LANGIT TAK LAGI KELAM 08
(Tien Kumalasari)
Rizki sampai terkejut mendengar dentuman pintu mobil dibanting keras.
“Citra, ada apa kamu ini?”
“Kesel aku Riz, kita sudah terlambat, malah mobilnya mogok. Mobil kuno seperti ini harusnya sudah masuk museum.”
“Sabar, aku telpon bengkel. Tolong kamu panggil becak kalau tak mau jalan.”
“Ya jelas aku tak mau jalan dong Riz, jauh tahu! Kakiku bisa pegel semua.”
“Maka dari itu cari becak, jangan ngomel melulu.”
“Tentu saja aku ngomel Riz, siapa yang nggak kesel. Awas saja ya, kalau besok kamu masih memakai mobil bobrok ini. Aku nggak akan mau jalan sama kamu.”
Rizki mendiamkannya. Ia segera menelpon bengkel dan meminta agar mobil mogok itu dibawa dan diperbaiki.
“Mana, belum memanggil becak, kamu?”
“Dipanggil apanya, orang nggak ada becak lewat.”
“Kalau begitu kita harus jalan kaki.”
“Aku ogah jalan kaki.”
“Citra, kamu harus mengerti dong. Jalan kaki adalah satu-satunya jalan untuk sampai ke kampus,” kata Rizki sambil mendahului jalan.
Citra membanting-banting kakinya, tapi kemudian ia mengikutinya, sambil menoleh ke sana kemari, barangkali ada becak melintas. Tapi tak ada. Padahal dia memakai sepatu dengan hak agak tinggi, sepatu baru pula.
“Rizkiiiii, kakiku bisa lecet nih.”
“Mau bagaimana lagi? Masa aku harus menggendong kamu?”
Akhirnya dengan mulut tak berhenti mengomel dan kaki terpincang-pincang, Citra mengikuti Rizki yang sudah berjalan di depannya.
“Rizkiii, tunggu dong, kenapa kamu tinggalin aku?”
Rizki terus saja melangkah, tapi pikiran bahwa ia harus berganti mobil terus menghantuinya. Barangkali Citra benar, anak orang kaya mobilnya mobil tua?
“Tunggu Rizki, tumitku mulai lecet nih!”
Rizki terus melangkah. Kakinya sendiripun mulai terasa tak enak. Mereka baru berjalan beberapa ratus meter. Kampus masih jauh.
“Rizki, aku tak bisa jalan lagi. Tumitku lecet. Aku marah nih, kamu tak peduli sama aku.”
“Sabar Citra, aku kan tidak sengaja. Nanti aku akan bilang pada bapak agar membeli mobil baru.”
“Nah, gitu dong, bilang sama bapakmu bahwa kamu malu mengendarai mobil tua,” kata Citra yang sebenarnya merasa lega. Sudah dibayangkannya dia akan jalan berdua bersama Rizki dengan mobil baru yang mentereng, catnya mengkilap, bukan yang sudah kusam seperti mobil mogok yang mereka tinggalkan di pinggir jalan.
“Rizki, aku lepas saja sepatuku, tidak tahan aku, sakitnya bukan main.”
“Lepas saja, supaya kamu tidak kesakitan. Aku janji, tak lama lagi kita tak akan pergi dengan mobil tua itu.”
“Senang aku mendengarnya. Tapi tolong bawakan sepatuku dong, dan jangan jalan terlalu pinggir, banyak kerikil, telapak kakiku gantian sakit.”
“Masa aku harus membawakan sepatu kamu Citra, kamu kan bisa membawa sendiri?”
“Tanganku pegal membawa tas kuliah ini, berat, tahu!”
Rizki yang sudah benar-benar mabuk oleh rasa cintanya kepada Citra, mengalah membawakan sepatu Citra, yang kemudian berjalan bergayut di lengannya.
Tak urung mereka benar-benar terlambat, dan terlewat satu jam kuliah.
Keduanya duduk di bawah pohon rindang yang ada di kampus itu. Bukan berbincang mengenai mata kuliah yang terlewat, tapi tentang mobil yang sebaiknya diganti.
“Jadi kamu nanti mau bilang pada ayahmu kalau kamu harus dibelikan mobil baru?”
