JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 40
(Tien Kumalasari)
Pagi itu Kinanti membuka matanya. Ia baru merasa bahwa terbangun disuatu tempat yang asing. Bukan di rumahnya sendiri. Bukankah ini rumah sakit? Pikirnya. Ia menoleh ke arah samping, melihat sang ibu duduk di sampingnya.
“Ibu?”
“Kamu baru bangun?”
“Kinanti ada di rumah sakit?”
“Kamu baru sadar kalau sedang berada di rumah sakit?”
Kinanti terdiam, mencoba menelusuri semua kejadian yang dialaminya. Walau semalam pernah tersadar, tapi Kinanti tidak benar-benar mengerti apa yang terjadi. Ia lebih banyak tertidur, bahkan tidak sedikitpun berbincang dengan sang ibu.
“Kamu sakit. Ibu membawa kamu kemari, ketika kamu setengah sadar setengah tidak. Badanmu panas sekali.”
Kinanti hanya ingat ketika ia merasa sangat pusing dan lemas. Ia tak mengerti sebenarnya apa yang terjadi. Ia hanya tahu, dadanya merasa sakit. Ia mendengar orang memperbincangkan suaminya, yang sedang berduaan dengan seorang wanita, yang diyakininya pastilah wanita itu Wanda. Lalu ia merasa hatinya sangat gelap, jiwanya gelap, dunianya juga gelap. Ia enggan melakukan apapun. Ia hanya ingin berbaring karena tubuhnya terasa tidak nyaman. Lalu ia merasa seseorang membawanya, ia melangkah gontai, tanpa sadar akan dibawa ke mana. Ternyata dia ada di rumah sakit.
“Bagaimana perasaanmu sekarang?”
“Entahlah.”
“Sebuah beban, tidak harus dipanggul sendirian. Ada baiknya kamu cerita pada ibu,” kata bu Bono lembut.
Kinanti menatap ibunya. Apakah sang ibu tahu sesuatu?
“Beban apa?” Kinanti masih ingin menutupinya.
“Kinanti, sepertinya ibu mengetahui sesuatu.”
“Apa Bu?”
“Ada masalah antara kamu dan suami kamu.”
“Ibu ….”
“Jangan memikulnya sendiri. Jiwa dan ragamu tidak kuat.”
Tapi Kinanti juga melihat wajah ibunya yang pucat. Kinanti masih mengira sang ibu kelelahan karena menungguinya semalaman. Pasti sang ibu kurang istirahat, dan juga kurang tidur.
“Ibu pulang saja. Kinanti tidak apa-apa. Ibu pasti lelah.”
“Jiwa ibu yang lelah.”
“Bu ….”
“Ada sesuatu yang tidak jelas, tapi teraba oleh batin ibu. Kamu sangat menderita, tapi kamu menahannya sendiri.”
Tiba-tiba air mata meleleh dan membasahi pipi Kinanti. Bu Bono mengusapnya lembut.
“Kalau kamu mau berbagi, pasti beban itu tidak begitu menyakiti. Kalau kamu sakit, ibu juga merasa sakit.”
“Apa ibu tahu sesuatu?”
“Suami kamu selingkuh,” bu Bono harus berterus terang. Ia tak ingin terus menerus main tebak-tebakan.
Kinanti masih meneteskan air mata.
“Kinanti belum berbicara dengan mas Guntur.”
“Tapi kamu tahu apa yang dia lakukan?”
“Hampir pasti, walau mas Guntur masih berusaha menutupinya.”
“Kinanti,” suara seseorang mengejutkannya.
“Ardi?”
“Nak Ardi, kok tahu Kinanti ada di sini?”
“Saya tadi ke rumah, maksud saya mau nyamperin Kinanti, agar saya bisa mengantarkannya ke tempat kerja.”
“Nak Ardi ketemu bibik?”
“Ya. Bibik memberi tahu kalau Kinanti ada di rumah sakit. Jadi saya langsung datang kemari.”
”Ardi, kamu tidak ke kantor?”
