Friday, July 11, 2025

MAWAR HITAM 11

 MAWAR HITAM  11

(Tien Kumalasari)

 

Listyo sudah berlalu, Dewi mendekati mbok Randu yang membawa sekeranjang kecil buah mangga.

“Tadi Simbok bilang Sinah?” ulang Dewi.

“Iya, den ajeng. Saya juga kaget kok Sinah bisa sampai di sini. Katanya dia tidak sengaja. Dia berjualan, asal masuk ke pekarangan orang, tapi tidak mengira kalau ini rumah Den Ajeng. Dia juga kelihatan kaget ketika melihat saya.

“Bagaimana asal mulanya dia masuk kemari dan ketemu Simbok?”

Lalu mbok Randu menceritakan ketika tiba-tiba muncul seseorang di samping rumah yang ternyata adalah Sinah.

“Lhoh, kok Mbok Randu ada di sini?” tanya Sinah.

“Kamu Sinah?”

“Lha iya lah Mbok, saya Sinah, sampeyan Mbok Randu. Yang saya heran, bagaimana Simbok bisa ada di sini?”

“Apa kamu tidak tahu, ini kan rumah den ajeng Dewi?”

“Oh, ini rumah den ajeng Dewi? Kalau begitu simbokku ada di sini juga kan?”

“Simbokmu ada di Solo. Kemarin dia kemari bersama den mas Adisoma dan den ayu Saraswati. Hanya menginap dua hari lalu kemarin pulang. Tapi aku tidak ikut, aku harus melayani den ajeng Dewi.”

“Sekarang di mana den ajeng Dewi?”

“Kuliah, belum pulang. Itu kamu bawa apa?”

“Saya ini kan hidup terlunta-lunta Mbok, jadi saya jualan apa saja, sekenanya. Kadang buah-buahan, kadang makanan. Yang penting laku, dan saya bisa makan.”

“Ini harganya berapa, biar aku beli.”

“Hanya limabelas ribu saja Mbok, tapi tidak … untuk Simbok, sepuluh ribu saja. Mangganya manis.”

“Lho, jangan begitu, aku akan bayar berapa harganya, jangan dipotong segala, kasihan nanti kamu rugi. Katanya kamu jualan untuk makan?”

“Iya, tapi untuk Simbok biar saja sepuluh ribu saja.”

“Nggak ah, sebentar aku ambilkan uangnya, aku nggak mau dipotong harganya. Kamu tunggu di teras depan sana saja, supaya aku tidak muter-muter keluarnya, kamarku di sebelah sana,” kata mbok Randu sambil berbalik masuk ke dalam rumah, sedangkan Sinah juga berbalik menuju teras depan seperti permintaan mbok Randu.

Dalam hati Sinah tertawa.

“Jadi kamu harus tahu, bahwa Sinah itu saya, sedangkan pemilik rumah makan itu adalah Mawar Hitam yang cantik,” kata batinnya.

 Ketika mbok Randu keluar, Sinah sedang duduk di teras, mengelesot di lantai yang dingin.

“Ini, uangnya. Tetap limabelas ribu, jangan mengurangi jatah makan kamu.”

“Ya ampuuun, Simbok ini baik hati benar. Terima kasih ya Mbok.”

“Kalau mau ketemu simbokmu, kamu ke Solo sana.”

“Iya, gampang. Kalau ada uang saya mau ketemu simbok.”

Mendengar cerita mbok Randu itu Dewi geleng-geleng kepala.

“Jadi Mawar dengan Sinah itu memang berbeda, semua orang bisa keliru. Pantas pemilik rumah makan kelihatan agak tersinggung ketika semua orang memanggil Sinah,” kata Dewi.

“Benar Den Ajeng, sekarang saya benar-benar yakin kalau pemilik rumah makan itu bukan Sinah. Lagi pula aneh juga seandainya dia Sinah, sampai bisa memiliki sebuah rumah makan. Ya kan?”

“Iya. Dia menanyakan mbok Manis juga pastinya.”

“Menanyakan. Begitu tahu saya ada disini, dia lalu menanyakan simboknya. Sudah saya beri tahu kalau simboknya ada di Solo.”

