Monday, December 15, 2025

HANYA BAYANG-BAYANG 13

 HANYA BAYANG-BAYANG  13

(Tien Kumalasari}

 

Puspa berhenti melangkah. Ia mengamati keduanya. Puspa tahu, gadis itu adalah adik kelasnya bernama Wuri. Gadis sederhana yang lumayan manis. Sepertinya ia sedang menanyakan beberapa hal pada Nugi, yang dijawab Nugi dengan wajah cerah. Ada sedikit rasa cemburu ketika menatap mereka, padahal belum tentu ada apa-apa diantara keduanya. Walau begitu Puspa kemudian terus melangkah mendekati, lalu berdiri di belakang Nugi, yang kemudian terkejut ketika melihatnya.

“Puspa? Tidak mendengar langkahmu, tiba-tiba kamu ada di sini?”

“Aku tidak menginjak lantai,” canda Puspa, yang ditanggapi Nugi sambil tertawa kecil.

“Iya, kamu kan pakai sepatu. Bukan berarti kamu siluman kan?”

Mereka tertawa, Wuri ikut tertawa.

“Oh ya, apakah aku mengganggu?” tanya Puspa sambil menatap Wuri.

“Tidak Mbak, saya hanya bertanya sesuatu pada mas Nugi. Sekarang sudah selesai, saya permisi,” kata Wuri sambil membalikkan tubuhnya setelah mengucapkan terima kasih kepada Nugi.

“Asyik sekali?” tanya Puspa.

“Hanya menanyakan tentang bahan kuliah.”

“Bagaimana keadaan kamu? Sudah benar-benar sehat?”

“Alhamdulillah aku sudah sehat. Hanya kecapekan.”

“Lain kali jangan capek-capek. Ingat, kita hampir ujian.”

“Terima kasih.”

“Ayo kita keluar, aku membawa bubur untuk kamu.”

“Apa? Kamu selalu begitu, aku sudah sarapan.”

“Hanya bubur, tidak akan membuat perut kamu meledak,” kata Puspa sambil menarik tangan Nugi. Lalu dengan halus Nugi melepaskannya, pura-pura mengambil sesuatu dari dalam sakunya, tapi ia mengikuti langkah Puspa, yang ternyata mengajaknya makan bubur yang dibawanya dibawah pohon rindang, seperti pernah dilakukannya ketika dia membawa nasi soto buatan bik Supi.

“Mengapa kamu melakukannya?”

“Melakukan apa?”

“Membawa makanan untuk aku. Aku pasti sudah sarapan dari rumah. Nenek selalu menyediakannya sebelum aku berangkat.”

“Aku hanya ingin makan bubur bersamamu. Ini bubur enak, kuahnya opor, dengan telur dan ayam.”

“Nanti aku bisa kekenyangan.”

“Tidak, bubur lebih banyak mengandung air, kalaupun mengenyangkan, hanya sementara.”

“Sok tahu,” ledek Nugi.

“Memang benar. Aku sering melihat bibik ketika membuat bubur. Berasnya sedikit, bisa menjadi bubur satu panci.”

“Kamu sering menyuruh pembantu membuat bubur?”

“Tidak sering. Ayahku terkadang ingin, kalau sedang tidak enak badan.”

“Lain kali tidak usah membawa makanan untuk aku.”

“Kenapa? Nggak suka?”

“Bukan, ini kan merepotkan?”

“Tidak repot kok. Ayo, segeralah dimakan, nanti keburu dingin, jadi kurang nikmat.”

Nugi terpaksa menurutinya, mereka makan, sesekali saling bertatap muka, lalu Nugi mengalihkan pandangan ke arah lain. Ia heran pada perasaannya. Mengapa tiba-tiba saja dekat dengan gadis ini? Gadis kaya yang kesehariannya datang ke kampus dengan mobil bagus. Sedangkan dirinya, hanya anak seorang pembantu yang memiliki cita-cita setinggi bintang di langit.

Tiba-tiba ia teringat pada sang ibu. Di manakah ibunya bekerja, sehingga setiap bulan bisa mengiriminya uang. Ia selalu bangga pada ibunya. Ibunyalah yang mendorong dirinya untuk melanjutkan kuliah ke jenjang yang lebih tinggi, padahal ketika lulus SMA dia ingin mencari pekerjaan saja.

“Nug, biarlah ibumu ini hidup susah. Biarkan keringat membasah, asalkan kamu bisa menemukan kehidupan yang lebih baik. Kata gurumu, kamu itu pintar, sayang kalau berhenti sekolah.”

Dan Nugi bisa berkuliah dengan bea siswa. Walau begitu bukan berarti ia tak butuh biaya.

“Nugi, makan sambil melamun ya?”

Nugi terkejut, lalu menatap Puspa sambil tersenyum.

Dan lagi-lagi Nugi merasakan ada sesuatu yang aneh pada batinnya.

“Jangan bilang aku jatuh cinta pada gadis itu. Siapa dia, dan siapa diriku. Sadar Nugi, kamu hanya merindukan bulan, sementara kamu hanyalah pungguk kecil segenggaman tangan,” kata batin Nugi memarahi dirinya sendiri.

“Tidak enakkah?”

“Sangat enak,” jawab Nugi sambil melanjutkan menyendok buburnya.

Ketika mereka selesai makan, Puspa mengumpulkan bungkus bekas bubur dan memasukkannya ke dalam keresek. Ketika Nugi memintanya untuk membuangnya ke tempat sampah, Puspa melarangnya. Ia sendiri yang kemudian membawa ke tempat sampah dan membuangnya.

Nugi menatapnya dan mengeluh panjang.

“Ini tak bisa diteruskan. Aku harus bisa membunuh perasaan aneh ini, dan menghindari pertemuan dengannya. Nanti aku terjerumus ke dalam lobang yang menyakitkan karena cinta tak mungkin berbalas,” kata batin Nugi, yang kemudian berdiri, sehingga Puspa yang sudah kembali, urung duduk seperti tadi.

“Ke kelas?”

“Aku mau ke perpus lagi, ada yang aku cari untuk bahan skripsi.”

“Aku juga mau ke sana,” kata Puspa yang kemudian mengikutinya. Susah payah Nugi mengendapkan debar jantungnya yang tak beraturan. Alangkah bencinya ia dengan perasaan ini.

***

Srikanti sedang berada di toko perlengkapan rumah tangga. Ia memilih-milih, lalu meminta semua barang belanjaan itu di kirim ke rumah barunya.

Minggu depan semuanya sudah oke. Ia membayar orang untuk membersihkan rumah dan menata perabotan lengkap karena ia akan segera menempatinya bersama Priyadi. Hanya saat suaminya pulang saja Srikanti kembali ke rumah suaminya.

Puspa yang pulang dari kampus melihat bibik menyingkirkan semua makanan yang semula tertata di meja.

“Bik, kok sudah diangkat semuanya?”