“Aku harus tahu keadaanmu.”
“Aku baik-baik saja. Tolong antarkan ibu pulang.”
“Tidak. Ibu pulang sendiri saja, jangan mengganggu nak Ardi. Ibu harus mengambilkan baju ganti untuk kamu. Ibu juga harus melihat keadaan anak-anak kamu.”
“Apakah perlu saya antar?”
“Tidak, kalau nak Ardi bolak-balik, bisa terlambat lebih lama ke kantornya.”
“Tidak apa-apa Bu.”
“Kalau tidak apa-apa, temani Kinanti saja dulu, saya akan kembali secepatnya. Saya juga tidak membawa baju ganti, juga belum mandi.”
“Baiklah kalau begitu, saya carikan taksi saja,” kata Ardi yang segera mengambil ponselnya untuk memanggil taksi, kemudian mengantarkannya ke depan.
Kinanti menatap kepergian ibunya, lalu mengalirlah lagi air matanya. Ia heran, sepertinya ibunya mengerti tentang kelakuan Guntur. Tapi ia belum sempat bertanya secara jelas karena kedatangan Ardi. Sama sekali Kinanti tidak tahu bahwa Ardi sudah melihat ketidak jujuran Guntur.
***
Dokter Rifai memasuki ruangan ketika Kinanti mengusap air matanya. Tiba-tiba saja tanpa diminta, Rifai meraih tissue dan mengusap basah pipinya.
Kinanti sangat terkejut. Tak mengira tiba-tiba dokter Rifai sudah ada di ruangannya, dan pasti melihatnya menangis.
“Dokter Rifai?” serunya lirih.
“Kinanti … apa yang terjadi?” tanyanya. Sudah lama dokter Rifai memanggil Kinanti dengan namanya saja, karena ia lebih senior, dan dulu dia pernah menjadi dosennya.
“Tidak apa-apa,” jawab Kinanti pelan.
“Kalau tidak apa-apa, mengapa menangis? Kamu tidak sakit sembarang sakit. Kamu terluka, karena ragamu baik-baik saja. Jiwamu yang sakit. Siapa tega menyakiti dokter cantik sepertimu?”
Mendengar perkataan lembut dari dokter yang dulu banyak dikagumi mahasiswanya karena kebaikan dan kegantengannya, air mata Kinanti kembali terurai. Dan kembali dokter Rifai mengusapnya dengan tissue.
“Apakah aku tidak boleh tahu?”
“Jangan dulu ….”
“Maksudnya … pada suatu hari nanti aku boleh tahu?”
“Mungkin, pada saatnya.”
“Baiklah. Sekarang kamu harus sehat. Bagaimana caranya sehat? Dokter di dunia ini tidak ada yang bisa mengobati, kecuali hati kamu sendiri. Mengerti maksudku kan?”
Kinanti mengangguk. Ia tak menyangka mendapat perhatian begitu besar dari seorang dokter ahli yang sebelumnya tidak begitu dekat dengannya.
Tiba-tiba Ardi masuk, dan tertegun melihat keakraban yang tampak di depannya. Ia tahu yang ada di depan Kinanti adalah dokter, karena pakaian yang dikenakannya. Hanya dokter yang mengenakan jas praktek putih seperti yang dikenakannya.
Ada rasa sedikit cemburu melihat cara dokter itu memandang Kinanti. Lagipula dokter itu begitu ganteng dan mempesona. Tapi kemudian Ardi memarahi dirinya sendiri, karena alangkah salah kalau dia mencemburui dokter itu. Kinanti hanya sahabatnya, dan dia tahu Kinanti tak pernah berhubungan secara akrab dengannya. Kelihatan sekali karena Kinanti tampak begitu sungkan.
Ketika dia datang, dokter Rifai menatap Ardi dengan heran.
“Dia teman sekolah saya, dokter,” kata Kinanti tanpa ditanya. Dia tahu bahwa dokter Rifai pasti bertanya siapa dia.
“Oh, begitu.”
Lalu keduanya bersalaman dengan hangat.
