Friday, December 12, 2025

HANYA BAYANG-BAYANG 11

 HANYA BAYANG-BAYANG  11

(Tien Kumalasari)

 

Tuan Sanjoyo mengangguk senang, mendengar kesanggupan Puspa. Ia heran sang istri menolaknya.

“Mengapa Sri, biar saja kalau Puspa ingin membantu. Pastinya dia sedang libur. Ya kan Puspa?”

“Iya Pak, daripada bengong di rumah, sama mau mengajak bibik sekalian belanja dapur.”

“Kamu tidak usah ikut urusan masalah sumbangan. Biar ibu yang urus,” tegas kata Srikanti.

“Puspa hanya ingin membantu. Biar Puspa tahu bagaimana rasanya bersedekah, jadi besok kalau Puspa sudah punya uang sendiri, biar tinggal menjalani," kata Puspa.

“Iya Sri, biar saja anakmu yang mengirimkan. Kelihatannya dia ingin sekali. Dia juga ingin belajar.”

“Tidak usah, itu kan pekerjaan aku. Puspa tidak usah ikutan.”

“Ya sudah kalau tidak boleh, besok aku belanja saja sama bibik. Nanti bibik biar mencatat semua keperluannya, Ibu berikan uangnya saja,” kata Puspa sambil berlalu. Tampaknya dia kecewa, tapi juga heran, mengapa sang ibu tidak mau dibantu.

“Kelihatannya Puspa kecewa tuh,” kata tuan Sanjoyo.

“Biarkan saja. Paling dia cuma mau jalan-jalan. Ini catatannya Mas, berikan uangnya sekarang, biar aku yang membagi-bagi. Amplop dan alamatnya sudah aku siapkan.”

“Ya, sebentar. Tapi aku ingin bilang sama kamu, lain kali beri anakmu kesempatan untuk melakukan apa yang dia inginkan. Niatnya membantu, tapi juga sambil belajar.”

“Iya, nanti gampang. Aku itu hanya tidak ingin dia ikut campur yang bukan urusan dia. Ini kan urusan aku.”

“Sumbangan itu bukan dari kamu pribadi, atau aku pribadi, tapi dari keluarga Sanjoyo. Jadi siapa saja boleh mengurusnya.”

“Masalah uang jangan dulu anak-anak ikut mengurus. Belum saatnya.”

Walau tidak mengerti maksud istrinya, tuan Sanjoyo tidak ingin berbicara lagi. Ia memberikan sejumlah uang, lalu Srikanti sudah memasukkannya ke dalam amplop-amplop.

“Urusan begini, dia masa mengerti?”

“Harusnya disuruh belajar, biar mengerti,” tak urung tuan Sanjoyo masih tetap buka suara.

“Hanya belum saatnya Mas, jangan dipaksa.”

Tuan Sanjoyo merasa, justru istrinya yang tidak bisa mengerti tentang apa yang diinginkannya. Ia terus berpegang bahwa uang adalah urusan dia, bukan orang lain, walau itu adalah anaknya. Sudah bertahun-tahun keluarga Sanjoyo menjadi donatur pada beberapa panti, tapi selalu Srikanti yang mengurusnya. Mengapa harus selalu dia yang mengurusnya? Harusnya  hal itu menjadi pertanyaan bagi tuan Sanjoyo, tapi kenyataannya kalau sang istri sudah bersikeras memutuskan sesuatu, tuan Sanjoyo tak bisa melakukan apa-apa. Ia seperti selalu bergantung pada Srikanti, karena kecuali urusan pekerjaan, semua urusan ada di tangan Srikanti.

***

Pagi hari itu Puspa sudah bersiap untuk belanja. Bibik sudah memberikan catatannya, dan Puspa sudah meminta uang pada sang ibu.

“Aku menunggu pak Pri dulu Bu, nanti kalau sudah selesai pekerjaannya di kantor, kan dia pulang.”

Mendengar perkataan sang anak, Srikanti mendadak murka.

“Apa maksudmu menunggu Pri? Dia pulang dari kantor atas permintaan ibu, jadi dia nanti akan mengantarkan ibu ke mana-mana.”

“Ke panti-panti itu? Kalau begitu aku mau ikut ibu dulu.”

“Tidak. Seperti anak kecil saja, ngikut ke mana ibunya pergi. Kamu kan punya mobil sendiri? Ya jalanlah sendiri, mengapa harus diantar Priyadi?” kata Srikanti dengan nada tinggi.

