ADA CINTA DI BALIK RASA 37
(Tien Kumalasari)
Nilam urung masuk ke ruang rawat Anjani. Ia ingat Baskoro yang ketemu ayahnya kemudian lari menjauh, lalu ada narapidana dirawat di rumah sakit ini. Apakah sebenarnya Baskoro ingin menjenguk narapidana itu? Saudaranya, teman sekamar waktu di penjara, atau ….
Nilam berdebar. Ada bayangan melintas. Ibunya. Apa ibunya masih dikurung di penjara, kemudian sakit, kemudian … dirawat di sini?
Nilam mencari-cari, di mana kira-kira narapidana itu di rawat. Rasanya tak mungkin di ruangan VIP. Ia ada di ruangan itu, dan polisi yang dilihat terus berjalan ke arah belakang. Nilam melangkah ke sana. Pasti kelihatan dong, kalau ada ruangan yang dijaga polisi. Ia terus mencari-cari. Ia tak ingin bertanya-tanya dulu, takutnya ia dianggap ada hubungan dengan narapidana itu. Ya kalau kasusnya kasus biasa. Kalau kasus narkoba? Waduh, bisa-bisa dia dianggap terlibat. Nilam terus mencari-cari dan akhirnya dia melihat dua orang polisi berjaga di depan pintu sebuah ruangan.
Nilam ingin bertanya, tapi lagi-lagi dia ragu. Ia ingin kembali saja, dan mencari cara lain untuk bertanya. Tiba-tiba ia melihat laki-laki kumuh itu. Ia sedang menuju ke arah polisi yang berjaga. Nilam berdiri di tengah-tengah lorong, menghalangi laki-laki yang sedang berjalan. Nilam langsung menegurnya ketika sudah dekat.
“Pak Baskoro?”
Laki-laki itu tertegun. Ia ingat wajah itu, yang pernah memberi uang di luar sebuah rumah makan, dan memberi lagi ketika ia melintas di depan bekas kantornya. Ia juga sudah pernah mengenalnya ketika ia masih menjadi gadis kecil. Baskoro tak ingin lagi melarikan diri. Ia menganggap perbuatannya sia-sia. Ia hanya merasa malu menjadi seorang peminta-minta. Tapi rasanya semua itu hanya akan sia-sia. Ia yakin semua orang akan mengenalnya. Dikasihani atau disyukuri, ia tak ingin lagi peduli.
“Pak Baskoro?” sapa Nilam lagi, ketika melihat Baskoro berdiri diam tak bersuara.
“Kamu … “
“Saya Nilam. Mengapa Bapak selalu melarikan diri?”
Baskoro menundukkan wajahnya.
“Saya … malu.”
“Mengapa harus malu?”
Baskoro tak bisa menjawabnya. Sebenarnya ia malu karena menjadi bekas narapidana, atau malu karena menjadi peminta-minta? Ia pun tak bisa menjawabnya. Ia hanya merasa malu.
“Maaf, biarkan saya lewat,” katanya pelan.
“Mengapa Bapak ada di Rumah Sakit ini? Siapa yang sakit?”
Baskoro baru sadar, bahwa Nilam adalah anak Rusmi, kekasihnya yang sama-sama meringkuk di penjara karena kejahatan yang mereka lakukan.
“Rusmi,” jawabnya lirih.
“Rusmi? Bukankah itu ibu saya?” kata Nilam, agak keras.
Baskoro mengangguk.
“Sakit apa ibu?”
“Kanker paru-paru, sudah parah, dokter mengatakan ia tak akan bisa bertahan,” jawab Baskoro sedih.
“Saya ingin ikut menjenguk ibu,” kata Nilam.
Baskoro mengangguk, ia melangkah ke depan kamar. Polisi mengijinkan Baskoro masuk, karena sudah tahu siapa Baskoro, yang setiap hari mengunjungi narapidana itu.
