JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 51
(Tien Kumalasari)
Kinanti mencoba tersenyum. Tak enak rasanya, karena pelayan rumah makan sudah menyajikan pesanan.
Ardi meneguk es kelapa muda yang dipesannya.
“Minumlah, agar sedikit mendinginkan kepala yang hampir mendidih,” canda Ardi.
“Ardi, aku hanya merasa nyaman setiap kali hatiku sedang kacau, lalu ada kamu.”
“Kinanti, bukankah aku selalu ada untukmu? Aku juga selalu bilang bahwa kamu harus bahagia karena bahagiamu adalah bahagiaku.”
“Tapi sekarang aku sedang tidak bahagia. Aku merasa bahwa cinta tidak ingin bersahabat dengan hidupku.”
”Wah, kamu salah Kinanti. Ada aku yang penuh cinta untuk kamu.”
Kinanti tertawa. Ia yakin Ardi sedang bercanda. Seandainya itu benar. Lalu Kinanti seperti menemukan sesuatu. Ardi bukan sekedar ‘seseorang’. Ardi punya banyak arti dalam hidupnya. Bahkan sejak mereka sekolah. Laki-laki tampan tapi konyol itu selalu membuatnya kesal. Tapi ia tak pernah membencinya. Ardi selalu mengatakan bahwa dirinya adalah sahabat sejati. Tapi sekarang Kinanti merasa ada yang lain. Apakah ucapan Ardi adalah benar-benar candaan?
“Aku seperti tak punya cinta,” gumam Kinanti sambil menyendok kelapa muda yang hampir memenuhi gelasnya.
“Enak, kelapanya benar-benar muda,” katanya lagi. Ia tak sadar bahwa Ardi sedang menatapnya lama sekali.
“Heii, apa yang kamu lakukan?” pekiknya pelan melihat tingkah Ardi.
“Aku sedang menatapmu. Kamu terlihat kacau. Kamu kehilangan cinta?”
“Cinta tak pernah bersahabat denganku. Ia selalu terbang dari genggamanku,” katanya lirih.
“Ya ampuun, kira-kira terbang kemana, wahai cinta? Kasihan, padahal aku punya sejagat cinta. Kamu mau berapa biji?” katanya sambil menyendok lontong opor pesanannya.
“Ardi. Kamu selalu begitu, cinta selalu dibuat candaan.”
“Makanlah, nanti aku tunjukkan padamu tentang cinta yang serius, bukan candaan.”
Kinanti tersenyum. Enak saja Ardi ngomongnya, padahal dia benar-benar sedang merenungi kesialannya tentang cinta. Cinta pada suami, musnah. Cinta kepada calon suami, sirna.
“Makan, lontong opor ini enak sekali. Seperti masakan ibuku setiap hari raya.”
Tak ingin mengecewakan Ardi, ia ikut menikmati lontong opornya.
“Enak kan?”
“Aku hanya bisa memasak, tapi tidak pintar-pintar amat. Ini memang enak, lebih-lebih ketika dimakan saat perut sedang keroncongan.”
Tapi bukan kata-kata itu yang diinginkan Ardi. Ia ingin Kinanti riang dan bersemangat, ketika sedang menyanyi di panggung. Ketika ia berhasil meraih kebahagiaannya bersama Guntur. Ketika sedang terkekeh mentertawakannya saat ia berusaha bisa menyanyi, tapi Kinanti selalu mengatakan bahwa suaranya sember. Ketika … dan masih banyak ketika yang penuh gembira di hari-harinya yang telah silam. Tapi ketika di hari ini, Kinanti tampak muram. Seandainya lampu, sinarnya redup, seandainya bunga ia sedang menunduk layu. Ia memerlukan setetes embun untuk bisa kembali tegak dan berbinar. Embun itu adalah cinta. Ardi memiliki cinta itu, tapi Kinanti seakan tak peduli. Tak ada cinta untuk dirinya, sementara ia memiliki berlimpah sayang.
“Ardi, aku menyesal telah membawamu dalam kesulitanku.”
“Apa yang kamu bicarakan? Lontong opor ini enak sekali, ayo nikmatilah.”
Kinanti mengerucutkan bibirnya. Ia bicara apa, lalu Ardi menanggapinya bagaimana. Nggak nyambung kan?
“Hei, biasanya kamu ini, walau cemberutpun selalu kelihatan cantik. Tapi kali ini tidak. Jelek, seperti nenek-nenek,” kata Ardi seenaknya.
