Friday, September 12, 2025

LANGIT TAK LAGI KELAM 09

 LANGIT TAK LAGI KELAM  09

(Tien Kumalasari)

 

Pak Hasbi menatap tajam anak angkatnya. Tak percaya akan apa yang didengarnya.

“Apa kamu bilang?”

“Aku ingin bapak beli mobil baru. Mobil itu sudah tak layak dipakai, Pak.”

“Tak layak dipakai? Memangnya kamu ini siapa, merasa bahwa mobil itu tak layak dipakai? Aku masih merasa pantas, dan tidak malu memakainya ke mana-mana. Kamu yang bukan siapa-siapa merasa bahwa mobil itu tak layak pakai?”

“Memang itu benar kan? Kalau Bapak orang kaya, sudah selayaknya kalau Bapak memakai pakaian bagus, mobil bagus, rumah seharusnya juga bagus. Supaya tidak menjadi bahan tertawaan.”

“Darimana kamu belajar kesombongan seperti itu, Rizki? Bukankah ketika di Panti Asuhan kamu diajarkan untuk bersikap rendah hati dan mengerti tentang tata krama? Apa yang kamu katakan itu adalah kesombongan yang seharusnya tak pantas kamu perlihatkan. Dengar, kamu sebenarnya tidak punya apa-apa, Rizki. Aku yang merasa punya tidak memiliki kesombongan sepertimu. Aku selalu merasa bahwa harta hanyalah sandangan. Bahwa yang penting bagi manusia adalah perilakunya. Perilaku yang baik, yang terpuji, yang tidak harus memperlihatkan gemerlap harta yang dimiliki karena semua itu hanya sandangan, hanya titipan.”

Rizki menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia sudah mengatakan bahwa ayah angkatnya terlalu banyak bicara, dan ia sudah tertidur sejak awal walau mata masih menyala. Jadi apa yang dikatakan sang ayah tak ada sedikitpun yang masuk ke dalam sanubarinya. Ia sudah mengatakan hal itu kepada Citra, dan itu adalah benar.

“Apakah kamu mendengar apa yang aku katakan?” tinggi nada suara pak Hasbi.

“Aku mendengarnya.”

“Kalau begitu camkan itu, lalu pergilah tidur, agar apa yang aku katakan bisa mengendapkan perasaanmu yang bergejolak penuh kesombongan.”

Pak Hasbi berdiri, langsung masuk ke dalam kamarnya.

Rizki menyandarkan kepalanya di kursi yang sejak awal didudukinya. Ia tak menyangka, permintaannya kali itu justru mengundang kemarahan sang ayah angkat. Tapi ada yang menggores perasaannya yaitu perkataan pak Hasbi yang mengatakan bahwa dirinya tak punya apa-apa. Ia merasa sakit.

“Bukan aku yang meminta menjadi anakmu Pak, kamu yang meminta agar kamu menjadi ayah angkatku,” gumamnya pelan.

“Dan kalau aku menjadi anak orang kaya, tunjukkanlah bahwa aku adalah anak orang kaya. Bagaimana sih bapak ini,” gumamnya tak berhenti.

Rupanya Rizki tidak pintar menangkap pelajaran yang diungkapkan ayah angkatnya. Keinginannya hanya satu, yaitu memiliki mobil baru, agar ia bisa menunjukkan kepada dunia bahwa dirinya adalah anak orang kaya. Apalagi ketika Citra sang pacar juga mendukungnya tentang memiliki mobil baru itu. Malu kan, anak orang kaya mobilnya mobil tua?

***

Pagi hari itu Rizki belum keluar dari kamarnya.  Semalam dia tidak memasukkan mobil ke garasi. Pak Hasbilah yang memasukkannya.

Ketika ia melihat simbok menghidangkan sarapan, pak Hasbi ingat bahwa simbok harus ke rumah sakit untuk mengkonfirmasi pembayaran rumah sakit serta untuk melunasinya. Ia juga harus mengantarkan Misnah ke sekolah untuk mengambil seragam.

“Mas Rizki tidak sarapan lagi, rupanya.”