Perlahan Nilam memasuki ruangan, didepannya Baskoro melangkah pelan. Nilam menatap sosok kurus kering yang terbaring diam sambil memejamkan mata. Wajahnya pucat, selang-selang yang entah untuk apa, terhubung di tubuhnya. Napasnya lemah, turun naik dan tampak tersengal.
Baskoro mendekat, berdiri di samping ranjang. Nilam mengikutinya. Hatinya teriris sakit. Bagaimanapun perempuan tak berdaya itu pernah menjadi ibunya selama bertahun-tahun. Bahwa kemudian kelakuan buruknya membuat Nilam kehilangan rasa cinta kepada sang ibu, itu sudah dilupakannya. Rusmi sudah menebusnya, dan teramat mahal. Nilam mendekat, memegangi sebelah tangannya, yang tinggal tulang terbalut kulit. Kecantikan yang dulu amat dibanggakannya, lenyap tak bersisa. Wajahnya kusam keriput, tak ada cahaya kehidupan di sana.
Air mata Nilam menitik.
“Rusmi …,” Baskoro berbisik. Tubuh itu bergeming.
Baskoro merasa ngilu di sekujur tubuhnya. Perempuan yang pernah menghanyutkannya dalam kemewahan dan kenikmatan, tak akan pernah dilupakannya. Bahkan mereka saling menguatkan ketika sama-sama di penjara. Tapi suasana tak nyaman di penjara, makanan yang tidak nyaman dimakan seperti saat harta masih mengungkungnya, juga tempat tidur yang lembab, membuat kesehatan Rusmi terganggu. Ia sering terbatuk-batuk, ditambah kesedihan dan kesengsaraan yang dirasakannya, lalu didiagnose kanker paru-paru. Ia bahkan tak sempat melihat saat Baskoro dibebaskan setelah mendapat remisi berkali-kali, karena saat itu ia meringkuk di kamar penjara karena sakitnya. Karena semakin parah, Rusmi harus dirawat di rumah sakit. Tak ada yang menjanjikannya kehidupan, karena sakitnya yang sudah parah.
“Rusmi …,” kali ini Baskoro memanggilnya lebih keras, bersamaan dengan isak Nilam yang terdengar menyayat.
Wajah kusam itu membuka matanya, seperti nyala lilin yang meredup. Mata kuyu itu menatap heran, seorang gadis cantik yang berdiri di samping Baskoro.
“Ibu, apakah ibu ingat Nilam, anak ibu?” isak Nilam.
“Ni … lam … “
“Aku Nilam, mengapa menjadi seperti ini?” Nilam menahan isaknya.
“Mana … Hasti …”
“Mbak Hasti ….”
Mulut Nilam tersekat. Ingatan delapan tahun lebih tentang Hasti yang melahirkan dalam keadaan sakit parah, melintas. Menambah nyeri di hatinya.
“Mbak Hasti sudah meninggal, delapan tahun yang lalu.”
Mata kuyu itu terbelalak, lalu meredup.
“Su … dah … meninggal? Senangnya … aku akan segera bertemu dia … Hasti … ibu akan menemani kamu …” bisiknya, hampir tak terdengar.
“Mbak Hasti meninggal setelah melahirkan … “
“Ooh, iya, aku ingat dia hamil, mana bayi itu?”
“Dirawat oleh seseorang yang amat baik … sekarang sudah sekolah … dan pintar.”
Mata cekung itu berkaca-kaca. Ia ingat ketika Hasti diketahui hamil, lalu dia mengusirnya.
Rusmi mengusap air matanya dengan punggung tangannya.
“Sesungguhnya … kalian itu bukan anak kandungku, aku mandul ….”
Nilam pernah mendengar Hasti mengatakannya.
“Bapak dan ibumu miskin, ketika meninggal … aku mengambil Hasti yang sudah besar, dan kamu yang baru berumur lima tahunan. Aku merawatnya seperti dulu kamu merasakannya.”
Nilam mengusap lagi air matanya.