“Hm, kebetulan yang bisa membuka semuanya.”

“Benar-benar kebetulan yang aneh. Seperti bukan kita yang mengaturnya.”

“Iya Mbok. Sekarang aku mau istirahat dulu, boleh aku mencicipi mangganya Mbok, kihatannya menarik. Kulitnya kuning segar. Tapi sedikit saja,” katanya sambil beranjak ke belakang.

“Tentu saja Den Ajeng, saya memang mau mengupasnya untuk Den Ajeng.”

***

Sinah melenggang, mendekati mobilnya yang diparkir agak jauh, lalu menjalankannya ke suatu tempat.

Dalam perjalanan itu Sinah merasa puas bisa mengecoh orang-orang yang mengenalinya ketika dirinya ada di rumah makan, dan menjadi pemilik rumah makan itu.

“Sinah ? Huhh, sekarang Sinah tidak ada, yang ada adalah Mawar, yang punya semangat tinggi untuk menggapai mimpi-mimpinya,” katanya sambil tertawa-tawa.

Kalau ada yang melihatnya, pasti dikiranya Sinah sudah sinting karena tertawa-tawa sendiri.

Di bawah sebuah pohon rindang, ia menghentikan mobilnya. Ketika turun, dibawanya sebuah keranjang berisi buah-buahan. Ia mengunci mobilnya, lalu berjalan memasuki sebuah gang sambil mengacak-acak rambutnya agar kelihatan tak teratur. Disebuah pekarangan rumah, ia memasukinya perlahan. Tak ada orang di sekitar tempat itu. Ketika ia akan melongok ke arah belakang, ia dikejutkan oleh suara seseorang.

“Mau mencari siapa?”

Sinah menoleh, dan melihat Satria baru saja masuk ke pekarangan sambil menjinjing sebuah tas yang agak besar.

“Satria?” Sinah berteriak.

“Kamu Sinah?”

“Senang sekali kamu mengenali aku Sat, walaupun aku tampak kucel dan lelah.”

“Kamu ngapain di sini?”

“Aku ini sekarang kan jualan keliling.”

“Jualan apa?”

“Ini buah-buahan, kadang-kadang juga makanan. Ini untuk menyambung hidupku yang terlunta-lunta Sat.”

“Bagaimana kamu bisa terlunta-lunta? Bukankah pak Andra … orang yang menabrak kamu dulu itu memberi kamu uang? Pak Andra cerita banyak tentang kamu waktu kamu di rumah sakit itu.”

“O, lalu apa lagi yang dia ceritakan?”

“Cuma itu, katanya kamu minta uang untuk modal berdagang dan dia memberikannya kan?”

Sinah merasa lega. Berarti Andra tidak bercerita tentang hidupnya setelah keluar dari rumah sakit itu.

“Iya sih, aku diberi, tapi lama-lama juga habis.”

“Namanya orang berdagang, harusnya kan duitnya bisa muter dan tidak sampai habis. Kalau sampai habis, berarti kamu bangkrut dan tidak bisa mengelola modal kamu dengan baik.”

“Aku ini kan orang sial Sat. Tidak ada hal baik yang menimpaku. Ada-ada saja orang yang menipuku. Modal banyak, ditipu orang. Waktu itu aku kembali jualan batik, lalu ada orang yang membantu menjualkannya, tapi kemudian dagangan habis, uangnya tidak disetor padaku. Habislah uangku,” katanya memelas.

“Lalu .. bagaimana kamu bisa sampai di sini?”

“Ini sedang aku pikirkan Sat, mengapa aku bisa jualan nyasar sampai di sini lalu ketemu kamu. Jangan-jangan kita memang berjodoh,” katanya enteng.

”Apa? Kamu jangan bicara sembarangan. Sekarang kamu kemari maunya apa?”

"Aku tidak tahu kalau ini rumahmu, aku kan sudah bilang bahwa aku jualan, jadi aku ingin menawarkan daganganku. Kali ini aku menjual buah-buahan, tapi tinggal buah mangga yang masih. Tadi ada kelengkeng, jambu, salak. Nih, aku kasih kamu sebungkus mangga. Ini sekilo. Ambillah.”