Mendengarnya Kinanti ingin memukulnya, tapi jarak mereka terlalu jauh. Berseberangan, jadi ia hanya bisa mengangkat tangannya sambil menggenggam lalu diacungkannya ke hadapan sahabatnya.
Ardi terkekeh menyaksikan ulah Kinanti.
“Di mana-mana, wanita tidak pernah suka dibilang jelek,” tawa Ardi sambil mengakhiri suapan terakhirnya.
“Tidak apa-apa aku jelek, tapi aku bukan nenek-nenek.”
“Baiklah, kalau begitu letakkan rasa galau di hati kamu, tenang, nyaman, nikmati hidup dengan semangatlah. Kegagalan bukanlah kehancuran. Masih ada matahari bersinar, masih ada bulan berbinar, dan bintang yang selalu berkedip tak kenal lelah.”
Senyum Kinanti mengembang.
“Sejak kapan kamu menjadi puitis begitu?”
“Seseorang yang sedang jatuh cinta, bisa menjadi puitis.”
“Memangnya kamu sedang jatuh cinta?”
Ardi mengangguk, lalu meneguk sisa es kelapa muda yang tinggal separuh. Kinanti agak terkejut.
“Kamu sedang jatuh cinta?”
“Bukankah mengangguk berarti ‘iya’?”
“Katakan siapa gadis yang beruntung itu,” kata Kinanti bersungguh-sungguh.
“Kamu,” kata Ardi enteng. Tapi membuat Kinanti kesal. Ia selalu menganggap Ardi bercanda.
“Konyol!”
***
Ardi tidak langsung membawa Kinanti pulang. Ia mengajaknya berputar-putar, bahkan sampai keluar kota, dan meminta agar Kinanti menikmati alam yang begitu indah.
“Besok kalau aku tua, aku ingin tinggal di daerah pedesaan seperti ini.”
“Kenapa?”
“Lihatlah, suasana begitu tenang, segar. Tanaman padi yang menguning terlihat seperti ombak ketika angin menerpanya. Di alam seperti ini, kita tidak memerlukan AC, karena kita sudah merasakan sejuk.”
Kinanti terkejut ketika tiba-tiba ponselnya berdering. Sang ibu menelponnya, lalu Kinanti ingat bahwa dia tidak mengabari ibunya kalau ia akan pulang terlambat.
“Bu, maaf, Kinanti lupa bilang pada Ibu kalau akan pulang terlambat.”
“Kamu sedang di mana?”
“Sedang jalan-jalan bersama Ardi.”
“Ya ampun, lain kali kabari ibu kalau kamu mau pergi-pergi.”
“Maaf Bu.”
Kinanti memeletkan lidahnya ketika menutup ponsel.
“Ibu marah?”
“Ibuku tidak pernah marah. Ia hanya menegurku. Aku lupa tidak mengabari kalau akan pulang terlambat.”
“Aduh, ini salahku. Kalau begitu ayo kita pulang,” kata Ardi sambil memutar mobilnya.
“Tidak apa-apa. Kamu hanya berusaha menghiburku, bukan?”
“Apakah kamu merasa terhibur, sekarang?”
“Sangat.”
“Kalau begitu jangan sedih lagi. Kamu masih muda, masih cantik, masih banyak cinta yang akan menghiasi hidup kamu.”
“Cintamu, maksudnya?” kata Kinanti bercanda.
“Itu benar,” kata Ardi sambil mengacungkan jempolnya, membuat Kinanti tersenyum lebar.
“Senyum kamu sekarang terlihat cantik.”
“Benar? Tidak seperti nenek-nenek lagi?”
“Aku hanya bercanda. Kamu memasukkannya ke hati?”
“Banyak canda terlontar dari ucapanmu. Masa aku harus memasukkannya ke hati?”
Kali ini Ardi kehilangan senyumnya, karena tidak semua canda diucapkan sekedar canda, yaitu tentang cinta. Tapi sedih rasanya, Kinanti selalu menganggapnya sebagai canda. Apa Kinanti tak punya hati?
***
Anak-anak sudah mandi. Bu Bono mendekati Emmi yang sedang membuka-buka sebuah album foto.
“Kamu bisa mengambil album itu, sayang. Padahal tempatnya tinggi,” kata bu Bono yang tidak bermaksud memarahinya.
“Emmi memanjat pakai kursi,” jawab Emmi sambil menatap neneknya.
“Hati-hati, jangan suka memanjat, nanti kalau jatuh bagaimana?”