“Ada lagi seorang laki-laki, kakak kamu … yang dirawat oleh seorang guru, dan dibawa pergi dari kota ini. Entah di mana sekarang dia berada.”
“Kakak laki-laki?”
Rusmi tampak terengah-engah.
“Jangan terlalu lama mengajaknya bicara,” Baskoro mengingatkan.
Tapi Rusmi kemudian mengangkat tangannya.
“Biarkan saja, aku sudah ber … temu Nilam, dan mengatakan semuanya, hidupku … akan segera berakhir …” napas Rusmi semakin tersengal. Baskoro memanggil perawat, lalu menghubungi dokter.
“Bas … tany … tanyakan.. di mana … anak Hasti… buk ..kankah itu … darah daging … mu?”
Dokter datang, bertepatan ketika terdengar peluit panjang di alat yang terpasang, yang menandakan bahwa kehidupan telah berakhir.
Dokter berusaha memacu jantungnya, tapi takdir tak bisa diingkari.
“Innalilahi wa inna ilaihi roji’un, “ kata dokter penuh prihatin, lalu Nilam menubruk tubuh wanita kurus kering itu sambil menangis.
Baskoro menarik Nilam agar menjauh.
“Tangismu akan menghalangi perjalanannya,” kata Baskoro yang tampak berduka.
Nilam berlari keluar, dan menangis tersedu di sebuah bangku.
***
Barno memasuki ruangan Raharjo dengan tergopoh-gopoh, membuat Raharjo terkejut.
“Pak … Pak,” terengah napas Barno.
“Saya tadi melihat pak Baskoro, Pak.”
“Oh ya, di mana?”
“Di rumah sakit, ketika saya mengantarkan makanan untuk mbak Nilam.”
“Yang mengantarkan tadi kamu? Biasanya Bardi.”
“Bardi sedang mengantar bagian keuangan ke bank, lalu saya menggantikannya, karena bibik ingin segera mengirimkan makanannya.”
“Aku juga pernah ketemu dia, tapi begitu melihatku, dia langsung lari.”
“Aku dan Wijan belum sempat ke rumah sakit hari ini. Apa Nilam memesan sesuatu?”
“Saya malah tidak ketemu mbak Nilam, tadi.”
“Barno, kamu mengatarkan makanan dari bibik, tapi kamu tidak ketemu Nilam?”
“Iya pak, perawat mengatakan bahwa mbak Nilam sedang berjalan-jalan di sekitar rumah sakit. Lalu saya taruh saja makanannya di meja, lalu saya pergi setelah berpesan pada perawat jaga.”
“Anak itu .. begitu merasa kuat, langsung saja berjalan-jalan seenaknya. Bilang Wijan, suruh segera ke rumah sakit.”
“Baik Pak,” kata Barno sambil kemudian berlalu.
Raharjo meraih ponselnya, mencoba menelpon Nilam. Beruntung Nilam mengantongi ponselnya ketika keluar dari kamarnya, tadi.
“Bapak?”
“Kamu di mana?”
“Di rumah sakit.”
“Iya, bapak tahu, tapi tadi Barno mengantarkan makanan dari bibik untuk kamu. Tapi dia tidak melihat kamu.”
“Iya Pak, Nilam sedang berjalan-jalan. Capek tiduran terus.”
“Kamu jangan tergesa-gesa berjalan-jalan seenak kamu. Kamu itu belum sehat benar,” tegur Raharjo tak senang.
“Saya sudah pamit sama suster, hanya sebentar. Tapi apa Bapak tahu, ibu Rusmi dirawat di rumah sakit ini. Itu sebabnya Bapak pernah melihat pak Baskoro.”
“Apa? Rusmi sakit?”
“Sekarang sudah meninggal. Baru saja.”
“Innalillahi wa inna ilaihi roji’un.”
“Banyak cerita yang sebelumnya tidak saya duga,” kata Nilam sedih.