“Tentu saja. Mobil yang tadi benar-benar tak pantas.”
“Tuh, kan. Aku saja yang bukan pemilik mobil merasa tak pantas jalan bareng anak orang kaya seperti kamu kalau mengendarai mobil itu. Tapi apa benar, ayahmu pasti akan menuruti kemauan kamu?”
“Bapak memang orangnya sulit. Bicaranya banyak. Terlalu banyak. Seandainya yang diucapkan itu adalah mata kuliah, tak satupun perkataannya yang bisa masuk ke dalam otakku.”
Citra tertawa keras.
“Memangnya kenapa?”
“Terlalu panjang, terlalu susah dimengerti. Aku justru mengantuk mendengarnya banyak bicara seperti itu.”
“Tidur dong kalau ngantuk.”
“Ya nggak bisa, aku kan ada di depannya. Mau tidak mau harus mendengarkan, walaupun tidak bisa masuk ke dalam hati.”
“Dengerin saja, yang penting permintaan kamu diberikan.”
“Sejauh ini apa yang aku minta selalu diberikan oleh bapak. Aku kan anak tunggal. Harta bapakku banyak. Untuk apa kalau bukan untuk menyenangkan hati anaknya?”
“Syukurlah, aku ikut senang. Besok kalau aku jadi menantunya, pasti aku juga sangat disayang, bukan?”
“Tentu saja.”
“Hei, kalian? Nggak ada kelas?”
Keduanya menoleh, melihat Listyo menatapnya tak senang.
“Ada Pak, tadi kami terlambat, gara-gara mobil mogok.”
Listyo melanjutkan langkahnya, tak menanggapi keduanya. Ada rasa tak suka melihat sikap mereka, apalagi ketika ia juga menyaksikan bahwa Rizki seperti tidak menghormati ayah angkatnya.
***
Simbok sedang menyapu ketika melihat mobil tuannya memasuki halaman. Tapi ia heran karena bukan Rizki yang mengendarainya. Seorang laki-laki dengan baju belepotan oli turun, simbok mendekat.
“Bu, kami dari bengkel. Tadi mobil pak Hasbi mogok dijalan, sudah kami perbaiki. Tadi pak Rizki menyuruh langsung mengirimkan ke rumah.”
“O, ini dari bengkel ?”
“Iya, ini kwitansinya yang harus dibayar.”
“Sebentar ya Mas, saya bilang pada tuan saya dulu,” kata simbok sambil membawa kwitansi itu, masuk ke dalam rumah.
Dilihatnya pak Hasbi sedang duduk di ruang tengah.
“Apa Rizki sudah pulang? Kok aku mendengar mobilnya?”
“Mobilnya yang pulang, Tuan. Dari bengkel. Ini kwitansinya.”
“Lho, dari bengkel? Mobilnya mogok? Apanya yang rusak?”
“Ini Tuan, pastinya ada tulisannya.”
Pak Hasbi membaca kwitansi, lalu mengambil uang di kamarnya. Ia keluar sendiri dan berbincang sebentar dengan tukang bengkel.
“Mobilnya masih bagus Pak, tidak ada yang signifikan, tampaknya sangat terawat.”
“Aku sendiri yang merawat mobil ini. Sedikit-sedikit aku tahu tentang mesin. Terima kasih banyak. Ini tadi dipakai anakku.”
Ketika tukang bengkel itu pergi, pak Hasbi masuk ke mobilnya, dan mencoba menghidupkan mesinnya. Semua baik-baik saja.
Sampai dia masuk ke dalam rumah, Rizki belum tampak pulang. Tiba-tiba pak Hasbi menyadari bahwa kesepian itu masih tetap menyelimutinya. Rizki yang diharapkan menjadi ‘teman’ saat senggang, ternyata hanya pada awalnya saja dia membuat senang ayah angkatnya.
Pak Hasbi kembali duduk di ruang tengah, membaca buku-buku lama yang pernah dimilikinya. Baik buku tentang pengetahuan ataupun sebuah buku sastra yang menarik baginya. Hanya itu yang bisa dilakukannya.
“Mbok, urusan sekolah Misnah bagaimana?”