“Baiklah, sudah jam praktek aku. Aku pergi dulu.”
“Terima kasih, dokter,” jawab Kinanti sambil tersenyum.
Dokter Rifai mengangguk, membalas senyuman Kinanti, kemudian berlalu.
“Itu dokter yang menangani sakit kamu?” tanya Ardi.
“Dia dokter Rifai namanya. Dokter Bedah.”
“Dokter Bedah? Kamu mau dioperasi?”
“Tidak, dia hanya membezoek aku.”
“Oh, iya … kalian sama-sama dokter, pasti berhubungan sangat baik.”
Kinanti mengangguk.
“Kamu tidak ke kantor?”
“Tadi aku sudah mengatakan, ketika nyamperin kamu dirumah dan mendapat kabar kalau kamu dirawat, lalu aku datang kemari. Aku bisa mengurus kantor walau berada di mana-mana.”
“Aku lupa kalau kamu bos besar.”
“Dalam keadaan sakit kamu masih bisa mengejek aku?”
“Aku bisa tersenyum dan tertawa ketika kamu datang.”
“Hm, maksudmu … aku pelawak?”
“Ardi … aku kesal kalau kamu bicara seenakmu.”
“Kamu yang bilang kalau ada aku maka kamu bisa tersenyum dan tertawa.”
“Untuk bisa tersenyum dan tertawa, seseorang tidak memerlukan bertemu dengan pelawak. Kamu adalah sumber kegembiraanku.”
“Benarkah? Bukankan sejak sekolah bersama kamu selalu benci kepadaku?”
“Aku bukan benci, aku kesal, karena kamu selalu mengganggu aku. Tapi aku suka diganggu oleh kamu kok.”
Ardi tersenyum. Ia meraih tissue dan mengusap sisa air mata di pipi Kinanti.
“Jangan menangis lagi. Dunia begini luas dan indah. Mengapa kamu menangisi sesuatu yang tidak berharga?”
“Apa maksudmu?”
“Jangan kamu kira aku tidak tahu apa-apa. Sakitmu bukan sembarang sakit.”
“Kamu mendengar ketika ibu bicara tadi?”
“Tidak usah mendengarpun aku sudah tahu. Jangan menutupi apapun dariku. Dan jangan lagi meneteskan air mata,” kata Ardi ketika melihat air mata mulai lagi menggenangi pelupuknya.
Kinanti menahan air mata itu. Ardi benar, ia tak harus menangisi sesuatu yang tidak berharga.
“Kamu tahu dari mana?” tanya Kinanti sambil mengusap matanya yang basah.
“Dari mataku ini,” kata Ardi sambil menunjuk ke arah matanya sendiri.
Kinanti tertegun. Berarti melihat Guntur sedang bersama Wanda?
“Aku heran. Perempuan itu tak pernah berhenti mendekati Guntur. Seperti tak ada laki-laki lain."
“Kamu, misalnya?”
“Tidak, jangan aku. Dia bukan type aku.”
Rupanya Kinanti tak harus bicara banyak. Apa yang harus dikatakannya lagi kalau Ardi sudah tahu?
“Ardi, apa yang harus aku lakukan?”
“Bicarakan sama suami kamu itu, apa maksudnya. Dari pembicaraan itu kamu pasti sudah tahu apa yang akan kamu lakukan. Sesungguhnya aku selalu berharap kamu bisa hidup bahagia bersamanya, selama-lamanya. Aku sangat kecewa.”
Ardi dan Kinanti berdiam sejenak.
“Tapi jangan dulu bertindak gegabah. Jawabannya akan ada ketika kamu bertemu dia dan membicarakannya. Aku berharap yang terbaik. Semoga Guntur bisa menjaga istri dan anaknya, dan menganggap bahwa godaan adalah godaan yang harus dia singkirkan,” lanjut Ardi.
“Kalau kamu bisa menata batin kamu, maka kamu akan sembuh. Kamu wanita kuat, jangan lagi sakit. Kasihan ibumu dan juga anak-anakmu,” kata Ardi sebelum pergi, membuat Kinanti tak lagi bisa menahan air matanya. Bukan untuk laki-laki yang tak berharga, tapi untuk ibu dan anak-anaknya.