“Wijan akan segera kemari, bapak sudah memintanya. Suruh dia mengurus pemakamannya dengan layak.”
“Baik, Pak.”
***
Suri terkejut mendengar kabar bahwa Rusmi meninggal di Rumah Sakit yang sama dengan Rumah Sakit di mana Nilam dirawat.
Ia juga merasa iba mendengar bahwa laki-laki kumuh itu ternyata memang Baskoro, yang saat Nilam cerita, mereka belum yakin bahwa dia adalah benar-benar Baskoro.
“Mereka menebusnya dengan sangat mahal,” gumam Suri pelan.
“Apanya yang mahal Bu?” tanya Nugi tiba-tiba yang heran mendengar gumam ibunya.
Suri menatap Nugi dengan penuh kasih.
“Bukankah kita tidak boleh membeli sesuatu kalau sesuatu itu dinilai mahal? Apalagi sangat mahal. Bukankah memaksakan kehendak itu tidak baik? Beli yang kita mampu membelinya. Ya kan, Bu?”
Suri tersenyum. Sebuah petuah yang baik, ternyata didengar dan dirasakan Nugi dengan sangat baik pula. Tapi rupanya Nugi salah sangka. Nugi mengira dirinya akan membeli sesuatu yang harganya sangat mahal.
“Tidak Nugi, ibu tidak akan membeli sesuatu yang kita tidak bisa menjangkaunya.”
“Tadi Ibu akan membeli apa?”
Suri sedang berpikir, bagaimana menjelaskan semuanya kepada Nugi. Baru saja Rusmi meninggal, dan Rusmi itu adalah ibu Hasti, yang ibu kandung Nugi. Berarti masih terhitung nenek Nugi. Tapi kalau ia mengatakannya, ceritanya pasti akan sangat panjang. Dan Nugi akan terkejut mendengarnya. Tidak, Nugi belum cukup umur untuk mendengar cerita penuh nestapa dari orang-orang yang termasuk keluarganya.
Suri mengelus kepala Nugi dengan lembut.
“Ibu tidak akan beli apapun.”
“Tadi ibu bilang sangat mahal.”
“Ya, ada barang yang sangat mahal, tapi ibu tidak bermaksud membelinya.”
“Kapan mbak Nilam boleh pulang ke rumah?” Nugi mengalihkan pembicaraan.
"Nanti menunggu dokter mengijinkannya. Kamu sudah kangen ya, dengan mbak Nilam?”
“Kangen banget, Bu. Habis Nugi tidak pernah boleh melihat mbak Nilam di Rumah Sakit. Mbak Nilam itu galak, tapi sangat sayang pada Nugi.”
“Nugi juga sayang pada mbak Nilam?”
“Nugi sayang mbak Nilam, sayang Ibu.”
Suri tersenyum bahagia. Ia menemukan buah hati yang sangat baik, yang pintar, yang penuh kasih sayang. Adakah kebahagiaan melebihinya?
"Anak kecil itu tidak boleh masuk ke Rumah Sakit. Kecuali kalau sedang sakit.”
“Nugi kan sudah besar.”
“Yang boleh masuk itu, kalau umurnya sudah dua belas tahun ke atas. Nugi umur berapa, coba?”
“Delapan tahun.”
“Nah, itu sebabnya Nugi tidak boleh ikut ke Rumah Sakit.”
“Ibu mau pergi ke mana, siang-siang begini?” tanya Nugi yang melihat ibunya berdandan.”
“Ada kerabat yang meninggal, ibu akan melayat sebentar.”
“Anak kecil tidak boleh ikut juga?”
“Tidak boleh, Nugi. Nugi di rumah saja, istirahat, kemudian belajar. Ibu tidak akan lama.”