“Apa maksudmu? Bukankah ini barang dagangan kamu?”

“Iya sih, tapi untuk kamu gratis tis tis.”

“Jangan, aku bayar ini harganya berapa, lalu pergilah.”

“Yang punya rumah ada nggak?”

“Nggak ada. Di sini adanya anak-anak kost. Sekarang sepi karena lagi pada liburan. Berapa harganya?”

“Aku kan sudah bilang ini gratis untuk kamu.”

“Tapi aku nggak mau gratis. Kalau memang kamu tinggalkan buah ini di sini, aku akan membayarnya.”

“Sangat berat menerima pembayaran dari orang istimewa buat aku.”

“Kalau begitu pergilah, aku baru datang dari Solo, ingin segera istirahat.”

“Sat, tunggu dulu Sat. Baiklah, bayar sepuluh ribu saja.”

“Nggak mungkin harganya sepuluh  ribu.”

“Ini untuk kamu, berbeda dengan orang lain.”

Satria meletakkan uang duapuluh ribu di keranjang buah yang Sinah bawa, kamudian berlalu, memasuki area kamar-kamar kost, langsung masuk ke dalam kamarnya. Sinah tidak tahu yang mana persisnya kamar Satria, tapi itu tidak penting. Yang jelas ia hanya ingin meyakinkan Satria bahwa pemilik rumah makan baru itu adalah Mawar, bukan Sinah.

Sinah kembali melenggang, menuju ke arah mobilnya yang diparkir agak jauh, sambil tersenyum senang. Ia merapikan rambutnya, kemudian memacu mobilnya menuju pulang ke rumah makan miliknya. Sambil berjalan itu ia mereka-reka, langkah apa yang harus diambilnya, untuk bisa memiliki Satria. Agak heran Sinah kepada dirinya, mengapa tak pernah berhenti mengharapkan laki-laki yang sudah jelas tidak menyukainya, dan memilih gadis lain yang tentu saja amat dibencinya. Memang bukan Sinah kalau tidak senekat itu, dan tentu saja tidak tahu malu.

***

Ketika sampai di rumah makan itu, Sinah langsung memarkir mobilnya di halaman samping rumah. Ia tak tahu kalau Andra ada di sana, dan ketika dia memasuki kamar, dilihatnya Andra tertidur pulas.

Sinah segera melepas baju sederhana yang tadi dipakainya, menggantinya dengan pakaian rumahan yang tipis dan menawan. Itu yang dilakukannya setiap kali Andra datang, karena ia tahu apa yang diinginkan suaminya.

Ketika ia kemudian tidur di sampingnya, Andra menggeliat.

“Dari mana kamu?”

“Cuma ingin jalan-jalan saja. Sudah lama kamu datang?”

“Sejak kamu belum lama berangkat.”

“Kasihan, mengapa tidak menelpon?”

“Aku hanya lelah.”

“Mengapa tidak pulang ke rumah nyonya Andira. Dia punya pembantu lebih banyak yang bisa memijit kan?”

“Aku mau kamu yang memijit.”

“Tapi aku juga lelah.”

“Dasar malas.”

Tapi Andra tidak marah. Di rumah Sinah dia hanya ingin melepaskan lelah dengan menyenangkan hatinya. Hanya Sinah yang bisa menghiburnya, bukan Andira yang disukai bukan karena tubuhnya tapi karena harta orang tuanya. Akhirnya Andra tidak menyesal menikahi Sinah, bukan karena cinta, tapi karena kesenangan yang didapatkannya, dan kesenangan itu dibayarnya dengan menuruti semua kemauan Sinah, bahkan menjadikan Sinah pengusaha. Ia juga tidak menyesal dengan dibukanya rumah makan itu karena nyatanya Sinah bisa mengelolanya dan sudah banyak pelanggan yang datang, padahal belum lama dibuka.

***

Satria datang ke rumah Dewi pada keesokan harinya, karena hari itu Dewi libur tidak kuliah.