***
Guntur sedang merenungi apa yang terjadi pada beberapa hari terakhir ini. Berkali-kali menelpon istrinya, tak pernah diangkat. Kalaupun menelpon, dia juga bingung akan berkata apa. Minta maaf, maukah Kinanti memaafkannya? Setelah minta maaf, apakah kehidupan rumah tangganya akan kembali tenteram? Ibarat kertas yang sudah kucel, bagaimana cara membuatnya licin seperti semula?
“Guntur, aku bawakan makanan kesukaan kamu,” pekik riang itu mengejutkannya. Guntur mengira Wanda akan membiarkannya merenung dan menenteramkan diri. Ternyata Wanda tak berhenti mengusiknya.
“Mengapa diam, Guntur? Aku tak tega membiarkan kamu mengurus diri kamu sendiri.”
“Aku harus menyelesaikan urusan rumah tanggaku. Ini sangat rumit, Wanda.”
“Apanya yang rumit? Kamu laki-laki. Kamu berhak menentukan apapun. Kalau Kinanti menolak, ceraikan saja. Kalau bisa menerima, aku rela berbagi kok.”
Guntur menghela napas panjang. Pasti tak akan semudah itu. Guntur harus memberi alasan kuat mengapa melakukannya. Tapi alasan apa? Kinanti yang sudah tidak menarik? Bukankah Kinanti masih tetap cantik? Kinanti yang tidak bisa melayani seperti dulu? Bukankah Kinanti telah melahirkan dua orang anak yang pastinya lebih membutuhkan perhatian daripada dirinya?
“Guntur, aku tidak mau berpisah darimu. Kita sudah melakukan hal yang lebih dari seorang teman. Kita sudah seperti suami istri. Aku yakin kamu tetap akan memilih aku.”
Guntur menatap wajah cantik itu tak berkedip. Wanda yang dulu sangat menyebalkan, sekarang berubah menjadi sangat memikat. Andai makanan, dia adalah makanan lezat. Bagaimana bisa dia melepaskannya? Bukankah para iblis sudah berpihak padanya dan bertepuk tangan melihatnya terlena?”
***
Kinanti sudah boleh pulang ke rumah. Dengan sedikit memaksa, dokter Rifai yang mengantarkannya pulang. Kinanti sebenarnya merasa sungkan, tapi kata-kata lembut yang selalu diucapkan sang dokter selalu membuatnya tak bisa menolak. Barangkali karena dia bekas dosennya, dimana dia tak pernah berani menentang perintahnya. Atau karena entahlah. Yang jelas kemudian Kinanti menurutinya karena dokter itu setengah memaksa.
“Kamu harus istirahat dulu di rumah, jangan banyak pikiran. Itu yang selalu aku tekankan padamu, bukan?” kata sang dokter.
“Terima kasih banyak, dokter.”
“Mulai sekarang, kamu tidak boleh terlalu formal kalau memanggil aku. Panggil aku Rifai. Bukankah itu namaku?”
“Mana mungkin, dokter?”
“Hanya sebuah panggilan, apakah itu sulit?”
“Sangat sulit.”
"Kamu bukan lagi mahasiswaku, kamu rekan kerjaku, bukan? Kalau keberatan memanggil namaku, panggil saja ‘mas Rifai’. Bukankah lebih manis?”
Kinanti tersenyum, tapi kemudian ia mengangguk. Sampai kemudian dokter Rifai pulang, ia masih bertanya-tanya, mengapa sikapnya jadi semanis itu.
***
Sabtu sore itu Kinanti sedang bermain-main dengan kedua anaknya. Ia sudah merasa sehat, setidaknya dia sudah menjadi sedikit terhibur dengan melihat tingkah lucu anak-anaknya.
Tapi tanpa diduga ia melihat mobil suaminya memasuki halaman. Kinanti segera mengajak anak-anaknya ke belakang, meminta agar sang ibu menjaganya. Ia akan langsung bicara dengan suaminya, agar segera bisa menentukan sikap.
