tahu saja kalau aku baru saja beli sate lontong dan kebanyakan,” kata Sekar yang sedang menata makanan yang baru saja dibelinya.

“Enak nih, sedang lapar juga ternyata aku,” kata Puspa yang tanpa sungkan sudah duduk di sebuah kursi, menunggu sang kakak selesai meletakkan sate ayam di atas basi.

“Ayo makan, dari siang aku nggak makan, di kantor banyak pekerjaan.”

“Ini namanya keberuntunganku. Datang-datang perut lapar, kebetulan pas mbak Sekar menggelar makanan. Padahal aku membayangkan akan membuat mie instan tadi.”

“Aku kehabisan mie instan, belum belanja. Baru besok menunggu mas Wondo.”

“Ini lebih bagus,” kata Puspa sambil menyantap sate lontongnya.

“Kamu baru pulang? Katanya sedang mengerjakan skripsi?”

“Iya, pengin mampir saja.”

“Kelihatannya mau curhat nih.”

Puspa tersenyum.

“Itu tentang yang kamu ceritakan dulu itu?”

“Lebih kurangnya iya.”

“Puspa, kamu kan sedang mengerjakan skripsi, jangan dulu memikirkan cinta. Nanti bisa mengganggu konsentrasi.”

“Hanya kadang-kadang pengin ngomong. Daripada kepikiran. Ada hal yang mendasar dan harus aku katakan pada mbak, tentang siapa dia.”

“Teman kuliah kamu yang anak orang biasa?”

“Dia sebenarnya anak bik Supi.”

“Apa?”

Untunglah Sekar sudah menghabiskan lontong di piringnya, sehingga dia tidak tersedak.

“Anak bik Supi teman kuliah kamu?”

“Tadinya aku juga tidak tahu.”

“Lalu kamu pengin mundur?”

“Tidak.”

“Puspa, akan terjadi huru hara kalau ibu tahu.”

“Benar. Itulah sebabnya dulu aku pernah minta pada mbak Sekar agar mendukungku.”

“Itu tidak mudah.”

“Setidaknya Mbak Sekar sudah tahu.”

“Ya sudah, selesaikan dulu tugas kamu. Percayalah bahwa jodoh itu di tangan Yang Maha Kuasa.”

Puspa mengangguk.

“Sebenarnya aku juga mau bertanya sama kamu. Ada yang mengganjal, tentang ibu.”

“Ibu, kenapa?”

“Kemarin aku melihat ibu dan Priyadi, masuk ke sebuah rumah yang baru selesai dibangun. Rumah siapa ya itu? Saudara ibu? Atau siapa?”

“Rumahnya di mana? Saudara ibu itu jauh semua. Hampir semua di kampung.”

“Itulah, berarti itu rumah siapa? Saudara Priyadi? Kalau saudara Priyadi, mengapa ibu ikut ke sana?”

“Di mana sih rumahnya?”

“Di Jalan Ternate, tapi nomornya aku lupa. Dekat rumah-rumah penduduk. Aduh, ancer-ancernya aku lupa. Pokoknya di jalan itu.”

“Entahlah, aku tidak tahu. Nanti aku tanya pada ibu.”

“Nggak usah bertanya, barangkali ibu hanya bertamu.”

***

Tapi tidak demikian pendapat Suwondo ketika istrinya berbincang tentang apa yang dilihatnya.

“Sepertinya ada yang tidak beres.”

“Tidak beres apanya?”

“Hubungan ibu dengan Priyadi. Ketika kita melihatnya saat menjenguk bapak, kan aku sudah memberi tahu kamu ketika melihat ibu bercanda dengan Priyadi. Sepertinya aneh. Tidak pantas seorang nyonya majikan bercanda dengan sopir. Bukan karena memandang rendah sopir atau apa, tapi hal itu tidak pantas.”

“Waktu itu aku berpikir, karena … maaf, ibu kan dari kampung, sehingga ….”

“Sehingga kurang memiliki tata krama seperti itu?”

“Begitulah. Tadinya aku berpikir seperti itu, tapi setelah tadi melihatnya, aku merasa ada yang aneh.”

“Di mana rumah yang dikunjungi ibu itu?”