“Biarkan saja Mbok. Setelah ini kamu bersihkan saja mejanya, lalu bersiap ke rumah sakit.”

“Saya sudah bersiap, tinggal menunggu Tuan selesai makan.”

“Kamu tidak usah mencari becak, aku antar kamu ke rumah sakit untuk menjemput pak Misdi.”

“Tuan mau ke rumah sakit?”

“Ya, mumpung ada mobil tidak terpakai. Sudah, bersihkan mejanya, aku sudah selesai. Lalu aku akan bersiap siap berangkat mengantar kamu.”

“Baiklah Tuan.”

Simbok sangat bersemangat. Tak henti-hentinya ia memuji kebaikan hati sang juragan, yang walau kaya raya tapi tak segan memberi pertolongan. Bahkan rela membawa mobilnya sendiri untuk menjemput orang yang bukan siapa-siapa ke rumah sakit.

Dengan sigap ia membersihkan meja makan, merapikan perkakas yang kotor untuk dicuci nanti setelah pulang, karena ia harus segera berangkat ketika sang tuan bersedia mengantarnya.

***

Pak Misdi tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih kepada pak Hasbi yang telah banyak menolongnya. Sangat sungkan ketika pak Hasbi mengatakan bahwa ingin mengantarkannya pulang.

“Sudah banyak yang Tuan lakukan untuk saya, biarlah saya pulang sendiri bersama gendhuk.”

“Nanti kamu tinggal di rumahku dulu, Misnah kan harus ke sekolah untuk mengambil buku-buku dan seragam.”

“Tapi saya merepotkan Tuan, saya pulang saja, Misnah juga bisa pulang sendiri. Biasanya ke mana-mana juga jalan kaki.”

“Jangan begitu. Kamu itu baru sembuh dari sakit, mana mungkin bisa jalan ke rumah kamu yang lumayan jauh.”

“Tuan, saya juga berani ke sekolah sendiri, tidak harus diantar ibu ini,” kata Misnah.

“Panggil aku simbok, jangan iba-ibu iba-ibu, kan aku sudah bilang dari kemarin?”

“Iya, tidak usah diantar simbok. Saya bisa sendiri kok.”

“Misnah, begini saja, sekalian bapakmu ini keluar dari rumah sakit, aku antar kamu ke sekolah, nanti pulangnya bisa bareng.”

“Wah, Tuan, masa Tuan mengantarkan saya ke sekolah? Nggak mau ah.”

“Harus mau Misnah, Tuan yang minta. Dari pada kamu jalan, lebih baik naik mobil,” kata simbok.

“Saya suka mabuk kalau naik mobil.”

“Kamu sering naik mobil?” tanya pak Hasbi.

“Dulu ketika ikut tetangga yang mau jadi pengantin, saya naik mobil, tapi saya turun di jalan karena mabuk, Tuan,” kata Misnah tersipu.

Pak Hasbi tertawa.

“Nanti kamu duduk di depan, jangan menoleh ke mana-mana, fokus lihat depan, nanti kan tidak mabuk.”

“Tapi ….”

“Mbok, urusannya sudah selesai?”

“Sudah Tuan, kita bisa pergi.”

Mau tak mau pak Misdi menurut ketika pak Hasbi mengajaknya ikut naik mobil, dengan mampir ke sekolah Misnah terlebih dulu.

***

Ketika simbok turun bersama Misnah, pak Hasbi mengutarakan niatnya untuk mengajak pak Misdi bekerja di rumahnya. Pak Misdi terkejut, tapi dia juga memikirkannya. Barangkali ia tak akan kekurangan makan, karena tuan Hasbi menjanjikan gaji bulanan dan makan minum sekenyangnya kalau dia bersedia.

“Bagaimana Pak? Apakah bekerja sebagai penambal ban lebih menguntungkan?”

“Tuan, ini bukan masalah untung rugi. Saya hanya berjuang untuk hidup. Hidup saya dan hidup Misnah, anak saya.”