Ia kembali ke depan, menunggu sang suami di teras, lalu mengajaknya duduk. Guntur bersikap biasa, seakan tak terjadi sesuatu diantara mereka.
“Aku ingin bertemu anak-anakku,” katanya.
“Duduklah dulu, aku ingin bicara,” kata Kinanti tandas.
Guntur berdebar. Pasti sang ibu sudah mengatakannya. Atau mungkin juga Ardi yang pernah memergokinya berduaan dengan Wanda.
“Katakan yang sebenarnya, apa yang telah kamu lakukan di belakangku.”
“Kinanti, ada kesalah pahaman yang kamu harus tahu.”
“Jangan membohongi aku. Aku bukan anak kecil. Aku tidak harus mendengarkan apapun darimu sebenarnya, karena Allah telah menunjukkannya padaku dengan caraNya sendiri.”
“Kinanti.”
“Kamu sudah melakukan hal yang sangat keterlaluan. Kamu selingkuh di belakangku. Bersenang-senang bahkan di dalam mobilku. Kamu lupa apa yang telah dilakukan keluargaku?”
“Jadi kamu mengungkit kebaikan keluargamu dan menganggap itu sebagai hutang?”
“Bukan menganggap sebagai hutang. Hanya mengingatkan kamu, bahwa apa yang kamu lakukan itu tidak benar.”
“Baiklah, memang benar, aku berhutang kebaikan pada keluargamu, tapi aku tidak mau kamu mengungkitnya. Kamu menuntut balasan dariku? Aku akan mengembalikan semuanya, hitung berapa banyak aku harus membayarnya.”
“Guntur.”
“Kita cerai.”
Kinanti tertegun. Barangkali dia salah bicara karena emosi, dan ucapan cerai itu adalah talak bagi perkawinannya. Tapi Kinanti tak ingin menangis. Ia mengangkat wajahnya.
***
Besok lagi ya.
ππ»ππ»ππ»ππ»
ReplyDeleteAlhamdulillah ππ
JeBeBeeL_40 sdh tayang.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien & kelg
selalu sehat, bahagia
& dlm lindungan Allah SWT.
Aamiin.Salam aduhai π¦π
ππ»ππ»ππ»ππ»
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Sari
Matur nuwun mbak Tien-ku Jangan Biarkan Bungaku Layu telah tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteAlhamdulillah JaBiBuLa 40 sdh hadir.
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tienπ
Sugeng ndalu, mugi Bu Tien & kelg tansah pinaringan sehat π€²
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Sis
Sugeng dalu ugi
Matur suwun bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteAlhamdulilah, maturnuwun bu Tien JBBL 40 sampun tayang, semoga bu Tien sekeluarga sll sehat, sll bahagia dan diberikan rizki yang melimpah aamiin yra π€²π€²
ReplyDeleteSalam hangat dan aduhai aduhai bun π©·π©·
Oalaaah kok Guntur bisa begitu ya... mana guntur yg dulu?
DeleteGuntur yg dulu...sdh luntuuurrr bu
DeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sri
Aduhai 2x
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
DeleteTerima kasih bunda Tien, salam SeRoJa
ReplyDeleteSami2 ibu Wiwik
DeleteSalam hangat
Alhamdulillah sudah tayang
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Semoga sehat walafiat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Endah
Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbungnipun π·πΉ πππSemoga Bunda selalu sehat wal afiat π€²
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Alhamdulillah JeBeBeeL_40 sdh hadir.
ReplyDeleteTerima kasih Budhe Tien, semoga sehat selalu dan selalu sehat.
Selamat malam tetap ADUHAI
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun mas Kakek
ADUHAI
Alhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak TienπΉπΉπΉπΉπΉ
Sami2 ibu Susi
DeleteAlhamdulillah JBBL~40 telah hadir.. maturnuwun.Bu Tien π
ReplyDeleteSemoga Bu Tien tetap sehat dan bahagia senantiasa bersama keluarga.