“Ya ampun Non, bibik sampai terkejut. Non mau makan ya? Biar bibik tata kembali.”

“Baiklah, aku juga lapar, tapi aku mau ganti baju dulu,”

Dan siang hari itu Puspa makan sendirian, ditemani bik Supi.

“Ibu tidak makan?”

“Sudah beberapa hari ini Nyonya selalu pulang sore. Jadi hanya makan malam kalau bersama Tuan. Terkadang pergi setelah Priyadi kembali dari kantor, sore hari baru pulang.”

“Setiap hari?”

“Iya Non, jadi meskipun bibik sudah menata makanan di meja makan, selalu tidak termakan, sehingga bibik mengangkatnya kembali ke dapur. Hari ini tumben non Puspa pulang agak siang, jadi bisa menikmati masakan bibi di siang hari.”

“Akhir-akhir ini ibu kelihatan sekali kalau kesal padaku.”

“Ada apa sih Non?”

“Entahlah, aku sendiri tidak tahu.”

“Mungkin ada yang membuat nyonya kesal pada Non.”

“Ya, pastinya. Tapi itu apa, aku tidak tahu.”

“Ya sudah, sebagai seorang anak, Non harus diam, jangan rasa kesal dilawan dengan kesal.”

“Aku hanya berpikir saja. Tidak ingin menanyakan apa-apa pada ibu.”

“Ya, itu yang terbaik.”

Puspa meneruskan makannya.

“Bik … aku mengenal seseorang yang baik di kampus. Dia laki-laki yang pintar.”

“Oh, Non sudah punya pacar?”

Puspa tertawa.

“Belum, tapi teman aku itu sangat menarik.”

“Non itu sudah besar, sudah dewasa, sudah saatnya jatuh cinta. Bibik doakan agar Non mendapat suami yang baik, yang mencintai, yang bisa menjaga dan melindungi.”

“Aamiin.”

“Apakah dia anak orang kaya seperti tuan?”

“Dia anak orang biasa.”

“Lha kok orang biasa sih Non, bagaimana kalau nanti nyonya atau tuan tidak suka? Gadis seperti Non ini pantasnya mendapat suami orang yang sepadan.”

“Bagaimana kalau sukanya sama orang biasa?”

"Ya nggak cocok Non.”

“Mengapa sih Bik? Bagaimana kalau anak bibik mendapat istri orang kaya?”

“Apa?”

Bibik terkekeh lucu.

“Kok tertawa sih Bik?”

“Ya mana mungkin anak bibik mendapat istri anak orang kaya. Mana ada orang kaya yang mau sama anak bibik?”

“Namanya cinta, bagaimana bisa menolaknya.”

“Cinta itu memang adalah cinta. Tapi tidak semua cinta harus membuat orang lupa segalanya. Orang itu sebaiknya duduk sama rendah, berdiri sama tinggi.”

“Jadi kalau anak Bibik menyukai orang kaya, Bibik pasti melarangnya?”

“Ya bukan melarang Non, itu tidak mungkin.”

“Anak Bibik kan ganteng, pasti banyak yang suka.”

“Dari mana Non tahu kalau anak saya ganteng?” lalu Puspa terkejut karena kelepasan bicara.

“Eh .. itu … pastinya kan begitu, karena Bibik juga cantik.”

Bibik tertawa lagi.

“Memangnya kalau ibunya cantik, anaknya harus cantik atau ganteng?”

“Mestinya begitu sih Bik.”

“Ya belum tentu. Terkadang orang tuanya nggak cantik, bapaknya jelek, anaknya cantik lhoh Non. Tetangga kampung saya ada yang seperti itu.”

“Masa sih Bik?”

“Iya Non. Bisa saja terjadi seperti itu.”

“Lalu … anak Bibik seperti apa?”

“Kalau yang ditanya bibik, ya bibik bilang ganteng, mana ada orang tua yang ngatain anaknya jelek?”

“Kapan-kapan ajak anak Bibik kemari ya, biar kenal sama aku.”

“Takut Non.”

“Mengapa takut?”

“Nanti dimarahin nyonya, ngajakin anak ke tempat kerja.”

“Apa anak Bibik tahu, di mana Bibik bekerja?”

“Tahunya di kampung sini, tapi persisnya di mana, dia tidak tahu.”

“Pada suatu hari nanti ajak kemari ya Bik, kalau ibu marah, nanti aku yang jawab.”

“Nggak enak, membuat majikan marah.”

“Cobain saja, masa anak nggak tahu di mana ibunya bekerja.”

“Besok-besok ya Non, sekarang ini, kata Nugi lagi sibuk bikin sekripsi … gitu Non, bener ya namanya itu?”

“Iya, hampir bener Bik.”

“Naa, kata dia, dia juga minta agar bibik mendoakan supaya semuanya lancar, dia cepet lulus, lalu segera mendapat pekerjaan.”

“Nanti, kalau sudah lulus, bilang sama bapak, perusahaan bapak pasti bisa menerima Nugi.”

“Ya nggak berani Non.”

“Nanti aku yang bilang sama bapak. Masa anaknya pak Priyadi dibantuin, kok anak Bibik tidak?”

“Entahlah nanti Non, yang penting dia lulus dulu.”

“Iya benar.”

***

Siang hari itu Sekar sedang keluar dari kantornya, karena ada keperluan ke sebuah bank. Di jalan saat akan kembali ke kantor, dia melihat mobil sang ayah melintas.

“Itu seperti mobilnya bapak."

Sekar kebetulan akan melewati jalan yang sama, sehingga ia berada tak jauh di belakang mobil sang ayah.

“Bapakkah yang ada di dalam mobil, atau ibu?”

Kaca mobilnya gelap, jadi tidak kelihatan siapa yang ada di dalam.

Tiba-tiba Sekar melihat mobil sang ayah berhenti, lalu masuk ke halaman. Sekar heran, rumah siapa itu?

“Kelihatannya baru dibangun. Bagus sekali rumahnya, walau tidak begitu besar."

Sekar menghentikan mobilnya agak jauh di sebelah pagar rumah itu. Sekar juga melihat sebuah pickup menurun-nurunkan barang di halaman rumah, lalu beberapa orang mengusungnya ke dalam.

Yang membuat Sekar heran, yang turun dari mobil bukan ayahnya, tapi ibunya, dan Priyadi.

***

Besok lagi ya.

Saturday, December 13, 2025

HANYA BAYANG-BAYANG 12

 HANYA BAYANG-BAYANG 12

(Tien Kumalasari)

 

Srikanti masih menatap ponsel itu tanpa menyahut sapaan dari seberang sana. Panggilan Nilam kepada ayahnya, mengapa ‘mas’? Ia membiarkan saja panggilan itu sampai kemudian mati dengan sendirinya. Wajahnya tampak aneh ketika Priyadi sudah datang mendekatinya.

“Sudah pesan?” tanya Priyadi, tanpa dosa.