“Kalau pak Misdi bekerja di rumahku, pak Misdi juga tidak usah berjalan kaki ke tempat kerja. Cukup di rumahku, tidur juga ada tempatnya. Misnah juga tidak begitu capek kalau berangkat dan pulang sekolah, karena sekolahnya tidak jauh dari rumahku.”

Pak Misdi terdiam. Rupanya ini adalah kehidupan baru yang akan dijalaninya. Ia mulai menghitung-hitung, bukan pendapatan yang akan diterima, tapi kecukupan untuk makan bersama anaknya. Barangkali dengan menjadi penambal ban, belum tentu ia mendapat penghasilan yang memuaskan. Terkadang seharian dia hanya duduk tanpa ada pelanggan yang datang. Tapi ada rasa sungkan, mengapa dia selalu menjadi beban pak Hasbi, sementara dia sudah banyak menolongnya.

“Pak Misdi, sesungguhnya aku ini seorang tua yang kesepian. Diwaktu senggang, terkadang aku ingin mempunyai teman ngobrol.”

“Bukankah Tuan punya putra yang sudah dewasa?”

“Dia jarang ada di rumah. Kuliah dari pagi, sore atau malam baru pulang, lalu kecapekan, dan tidur. Begitu setiap hari.”

Ada nada sendu ketika pak Hasbi mengatakannya, dan tiba-tiba saja membuat pak Misdi merasa trenyuh.

Orang kaya kesepian, bisa sesedih itu?

“Kalau pak Misdi mau, kita akan menjadi teman ngobrol, pasti menyenangkan,” lanjutnya.

Dan serta merta, tanpa diminta sekali lagi, pak Misdi langsung menyanggupinya.

“Baiklah Tuan, saya mau bekerja pada Tuan.”

“Benarkah?” pak Hasbi menoleh ke belakang, karena memang pak Misdi duduk dibelakang setelah Misnah mengatakan kalau tidak mau naik mobil karena takut mabuk.

“Tapi saya harus bekerja apa ya Pak? Bukankah sudah ada simbok di sana?”

“Benar, tapi simbok kan semakin tua, kalau dia sudah bersih-bersih rumah, belanja, masak, lalu mengurus kebun, agak kasihan juga kan? Jadi kalau pak Misdi  mau, nanti pak Misdi yang mengurus kebun. Dulu ketika cucuku Bening masih ada, dia suka menanam bunga-bunga di halaman. Nanti pak Misdi bisa menanaminya lagi, biar rumahku semarak karena banyak bunga-bunga ditanam.”

“Baiklah, saya bisa memulainya kapan?”

“Apa pak Misdi sudah benar-benar sehat?”

“Buktinya saya sudah boleh pulang, Tuan. Berarti saya sudah sehat.”

“Tidak, beristirahatlah dulu barang sehari atau dua hari, barulah pak Misdi datang kerumahku. Bawa baju atau apa yang harus dibawa, biar simbok menyiapkan kamar untuk pak Misdi di belakang rumah.”

“Terima kasih banyak, Tuan.”

“Nanti saya antarkan ke rumah, tapi pak Misdi lihat dulu kamar yang mau ditempati, biar simbok yang membersihkan.”

“Jangan Tuan, biar saya sendiri yang membersihkan. Memangnya saya tamu?” canda pak  Misdi.

“Memang bukan, sampeyan adalah teman ngobrol saya,” jawab pak Hasbi dengan suara lebih sumringah.

***

Hari sudah siang ketika Rizki bangun. Itupun karena Citra menelponnya berkali-kali.

“Aduuh, ada apa sih Citra? Aku baru bangun nih. Bukankah ini libur?”

“Bukankah kamu janji mau mengajak aku jalan-jalan dengan mobil baru?”

“Apa maksudmu? Baru kemarin kita membicarakan. Membeli mobil seperti membeli pisang goreng saja.”

“Tapi sudah positip mau membeli kan?”

“Belum, aku belum selesai bicara dengan ayahku.”

“Belum selesai bagaimana maksudnya?”

“Bapak belum mengatakan ‘mau’."

“Kelamaan amat. Tungguin sampai dia bilang mau, kamu buru-buru pengin tidur sih."

“Aku capek sekali. Tapi nanti aku mau ngomong lagi.”