Aamiin YRA π€²
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Djodhi
Terimakasih bunda Tien ku..
ReplyDeleteSemoga bunda Tien & kelg sehat selalu, damai sejahtera, bahagia, berkelimpahan rezeki dan berkahNya.
Aamiin yra.. Salam Aduhaii...
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Hermina
Apa kabar?
Aduhai deh
Ya Kinanti lebih baik cerai... Ada Ardi yang setia, biar guntur membayar pergantiaanya dan bangkrut... Makasih bunda
ReplyDeleteSami2 ibu Engkas
DeleteAlhamdulillaah JBBL- 40 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semoga sehat dan bahagia selalu.
Aamiinπ€²
Salam Aduhaiπ
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ting
Cerai.... semudah itukah?? Kalau Kinanti terima, tentu banyak teman dan keluarga yang tidak bisa terima.
ReplyDeleteGuntur harus membayar kebaikan. Bagaimana caranya... Dengan memberikan ijazah yang sangat dibutuhkan? Tidak mungkin , hutang budi dibawa mati.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Latief
Alhamdulillah, terima kasih Bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Subagyo
DeleteCerai..?? Alamak..π
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien..ππ
Sehat selalu njih bun...π€²
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Padma Sari
Terima ksih bundaqu cerbung jbbl nya..slmt mlm dan slmt istrht..slm sht sll unk bunda sekeluarga ππ₯°πΉ❤️
ReplyDeleteSami2 ibu Farida
DeleteSalam sehat juga
Subhanallah....ada ya orang spt Guntur. Matur nuwun Bu Tien, tetap sehat njih Ibu...
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Reni
Alhmdllh sdh tayang... cerita yg memang tdk bisa tebak, luar Mbu Tien, kerrreeeen... semoga sehat sllu bersama keluarga...
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Zimi.
Lama nggak komen
Huntur kurang ajaaaaaar..... Emang kalau benalu tetap selamanya benalu... Kurang ajaaar... Sakit hati saya ngebayangin kinanti... maaf bu Tien... Aku emosi jiwa baca cerita ibu yang satu ini. Apalagi tau ini berdasarkan kisah nyata
ReplyDeleteHeheee... tenang jeng dokter..
DeleteTeruslah membaca.. π
Hamdallah sdh tayang....Guntur ....petir nya sdh tdk ada..
ReplyDeleteNuwun pak Munthoni
DeleteApakah Wanda Hello Kitty yg menang?
ReplyDeleteHanya mbak Tien yg tahu bgmn akhir crt Kinanti-Ardi atau dr Rifai yg berkata jbbl? Salam aduhai mb Tien yg sll mengaduk-aduk esmosi.pctk....
Salam aduhai juga jeng Sapti
DeleteMatur nuwun ibu
ReplyDeleteSami2 ibu Windari
DeleteTerimakasih bunda Tien,
ReplyDeleteBegitulah klo sudah terlanjur basah..si guntur mandi dikali.... Tak tau diri
Saya ikut bersedih merasakan apa yg dirasakan kinanti.... Apalagi klo ini kisah nyata
Sami2 ibu Usna
DeleteApa kabar ?
Semoga bunda Tien dan keluarga sehat selalu.... Salam kenal... Salam Aduhai
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Usna
Senang bisa kenal ibu. Teruslah membaca dan jadi saudara saya.
Sek asek makin aduhai ceritanya....suwun mbakyu sayang
ReplyDeleteSami2 ibu Anie
DeleteAlhamdulillah, matursuwun Bu Tien, semoga sehat selalu bersama AMANCU
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Umi
Terima kasih Bunda Tien... cerbung Jangan Biarkan Bungaku 40 Layu...sampun tayang.
ReplyDeleteSehat selalu Bunda, bahagia bersama pakdhe Tom dan Amancu di Sala. Aamiin
Good Job....Kinanti sdh mengeluarkan jurus maut nya, sehingga Guntur...mati langkah..ππ
Tegar ya Kinanti...suami yang selingkuh, wajib di gugat cerai, krn telah mencemarkan nama baik dan kehormatan..keluarga mu.