Dewi heran karena Satria juga bertemu Sinah yang membawa dagangan berupa buah mangga.

“Benarkah Sinah menemui kamu kemarin? Dia datang di tempat kost kamu?”

“Iya, ia memaksa memberi aku mangga, tapi aku juga memaksa membayarnya.”

“Aku heran. Kemarin Sinah juga datang kemari.”

“Oh ya?”

“Kok bisa kebetulan ya? Memangnya Sinah tahu alamat rumah kost kamu?”

“Katanya dia hanya ingin menjajakan dagangannya, tidak mengira kalau aku ada di situ.”

“Kemarin dia datang ketika aku kuliah, yang menerima mbok Randu. Dia juga bilang kalau sebenarnya hanya ingin menjajakan dagangannya, tidak tahu kalau ini rumah aku.”

“Kebetulan yang aneh … apa dia sebelumnya tidak tahu kalau rumahmu di sini?”

“Tidak sih, tapi dia mengatakan kalau asal masuk karena dia berdagang buah. Tidak mengira kalau rumahku di sini.”

“Kemarin dia juga begitu. Ia tampak terkejut ketika melihat aku. Waktu itu aku baru datang dari Solo, lalu begitu masuk halaman, aku melihat dia.”

“Padahal selama ini dia belum pernah tahu rumah kostmu?”

“Belum. Ini benar-benar aneh.”

“Sebuah kebetulan, mendatangi rumahmu dan rumah kostku, dengan mengatakan tidak sengaja. Mengapa datang kemari lalu datang ke rumah kostku?” kata Satria.

“Iya juga sih, tapi biarkan saja, dia kan tidak mengganggu?”

“Omongannya selalu membuat aku kesal. Tapi aku tidak akan memikirkannya. Lagipula mangganya rasanya asam. Tak ada manis-manisnya. Jadi aku berikan kepada anak-anak kost putri di sebelah rumah. Perempuan kan suka membuat rujak dari buah-buah asam.”

“Yah, sama. Yang dibeli mbok Randu juga asam. Mbok Randu mengupas satu buat aku, aku tidak doyan. Asaaaam banget. Aku termasuk perempuan yang tidak suka buah asam. Kalau rujak itu beda, ada asam, ada manis, ada pedas, aku doyan. Nggak tahu dikemanakan mangga yang lainnya, sebungkus ada lima atau empat butir.”

Keduanya terkekeh, dan merasa terkecoh dengan warna mangga yang kekuningan, ternyata asam.

“Kamu baru pulang kemarin?”

“Iya, aku harus mempersiapkan berkas yang diperlukan untuk melamar besok Senin. Tapi sekarang sudah siap semuanya, tinggal menunggu hari Senin.”

“Syukurlah, semoga berhasil.”

Tiba-tiba ponsel Dewi berdering, dari Listyo.

“Ya Mas, ada apa?”

“Kamu suka rujak?”

“Mbak Arum bikin rujak?”

“Si Yu yang bikin, aku nggak doyan rujaknya dari mangga oleh-oleh kanjeng ibu kemarin. Asem bangeeet.”

“Apa?”

***

Besok lagi ya.

                     

25 comments:

  1. πŸŒ»πŸƒπŸŒ»πŸƒπŸŒ»πŸƒπŸŒ»πŸƒ
    Alhamdulillah πŸ™πŸ’
    Cerbung eMHa_11
    sampun tayang.
    Matur nuwun Bu, doaku
    semoga Bu Tien selalu
    sehat, tetap smangats
    berkarya & dlm lindungan
    Allah SWT. Aamiin YRA.
    Salam aduhai πŸ’πŸ¦‹
    πŸŒ»πŸƒπŸŒ»πŸƒπŸŒ»πŸƒπŸŒ»πŸƒ

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun jeng Sari

      Delete
  2. Alhamdulillah ....
    Jam 18:44 sdh tayang
    gasik men ya, mungkin Bu Tien sdh capek pengin segera "ngeluk geger" ..
    Sufeng dalu Bun, sugeng aso salira.
    Salam taklim kagem mas Dayat.
    πŸ€πŸ€πŸ™

