CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 28
(Tien Kumalasari)
Saraswati menatap tajam suaminya. Tak percaya apa yang baru saja didengarnya.
“Kangmas mengatakan apa? Bolehkah aku mendengarnya sekali lagi?”
“Diajeng, aku hanya ingin Diajeng mengerti bahwa hidup berdampingan dengan damai itu lebih menenteramkan bukan?”
"Tadi Kangmas tidak mengatakan itu. Bukan?”
“Diajeng ….”
“Apa yang Kang Mas katakan tadi? Bukan yang baru saja aku dengar.”
“Bukankah Diajeng suka kalau Aryo tinggal di sini? Maksudku, kalau ibunya juga tinggal di sini, bukankah Diajeng juga akan terus bersama Aryo?”
“Baiklah akan aku ulangi saja apa yang Kangmas katakan tadi. Bukan pertanyaan, tapi Kangmas mengatakan kalau dia akan tinggal di sini bersama anak-anaknya. Itu sebuah berita. Sebuah ketentuan.”
“Bagaimanapun aku harus bertanya kepada Diajeng, apakah Diajeng menyukainya.”
“Berbeda sekali. Kangmas mengatakan kalau mereka akan tinggal di sini lalu baru menanyakannya padaku.”
“Maksudku bertanya dulu.”
“Kalau begitu akan aku jawab, tidak,” kata Saraswati tandas.
Adisoma terpana. Ia mengira dengan adanya Aryo maka Saraswati akan bisa menerima ibunya juga. Tapi yang didengarnya sangat berbeda. Saraswati menolaknya.
“Diajeng, kemungkinannya adalah, bahwa dia tidak akan membiarkan anaknya tinggal di sini tanpa dirinya.”
“Kalau begitu suruh dia membawanya," kata Saraswati sambil melangkah meninggalkan suaminya yang masih menggendong Aryo.
Tapi tiba-tiba Aryo berteriak memanggilnya.
“Bwwuuu …”
Saraswati tercekat. Langkahnya terhenti. Terpaksa ia menoleh ke belakang. Adisoma mendekat ke arah Saraswati. Tangan Aryo meraih-raih ke arah Saraswati.
“Ada apa? Aku bukan ibumu,” katanya tanpa senyum.
“Bwwuuuu.”
Saraswati menguatkan hatinya. Ia kembali melangkah, tapi Aryo merengek dan merengek lagi, semakin keras.
“Kamu tega?” tanya Adisoma.
Saraswati berhenti, lalu meraih tubuh kecil yang tangannya masih menggapai-gapai.
“Mengapa tidak Kangmas kembalikan saja pada biyungnya?”
“Arum masih di rumah sakit. Semalam dia melahirkan.”
“O, jadi Kangmas bisa membawanya kemari karena ibunya sedang melahirkan?”
Adisoma tak menjawab.
Rengek itu berhenti. Aryo memegangi pipi Saraswati dengan kedua tangan kecilnya. Saraswati tak tega untuk tidak tersenyum. Tapi ia bergegas meninggalkan Adisoma yang menatapnya penuh kemenangan. Tapi ada perasaan khawatir dan tidak yakin bahwa ia akan bisa menundukkan Saraswati dengan seorang anak kesayangan.
Hari mulai gelap.
Dari arah ruang makan mbok Manis membawa botol berisi susu. Saraswati duduk di ruang tengah dengan Aryo dipangkuannya. Saraswati tidak melakukan apa-apa. Dia juga tidak mengajaknya bercanda. Ada mainan boneka kecil yang dipegangnya. Itu boneka milik Dewi ketika dia masih suka main boneka. Tapi Aryo kelihatan senang memainkannya.
“Den Aryo, mimik dulu … “ kata mbok Manis.
Aryo menoleh ke arah mbok Manis, lalu tangannya menggapai botol susu yang dipegang mbok Manis. Boneka yang dipegangnya dilemparkannya ke lantai, lalu ia sibuk minum dari botol yang diberikan mbok Manis.
Kepalanya disandarkan ke lengan Saraswati. Saraswati hanya menatapnya dengan tatapan kosong.
“Den Ayu, saya buatkan bubur sumsum dengan parutan wortel dan bayam, apakah den Aryo suka ya?”
“Coba saja Mbok, tapi ini sudah minum susu. Agak nanti saja kalau kamu mau menyuapinya.”
Mbok Manis heran, wajah Saraswati tidak ceria. Berbeda sekali dengan ketika Aryo baru saja datang, yang ditimang-timangnya dengan penuh kegembiraan.