***
Rusmi akan dimakamkan sore hari itu juga. Wijan sudah mengatur semuanya, sesuai dengan arahan ayahnya. Mereka adalah keluarga baik, yang tidak pernah menyimpan dendam biarpun orang sudah menjahatinya. Karena mereka percaya, bahwa yang menanam akan menuai, dan semua sudah diatur dari Atas Sana. Manusia tidak berhak menghakimi sesama. Karena itu, ketika Rusmi akan dimakamkan, tak ada wajah-wajah benci diantara keluarga Raharjo yang pernah disakitinya. Mereka bahkan mengatur pemakaman Rusmi dengan sangat baik.
Marjono yang datang ke Rumah Sakit dengan diantar Daniel, heran melihat keluarga Raharjo ikut berperan dalam pemakaman seorang narapidana.
“Daniel, coba lihat, siapa sebenarnya yang meninggal itu, aku melihat keluarga pak Raharjo juga pergi ke arah kamar mayat."
Daniel mengangguk. Ia bertemu sejawatnya dan menanyakan siapa yang meninggal. Ia terkejut ketika temannya mengatakan bahwa yang meninggal adalah seorang narapidana bernama Rusmi. Daniel merasa mengenal nama itu.
“Rusmi?”
“Tepatnya, Rusmini.”
Tapi Daniel menepiskan angannya tentang wanita yang dikenalnya bernama Rusmini. Hanya saja, setelah bertemu gadis bernama Nilam, timbul keinginan Daniel untuk mencari kebenaran atas dugaannya. Itulah mengapa nama Rusmini kemudian mengusik hatinya. Memang sih, nama itu kan banyak yang sama. Tapi ia sedang bertanya-tanya tentang sosok wanita itu.
Daniel bergegas ke ruang mayat. Beruntung mayat Rusmi belum dimasukkan ke dalam peti. Daniel mendekat. Wajah kurus kering tampak, dan hati Daniel berdegup kencang. Memang jauh dari angan-angannya tentang Rusmini yang diharapkannya segera ditemukan. Soalnya Rusmini dulu wajahnya cantik, dan sekarang tampak kurus.
“Apakah Ibu adalah bulikku?” bisiknya pelan.
Saat itu Nilam tidak jauh dari sana mendekati Daniel.
“Kamu mengenalnya?”
Daniel menatap Nilam. Pikirannya lari ke mana-mana. Ketemu sebuah nama yang dikenalnya, lalu ketemu lagi wanita meninggal yang namanya juga dikenalnya. Apakah ini sebuah kebetulan yang diberikan Allah yang akan mempertemukan keluarga yang tercerai berai?”
***
Besok lagi ya.
Trmksh mb Tien
ReplyDeleteSami2 Yangtie
DeleteMatur nuwun mbak Tien-ku acdr tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
Delete
ReplyDeleteAlhamdullilah
Ada Cinta Dibalik Rasa 37 telah. hadir
Matur nuwun bu Tien
Semoga sehat bahagia bersama keluarga
Aamiin...
.
Aamiin Ya Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun pak Wedeye
💞🌷💞🌷💞🌷💞🌷
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏🦋
ACeDeeR_37 sdh tayang.
Turut berduka cita atas
wafatnya Rusmi, semoga
sakitnya menggugurkan
dosa2nya, dan alm mendpt
tempat disisiNya. Aamiin
Alhamdulillah Nilam ada
walinya, segera diresmikan
yaa dgn Wijan. Semoga🤲
Matur nuwun Bu Tien
yang baik hati.
Sehat2 selalu dan
tetep smangaats nggih.
Salam aduhai...😍🤩
💞🌷💞🌷💞🌷💞🌷
Aamiin Ya Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sari
Aduhai deh
Sugeng ndalu Bunda Tien.
ReplyDeleteHamdallah cerbung Ada Cinta di Balik Rasa..37 telah tayang.
Alhamdullilah
Semoga ALLAH memberikan..kesehatan yang sempurna kagem Bunda Tien
🤲❤
Aamiin Ya Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun pak Munthoni
Alhamdulillah...