“Sebenarnya siapa yang kamu tulis namanya dengan ‘sayangku’ di ponsel kamu?” tanya Srikanti tanpa mempedulikan pertanyaan Priyadi.

“Maksudmu apa?”

“Siapa sebenarnya yang bernama ‘sayangku’ di ponsel kamu?”

“Apa?”

“Jangan pura-pura bego. Aku tanya, siapa dia?”

“Bukankah aku sudah bilang kalau itu Nilam, anakku?”

”Anakmu ya? Mengapa dia memanggil kamu ‘mas’?”

“Apa?”

“Dari tadi apa … apa … terus.”

“Itu nomornya Nilam, coba saja kamu telpon kalau tidak percaya.”

“Dia sudah menelpon tadi, aku coba mengangkatnya, tiba-tiba dia langsung memanggil ‘mas’. Apa ada anak memanggil ayahnya ‘mas’?”

“Oh, ya ampun, tadi dia menelpon, memanggil ‘mas’ … gitu? Dasar anak itu.”

Priyadi agak terkejut, tapi ia segera menemukan akal untuk mengecoh Srikanti. Ia tahu di mana kelemahan Srikanti, rupanya nanti ia harus merayunya sampai dia minta tolong.

“Kenapa?”

“Dulu waktu masih bersama ibunya, kalau ketemu aku, ibunya menyuruhnya memanggil aku ‘mas’ begitu.”

“Masa? Kenapa?”

“Karena ibunya tidak ingin Nilam menganggap aku ayahnya. Jadi kadang-kadang dia masih terbiasa dengan panggilan itu?”

“Benarkah?”

“Ya ampun, masa aku tega membohongi perempuan yang aku cintai?”

“Cinta gombal.” Srikanti merengut, tapi Priyadi tahu kalau Srikanti sudah mulai luluh kemarahannya.

“Sri, di dunia ini hanya kamu yang aku cintai. Itu sebabnya aku tidak ingin menikah lagi seperti saran tuan Sanjoyo.”

“Tuan menyuruh kamu menikah lagi?”

“Ya, karena aku katanya masih muda, masih gagah, jadi harus punya istri lagi. Mana bisa aku menjalaninya? Aku sudah punya perempuan yang tak ada duanya di dunia ini.”

“Kamu bilang apa waktu tuan berbicara begitu?”

“Ya aku hanya tertawa saja.”

Senyuman Srikanti merekah. Ia tak ingin kehilangan Priyadi, dan apapun akan dilakukannya untuk Priyadi.

“Nanti setelah makan, kita mampir di tempat biasa. Bagaimana?”

Srikanti tersenyum, ia sudah tahu maksud Priyadi mengatakan itu. Tempat biasa adalah tempat tersembunyi di mana mereka biasa bersenang-senang.

“Mau tidak? Aku sudah kangen sama kamu lho Sri.”

“Terserah kamu saja,” jawab Srikanti sambil tersenyum, dan senyuman itu menyiratkan bahwa kemarahannya sudah hilang, dan ajakan Priyadi itulah yang membuatnya.

“Ayo kita makan saja dulu, pesanan sudah terhidang.”

“Iya, aku juga sudah lapar nih.”

Dan mereka mempercepat acara makan itu, karena ada acara lain yang pasti membuat mereka sangat sibuk dan barangkali melupakan waktu juga.

***

Karena menelpon Priyadi tidak segera direspon, tuan Sanjoyo menelpon istrinya. Tapi sama saja, keduanya tidak mengangkat panggilannya. Karenanya ia menelpon Puspa.

“Ya Pak.”

“Kamu ada di mana?”

“Di rumah, tadi belanja sama bibik, tapi tidak lama. Memangnya kenapa?”

“Ibumu ada?”

“Tidak ada, pergi sama pak Pri pastinya, karena tadi pagi sudah menunggu-nunggu.”

“O, barangkali ke panti-panti itu. Tapi ini sudah sore, belum pulang juga?”

“Belum Pak. Bapak masih di kantor? Berarti belum dijemput ya Pak?”

“Belum, apa kamu bisa menjemput bapak?"

“Tentu bisa Pak, tunggu sebentar, Puspa jemput ya.”

Puspa segera bergegas ke kamarnya, mengambil kunci mobil.

“Bik aku pergi dulu.”

“Ke mana Non?”

“Ke kantor bapak, bapak belum dijemput. Ini aku mau menjemputnya,” katanya sambil berlalu.

Bibik geleng-geleng kepala.

“Sampai lupa menjemput majikannya?” gumamnya pelan.

***

Di kantor sang ayah, Puspa ketemu gadis bernama Nilam yang katanya anak Priyadi.

“Ini yang namanya Nilam?”

“Iya Mbak.”

“Ini Puspa, anak bungsuku,” kata tuan Sanjoyo.

Mereka bersalaman. Puspa baru pertama kali ketemu Nilam, kecuali hanya mendengar namanya saja, sebelum ini.

“Ayo kita pulang,” ajak Puspa sambil mendorong kursi roda sang ayah, menuju mobil.

Ia memapah ayahnya untuk masuk ke dalam mobil, lalu menyimpan kursi roda di bagasi.

Nilam duduk di samping kemudi.

“Tadi bekerja apa saja?” tanya Puspa berusaha ramah.

“Akan bapak coba untuk menjadi sekretaris bapak. Lumayan dia bisa komputer. Tapi tentang pekerjaan yang nanti dia kerjakan masih harus banyak belajar," kata sang ayah.

“Saya selalu mohon bimbingan Bapak," kata Nilam.

“Nanti akan ada yang mengajari kamu. Aku punya sekretaris yang lain, tapi hari ini sedang tidak masuk kerja. Tidak apa-apa, kamu nanti menjadi pembantu sekretaris.”

“Terima kasih, Pak.”

Puspa hanya diam. Sekretaris untuk sang ayah sudah ada, tapi sekarang sang ayah mengangkat Nilam menjadi pembantu sekretaris. Seperti dipaksakan, barangkali karena mengingat Priyadi yang sudah lama mengabdi di perusahaan.

“Aku heran, hari ini Priyadi terlambat lagi. Ke mana dia?”

“Tadi pagi sih pergi sama ibu.”

“Barangkali ke panti-panti itu yang agak lama,” kata tuan Sanjoyo.

Wajah Nilam menjadi muram. Ia tahu bagaimana hubungan Priyadi dengan sang nyonya.

“Pasti ia mencari kesempatan untuk bersenang-senang. Awas saja nanti kalau sudah pulang,” geram Nilam dalam hati.

“Kamu ngantuk ya Nilam?” tanya Puspa ketika melihat wajah Nilam tampak suram.

Nilam mencoba tersenyum.

“Sedikit mbak. Maklum, sudah lama tidak bekerja.”

“Nanti sesampai di tempat kost langsung tidur saja.”

“Kata ibumu, Nilam disuruh pindah ke rumah saja,” sambung tuan Sanjoyo.