“Mengapa Ibu harus marah? Puspa juga tidak memaksa. Kalau mau dipakai Ibu, ya pakai saja. Puspa mau naik mobil sendiri.”

“Soalnya akhir-akhir ini kamu suka sekali bikin jengkel ibu.”

“Ya sudah, Puspa minta maaf,” katanya sambil berlalu, untuk melihat kesiapan bibik. Ternyata bibik sudah siap, menunggu Puspa di kursi dapur. Ia juga mendengar  perdebatan nyonya majikan dan anak gadisnya tentang Priyadi. Tentu saja Priyadi harus mengantar sang nyonya, bukan non cantik yang katanya suka sekali bikin jengkel akhir-akhir ini. Bibik sudah tahu semuanya, tapi mana berani dia membuka mulutnya?

“Bibik sudah siap?”

“Dari tadi saya menunggu Non.”

“Baiklah, ayo kita berangkat.”

Keduanya beranjak ke depan, sementara Puspa kemudian mengambil mobilnya sendiri. Mereka berpamit pada Srikanti   yang duduk di teras, dan pastinya sedang menunggu Priyadi.

***

“Aku heran pada ibu. Aku tuh ingin mengantarkan sumbangan-sumbangan ke panti. Pengin sih, soalnya belum pernah. Tapi ibu melarangnya keras. Bahkan bapak mendukung keinginan aku, tapi tetap saja ibu menolak.”

“Alasan nyonya kan ada sih Non, Non tidak usah marah juga. Nanti di sini marah, di sana marah.”

“Alasannya seperti tidak masuk akal. Hanya karena itu urusan ibu, bukan urusan aku. Bukannya aku hanya ingin membantu?”

“Mungkin belum waktunya Non memikirkan urusan sumbangan.”

“Apakah aku masih kecil?”

“Setidaknya begitulah anggapan nyonya.”

“Lalu tadi itu lagi, aku mau minta agar pak Pri mengantar, ee … ibu marah-marah. Mengapa harus marah sih Bik? Kalau memang dilarang kan aku tidak akan memaksa? Cukup bilang mau ngantar ibu, mengapa harus marah?”

“Non harus sabar. Pastinya nyonya sedang tidak senang hati, jadi bawaannya marah.”

“Bibik bukannya membela aku, malah membela ibu.”

Bik Supi tertawa.

“Non Puspa seperti anak kecil saja. Kalau  nyonya marah-marah, jangan ditanggapi dengan marah juga. Ayo cerita yang lainnya  saja.”

“Mau cerita apa, lagi males.”

“Eh Non, Non tahu tidak, yang tadi datang bersama Priyadi?”

“Oh, itu … yang katanya anaknya pak Pri? Lumayan cantik.”

“Iya. Heran aku, sama Priyadi manjanya bukan alang kepalang. Masa duduk sarapan di kursi dapur, sambil kepalanya disandarkan dipundak bapaknya.”

“Mungkin lama tidak ketemu. Kabarnya ibunya baru meninggal, lalu mencari bapaknya. Sekarang mau minta  bekerja di kantor bapak.”

“O, pantesan tadi ikut tuan ke kantor.”

“Iya Bik, aku juga belum sempat kenalan tadi, soalnya ketika bapak sama ibu sarapan, aku sedang mandi. Aku ngantuk, habis subuh tidur lagi.”

“Katanya kalau habis subuh tidur lagi itu pahalanya berkurang lhoh Non.”

“Masa iya? Semalam aku belajar sampai malam soalnya. Oh ya Bik, apa hari ini anak Bibik sudah masuk kuliah?”

“Entahlah Non. Sebenarnya sudah sehat, tapi neneknya melarang langsung pergi kuliah. Katanya suruh besok saja, supaya benar-benar sehat. Jadi pastinya hari ini tidak masuk. Lagian dia kemarin bilang kalau hari ini nggak ada kuliah. Eh, sama dengan Non ya?”

Puspa tertawa. Tentu saja sama, Nugi kan temannya? Puspa tidak tahu, sampai kapankah dia menyembunyikan pertemanannya dengan Nugi.

“Bik, ketika Bibik pulang itu, apakah tidak ada yang bertanya, Bibik diantar siapa? Kalau Bibik bilang diantar aku, aku pasti dikira sombong karena tidak mau turun. Waktu itu kan harusnya aku langsung ke kampus.”

“Iya, bibik tahu kok. Dan bibik tidak mengatakan kalau Non yang mengantar. Maksud bibik, bibik tidak menyebut nama Non. Bibik hanya bilang kalau diantar anak majikan, begitu Non. Tidak ada yang ngatain sombong kok.”