“Sudah beres Tuan, bulan depan sudah tahun ajaran baru. Besok Misnah harus ke sekolah lagi untuk mengambil kain seragam dan buku-buku yang dibutuhkan.”
“Kamu sudah membayar semuanya?”
“Sudah Tuan, semuanya sudah beres.”
“Kalau dia mau, biarlah dia tinggal di sini sepulang sekolah, barangkali ayahnya masih ingin bekerja menjadi penambal ban. Nanti pulangnya biar dia bareng sama ayahnya. Kalau langsung pulang kan kejauhan, kalau ke tempat ayahnya bekerja ya kasihan, dia pasti capek, dan tidak bisa beristirahat.”
“Nanti saya bilang pada pak Misdi. Kelihatannya besok sudah boleh pulang.”
“Kalau mau tinggal di sini aku senang Mbok.”
“Pak Misdi? Tinggal di sini? Apa dia mau?”
“Sebenarnya aku ini kan kesepian Mbok, kalau pak Misdi tinggal di sini, aku jadi punya teman ngobrol. Nanti dia aku beri pekerjaan mengurus kebun, dan aku beri gaji tetap, makan minum dan semua kebutuhan biar dari sini. Kira-kira mau tidak ya? Pekerjaan kamu juga berkurang kan?”
“Besok pagi kan saya ke rumah sakit, sekalian ke sekolahnya Misnah. Saya bicara sama pak Misdi tentang keinginan Tuan itu. Kalau dia mau, saya akan membersihkan kamar dekat gudang belakang. Itu kan masih bagus, ada almari yang tidak dipakai juga.”
“Bagus sekali Mbok, aku senang. Pak Misdi kelihatannya orang baik. Semoga dia mau. Kalau perlu aku sendiri nanti yang akan bicara. Sepulang dari rumah sakit, antarkan kemari dulu saja, baru kamu sama Misnah ke sekolah.”
“Nah, kalau Tuan yang bicara barangkali dia mau. Menambal ban juga hasilnya belum tentu. Terkadang tidak mendapat uang sama sekali.”
“Yang jelas aku bisa menemukan teman mengobrol.”
“Iya Tuan, nyatanya setiap hari, seharian Tuan juga sendirian.”
***
“Bapak sudah benar-benar segar, aku senang,” kata Misnah yang selalu menemani ayahnya saat di rumah sakit.
“Besok aku sudah bisa mulai bekerja.”
“Ya jangan dulu Pak, baru sembuh sudah mau kerja. Bapak istirahat dulu saja di rumah selama beberapa hari. Nanti Misnah saja yang bekerja,” kata Misnah bersemangat.
“Jangan Nah, itu bukan pekerjaan anak-anak, perempuan pula.”
“Tapi aku bisa kok Pak.”
“Sudah, menurutlah pada apa kata bapak. Kamu kan mau sekolah juga. Nanti kamu keterusan bekerja, lupa pada sekolah kamu.”
“Tapi Bapak jangan bekerja dulu, ini masih ada uang yang bapak berikan, masih utuh. Ketambahan uang dari Misnah ketika bekerja, masih cukup untuk makan beberapa hari. Nanti kalau Bapak sudah benar-benar sehat, baru bekerja.”
“Ya sudah, kita lihat saja nanti bagaimana, yang tahu bapak sudah kuat atau belum kan bapak sendiri. Kamu tidak usah khawatir.”
“Bapak tidak usah sedih, walaupun belum bisa menemukan mas Jarot, ada aku yang selalu menemani Bapak.”
“Iya, mau bagaimana lagi. Semuanya serba tidak jelas. Bapak hanya berharap, masmu bisa mendapat kehidupan yang baik, juga menjadi orang baik.”
“Aamiin.”
***
Hari sudah sore ketika Rizki akhirnya pulang. Ia melihat mobilnya sudah berada di halaman. Ketika memasuki rumah, sang ayah langsung mengatakan bahwa mobilnya sudah baik, besok bisa dipakai lagi dengan nyaman.
“Rizki tidak mau memakai mobil itu lagi Pak.”
“Kenapa? Itu sudah diperbaiki, bapak sudah mencobanya.”