“Ya sudah, aku tungguin ya.”

***

Rizki keluar dari kamar, dan mendapati rumahnya sepi. Ia tak melihat ayahnya, juga tak melihat simbok.

“Ke mana mereka? Mana aku lapar, dan tidak ada makanan di meja makan.
Mboook! Simboook! Makan dong MBok.”

Tapi Rizki tak menemukan simbok. Ia membuka almari dan menemukan nasi dan sayur yang sudah dingin.

“Huh, makanan apa ini?”

Walau begitu Rizki mengeluarkannya, meletakkan di atas meja makan.

Tak urung ia memakannya, dengan mulut cengar-cengir karena biasanya makan makanan yang sudah dihangatkan.

“Keterlaluan simbok. Pergi tanpa menyiapkan makan pagi untuk aku,” omelnya sambil terus memasukkan makanan ke mulutnya.

Tiba-tiba dia mendengar suara mobil memasuki halaman.

“Rupanya bapak pergi dengan membawa mobil,” gumamnya. Tapi ia tak beranjak dari tempat duduknya. Ia melanjutkan makan sampai nasi dipiringnya habis.

Tapi Rizki heran, ia tak melihat sang ayah masuk ke rumah. Ia mendengar langkah-langkah kaki dari samping rumah, menuju ke arah belakang.

“Nanti sampeyan lihat sendiri kamarnya, biar aku bersihkan.”

“Jangan Mbok, biar aku sendiri melakukannya. Besok pagi-pagi sekali aku berangkat kemari.”

“Tuan yang menyuruh, sebaiknya jangan membantah.”

“Itu suara simbok, dan seorang laki-laki. Siapa dia?” gumam Rizki.

Rizki meninggalkan meja makan, lalu beranjak ke depan untuk menemui ayahnya.

“Siapa itu Pak?”

“Bakal teman bapak ngobrol.”

“Apa maksudnya?”

“Dia dan anaknya akan tinggal di sini, dan membantu membersihkan kebun.”

“Siapa mereka?”

”Orang yang akan membantu membersihkan kebun.”

“Tinggal di sini? Apa tidak mencari tukang kebun yang bisa pulang setiap sore, lalu datang di pagi harinya?”

“Tidak, dia akan menjadi teman ngobrol bapak. Kasihan, mereka orang tak punya, bapak ingin menolongnya."

" Bapak keterlaluan. Dia itu siapa? Bukan siapa-siapa kan? Mengapa Bapak pedulikan dia sedangkan permintaanku tak Bapak penuhi? Bukankah aku anakmu? Katamu aku anakmu, apakah harga barang yang aku minta terlalu mahal bagimu? Bukankah uangmu sangat banyak? Dan Bapak begitu peduli pada orang lain?”

Laki-laki tua itu luruh dalam duka yang dalam. Tapi wajahnya menjadi merah padam karena amarah yang membakar.

"Bagaimana kalau aku mengusirmu?"

***

Besok lagi ya.

28 comments:

  1. Alhamdulillah eLTeeLKa_09 sdh tayang.....

    ReplyDelete
  2. Alhamdulillah LANGIT TAK LAGI KELAM~09 telah hadir. Maturnuwun Bu Tien, semoga panjenengan & keluarga tetap sehat dan bahagia serta senantiasa berada dalam lindungan Allah SWT.
    Aamiin YRA.🀲

    ReplyDelete
  3. Matur nuwun mbak Tien-ku Langit Tak Lagi Kelam telah tayang

    ReplyDelete
  4. Terimakasih bunda Tien
    Semoga bunda Tien dan pak Tom selalu sehat

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillaah "Langit Tak Lagi Kelam-09" sdh hadir
    Terima kasih Bunda Tien, semoga sehat dan bahagia selalu.
    Aamiin Yaa Robbal' Aalaamiin🀲

    ReplyDelete
  6. Matur nwn bu Tien, Salam sehat selalu

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah..akhirnya pak Hasbi bisa marah sm Rizki. Trm ksh Bu Tien, salam sehat penuh semangat .