“Tidak usah Pak, saya pulang ke tempat kost bapak saya saja,” kata Nilam yang tentu saja memilih tidur bersama Priyadi daripada di rumah tuan Sanjoyo yang besar dan bagus, tapi tidur sendiri.

“Itu keinginan istriku. Malah dia pengin ngangkat kamu jadi anak.”

Puspa terkejut. Apa-apaan ibunya ini. Mengangkat Nilam jadi anak? Mengapa? Nilam sudah diberi pekerjaan, apa belum cukup?

“Terima kasih, tapi saya tinggalnya sama ayah saya saja.”

“Ya sudah terserah kamu, atau nanti apa kata istriku. Kalau aku sih terserah dia mau apa, karena semua-semua itu yang mengatur dia.”

“Mm … bagus sekali kalau semua-semua terserah istrinya, akan lebih gampang mas Priyadi mengerjainya,” kata batin Nilam. Walau begitu rasa geram karena mereka belum kembali membuat hatinya semakin panas. Karenanya diam-diam dia menuliskan pesan untuk Priyadi.

“Mas lagi ngapain? Tuan Sanjoyo menunggu, sampai yang jemput anaknya yang bernama Puspa.” begitu kata pesannya, dan itu memang membuat Priyadi kemudian terkejut karena saat itu ia ketiduran, demikian juga Srikanti yang tergolek di sebelahnya.

“Sri … Sri, bangun, sudah sore. Tuan Sanjoyo dijemput Puspa.”

Srikanti juga terkejut. Ia buru-buru bangun dan setengah berlari menuju ke kamar mandi.

“Pri, coba cari alasan yang tepat, mengapa kita datang terlambat,” katanya sambil menutup pintu kamar mandi.

Priyadi mengenakan pakaiannya lalu menggaruk-garuk kepalanya yang tiba-tiba serasa digerayangi ribuan semut.

“Alasan apa lagi … alasan apa lagi … ya ampuuuun, mengapa sampai ketiduran semua. Srikanti juga kebangetan, kalau sudah ngorok lupa waktu. Harusnya dia bisa mengingatkan aku. Sial benar hari ini.”

“Bagaimana Pri, kita harus bilang apa? Lihat ponselmu, pasti juga seperti ponselku, banyak panggilan tak terjawab,” kata Srikanti yang sudah selesai merapikan baju dan dandanannya.

“Bilang apa? Kamu juga mikir dong.”

“Bilang mobilnya mogok lagi saja Pri.”

“Ya sudah kalau itu satu-satunya jalan. Ayo cepat, hari sudah gelap.”

***

Sesampai di rumah, tuan Sanjoyo tidak melihat mobil istrinya, berarti ia belum pulang. Ia meraih ponselnya dan menelpon. Kali ini langsung dijawab.

“Ya Mas, ya ampuun Mas, mobilnya rewel lagi. Dari siang tadi nungguin di bengkel,” jawab Srikanti.

“Kalian di mana?”

“ Anu .. di … itu … di dekat panti Welas Asih …,” jawabnya sekenanya. Panti Welas Asih adalah salah satu panti yang harusnya mendapat sumbangan dari keluarga Sanjoyo.

“Kalau memang rusaknya parah, mengapa ditungguin? Kalian bisa langsung pulang atau mengabari Puspa untuk menjemput.”

“Saya kira hanya sebentar. Nggak kepikiran minta jemput juga.”

“Ini sudah selesai?”

“Sudah Mas, ini dalam perjalanan pulang, hampir sampai.”

“Ya sudah.”

“Rusak apanya Pak? Mobil bagus begitu … Mobil Bapak kan yang dipakai?“ kata Puspa.

“Iya, mobil bapak … Mungkin Pri kurang hati-hati merawatnya. Pagi tadi juga baik-baik saja.”

“Ini sudah selesai? Kalau jam segini apa bengkel masih buka?”

“Katanya sudah hampir sampai rumah.”

“Oh, ya sudah, kalau masih harus menunggu mau Puspa jemput saja.”

“Tidak, katanya sudah hampir selesai.”

Puspa melangkah ke belakang. Di meja dapur, Nilam sedang menikmati teh panas buatan bibik.

“Ayahmu sebentar lagi sampai,” kata Puspa kepada Nilam.

“Oh, iya … syukurlah.”

“Katanya mobilnya rusak, nggak tahu apanya.”

Nilam mengangguk, lalu melanjutkan menyeruput kembali minumannya.

***

“Apa yang rusak Pri?”

“Tadi … itu Tuan, remnya blong tiba-tiba, pokoknya bahaya kalau diteruskan, makanya langsung saya bawa ke bengkel. Tadi banyak yang harus dibenahi seperti karburator atau apa. Semuanya sudah beres, tuan.”

“Tadi pagi sepertinya tidak apa-apa. Kamu sudah lama menjadi sopir, juga harus tahu tentang mesin, jangan sampai terjadi dalam perjalanan lalu terhalang karena mobilnya rewel. Kalau rem bisa blong, barangkali kampas atau booster atau minyak rem habis. Kamu tidak cermat, asal mancal. Harusnya, karena kesehatan aku kurang memadai, kamu lebih teliti mengamati semua perangkat. Sehingga tidak sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan."

“Iya Tuan, mohon maaf, saya kurang mengerti tentang mobil, tapi tadi saya sudah belajar sedikit dari tukang bengkel tentang mesin. Tapi maaf Tuan, saya akan langsung pulang. Kasihan Nilam belum istirahat juga.”

“Ya sudah, pulanglah.”

Tapi ketika Priyadi pulang, tuan Sanjoyo geleng-geleng kepala. Ia heran Pri tidak cermat dalam memelihara mobil yang setiap hari dipegangnya.

“Ada apa?” tanya Srikanti. Ia sudah selesai mandi, tapi tadi mendengar sedikit ketika suaminya menegur Priyadi. Memang Priyadi asal bilang rusaknya mobil, karena semua memang hanya rekayasa, jadi tidak bisa cermat mengatakan apa rusaknya.

“Aku heran sama Priyadi, berpuluh tahun jadi sopir, kok tidak bisa memahami, mobil yang selalu dibawanya itu harus bagaimana, pastinya kan begitu.”

“Mobil Mas itu sudah bisa dibilang tua, harusnya ganti yang baru. Jangan karena rewel lalu Priyadi yang disalahkan.”

“Sebagai sopir harusnya dia mengerti tentang mesin mobil.”

“Itu karena mobil Mas selalu keluaran terbaru, kemungkinan rusak hampir tidak ada. Yang itu sudah lama Mas tidak ganti mobil kan?”

“Sebenarnya masih bagus. Aku tidak suka lagi ganti-ganti mobil.”

“Seperti tidak punya uang saja,” omel Srikanti.

“Bagaimana tadi, urusan sumbangan ke panti-panti sudah beres?”

“Beres semua Mas, mereka berkali-kali mengucapkan terima kasih karena selalu mendapat sumbangan dari keluarga kita.”