“Mobil tua seperti itu, kalau dipakai hanya membuat malu saja.”
Pak Hasbi mengerutkan keningnya.
“Apa maksudmu membuat malu?”
“Itu mobil tua Pak, tidak ada orang kaya yang mempergunakan mobil tua seperti itu.”
“Rizki, kamu bicara apa? Bapakmu ini punya segalanya, tapi bapak tidak malu menaiki mobil bapak itu. Mobil masih bagus, mengapa harus malu?”
“Bagus apanya, buktinya tadi mogok?”
“Hanya karburatornya kotor, sudah di tune up, sudah dibetulkan, sudah bagus kok. Coba saja besok, kan sudah bisa dikendarai dengan nyaman.”
“Aku tidak mau ya tidak mau.”
“Apa maksudmu?”
“Aku ingin Bapak beli mobil baru lagi, Itu baru pantas.”
“Apa?”
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah.....
ReplyDeleteLangit Tak Lagi Kelam 08 sdh hadir.
Terima kasih bu Tien salam SEROJA ....
Semoga bu Tien dan pak Tom Widayat sehat terus dan terus sehat.
Aamiin....๐คฒ๐คฒ๐คฒ
Matur suwu.n bu Tien
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Langit tak lagi kelam telah tayang
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Semoga bunda dan keluarga sehat walafiat
Alhamdulillah LANGIT TAK LAGI KELAM~08 telah hadir. Maturnuwun Bu Tien, semoga panjenengan & keluarga tetap sehat dan bahagia serta senantiasa berada dalam lindungan Allah SWT.
ReplyDeleteAamiin YRA..๐คฒ
๐น๐ฟ๐น๐ฟ๐น๐ฟ๐น๐ฟ
ReplyDeleteAlhamdulillah ๐๐
Cerbung eLTe'eLKa_08
sampun tayang.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien selalu
sehat, tetap smangats
berkarya & dlm lindungan
Allah SWT. Aamiin YRA.
Salam aduhai ๐๐ฆ
๐น๐ฟ๐น๐ฟ๐น๐ฟ๐น๐ฟ
Alhamdulillah, matur nwn bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " LANGIT TAK LAGI KELAM 08 " sudah tayang.
ReplyDeleteSemoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin
Terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien dan pak Tom selalu sehat
Hamdallah
ReplyDeleteTerima kasih Bunda, cerbung Langit Tak Lagi Kelam..08...sdh tayang.
ReplyDeleteSehat selalu dan tetap semangat nggeh Bunda Tien.
Syafakallah kagem Pakdhe Tom, semoga Allah SWT angkat semua penyakit nya dan pulih lagi seperti sedialakala. Aamiin.
Agar tdk kesepian, sebaiknya bujuk pak Misdi dan anaknya ya Kek, agar mau tinggal di rumah mu.
Rizki..mau minta mobil baru, jangan di turutin ya Kek, krn Rizki sdh kena pengaruh jelek teman wanitanya.
Matur nuwun, Bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillaah " Langit Tak Lagi Kelam-08" sdh hadir.
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semoga Bunda Jg Pak Tom sehat dan bahagia selalu.
Aamiin Yaa Robbal' Aalaamiin๐คฒ
Alhamdulillah, LANGIT TAK LAGI KELAM(LTLK) 08. telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteSy8kron nggih Mbak Tien❤️๐น๐น๐น๐น๐น
Assalamualaikum bu Tien, maturnuwun cerbung " Langit tak lagi kelam 08 " sampun tayang... semoga ibu Tien serta Pak Tom selalu sehat dan penuh berkah aamiin yra .. salam hangat dan aduhai aduhai bun ๐คฒ๐๐ฉท๐ฉท
ReplyDeleteRizki belagu...
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien
ReplyDeleteSalam sehat dan bahagia selalu bersama keluarga ๐๐
Astaghfirullah Rizki....
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien, salam sehat bahagia aduhai dari Lombok (pas main ke Lombok...)
Astagfirullah, astagfirullah. Itu masih matre aja. Aduh, ditambah lagi ada cewek matrenya lagi. Aduh, ampun ampun dah.
ReplyDeleteCerah
ReplyDelete