“Emmi sudah hati-hati kok.”
Bu Bono duduk di samping cucunya.
“Ini foto siapa?”
Bu Bono terkejut. Sebenarnya Kinanti sudah membuang semua foto-foto Guntur begitu mereka bercerai. Ternyata masih ada satu yang tertinggal.
“Ini foto teman ibumu,” jawab bu Bono sekenanya.
“Mana foto ayah Emmi?”
Bu Bono terkejut. Dari mana asalnya Emmi bisa bertanya tentang ayahnya?
”Apakah Emmi tidak punya ayah?”
“Emmi punya ayah.”
“Di mana?”
“Ayahmu sedang bekerja. Jauh.”
“Tidak ada fotonya di sini?”
”Tidak ada. Ayahmu tidak suka difoto.”
“Apa ayahku tidak akan pulang?”
“Emmi, ayo kita main boneka. Kemarin kamu dapat boneka baru lagi dari om Ardi bukan?”
“Apa om Ardi bukan ayahku?”
“Bukan Emmi, dia teman ibumu.”
“Teman ibu banyak ya Nek?”
“Banyak.”
“Apakah ayahku ganteng seperti om Ardi?”
“Ganteng sekali. Itu sebabnya Emmi cantik. Ayo sekarang main, biar nenek ambilkan boneka kamu ya?” kata bu Bono sambil beranjak ke kamar Emmi. Ia lupa mengembalikan album ke tempatnya.
Emmi menutup albumnya, lalu menarik kursi yang tadi dipakainya untuk memanjat. Ia ingin mengembalikan albumnya. Hati-hati dia memanjat, tapi tanpa diduga dia terjatuh. Suara berdebum dan jeritan Emmi mengejutkan semua orang. Bu Bono dan bibik berlarian mendekat. Terbelalak melihat kursi yang terguling dan Emmi yang tergeletak di lantai sambil menjerit-jerit.
“Emmi !” Teriak bu Bono yang langsung menggendong Emmi.
“Sakit, nenek. Sakit,” jeritnya sambil memegangi kepalanya.
“Ya ampun Emmi, mengapa kamu bisa jatuh?” kata bu Bono sambil mengelus kepala Emmi.
Tak kelihatan luka, sedikit benjol, bu Bono mengusap usapnya lembut.
“Sakit Nek.”
“Bik, tolong ambilkan minum,” perintahnya kepada bibik yang sedang menggendong Emma. Kemudian bibik bergegas mengambil susu dalam gelas.
“Ini tadi minum non Emmi, belum diminum,” kata bibik kemudian.
“O, iya … ayuk diminum dulu, sudah jangan nangis. Lain kali tidak boleh memanjat-manjat ya.”
“Emmi ingin melihat foto bapak,” tangisnya.
“Ya sudah, diminum dulu susunya.”
“Tadi pagi mengajak jalan-jalan ke sekolah di dekat rumah. Dia melihat anak sekolah diantar ayahnya, lalu bertanya, apa aku tidak punya bapak, begitu katanya, Nyonya,” kata si bibik pelan. Bu Bono mengangguk mengerti. Agak rumit mengatakan bahwa ayah dan ibunya sudah bercerai.
Bu Bono mengelus kepala Emmi lembut. Seperti tak ada luka, dan membuatnya lega. Bu Bono tidak tahu, kelak dikemudian hari, gara-gara jatuh itu akan menjadi sesuatu yang amat serius.
***
Kinanti datang diiringi Ardi, dan melihat Emmi sudah berhenti menangis, dan duduk di teras bersama sang nenek.
“Bu, maaf, tadi Ardi mengajak Kinanti makan dan jalan-jalan,” kata Ardi sambil mencium tangan bu Bono.
“Iya Nak, tidak apa-apa, ibu hanya khawatir karena Kinanti tidak mengabari ibu kalau mau pulang terlambat.”
“Kinanti lupa Bu. Maaf. Lhoh, tadi Emmi habis menangis ya?”
“Emmi jatuh.”
“Emmi jatuh?” Ardi langsung mendekat dan menggendong Emmi.
“Emmi manjat-manjat, lalu jatuh.”
“Kenapa Emmi manjat-manjat?”
“Emmi mau lihat fotonya bapak,” kata Emmi polos.
Kinanti tertegun. Mengapa tiba-tiba Emmi ingin melihat foto ayahnya.
“Tadi tiba-tiba memanjat dengan kursi untuk mengambil album. Ibu sedang mengambil boneka, dia ingin mengembalikan album itu ke atas, lalu jatuh,” terang bu Bono.