ReplyDeleteMaturnuwun Bu Tien 🙏
Sami2 ibu Indrastuti
DeleteAlhamdulillah ACeDeeR 37 tayang
ReplyDeleteMksh bunda Tien sehat selalu doaku
Salam sayang dari Jogja
Ttp semangat dan
ADUHAI ADUHAI ADUHAI
ADUHAI ADUHAI ADUHAI
DeleteAlhamdulillah , Terima kasih bunda Tien semoga sehat walafiat nggeh
ReplyDeleteAamiin Ya Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Endah
Matur suwun ibu Tien
ReplyDeleteSalam tahes ulales dan selalu aduhaiii🙏❤️
Sami2 ibu Lina
DeleteTahes ulales juga ya
Alhamdulillah.semoga Bunda selalu sehat wal a'fiat.becik kethithik olo ketoro 👍 Maturnuwun 🌹🌹🌹🙏
ReplyDeleteAamiin Ya Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Alhamdulillah ADA CINTA DIBALIK RASA~37 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
ReplyDeleteAamiin yra..🤲
Aamiin Ya Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun pak Djodhi
Komen dl br bc
ReplyDeleteTyt narapidana yg sakit itu ibu Rusmi? (ibu sy namanya juga Rusmi ... Tp beliau the women in my life...) smg sblm MD ketemu dg Daniel shg bs memberikan penceragan kpd Daniel klu Nilamsari bener adiknya yg terpisah krn keadaan... Mksh mb Tien sdh membuat kami penasaran bingit... Slm aduhai selalu mb Tien dr kami para pctk...lanjut baca acdr dulu ah...
Sami2 jeng Sapti
Delete𝘈𝘭𝘩𝘢𝘮𝘥𝘶𝘭𝘪𝘭𝘭𝘢𝘩...
ReplyDelete𝘔𝘢𝘵𝘶𝘳𝘯𝘶𝘸𝘶𝘯 𝘮𝘣𝘢𝘬 𝘛𝘪𝘦𝘯...
𝘚𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘴𝘦𝘩𝘢𝘵 𝘴𝘦𝘭𝘢𝘭𝘶...
Sami2 mas Suprawoto Soetedjo
DeleteSalam sehat juga
Alhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Atiek
DeleteMatur nuwun jeng Tien salam kangen
ReplyDeleteAlhamdulillah,akhirnya Nilam sudah ketemu Rusmi meski akhirnya Rusmi meninggal. Tentunya besok lanjutannya Nilam ketemu kakaknya yang bernama Daniel. Wah sudah mengerucut nih..semoga semua berakhir bahagia. aamiin. Salam sehat selalu
ReplyDeleteSalam sehat juga bu Noor
DeleteAda yang akan menjadi wali Nilam yaitu Daniel..terima kasih Mbu Tien, cerita yg sangat seruuu, menghibur dan sangat² mmberi pelanajaran berharga....
ReplyDeleteSehat sllu Mbu Tien bersama keluarga trcnta
Aamiin Ya Robbal Alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun pak Zimi
Akhir hidup Rusmi sungguh mengenaskan, apakah sempat bertaubat seperti tokoh2 antagonis yg lain di cerbung ibu Tien?
ReplyDeleteTokoh Daniel sdh terkuak jati dirinya, sopir pak Raharjo 2 kan...Barno dan Bardi. Bu Tien sungguh piawai me'melintir' alurnya. Salut!👍👍😀 Sukses selalu, bu...semangat terus berkarya. Terima kasih & salam sehat ya...🙏😘
Sami2 ibu Nana
ReplyDeleteThe best women in my life ibu Rusmi because she is my mother ... Thanks mb Tien ... Sdh bc acdrnya... Smg menjd kel cemara....
ReplyDeleteThat's the next.Rusmi.
DeleteAnget
ReplyDeleteSiapa yg menabur,dia yg akan menuai jg..
ReplyDeleteap betul demikian?
Matur nuwun bunda Tien..🙏
Sehat selalu kagem bunda...🤲
Aamiin Ya Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Padmasari
Innalilahi... ternyata Rusmi meninggal. Menyusul Hasti yang meninggal saat melahirkan. Dan Baskoro tentunya akan mencari anaknya.