“Biar den Aryo saya pangku, Den Ayu,” kata mbok Manis.
“Siapkan saja buburnya, nanti disuapin di sini.”
“Baiklah,” kata Mbok Manis sambil mengundurkan diri.
Saraswati mengelus kepala Aryo, yang sibuk menghisap susunya, sambil matanya berkedip-kedip menatap wanita cantik yang merangkul lehernya.
“Aryo, apa kamu tahu, aku bukan ibumu? Kamu bukan milikku,” mata Saraswati berkaca-kaca ketika mengucapkannya.
“Kamu boleh tinggal di sini, tapi tidak dengan biyungmu.”
Aryo menikmati susunya, masih dengan mata berkedip-kedip. Barangkali dia tak tahu arti ucapan Saraswati. Sebelah tangannya bahkan diangkatnya, untuk menyentuh pipi Saraswati. Air mata Saraswati menetes.
“Apa kamu menyukai aku?” tanyanya sambil mengusap air matanya.
Ia ingin memiliki, tapi ia tak ingin memaksakan diri. Kalau adanya Aryo di rumah ini harus dengan ibunya, mana mungkin ia bisa menerimanya? Ibu kandung Aryo adalah duri di dalam dagingnya. Tapi memandangi wajah polos yang kelihatan sangat mengerti tentang dirinya, Saraswati merasa tak akan bisa melupakannya. Tiba-tiba hatinya diliputi kebimbangan. Entah apa nanti yang akan dilakukannya. Tapi tinggal serumah dengan madunya? Walau sudah menjadi kebiasaan para petinggi memiliki istri lebih dari satu, tapi Saraswati tak akan bisa menerimanya.
“Bwwuuu,” ternyata susu di botol sudah habis. Saraswati mengambil botol itu lalu meletakkannya di meja.
Aryo merosot dari pangkuan Saraswati mengambil boneka yang masih tergeletak di lantai.
“Itu bekas mainan mbak Dewi. Dia kakakmu, kalau memang kamu anak Adisoma.”
Aryo hanya tertawa lucu.
Ketika mbok Manis datang dengan membawa semangkuk bubur, Aryo mendekatinya.
“Mammm ….”
“Den Aryo mau makan sekarang?”
“Maaammm.”
Mbok Manis menyendokkannya sedikit, di suapkan ke mulut Aryo.
“Apa mau Mbok? Bukannya masih kenyang, kan habis minum susu.”
Tapi suapan itu diterimanya. Dicecap-cecapnya. Barangkali rasanya terasa asing, berbeda dengan bubur buatan ibunya sendiri. Tapi Aryo mengunyahnya dengan senang hati. Ia masih mau ketika mbok Manis menyuapinya lagi.
“Pantes badannya gemuk. Makan bubur minum susu, tanpa jeda,” gumam mbok Manis, membuat Saraswati tersenyum.
“Apakah den Aryo akan tidur di sini, malam ini, Den Ayu?”
“Entahlah, kalau mau tidur di sini juga tidak apa-apa. Biar dia tidur di samping aku saja.”
“Ranjang ketika den Aryo masih bayi juga masih ada. Apa perlu saya suruhan membersihkannya?”
“Tidak usah, ini sudah malam. Belum tentu juga dia akan terus berada di sini. Pasang saja perlak, agar kalau ngompol tidak membasahi kasurku.”
“Baiklah, akan saya siapkan sekarang. Biasanya bayi akan mengantuk saat dia kenyang.”
***
Tapi sampai malam hampir larut, Adisoma tidak kembali ke rumah untuk mengambil Aryo. Sudah sejak lama juga Aryo terlelap di ranjang Saraswati.
Rupanya Adisoma menunggui Arum di klinik bersalin. Ia rela tidur di bangku panjang, tanpa Arum mengetahuinya. Barangkali kalau Arum tahu, sudah pasti Adisoma disuruhnya pulang.
Walaupun Arum selalu bersikap dingin, tapi Adisoma tetap bersikap sabar. Seberapapun kesalnya dia, tetap saja ditunjukkannya perhatian yang besar kepada Arum dan anaknya.
Ditengah malam itu Arum tak bisa tidur nyenyak. Ia sedang mereka-reka apa yang akan dilakukannya setelah bercerai dengan Adisoma. Biarpun Adisoma menghalanginya, dia tetap akan meminta cerai dan pergi.
Ia sudah mempersiapkan apa yang akan dibawanya, tapi ia belum tahu ke mana dia akan pergi nanti.