“Besok kalau aku ajak Mas belanja, kita lewat sana ya. Siapa tahu ada pemilik rumahnya sehingga kita bisa bertanya-tanya.

***

Besok lagi ya.

42 comments:

  1. Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin. Matur nuwun sanget Yangtie

      Delete
  2. Alhamdulilah Cerbung HBB 14 sampun tayang .... maturnuwun bu Tien, semoga ibu sekeluarga selalu sehat dan bahagia .. salam hangat dan aduhai aduhai bun 🙏🩷🌹🌹

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin. Matur nuwun sanget ibu Sri.
      Aduhai aduhai

      Delete
  3. 🪻💜🪻💜🪻💜🪻💜
    Alhamdulillah 🙏😍
    Cerbung HaBeBe_14
    sampun tayang.
    Matur nuwun Bu, doaku
    semoga Bu Tien selalu
    sehat, tetap smangats
    berkarya & dlm lindungan
    Allah SWT. Aamiin YRA.
    🪻💜🪻💜🪻💜🪻💜

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin. Matur nuwun sanget jeng Sari
      Aduhai

      Delete
  4. Alhamdulillah "Hanya Bayang-Bayang 14" sdh tayang. Matur nuwun Bu Tien, sugeng dalu 🙏

    ReplyDelete
  5. Terima kaih bunda cerbung hbb nya..slmt mlm slmt istrhat dan slm sht sll unk bunda bersm bpk🙏🥰🌹❤️

    ReplyDelete
  6. Matur nuwun mbak Tien-ku Hanya Bayang-Bayang telah tayang

    ReplyDelete
  7. Hatur nuhun.
    Terimakasih bunda Tien. Semoga sehat slalu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin. Matur nuwun sanget bapak Endang

      Delete
  8. Mks bun Srikanti yg centil sdh hadir....selamat bun....sehat" sll🤲💕

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin. Matur nuwun sanget ibu Supriyati

      Delete
  9. Alhamdulillah....
    HaBeBe_14 sdh tayang.
    Matur nuwun Bu Tien....
    Salam SEROJA...
    Tetap sehat & semangat ....
    💪🤝🙏

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah yg ditunggu telah hadir dan semakin menarik, maturnuwun Bu Tien,tetap semangat dan terus berkarya cerbung nya..🙏🙏

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah, HANYA BAYANG-BAYANG (HBB) 14 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin. Matur nuwun sanget ibu Uchu

      Delete
  12. Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " HANYA BAYANG BAYANG ~ 14 " 👍🌹
    Semoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin. Matur nuwun sanget pak Herry

      Delete
  13. Alhamdulillah sudah tayang
    Terima kasih bunda Tien
    Semoga sehat walafiat
    Salam aduhai hai hai

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin. Matur nuwun sanget ibu Endah.
      Aduhai hai hai

      Delete
  14. Alhamdulillah
    Syukron nggih Mbak Tien❤️🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  15. Matur nuwun Bu Tien, salam sehat bahagia dari Yk....

    ReplyDelete
  16. Alhamdulillah HANYA BAYANG-BAYANG ~14 telah hadir.
    Maturnuwun Bu Tien 🙏
    Semoga tetap sehat dan bahagia senantiasa bersama keluarga, serta selalu berada dalam lindungan Allah SWT.
    Aamiin YRA..🤲

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin. Matur nuwun sanget pak Wedeye

      Delete

  17. Alhamdullilah
    Matur nuwun bu Tien
    Cerbung *HANYA BAYANG BAYANG 14* sdh hadir...
    Semoga sehat dan bahagia
    bersama keluarga
    Aamiin...



    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin. Matur nuwun sanget pak Wedeye

      Delete
  18. Terima kasih Bunda, serial cerbung : Hanya Bayang Bayang 14 sampun tayang.
    Sehat selalu dan tetap semangat nggeh Bunda Tien.
    Syafakallah kagem Pakdhe Tom, semoga Allah SWT angkat semua penyakit nya dan pulih lagi seperti sedia kala. Aamiin

    Kanti, Yadi, Nilam...just info Puspa dan Kakak2 nya.. siap nggrudok 'rumah kebo' mu ya...😁😁

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin. Matur nuwun sanget 😀😀 pak Munthoni

      Delete