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah
    Syukron nggih Mbak Tien ❤️🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  9. Matur nuwun Bu Tien, semoga Ibu sekeluarga sehat wal'afiat....

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " LANGIT TAK LAGI KELAM 09 " sudah tayang.
    Semoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah
    Terima kasih bunda Tien
    Semoga bunda dan pak Tom Widayat sehat walafiat

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillah, LANGIT TAK LAGI KELAM(LTLK) 09. telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.

    ReplyDelete
  13. Usir saja si Rizki bunda.. tuman.. ngelunjak hehehe kok jadi terbawa arus aku? Makasih bunda

    ReplyDelete
  14. Waah...dasar Rizki anak tak tahu diri, masa bicara dengan orang tua nyebut "mu"? Kurang ajar itu. Untungnya pak Hasbi sudah mulai tegas padanya. Baguslah kalau diusir sekalian, supaya mau berubah sikapnya.

    Terima kasih, ibu Tien...sehat selalu ya...πŸ™πŸ»πŸ˜˜πŸ˜˜πŸ˜€

    ReplyDelete
  15. Alhamdulillah, maturnuwun Bu Tien cerbung Langit Tak lagi Kelam telah tayang, semoga pak Hasbi tetep sehat kuat menghadapi Rizki yg tak tau diri, juga Bu Tien tetap sehat,semangat,bahagia bersama Kel tercinta.

    ReplyDelete
  16. Terima kasih Bunda, cerbung Langit Tak Lagi Kelam..08..sdh tayang.
    Sehat selalu dan tetap semangat nggeh Bunda Tien.
    Syafakallah kagem Pakdhe Tom, semoga Allah SWT angkat semua penyakit nya dan pulih lagi seperti sedialakala. Aamiin.

    Sdh saat nya kakek Hasbi bertindak tegas thd Rizki, krn dia jadi anak sombong dan kementhos. Usir aja ya Kek, biar dia menyadari kesalahannya.
    Sedangkan pengganti teman ngobrol sdh ada kan, pak Misdi dan anaknya s Sinah...eh keleru....s Misnah..😁

    ReplyDelete
  17. Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien....sehat 2 selalu nggih πŸ’ͺ

    ReplyDelete
  18. Alhamdulillah, maturnuwun bunda Tien.
    Semoga bunda Tien dan keluarga selalu sehat dan bahagia, aamiin 🀲

    ReplyDelete
  19. Kalau begitu, Rizki bukan obat penenag di waktu tua, melainkan penyakit yang bisa mematikan. Lebih baik usir saja dari rumah, atau kembalikan ke panti asuhan...
    Rizki paja mada (Rizki anak bebal)...
    Terimakasih Mbak Tien...

    ReplyDelete
  20. Alhamdulillaah matur nuwun Bu Tien salam sehat wal'afiat semua ya πŸ™πŸ€—πŸ₯°πŸ’–πŸŒΏπŸŒΈ

    Gemes ya dg polahnya Rizky , seru sih kl diusir ,tp bgm kelanjutan dg Citra

    ReplyDelete
  21. Terimakasih Bunda Tien, Barokal[oh .....Wah semakin seru nih , Rizki anak tak tahu diuntung.

    ReplyDelete
  22. Assalamualaikum bu Tien, maturnuwun cerbung " Langit tak lagi kelam 09 " sampun tayang... Rizki rizki... kapokmu kapan ???
    Semoga ibu Tien serta Pak Tom selalu sehat dan penuh berkah aamiin yra .. salam hangat dan aduhai aduhai bun πŸ€²πŸ™πŸ©·πŸ©·

    ReplyDelete
  23. 🌺🌷🌺🌷🌺🌷🌺🌷
    Alhamdulillah πŸ™πŸ’πŸ¦‹
    Cerbung eLTe'eLKa_09
    telah hadir.
    Matur nuwun sanget.
    Semoga Bu Tien dan
    keluarga sehat terus,
    banyak berkah dan
    dlm lindungan Allah SWT.
    Aamiin🀲.Salam seroja 😍
    🌺🌷🌺🌷🌺🌷🌺🌷

    ReplyDelete