ReplyDeleteSebentar lagi terungkap Nilam punya kakak. Maka makin lengkaplah kebahagiaan keluarga yang tercerai berai namun dapat bersatu dalam keadaan selamat.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Ya Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun pak Latief
alhamdulillah
ReplyDeleteMatur mnuwun ibu Nanik
DeleteAlhamdulilah ACDR 37 sdh tayang... terima kasih bunda Tien Kumalasari, Semoga bu Tien sekeluarga selalu sehat, bahagia dan dilancarkan semua urusannya salam hangat dan aduhai bun
ReplyDeleteApa yang ditabur itulah yang di tuai ... sdh terbayar lunas semua perbuatan kejam rusmi terhadap wijan..
Aamiin Ya Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sri
Waaah... tambah mengharu biruuu
ReplyDeleteMaturnuwun bu Tien, sugeng ndalu , sg istirohat..mugi sehat walafiat, aaamiin.
Aamiin Ya Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Nien
Matur nuwun Bu Tien atas cerita yg sangat menarik, barakallah..
ReplyDeleteAamiin Ya Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Reni
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
DeleteMatur nuwun ibu Anik
DeleteAlhamdulillah terima kasih bu Tien Kumalasari, cerita nya adhai
ReplyDeleteSami2 ibu Ninik
DeleteAduhai deh
Alhamdulillah matursuwun Bu Tien semoga Bu Tien sehat selalu
ReplyDeleteAamiin Ya Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Umi
Siapa yang menanam dia mengetam ...
ReplyDeleteAlhamdulillah
Syukron nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹
Sami2 ibu Susi
DeleteADUHAI... makin asyik critanya
ReplyDeleteMatur nuwun, Mbak Tien.
Salam sehat selalu 😊😘
Sami2 ibu Purwani
DeleteSami2 ibu Purwani
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih banyak bu tien untuk tayangan ACDR 37 nya
Semoga bu tien sehat2 n selalu dlm lindungan n bimbingan Allah SWT .... aamiin yra
Aamiin Ya Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun pak Arif
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien
Semoga bunda Tien selalu sehat
Aamiin Ya Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Merangkai informasi yang ada dengan sedikit iseng ingin tahu, akhirnya Nilam menemukan jawabnya; itulah jadi Wijan disuruh ngurusi pemakaman selayaknya.
ReplyDeleteApakah ibu ini bu lik ku, meluncur begitu saja dari mulut Daniel. Sehingga terdengar dan Nilam menanyakan apakah Daniel mengenal nya.
Begitulah awal ketemuan keluarga tercerai-berai, pating tlesep digaduh beberapa keluarga.
Habis gimana: barusan pandemi, terus jadi endemi, belum juga bisa menopang ekonomi harian keluarga, terpengaruh kekuatiran dialam pikiran membuatnya beban hidup semakin memberat, apalagi di tambah gangguan kesehatan.
Kenangan pahit keluarga mereka, Nilam mengenalkan Daniel pada Bu Suri, ini kakak kandungku.
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Ada cinta dibalik rasa yang ke tiga puluh tujuh sudah tayang.
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Aamiin Ya Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun pak Nanang
Atas pencrigisannya
Alhamdulillah,, matur nuwun Bu Tien
ReplyDeleteSalam sehat wal'afiat semua
🤗🥰
Ada senang ada haru,,,berbaur jd satu
Nilam & Daniel
Sami2 ibu Ika
DeleteCerita yg rumit,tp asyik.Bu Tien memang piawai membuat alur cerita. Mtr nwn BubTien, sehat sll.
ReplyDeleteSami2 ibu Endah
DeleteTerimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteSami2 MAS MIRa
DeleteAlhamdulillah... Sehat selalu mbakyu
ReplyDeleteAamiin Ya Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Kun
Makasih mba Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Sul
Delete