“Syukurlah. Bahagia rasanya bisa berbagi.”

“Bagaimana Nilam? Mas beri tugas apa dia?”

“Tadi masih belajar sedikit, besok kalau seketarisku masuk biar belajar pada dia. Nanti dia akan menjadi asisten sekretaris."

“Mengapa tidak jadi sekretaris saja sekalian? Hanya asisten ….”

“Sekretarisku itu kerjanya bagus. Tidak bisa digantikan. Nilam belum pernah bekerja di perusahaan besar seperti milik kita, jadi dia harus banyak belajar.”

***

Pagi hari itu Puspa pergi ke kampus, begitu memarkir mobilnya, ia melihat ke parkiran motor, dan merasa lega ketika melihat sepeda motor butut yang dikenalnya. Itu milik Nugi. Dada Puspa tiba-tiba berdebar lebih keras. Ia heran ada apa. Ia tak tahu bahwa cinta sedang mengetuk-ngetuk jantungnya agar berpacu lebih cepat. Lalu Puspa mencari-cari, di mana dia kira-kira?

Tapi walaupun motornya ada, Puspa tidak menemukan Nugi di mana-mana. Apakah di perpustakaan? Dia amat suka berada di sana saat senggang. Setengah berlari Puspa pergi ke sana, dan apa yang dilihatnya, Nugi sedang berbincang dengan seorang gadis, adik kelasnya.

Perasaan tak enak segera merayapi aliran darahnya. Apakah Puspa cemburu?

***

Besok lagi ya.

Friday, December 12, 2025

HANYA BAYANG-BAYANG 11

 HANYA BAYANG-BAYANG  11

(Tien Kumalasari)

 

Tuan Sanjoyo mengangguk senang, mendengar kesanggupan Puspa. Ia heran sang istri menolaknya.

“Mengapa Sri, biar saja kalau Puspa ingin membantu. Pastinya dia sedang libur. Ya kan Puspa?”

“Iya Pak, daripada bengong di rumah, sama mau mengajak bibik sekalian belanja dapur.”

“Kamu tidak usah ikut urusan masalah sumbangan. Biar ibu yang urus,” tegas kata Srikanti.

“Puspa hanya ingin membantu. Biar Puspa tahu bagaimana rasanya bersedekah, jadi besok kalau Puspa sudah punya uang sendiri, biar tinggal menjalani," kata Puspa.

“Iya Sri, biar saja anakmu yang mengirimkan. Kelihatannya dia ingin sekali. Dia juga ingin belajar.”

“Tidak usah, itu kan pekerjaan aku. Puspa tidak usah ikutan.”

“Ya sudah kalau tidak boleh, besok aku belanja saja sama bibik. Nanti bibik biar mencatat semua keperluannya, Ibu berikan uangnya saja,” kata Puspa sambil berlalu. Tampaknya dia kecewa, tapi juga heran, mengapa sang ibu tidak mau dibantu.

“Kelihatannya Puspa kecewa tuh,” kata tuan Sanjoyo.

“Biarkan saja. Paling dia cuma mau jalan-jalan. Ini catatannya Mas, berikan uangnya sekarang, biar aku yang membagi-bagi. Amplop dan alamatnya sudah aku siapkan.”

“Ya, sebentar. Tapi aku ingin bilang sama kamu, lain kali beri anakmu kesempatan untuk melakukan apa yang dia inginkan. Niatnya membantu, tapi juga sambil belajar.”

“Iya, nanti gampang. Aku itu hanya tidak ingin dia ikut campur yang bukan urusan dia. Ini kan urusan aku.”

“Sumbangan itu bukan dari kamu pribadi, atau aku pribadi, tapi dari keluarga Sanjoyo. Jadi siapa saja boleh mengurusnya.”

“Masalah uang jangan dulu anak-anak ikut mengurus. Belum saatnya.”

Walau tidak mengerti maksud istrinya, tuan Sanjoyo tidak ingin berbicara lagi. Ia memberikan sejumlah uang, lalu Srikanti sudah memasukkannya ke dalam amplop-amplop.

“Urusan begini, dia masa mengerti?”

“Harusnya disuruh belajar, biar mengerti,” tak urung tuan Sanjoyo masih tetap buka suara.

“Hanya belum saatnya Mas, jangan dipaksa.”

Tuan Sanjoyo merasa, justru istrinya yang tidak bisa mengerti tentang apa yang diinginkannya. Ia terus berpegang bahwa uang adalah urusan dia, bukan orang lain, walau itu adalah anaknya. Sudah bertahun-tahun keluarga Sanjoyo menjadi donatur pada beberapa panti, tapi selalu Srikanti yang mengurusnya. Mengapa harus selalu dia yang mengurusnya? Harusnya  hal itu menjadi pertanyaan bagi tuan Sanjoyo, tapi kenyataannya kalau sang istri sudah bersikeras memutuskan sesuatu, tuan Sanjoyo tak bisa melakukan apa-apa. Ia seperti selalu bergantung pada Srikanti, karena kecuali urusan pekerjaan, semua urusan ada di tangan Srikanti.

***

Pagi hari itu Puspa sudah bersiap untuk belanja. Bibik sudah memberikan catatannya, dan Puspa sudah meminta uang pada sang ibu.

“Aku menunggu pak Pri dulu Bu, nanti kalau sudah selesai pekerjaannya di kantor, kan dia pulang.”

Mendengar perkataan sang anak, Srikanti mendadak murka.

“Apa maksudmu menunggu Pri? Dia pulang dari kantor atas permintaan ibu, jadi dia nanti akan mengantarkan ibu ke mana-mana.”

“Ke panti-panti itu? Kalau begitu aku mau ikut ibu dulu.”

“Tidak. Seperti anak kecil saja, ngikut ke mana ibunya pergi. Kamu kan punya mobil sendiri? Ya jalanlah sendiri, mengapa harus diantar Priyadi?” kata Srikanti dengan nada tinggi.

“Mengapa Ibu harus marah? Puspa juga tidak memaksa. Kalau mau dipakai Ibu, ya pakai saja. Puspa mau naik mobil sendiri.”

“Soalnya akhir-akhir ini kamu suka sekali bikin jengkel ibu.”

“Ya sudah, Puspa minta maaf,” katanya sambil berlalu, untuk melihat kesiapan bibik. Ternyata bibik sudah siap, menunggu Puspa di kursi dapur. Ia juga mendengar  perdebatan nyonya majikan dan anak gadisnya tentang Priyadi. Tentu saja Priyadi harus mengantar sang nyonya, bukan non cantik yang katanya suka sekali bikin jengkel akhir-akhir ini. Bibik sudah tahu semuanya, tapi mana berani dia membuka mulutnya?

“Bibik sudah siap?”

“Dari tadi saya menunggu Non.”

“Baiklah, ayo kita berangkat.”

Keduanya beranjak ke depan, sementara Puspa kemudian mengambil mobilnya sendiri. Mereka berpamit pada Srikanti   yang duduk di teras, dan pastinya sedang menunggu Priyadi.