“Semoga anak-anakku kuat, aku bawa dalam hidup menderita, jauh dari kemuliaan. Aku yakin dengan begitu aku akan merasa lebih tenang.”
Menjelang pagi dia baru bisa terlelap, sementara tak lama kemudian perawat membawakan bayinya untuk minum ASI.
Seketika hilang sisa kantuk Arum, ketika melihat wajah bayi merah yang meminum ASI dengan lahap.
“Suami Ibu masih tidur di luar,” kata perawat itu. Arum sangat terkejut.
“Tidur di luar?”
“Di bangku ruang tunggu. Kelihatannya nyenyak sekali.”
“Dasar keras kepala,” kata Arum dengan wajah muram.
“Kelihatannya dia sangat menyayangi Ibu.”
Arum tak menjawab. Wajah bahagia para wanita yang biasanya terlihat setiap kali mendengar suami sangat menyayangi, tak sedikitpun tampak di wajah Arum. Perawat itu tak memperhatikannya. Ia menunggu Arum menyusui bayinya sambil membenahi tempat tidur Arum.
“Apakah saya harus membangunkan bapak ya Bu? Kasihan. Lagipula ruangan kan harus dibersihkan,” kata perawat itu lagi.
“Bangunkan saja,” kata Arum singkat.
“Nanti ibu sudah boleh mandi sendiri. Ada air hangat yang bisa ibu pakai,” kata perawat sambil mengambil Sekar yang sudah tertidur pulas.
“Terima kasih.”
Perawat itu membawa Sekar keluar, memasukkannya kembali ke ruang bayi. Lalu ia keluar, membangunkan Adisoma yang masih terlelap.
“Pak, maaf Pak, bangun ya, ruangan mau dibersihkan. Bangun, Pak.”
Adisoma menggeliat. Ia merasa badannya sakit semua. Semalam dia tidur di kursi kayu, tanpa bantal pula.
“Sudah pagi. Ibu meminta bapak segera pulang. Lagi pula sudah saatnya ruangan dibersihkan.”
Adisoma duduk lalu mengucek matanya. Tersipu dia ketika menatap suster jaga sedang berdiri menatap ke arahnya.
“Maaf, terpaksa membangunkan,” kata perawat itu kemudian berlalu setelah melihat Adisoma bangun.
Adisoma memasuki kamar Arum, bermaksud pamit pulang. Tapi ia tak melihat Arum. Petugas yang sedang membersihkan ruangan mengatakan kalau istrinya sedang mandi.
Tanpa pamit Adisoma kemudian pulang. Ia baru ingat, telah meninggalkan Aryo di rumah. Ia juga belum mengatakan keberadaan Aryo saat ini pada Arum.
“Nanti saja, sekaligus mengajaknya pulang ke rumah,” gumamnya sambil menuju ke arah mobilnya.
***
Pagi masih remang ketika Adisoma masuk ke kamar dan melihat sang istri tidur di samping Aryo. Keduanya tampak terlelap. Adisoma tersenyum, kemudian keluar dari kamar. Ia duduk di ruang tengah, lalu tak lama kemudian mbok Manis datang menyajikan secangkir kopi.
“Apakah Aryo rewel, Mbok?”
“Tidak Den Mas. Tampaknya den Aryo senang berada di sini.”
“Benarkah? Aku inginnya juga begitu. Tapi tampaknya Saraswati tidak suka.”
“Tapi den ayu sangat menyayangi den Aryo.”
“Dia tidak mau kalau ibunya Aryo juga akan tinggal di sini bersama kita.”
Mbok Manis terkejut. Itukah sebabnya mengapa wajah bendoronya muram sejak sore?
“Akan tinggal di sini?”
“Maksudku begitu.”
“Maaf, apakah Den Mas sudah membicarakannya dengan den ayu?”
“Sudah. Tapi tampaknya dia kurang berkenan.”
“Pastinya begitu,” kata mbok Manis pelan. Takut dianggap lancang menjawab.
“Aku berharap mereka bisa hidup berdampingan dengan senang hati.”
“Sepertinya susah,” gumam mbok Manis lagi. Ia bangkit bersiap pergi ketika Adisoma menghentikannya.
“Bawa sekalian cangkir ini. Sudah kosong.”
Mbok Manis mengambil cangkir kosong dan mengundurkan diri.
“Bantu aku membujuk Saraswati,” kata Adisoma yang tidak dijawab mbok Manis.
Adisoma merebahkan tubuhnya di kursi panjang. Kali ini kursinya empuk, ada bantalnya pula.
***
Agak siang. Arum sedang memangku Sekar yang sedang tidur, ketika pembantunya datang.