Hallo Ardi dan dr Rifai...siap siap berkompetisi ya...ππ
.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Munthoni
Menghajar suami yang berbuat salah adalah sebuah kesalahan besar seorang istri. Pada saat itu hati suami sedang labil, seharusnya istri harus bersikap manis sehingga suami merasa menyesal mengkhianati istrinya. Kalau dihajar terus, suami akan melawan. Suami akan membandingkan istrinya dengan pelakor yang telah memberikannya service + DP yang memuaskan dimana hal itu tak diberikan istrinya untuk sekian lama. Mbak Tien harus bisa memberikan solusi yang baik yang bisa diteladani oleh pasangan muda. Jangan kecewakan Kinanti eh maksud saya jangan kecewakan pembaca Kejora Pagi... π€£
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
Guntur punya ibu yang selalu menyayanginya. Ketika Guntur sedang ada masalah, ibunya selalu menghiburnya. Hal ini tak ia dapatkan pada Kinanti. Kinanti menampilkan reaksi yang bertolak belakang dari ibunya. Kinanti malah mengungkit² kebaikan keluarganya pada Guntur yang jauh hari sebelumnya sudah ditolak Guntur. Ketika Kinanti mengungkit masalah ini, saat itulah kata cerai keluar dari mulut Guntur. Kata² Kinanti itu bagai palu besar yang menginjak harga dirinya sebagai orang miskin. Cinta Guntur hanya untuk Kinanti bukan untuk Wanda. Demikian juga cinta Kinanti hanya untuk Guntur. Kinanti tidak akan mendapatkan kebahagiaan dari Ardi dan Rifa'i. Demikian juga Guntur tak akan mendapatkan kebahagiaan dari Wanda. Guntur dan Kinanti tidak saling jatuh cinta melainkan membangun cinta berdua yang berakar dari hati yang paling dalam.
ReplyDeleteMbak Tien membuat judul cerbung ini seperti Buya Hamka, yaitu berdasarkan peristiwa kecil dalam sebuah cerita bukan berdasarkan dari cerita keseluruhan. Jadi pembaca tak bisa menebak² kemana jalan ceritanya, tau² Kapal Van Der Wijck tenggelam dan Hayatipun mati.
Senang membaca uraian panjang dari Anda, MasMERa.
DeleteDari yang biasanya hanya ucapan terima kasih lalu ada serumpun kata yang luas bagai padang ilalang.
Kali ini saya yang mengucapkan teria kasih.
Teruslah membaca.
Dari sebelumnya tetap terus membaca. Sekarang Mbak Tien sedang perkasa, berani mangacak-ngacak pikiran pembaca...
DeleteTerimaksih Mbak Tien.
Terima kasih Bu Tien .. Semoga selalu sehat aamiin. Guntur sdh lupa pencipta, shg iblis mudah menggoda.. kasihan Ibunya yang telah mendidiknya ....Akankah Guntur bernasib seperti Zaki? meninggal lebih dulu krn kecelakaan, sehingga Wanda jatuh utk kedua kalinya, karena sifatnya ?
ReplyDeleteSami2 ibu Yulian
DeleteApa kabar ?
Wah keren Kinanti...memang Guntur harus digituin, dia laki-laki ga tau diri, istilahnya 'kΓ©rΓ© munggah balΓ©', cocoknya memang sama Wanda yg ga punya harga diri, klop! Ga perlu ditangisi...tuh dr.Rifai sudah siap mendampingi.π
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien. Semoga sehat selalu.ππ»ππ
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Nana
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Enny
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun pak Wedeye
Rame
ReplyDeleteMakin seru......
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien, salam sehat wal'afiat semua ya π€π₯°
ReplyDeleteWis, Guntur kerasukan setan .. tanpa dipikir lg " Cerai* ketersinggungan , bukankah semua itu benar, , ada rasa malu sebenarnya. dan merasa ada Wanda yg menampung ya..