***

“Aku heran pada ibu. Aku tuh ingin mengantarkan sumbangan-sumbangan ke panti. Pengin sih, soalnya belum pernah. Tapi ibu melarangnya keras. Bahkan bapak mendukung keinginan aku, tapi tetap saja ibu menolak.”

“Alasan nyonya kan ada sih Non, Non tidak usah marah juga. Nanti di sini marah, di sana marah.”

“Alasannya seperti tidak masuk akal. Hanya karena itu urusan ibu, bukan urusan aku. Bukannya aku hanya ingin membantu?”

“Mungkin belum waktunya Non memikirkan urusan sumbangan.”

“Apakah aku masih kecil?”

“Setidaknya begitulah anggapan nyonya.”

“Lalu tadi itu lagi, aku mau minta agar pak Pri mengantar, ee … ibu marah-marah. Mengapa harus marah sih Bik? Kalau memang dilarang kan aku tidak akan memaksa? Cukup bilang mau ngantar ibu, mengapa harus marah?”

“Non harus sabar. Pastinya nyonya sedang tidak senang hati, jadi bawaannya marah.”

“Bibik bukannya membela aku, malah membela ibu.”

Bik Supi tertawa.

“Non Puspa seperti anak kecil saja. Kalau  nyonya marah-marah, jangan ditanggapi dengan marah juga. Ayo cerita yang lainnya  saja.”

“Mau cerita apa, lagi males.”

“Eh Non, Non tahu tidak, yang tadi datang bersama Priyadi?”

“Oh, itu … yang katanya anaknya pak Pri? Lumayan cantik.”

“Iya. Heran aku, sama Priyadi manjanya bukan alang kepalang. Masa duduk sarapan di kursi dapur, sambil kepalanya disandarkan dipundak bapaknya.”

“Mungkin lama tidak ketemu. Kabarnya ibunya baru meninggal, lalu mencari bapaknya. Sekarang mau minta  bekerja di kantor bapak.”

“O, pantesan tadi ikut tuan ke kantor.”

“Iya Bik, aku juga belum sempat kenalan tadi, soalnya ketika bapak sama ibu sarapan, aku sedang mandi. Aku ngantuk, habis subuh tidur lagi.”

“Katanya kalau habis subuh tidur lagi itu pahalanya berkurang lhoh Non.”

“Masa iya? Semalam aku belajar sampai malam soalnya. Oh ya Bik, apa hari ini anak Bibik sudah masuk kuliah?”

“Entahlah Non. Sebenarnya sudah sehat, tapi neneknya melarang langsung pergi kuliah. Katanya suruh besok saja, supaya benar-benar sehat. Jadi pastinya hari ini tidak masuk. Lagian dia kemarin bilang kalau hari ini nggak ada kuliah. Eh, sama dengan Non ya?”

Puspa tertawa. Tentu saja sama, Nugi kan temannya? Puspa tidak tahu, sampai kapankah dia menyembunyikan pertemanannya dengan Nugi.

“Bik, ketika Bibik pulang itu, apakah tidak ada yang bertanya, Bibik diantar siapa? Kalau Bibik bilang diantar aku, aku pasti dikira sombong karena tidak mau turun. Waktu itu kan harusnya aku langsung ke kampus.”

“Iya, bibik tahu kok. Dan bibik tidak mengatakan kalau Non yang mengantar. Maksud bibik, bibik tidak menyebut nama Non. Bibik hanya bilang kalau diantar anak majikan, begitu Non. Tidak ada yang ngatain sombong kok.”

“Ya sudah, baguslah kalau begitu.”

“Non belanjanya mau di mana sih?”

“Di supermarket biasanya, aku tadi muter, karena kalau lewat sana pasti macet.”

***

Srikanti sudah berada di dalam mobil bersama Supri. Ke panti-panti untuk menyerahkan sumbangan? Tidak. Srikanti yang cerdik mempergunakan uang itu untuk keperluannya sendiri. Dan tuan Sanjoyo tidak pernah mengurusnya. Ia percaya kepada istrinya. Percaya sepenuhnya. Bahkan ia juga percaya bahwa sang istri sangat mencintainya, dan melayaninya dengan sepenuh jiwa raganya.

“Pri, anakmu sudah kamu tinggal di kantor?”

“Tuan Sanjoyo yang menyuruhnya.”

“Ia ditaruh di bagian apa? Harusnya di tempat yang strategis, sehingga bisa mengerti tentang perusahaan.”

“Entahlah, tadi disuruh belajar, nggak tahu ditaruh di mana.”

“Kamu kan tahu Pri, anakmu, Puspa, tidak mau ikut memegang perusahaan tuan Sanjoyo. Berkali-kali aku merayunya, dia tetap menolak. Katanya dia ingin bekerja sendiri, mencari uang tanpa bantuan tuan Sanjoyo.”

“Kamu kan bisa memaksanya sih Sri. Hanya dia satu-satunya jalan untuk menguasai perusahaan itu.”

“Setiap hari aku bicara, dia tetap menolak. Karena itu aku kesal sekali pada dia. Akhir-akhir ini dia menjengkelkan sekali.”

“Kalau saja nanti Nilam bisa, ya harapan kita tinggal pada Nilam.”

“Bagus sekali kalau bisa, tapi dia harus banyak belajar. Nanti kalau pekerjaannya bagus, aku akan minta pada tuan agar Nilam aku jadikan anak angkat.”

“Aku akan berpesan pada dia agar dia belajar dengan sungguh-sungguh.”

“Itu benar. Kalau Nilam berhasil, akan aku lepaskan tuan Sanjoyo, karena aku mau hanya memiliki kamu saja,” kata Srikanti sambil bersandar di bahu Priyadi.

“Semoga dia bisa. Sekarang bagaimana? Kamu sudah punya uang? Uang aku sudah menipis.”

“Uang sumbangan ke panti-panti sudah aku bawa. Bagaimana dengan pembangunan rumah kita?”

“Sudah berjalan seperti keinginan kita. Bulan depan kita sudah bisa menempatinya.”

“Aku sudah bermimpi menempati rumah baru dan bisa bersenang senang setiap saat denganmu Pri. Tidak usah ke hotel, atau di kamarku, karena kalau di kamar itu kemungkinan besar bik Supi bisa mengintip kita.”

Priyadi terbahak-bahak.

“Kita kan tidak sering di rumah Sri, hanya kadang-kadang. Lagian kalau bik Supi melihat, dia bisa apa? Kalau sampai dia macam-macam atau berani melaporkan pada tuan, pecat saja.”

“Tidak, dia tidak tahu apa-apa.”

“Ayo ke rumah dulu, dan ini uang untuk kamu, yang lainnya nanti buat bayar tukang juga kan?”

“Iya, benar.”

“Setelah dari rumah, kita akan makan di luar.”