Wajah Arum berseri-seri, berharap melihat Aryo bersamanya. Tapi sang pembantu hanya sendiri. Tak tampak Aryo dalam gendongan. Lalu ia teringat bahwa telah melarang pembantunya membawa Aryo ke klinik. Barangkali dititipkan entah pada siapa, pikir Arum. Tapi ia berniat menegurnya karena begitu sembrono meninggalkan Aryo.
“Saya bawakan nasi liwet kesukaan ibu,” kata sang pembantu.
“Apakah Aryo baik-baik saja? Tidak rewel?”
“Mas Aryo dibawa ayahnya.”
Arum terkejut bukan alang kepalang.
“Apa maksudmu?”
“Kemarin bapak datang, dan terkejut mendengar Ibu sudah melahirkan semalam, lalu menggendong mas Aryo, dibawanya pergi.”
“Mengapa kamu membiarkannya?” Arum berteriak.
“Bagaimana saya bisa melarangnya? Dia kan ayahnya, dan saya hanya pembantu."
“Kemasi barang-barang lalu cari becak, kita harus menjemput Aryo sekarang juga.”
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah
ReplyDeleteNuwun jeng In
DeleteMatur nuwun
ReplyDeleteSami2 pak Wirasaba
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteNuwun jeng Ning
DeleteAlhamdulillah...
ReplyDeleteWis tayang...
Matur nuwun
Sami2 mas Kakek
DeleteAlhamdulillah... CJDPS~28 telah hadir.
ReplyDeleteMaturnuwun Bu Tien.. semoga tetap sehat dan bahagia senantiasa bersama keluarga.
Aamiin YRA π€²
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Djodhi
Matur suwun bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteAlhamdulilah, maturnuwun bu Tien " Cintaku Jauh di Pulau Seberang eps 28" sampun tayang, Semoga bu Tien dan Pak Tom beserta amancu selalu sehat, segar ceria, bahagia dan dlm lindungan Allah SWT aamiin yra π€²π€²
ReplyDeleteSalam hangat dan aduhai aduhai bun π©·π©·
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sri
Aduhai hai hai..
Matur nuwun, Bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
DeleteMatur nuwun Bunda Tien , barokalloh
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Yulian
Slmt mlm bunda..terima kasih cerbungnya sdh tayangπslm sht sll dan aduhai unk bunda sekeluargaππ₯°πΉ❤️
ReplyDeleteSami2 ibu Farida
DeleteSalam sehat dan aduhai
Alhamdulillah
ReplyDeleteCintaku jauh di pulau seberang 28 sudah tayang , terima kasih bunda Tien , semoga bunda dan pak Tom Widayat sehat walafiat
Salam aduhai hai hai
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Endah
Aduhai hai hai
Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " Cintaku Jauh di Pulau Seberang 28 "sudah tayang
ReplyDeleteSemoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
π«π«π«π«π«π«π«π«
ReplyDeleteAlhamdulillah ππ
Cerbung CJDPS_28
sampun tayang.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien & kelg
selalu sehat, tetap
smangats berkarya &
dlm lindungan Allah SWT.
Aamiin.Salam aduhai ππ¦
π«π«π«π«π«π«π«π«
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Sari
Aduhai
Alhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien❤️πΉπΉπΉπΉπΉ
Sami2 ibu Susi
DeleteTerimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien dan pak Tom selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Hehe...ya jelas Saraswati gak mau dimadu lah, apalagi ngurus anak madunya, dulu kan belum tahu kalau ada hubungan Arum dengan Adisoma?
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien. Semoga sehat selalu.ππ»
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Nana
Alhamdulillah sdh tayang... luar biasa sekali watak arum trnyata ..... terima kasih Mbu Tien... sehat sllu bersama keluarga trcnta
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Zimi
Terima kasih Bunda, cerbung Cintaku Jauh Di Pulau Seberang 28..sdh tayang.
ReplyDeleteSehat selalu dan tetap semangat nggeh Bunda Tien.
Syafakallah kagem Pakdhe Tom, semoga Allah SWT angkat semua penyakit nya dan pulih lagi seperti sedialakala. Aamiin
Waduh...dua wanita sama sama kekeh atau berkeras hati.
Pake cara apalagi ya Adisoma...ππ
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Munthoni
Alhamdulillah... Terima kasih Bu Tien semoga sehat selalu.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Yati
Matur nuwun Bu Tien, semoga Ibu sekeluarga sehat wal'afiat ...
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Reni
Cerita semakin seru
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...