“Kepala Emmi sakit.”
Ardi memeriksa kepala Emmi. Ada sedikit benjol.
“Kita ke rumah sakit?” tanya Ardi.
“Tidak apa-apa kok Nak, tidak ada luka, hanya benjol sedikit,” kata bu Bono.
“Sudah nggak sakit,” kata Emmi yang kemudian menerima sepotong coklat yang diberikan Ardi. Tapi dia tidak tampak gembira.
“Mengapa pengin lihat foto bapak. Nggak ada foto bapak di sana,” kata Kinanti.
Ardi masih menggendongnya dan membawanya duduk di pangkuannya. Kinanti mengikutinya duduk di depannya.
“Apa Emmi tidak punya bapak?” tanya Emmi tiba-tiba.
“Siapa bilang Emmi tidak punya bapak?” kata Ardi sambil menatap wajah Emmi.
“Bapak Emmi pergi jauh,” kata Emmi menirukan jawaban neneknya.
“Tidak. Ini bapak Emmi,” kata Ardi sambil menunjuk ke arah dadanya sendiri.
Mata Emmi berkejap-kejap, menatap Ardi tak percaya.
Bu Bono masuk ke dalam untuk membuatkan minum bagi ‘tamunya’.
“Ini kan om Ardi,” Emmi bukan anak bodoh rupanya.
“Iya, om Ardi itu ayahnya Emmi,” kata Ardi bersungguh-sungguh. Ardi tidak tahu bahwa Kinanti menatapnya sambil melotot. Candaan Ardi dirasanya keterlaluan.
“Benarkah?” wajah Emmi berseri-seri.
“Tentu saja. Mulai sekarang Emmi jangan panggil ‘om’, tapi ‘bapak’. Oke?”
“Kata nenek bapak pergi jauh.”
“Iya. Bapak Emmi ini kan tidak tidur di sini, karena harus bekerja. Jauh.”
“Nanti kalau sudah tidak bekerja akan tidur di sini?”
“Tentu saja. Kalau tugas selesai."
Kinanti menggaruk-garuk kepalanya, kemudian masuk ke dalam rumah dengan perasaan tak menentu. Kali ini candaan Ardi akan tertanam di hati Emmi.
“Ya ampuun, Ardi,” omel Kinanti sambil masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri, sementara Emmi masih mengoceh riang di teras. Entah kekonyolan apa lagi yang dilakukan Ardi.
***
Berhari-hari telah berlalu. Sejak Ardi mengaku sebagai ayahnya, Emmi selalu bertanya, apakah ibu akan bertemu bapak, apakah bapak akan datang dan seterusnya. Kinanti bingung menjawabnya.
Ketika dalam sebuah kesempatan, Kinanti menegur Ardi yang masih tampak cengengesan.
Hari itu Ardi menjemput Kinanti, membawanya ke sebuah rumah taman yang sejuk.
Kinanti heran, biasanya Ardi selalu sambat kelaparan. Mengapa membawanya ke taman? Sok romantis deh, kata batin Kinanti.
“Duduklah. Kali ini kita akan menghirup udara sejuk,” kata Ardi.
“Ardi, mau apa kita kemari? Seperti orang lagi pacaran saja,” gerutu Kinanti.
Ardi tersenyum. Entah mengapa, hari itu Kinanti merasa bahwa Ardi kelewat ganteng. Dia juga wangi, sementara Kinanti merasa dirinya kucel dan berkeringat. Maklumlah, sejak pagi dia berkutat di klinik. Bau obat juga pasti masih tercium.
“Aku akan membuat di tempat ini, kita bukan ‘seperti orang lagi pacaran’.”
“Apa maksudmu?”
“Kita pacaran beneran. Oke?”
“Apa? Kekonyolan apa lagi yang akan kamu lakukan?”
Tiba-tiba Ardi mengulungkan setangkai mawar merah, di sana bergantung sebuah kotak kecil. Lalu dia berlutut di depan Kinanti. Kinanti terbelalak.
“Ardi??”
“Maukah kamu menjadi istriku?”
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah
ReplyDelete🍃🌹🌻💔💔🌻🌹🍃
ReplyDeleteAlhamdulillah JeBeBeeL eps 51, sudah hadir.
Terima kasih bu Tien, semoga sehat selalu.
Salam SEROJA dan tetap ADUHAI.