“Lalu kita melihat perabotan-perabotan saja dulu. Begitu rumah sudah jadi, kita sudah punya semua yang kita butuhkan untuk kebutuhan rumah tangga.”

“Terserah kamu saja.”

***

Ketika mereka makan di restoran berdua, Priyadi tiba-tiba pamit ke belakang. Srikanti sedang memesan makanan, ketika ponsel Priyadi berdering. Bodohnya Priyadi, mengapa ponsel tidak dibawa, sehingga Srikanti bisa melirik siapa yang menelpon. Ketika ia melihat siapa yang memanggil, hati Srikanti tergerak untuk mengangkatnya. Ia membaca namanya, ‘sayangku’ jadi Srikanti tidak merasa bersalah ketika mengangkatnya. Bukankah itu nomor Nilam?

Tapi begitu diangkat, suara dari sana mengejutkannya.

“Mas, nanti aku pulang jam berapa?”

Srikanti tertegun.

***

Besok lagi ya.

 

 

Thursday, December 11, 2025

HANYA BAYANG-BAYANG 10

 HANYA BAYANG-BAYANG  10

(Tien Kumalasari)

 

Tuan Sanjoyo meletakkan kembali ponsel Priyadi sambil tersenyum. Ia membatin, rupanya Priyadi punya kekasih? Mana tahu sang tuan siapa yang dianggap kekasih oleh Priyadi. Ia tenang karena tak punya pikiran apa-apa, sampai kemudian Priyadi kembali sambil membawa obat gosok pesanan sang majikan.

“Ponselmu berdering berkali-kali.” kata tuan Sanjoyo setelah mobilnya berjalan.

“Oh, iya. Benarkah?”

“Iya, aku tadi mengambil ponselmu, ternyata kamu punya pacar?”

“Apa?” Priyadi terkejut.

Tuan Sanjoyo tertawa melihat wajah Priyadi yang tiba-tiba berubah.

“Mengapa kamu ini? Wajar saja kalau kamu punya kekasih. Kamu masih muda, belum bisa dibilang tua, jadi semangat untuk memiliki kekasih itu wajar. Tidak usah takut.”

“Tap … pi … Tuan … mengapa Tuan …”

“Aku kan bilang tadi sempat mengambil ponselmu, jangan khawatir, aku tidak membukanya, hanya melihat siapa pengirimnya, barangkali dari nyonya yang ingin memesan sesuatu. Tapi aku membaca namanya di situ, ‘sayangku’. Romantis sekali kamu,” kata tuan Sanjoyo sambil tersenyum.

“Oh, itu … “ wajah Priyadi sudah pucat pasi.

“Tidak apa-apa Pri, aku tidak akan marah kok. Atau kamu ingin menelponnya dulu, barangkali kekasihmu itu membutuhkan sesuatu, dan itu sangat penting.”

“Tidak, Tuan. Sebenarnya … itu telpon dari Nilam, anak saya.”

“Oh, dari Nilam? Maka kamu tuliskan namanya dengan sayangku, begitu? Mengapa tidak namanya saja?”

“Tidak … tuan, begitu bahagianya saya karena mendapatkan anak saya kembali, jadi saya tuliskan namanya dengan … itu … “ jawab Priyadi yang tiba-tiba sudah menemukan kalimat untuk berdalih.

“Oh, begitu. Aku pikir kamu punya pacar. Tapi kalau memang kamu punya pacar juga tidak apa-apa Pri, kamu masih belum bisa dibilang tua. Masih sehat dan gagah. Carilah istri, supaya kamu tidak kesepian.”

Priyadi menelan ludah. Begitu perhatian tuan majikan ini kepada dirinya, tapi dengan tega dia mengkhianatinya.

Tiba-tiba ponselnya berdering lagi. Kembali dari ‘sayangku’.

“Angkatlah, siapa tahu ada yang penting.”

Priyadi mengangkatnya.

“Mas, kenapa belum pulang?”

“Iya … iya, sabar. Ini sedang dalam perjalanan mengantarkan tuan Sanjoyo, nanti aku akan segera pulang.”

Priyadi segera menutup ponselnya.

“Dari Nilam?”

“Iya Tuan, dia tidak betah sendirian di rumah.”

“Jangan lupa besok ajak dia ke kantor, supaya dia segera punya kesibukan.”

“Baik, Tuan.”

***

Sore hari itu, dengan alasan sang anak menunggu, Priyadi cepat-cepat mohon pamit. Dan tentu saja tuan Sanjoyo mengijinkannya.

Ketika duduk berdua dengan istrinya, tuan Sanjoyo tersenyum-senyum sendiri.

“Ada apa Mas, kok seperti sedang mengingat-ingat hal yang lucu?”

“Iya, memang lucu. Tadi itu ketika berhenti di sebuah apotek, aku suruh Priyadi turun untuk membeli obat gosok, tiba-tiba ponselnya berdering. Aku melihat ponsel itu untuk mengetahui siapa yang menelpon. Takutnya kamu sedang berpesan sesuatu, ternyata panggilan itu dari ‘sayangku'."

“Dari sayangku bagaimana maksud Mas?”

“Priyadi menamakan seseorang dengan sayangku. Aku berpikir, Priyadi rupanya punya pacar.”

Wajah Srikanti langsung berubah. Siapa sayangku yang ada di ponsel Priyadi?

“Ternyata, setelah aku tanya, yang diberi nama ‘sayangku’ itu adalah Nilam, anaknya sendiri. Aku jadi tertawa geli.”

“Mengapa tidak ditulis namanya saja, mengapa ditulis ‘sayangku’?”

“Ketika aku bertanya, karena begitu senangnya Priyadi karena anaknya datang kembali untuknya, maka dia tidak menuliskan nama Nilam.”

“O … Benarkah itu Nilam?”

“Iya. Tak berapa lama dia menelpon lagi, dan ternyata memang itu dari Nilam.”

”Kekanak-kanakan,” omel Srikanti. Bagaimanapun dia sempat kaget, mengira Priyadi memiliki kekasih lain.

“Tapi aku kemudian berpikiran begini Sri. Priyadi itu masih muda. Bukan sangat muda, tapi dia masih kuat, gagah, wajahnya juga tidak mengecewakan. Ada baiknya dia punya kekasih, lalu dijadikan istri, dan_”

“Tidak. Mengapa Mas bisa berpikiran begitu?”

“Memangnya kenapa Sri. Laki-laki seusia dia masih membutuhkan wanita untuk mendampinginya.”

“Tidak. Aku tidak setuju. Priyadi itu sudah mengabdi di sini sampai puluhan tahun. Kalau kita mencari sopir lagi, belum tentu cocok dan belum tentu sebaik dia. Bagaimana Mas ini, apa tidak rugi kalau kita kehilangan Priyadi?”