“Ya sudah, baguslah kalau begitu.”

“Non belanjanya mau di mana sih?”

“Di supermarket biasanya, aku tadi muter, karena kalau lewat sana pasti macet.”

***

Srikanti sudah berada di dalam mobil bersama Supri. Ke panti-panti untuk menyerahkan sumbangan? Tidak. Srikanti yang cerdik mempergunakan uang itu untuk keperluannya sendiri. Dan tuan Sanjoyo tidak pernah mengurusnya. Ia percaya kepada istrinya. Percaya sepenuhnya. Bahkan ia juga percaya bahwa sang istri sangat mencintainya, dan melayaninya dengan sepenuh jiwa raganya.

“Pri, anakmu sudah kamu tinggal di kantor?”

“Tuan Sanjoyo yang menyuruhnya.”

“Ia ditaruh di bagian apa? Harusnya di tempat yang strategis, sehingga bisa mengerti tentang perusahaan.”

“Entahlah, tadi disuruh belajar, nggak tahu ditaruh di mana.”

“Kamu kan tahu Pri, anakmu, Puspa, tidak mau ikut memegang perusahaan tuan Sanjoyo. Berkali-kali aku merayunya, dia tetap menolak. Katanya dia ingin bekerja sendiri, mencari uang tanpa bantuan tuan Sanjoyo.”

“Kamu kan bisa memaksanya sih Sri. Hanya dia satu-satunya jalan untuk menguasai perusahaan itu.”

“Setiap hari aku bicara, dia tetap menolak. Karena itu aku kesal sekali pada dia. Akhir-akhir ini dia menjengkelkan sekali.”

“Kalau saja nanti Nilam bisa, ya harapan kita tinggal pada Nilam.”

“Bagus sekali kalau bisa, tapi dia harus banyak belajar. Nanti kalau pekerjaannya bagus, aku akan minta pada tuan agar Nilam aku jadikan anak angkat.”

“Aku akan berpesan pada dia agar dia belajar dengan sungguh-sungguh.”

“Itu benar. Kalau Nilam berhasil, akan aku lepaskan tuan Sanjoyo, karena aku mau hanya memiliki kamu saja,” kata Srikanti sambil bersandar di bahu Priyadi.

“Semoga dia bisa. Sekarang bagaimana? Kamu sudah punya uang? Uang aku sudah menipis.”

“Uang sumbangan ke panti-panti sudah aku bawa. Bagaimana dengan pembangunan rumah kita?”

“Sudah berjalan seperti keinginan kita. Bulan depan kita sudah bisa menempatinya.”

“Aku sudah bermimpi menempati rumah baru dan bisa bersenang senang setiap saat denganmu Pri. Tidak usah ke hotel, atau di kamarku, karena kalau di kamar itu kemungkinan besar bik Supi bisa mengintip kita.”

Priyadi terbahak-bahak.

“Kita kan tidak sering di rumah Sri, hanya kadang-kadang. Lagian kalau bik Supi melihat, dia bisa apa? Kalau sampai dia macam-macam atau berani melaporkan pada tuan, pecat saja.”

“Tidak, dia tidak tahu apa-apa.”

“Ayo ke rumah dulu, dan ini uang untuk kamu, yang lainnya nanti buat bayar tukang juga kan?”

“Iya, benar.”

“Setelah dari rumah, kita akan makan di luar.”

“Lalu kita melihat perabotan-perabotan saja dulu. Begitu rumah sudah jadi, kita sudah punya semua yang kita butuhkan untuk kebutuhan rumah tangga.”

“Terserah kamu saja.”

***

Ketika mereka makan di restoran berdua, Priyadi tiba-tiba pamit ke belakang. Srikanti sedang memesan makanan, ketika ponsel Priyadi berdering. Bodohnya Priyadi, mengapa ponsel tidak dibawa, sehingga Srikanti bisa melirik siapa yang menelpon. Ketika ia melihat siapa yang memanggil, hati Srikanti tergerak untuk mengangkatnya. Ia membaca namanya, ‘sayangku’ jadi Srikanti tidak merasa bersalah ketika mengangkatnya. Bukankah itu nomor Nilam?

Tapi begitu diangkat, suara dari sana mengejutkannya.

“Mas, nanti aku pulang jam berapa?”

Srikanti tertegun.

***

Besok lagi ya.