🍃🌹🌻💔💔🌻🌹🍃
Aamiin Yaa Robbal'allamiin
DeleteMatur nuwun mas Kakek
Matur sembah nuwun Mbak Tien
ReplyDeleteJeBeBeeL..51..sudah tayang
Deg2an terus baca cerbung ini..semoga cinta tulus yg menang..
Tetep semangat mbak Tien
Salam ADUHAI..🙏🥰😍
Matur nuwun jeng Ning
DeleteAlhamdulilah, maturnuwun bu Tien JBBL 51 sampun tayang, semoga bu Tien sekeluarga sll sehat, dimurahkan rizki, serta sll dlm lindungan Allah SWT aamiin yra 🤲🤲
ReplyDeleteSalam hangat dan aduhai aduhai bun 🩷🩷
Kok kadingaren minggu tayang bun.. maturnuwun.
Aamiin Yaa Robbal'allamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sri
Kaget aku. Ternyata Minggu ta?
Aduhai 2x
Bonus Ramadhan nggih bu Tien ... he he he ..mbenjing tetep tayang nggih bun.😍😍😍
DeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Jangan Biarkan Bungaku Layu telah tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteAlhamdulillah JBBL 51 sdh tayang
ReplyDeleteMatur nuwun bu Tien
Sami2 ibu Wiwik
Delete🕌🤝🕌🤝🕌🤝🕌🤝
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏🤩
JeBeBeeL_51 sdh hadir.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien & kelg
selalu sehat & bahagia.
Aamiin.Salam seroja😍🦋
🕌🤝🕌🤝🕌🤝🕌🤝
Aamiin Yaa Robbal'allamiin
DeleteMatur nuwun jeng Sari
Salam hangat
Alhandulillah .
ReplyDeleteSehat selalu ya Bunda Tien, selamat berbuka puasa.
Aamiin Yaa Robbal'allamiin
DeleteMatur nuwun jeng Isti
Alhamdulillah JBBL~51 telah hadir.. maturnuwun.Bu Tien 🙏
ReplyDeleteSemoga Bu Tien tetap sehat dan bahagia senantiasa bersama keluarga.
Aamiin YRA 🤲
Aamiin Yaa Robbal'allamiin
DeleteMatur nuwun pak Djodhi
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Semoga sehat walafiat
Aamiin Yaa Robbal'allamiin
DeleteMatur nuwun ibu Endah
Matur nuwun bu Tien
ReplyDeleteSemoga sehat dan bahagia selalu
Aamiin Yaa Robbal'allamiin
DeleteMatur nuwun pak Wedeye
Alhamdullilah jbbl 51 tayang bund..biasanya hri minggu libur..mksih y bundaqu slmt mlm slmt istrht..slm seroja dan tetap afuhai unk bunda sekeluarga 🙏🥰🌹❤️
ReplyDeleteSami2 ibu Farida
DeleteAduhai
Mks bun JBBL 51 sdh hadir, biasanya hari minggu libur bun, aku jadi seneng bgt nih, lagi pengin lanjutannya, mlh sekarang tayang mks skli bun .....selamat malam,...
ReplyDeleteAlhamdulillah.
DeleteSami2 ibu Supriyati
Alhamdulillah .bungaku sdh disunting Ardi.Maturnuwun Bunda,semoga selalu sehat wal afiat .Aamiin
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'allamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Hatur nuhun Bu Bu tien.
ReplyDeleteSami2 ibu Yati
DeleteTerimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal'allamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Alhamdulillah JBBL~51 telah hadir.. maturnuwun bunda Tien 🙏
ReplyDeleteSemoga bunda selalu sehat dan bahagia bersama keluarga.
Aamiin YRA 🤲
Aamiin Yaa Robbal'allamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ermi
Kok jadi rumit begini jalan cintanya?
ReplyDeleteKalau seandainya jadi dengan Ardi, tentu tak mungkin Kinanti bisa balik ke Guntur...
Apakah Ardi mau Mbak Tien matikan?
Mbak Tien sukanya membuat orang puyeng...
Terimakasih Mbak Tien...
Sami2 MasMERa
DeleteJangan puyeng dong
Aamiin Yaa Robbal'allamiin
ReplyDeleteMatur nuwun mas crigis
Wow, episode spesial nih tayang di hari Minggu...apakah hari ini akan tamat setelah Kinanti menjawab "ya" pada Ardi dan hidup bahagia selamanya? Semoga...😀
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien...sehat2 selalu ya ibu sayang...🙏🏻😘😘
Aamiin.
DeleteTerima kasih banyak..