“Sri, kamu jangan hanya memikirkan diri kamu sendiri, atau keluarga ini. Memang dia sangat kita butuhkan, tapi dia itu juga manusia. Dia butuh kelengkapan dalam hidupnya, seperti juga aku. Waktu itu aku sendirian, sakit-sakitan, lalu ada kamu, yang kemudian bisa melayani aku, lalu aku jadikan kamu istriku. Dan karena itu hidupku menjadi lengkap. Bagi Priyadi, itu hal yang sama. Dia pasti menginginkan wanita dalam hidupnya. Masa dia menjalani kehidupan dalam kesepian. Kasihan dong Sri.”

“Mengapa kita tiba-tiba peduli pada orang lain? Priyadi suka menjalaninya, mengapa Mas memikirkan sampai sejauh itu? Kalau dia butuh, pasti dia juga mengatakannya.”

“Mungkin dia ingin mengatakan, tapi takut. Coba besok aku tanya dia.”

“Mas itu ada-ada saja,” kata Srikanti yang kemudian beranjak masuk ke dalam rumah. Barangkali risih mendengar Priyadi disuruh mencari jodoh.

“Ke mana Sri?”

“Melihat ke belakang, bibik sudah siap menata makan malam atau belum,” katanya sambil menjauh.

***

Priyadi sudah sampai di rumah. Nilam sedang berbaring di ranjang.

“Wah, hampir saja aku ketahuan.”

“Ketahuan apa sih?”

“Ketika kamu menelpon, aku beri nama kamu dengan ‘sayangku’ dan itu terbaca oleh tuan Sanjoyo.”

“Kamu dimarahi?”

“Bukan dimarahi, aku bilang kalau yang aku maksud itu adalah kamu.”

“Kamu bukan menamainya dengan namaku?”

“Tidak, kan aku sayang sama kamu.”

“Hm, kalau sayang, mengapa hampir malam baru sampai rumah?”

“Kamu kan tahu, aku tuh sopir kantor, merangkap sopir pribadi. Jadi sore tadi aku baru menjemput tuan di kantor, karena nyonya menyuruh aku mengantarkan ke mana-mana.”

“Paling suka kalau mengantarkan nyonya kan?”

“Nilam, kamu tidak boleh cemburu. Aku dekat sama Srikanti itu kan karena uangnya. Bukan karena cinta. Sedangkan yang aku cintai itu hanya kamu. Apa semua yang aku berikan untuk kamu itu tidak cukup membuktikan rasa cinta aku sama kamu?”

“Tapi janji ya, kalau kita sudah kaya, kamu harus meninggalkan nyonya genit itu?”

“Iya, percayalah. Sekarang ini kami sedang membangun rumah. Dan rumah itu atas nama aku lhoh. Perempuan bodoh itu aku porotin sampai habis-habisan nanti.”

“Kalau rumahnya jadi, kita bisa tinggal di situ kan?”

“Iya. Bertiga.”

“Kok bertiga?”

"Srikanti juga berhak atas rumah itu, dia juga setiap hari akan ada di rumah itu, kecuali kalau malam. Suaminya kan juga butuh didampingi oleh dia.”

“Tapi walau bagaimanapun, dia itu membuat aku cemburu lhoh Mas.”

“Mengapa kamu cemburu pada perempuan tua seperti Srikanti? Kamu tak ada bandingnya daripada dia.”

Dan pintarnya Priyadi merayu, memang meredakan rasa kesal Nilam karena merasa terlalu lama ditinggalkan sendirian.

“Ini hari terakhir kamu sendirian. Besok kamu akan ikut aku, karena tuan Sanjoyo ingin bertemu. Pastinya kamu akan diterima bekerja di kantornya.”

“Benarkah? Senang sekali aku Mas. Jadi kita bisa berangkat bersama dan pulang bersama kan?”

“Iya Nilam, tentu saja.”

"Asyiik, aku suka sekali, aku tak akan kesepian, dan kamu jangan kecewa karena tak akan punya waktu untuk nyonya majikan kamu itu.”

Priyadi terkekeh. Nilam tentu saja tidak tahu bahwa selalu ada waktu untuk bersenang senang dengan nyonya majikan. Biarkan saja, Priyadi sedang memainkan sebuah permainan yang pasti akan menyenangkan. Di sini cinta di sana cinta.

“Kamu kok kelihatannya senang.”

“Iya, aku senang karena ada kamu. Sudah, aku mandi dulu, nanti kamu bilang aku bau asem,” kata Priyadi sambil berlalu.

***

Malam hari itu Puspa mendekati bik Supi yang sedang bersih-bersih dapur.

“Non, sudah … sana, jangan duduk di sini, nanti nyonya melihatnya, Non pasti dimarahi.”

“Aku ingin ngobrol sama Bibik.”

“Ngobrol apa lagi sih Non, ini bibik sedang cuci-cuci perabotan, bau amis lhoh Non.”

“Biar saja, Bibik lanjutkan saja, kan bisa kerja sambil ngobrol.”

“Non ini ada ada saja.”

“Bibik, anak Bibik sekolah di mana sih?”

“Mengapa Non bertanya tentang anak saya?”

“Memangnya tidak boleh?”

“Boleh sih. Maksud saya itu ya Non, kan supaya dia bisa sekolah tinggi, biar besok bisa bekerja lebih baik, bukan seperti simboknya.”

“Jadi anak Bibik itu sekolah apa?”

“Kalau orang menyebutnya ya kuliah, begitu Non, tapi bibik kan kalau ditanya ya bilang sekolah, gitu saja. Nggak tahu saya jurusan apa. Pokoknya sekolah. Sama saja kan Non? Terlalu ketinggian kalau anak seorang pembantu seperti saya bilang kalau anaknya kuliah.”

“Tapi sebenarnya kuliah kan Bik? Ya tidak apa-apa. Kenapa ketinggian?”

“Iya Non, katanya sih sudah hampir selesai.”

“Syukurlah Bik, aku ikut senang.”

“Ya sudah Non, sana, ke ruang tengah, tuan sama nyonya sedang berbincang-bincang di sana tuh.”

“Besok aku libur kuliah, aku mau minta ibu agar boleh belanja sama Bibik.”

“Iya, barangkali memang sudah saatnya mengisi bahan-bahan dapur Non.”

“Aku ke depan dulu ya Bik,” kata Puspa sambil berlalu.

Ia menuju ke ruang tengah, ketika ayah dan ibunya sedang bicara tentang sumbangan-sumbangan untuk panti-panti yang membutuhkan. Hal itu sudah biasa, yang menanganinya setiap bulan adalah sang ibu.

“Jadi jumlahnya semua berapa Sri?”

“Itu lho Mas, sudah saya tulis semua, nanti aku yang akan membagi-baginya dan memasukkannya ke dalam amplop-amplop.”

“Bapak, besok aku libur, biarkan aku yang pergi ke panti-panti ya? Sekalian belanja.”

“Apa? Ini bukan urusan kamu,” sentak sang ibu.

Entah mengapa Srikanti sangat keberatan kalau yang membagikan uang ke panti-panti adalah anaknya.

***

Besok lagi ya.