 

 

22 comments:

  1. Alhamdulillah..matur sembah nuwun Mbak Tien

    ReplyDelete
  2. Alhamdulillah "Hanya Bayang-Bayang 11" sdh tayang. Matur nuwun Bu Tien, sugeng dalu πŸ™

    ReplyDelete
  3. πŸŒŸπŸ’πŸŒ²πŸͺ΄πŸŒ²πŸ’πŸŒŸ

    Alhamdulillahi Robbil'alamiin....
    HaBeBe_11 sudah tayang.

    Matur nuwun mBak Tien, salam sehat penuh semangat.

    Horohtoh....manggil bapaknya kok mas.....
    Kamu ketahuan.... Pacaran lagi....
    πŸ€πŸ€πŸ™

    πŸŒŸπŸ’πŸŒ²πŸͺ΄πŸŒ²πŸ’πŸŒŸ

    ReplyDelete
  4. πŸŽπŸ€πŸŽπŸ€πŸŽπŸ€πŸŽπŸ€
    Alhamdulillah πŸ™πŸ¦‹
    Cerbung HaBeBe_11
    telah hadir.
    Matur nuwun sanget.
    Semoga Bu Tien dan
    keluarga sehat terus,
    banyak berkah dan
    dlm lindungan Allah SWT.
    Aamiin🀲.Salam seroja 😍
    πŸŽπŸ€πŸŽπŸ€πŸŽπŸ€πŸŽπŸ€

    ReplyDelete
  5. Terima ksih bunda..slm sht sll unk bunda πŸ™πŸ₯°πŸŒΉ❤️

    ReplyDelete
  6. Matur nuwun mbak Tien-ku Hanya Bayang-Bayang telah tayang

    ReplyDelete
  7. Alhamdulilah HBB 11 sampun tayang .. maturnuwun bu Tien ..smg sll sehat dan bahagia ... serta aduhai hai hai hai ❤️❤️❤️

    ReplyDelete
  8. Matur nuwun Bu Tien, ceritanya semakin seru. Semoga Ibu sekeluarga sehat wal'afiat.

    ReplyDelete
  9. Alhamdulillah HANYA BAYANG-BAYANG ~11 telah hadir.
    Maturnuwun Bu Tien πŸ™
    Semoga tetap sehat dan bahagia senantiasa bersama keluarga, serta selalu berada dalam lindungan Allah SWT.
    Aamiin YRA..🀲

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah sudah tayang
    Terima kasih bunda Tien
    Semoga sehat walafiat
    Salam aduhai hai hai

    ReplyDelete
  11. Syukron nggih Mbak Tien❤️🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete

  12. Alhamdullilah
    Matur nuwun bu Tien
    Cerbung *HANYA BAYANG BAYANG 11* sdh hadir...
    Semoga sehat dan bahagia
    bersama keluarga
    Aamiin...



    ReplyDelete
  13. Alhamdulillah, HANYA BAYANG-BAYANG (HBB) 11 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " HANYA BAYANG BAYANG ~ 11 " πŸ‘πŸŒΉ
    Semoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin

    ReplyDelete
  15. Alhamdulillah HBB dah tayang, maturnuwun Bu Tien tetap sehat walafiat,bahagia bersama Kel tercintaπŸ™

    ReplyDelete
  16. Terima kasih Bunda, serial cerbung : Hanya Bayang Bayang 11 sampun tayang.
    Sehat selalu dan tetap semangat nggeh Bunda Tien.
    Syafakallah kagem Pakdhe Tom, semoga Allah SWT angkat semua penyakit nya dan pulih lagi seperti sedia kala. Aamiin

    Kanti setiap bulan...kerjaan nya nilep uang sumbangan, tapi aneh nya..dari pihak...Panti Asuhan kok hanya diam saja ya. Trus tuan Sanjoyo tidak menanyakan ke Kanti...mana bukti Tanda Terima nya. Piye iki ?

    ReplyDelete
  17. Susah menyimpan bangkai karena baunya busuk...
    Terimakasih Mbak Tien...

    ReplyDelete
  18. Waah...dosa Srikanti dobel2 nih...ya nilep uang sumbangan, ingin menguasai harta tuan Sanjoyo, eh selingkuh sampai punya anak...jadi Puspa tuh anak Priyadi? Keterlaluan ah...tapi apa wajahnya tidak mirip Priyadi ya? Kan anak perempuan biasanya mirip bapaknya? Masa tuan Sanjoyo tidak curiga?πŸ˜…

    Terima kasih, ibu Tien...sehat selalu.πŸ™πŸ»

    ReplyDelete