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wa'alaukumussalam warahmatullahi wabarakatuh
      Salam dari mas Dayat

      Delete
  3. Terimakasih bunda Tien
    Semoga bunda Tien dan pak Tom selalu sehat

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " MAWAR HITAM 11 " sudah tayang
    Semoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin

    ReplyDelete
  5. Matur nuwun mbak Tien-ku Mawar Hitam telah tayang

    ReplyDelete
  6. Terima ksih bunda cerbungnya..salam sht sll unk bunda sekel.πŸ™πŸ˜πŸŒΉ

    ReplyDelete
  7. Mangga yang masam, waktu yang berurutan, kalimat yang sama, membuat para pembeli jadi curiga. Ini akan membuat para pembeli waspada.
    Salam sukses mbak Tien yang Aduhai semoga selalu sehat bersama keluarga, aamiin.

    ReplyDelete
  8. Matur nuwun mbakyuku Tienkumalasari sayang, sudah tayang episode teranyar, cerita yg membuat deg degan terus hehehe... salam sehat sll khusus untuk kelg tercinta, inggih wassalam dari Cibubur

    ReplyDelete
  9. Terima kasih bunda Tien
    Alhamdulillah cerbung dah tayang
    Semoga bunda sehat walafiat
    Salam aduhai hai hai

    ReplyDelete
  10. Naaah mulai seru nih. Pasti ada kejanggalan yang Mawar luput. Dan akhirnya terbongkar.

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah, MAWAR HITAM(MH) 11 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.

    ReplyDelete

  12. Alhamdullilah
    Matur nuwun bu Tien
    Cerbung * MAWAR HITAM 11
    * sdh hadir...
    Semoga sehat dan bahagia bersama keluarga
    Aamiin...

    ReplyDelete
  13. Alhamdulilah, maturnuwun bu Tien " Mawar Hitam episod 11" sampun tayang, Semoga bu Tien selalu sehat dan juga Pak Tom bertambah sehat dan semangat, semoga kel bu Tien selalu dlm lindungan Allah SWT aamiin yra 🀲🀲

    Salam hangat dan aduhai aduhai bun 🩷🩷

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillaah Mawar Hitam-11 sdh hadir
    Terima kasih Bunda Tien, semoga sehat dan bahagia selalu.
    Aamiin Yaa Robbal' Aalaamiin

    ReplyDelete
  15. Terima kasih Bunda, cerbung Mawar Hitam 11...sdh tayang.
    Sehat selalu dan tetap semangat nggeh Bunda Tien.
    Syafakallah kagem Pakdhe Tom, semoga Allah SWT angkat semua penyakit nya dan pulih lagi seperti sedialakala. Aamiin

    Sinah...memang cerdas...semua orang yang dia kenal ..bisa terkecoh.

    Apa yang sebenarnya kamu cari ya Sinah..🀭😳

    ReplyDelete
  16. Nah lhoo...Sinah salah strategi tuh...maunya 'sekali tepuk tiga nyawa', eh malah bikin curiga semua sasaran gitu. Wkwk...seru nih idenya ibu Tien. Terima kasih, buu...salam sehat selalu.πŸ™πŸ»πŸ˜€

    ReplyDelete
  17. Alhamdulillaah, Matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya πŸ™πŸ€—πŸ₯°πŸ’–πŸŒΏπŸŒΈ

    Masya Allaah, Bu Tien bikin penasaran terus,,,, aduhaii
    Terutama Sinah yg buat gemes & nekat 😁😍

    ReplyDelete
  18. Sinah itu pembantu, tapi daya pikir jahatnya kuat sekali. Jangan-jangan dia itu ketularan jahatnya lurahku yang dulu...
    Terimakasih Mbak Tien...

    ReplyDelete
  19. Mbak Tien juga bisa membuat tiga cerita kebetulan yang sama, yaitu sama-sama masam eh asam...
    Kenapa sih masam dibilang asam, masin dibilang asin? Sekalian saja manis dibilang anis... he he he...

    ReplyDelete