ADA CINTA DI BALIK RASA 34
(Tien Kumalasari)
Wijan terus mendekap Nilam dengan mata berkaca-kaca. Ia terus mendekapnya sampai ambulans datang dan membawanya ke rumah sakit. Demikian juga Jatmiko, rasa miris melihat Anjani yang terus memejamkan matanya, membuatnya terus mendekapnya walau sudah terbaring di dalam ambulans.
Mulutnya terus memanggil-manggil namanya. Walau pelan, yang mendengar bisa ikut merasa pilu.
Ketika sudah sampai di rumah sakit, dan langsung membawa Nilam dan Anjani ke ruang UGD. Petugas UGD melarang keduanya ikut masuk ke dalam.
Wijan dan Jatmiko terduduk lemas. Mulut Wijan berkomat kamit dan sesekali menyebut nama Nilam. Sebentar-sebentar ia mengusap air matanya.
“Nilam, jangan pergi, jangan meninggalkan aku …. Nilam, segeralah sadar.”
Entah mengapa, tiba-tiba Wijan menyadari sesuatu. Sesuatu yang sangat aneh. Takut kehilangan Nilam, merasa sakit saat Nilam sakit, merasa tak karuan ketika Nilam terluka dan tidak sadarkan diri.
“Nilam, aku cinta kamu,” desis itu terdengar pelan, tapi Jatmiko yang duduk di sampingnya sambil memegangi kepalanya, mendengar dengan jelas. Ia memegang pundak Wijan, mencoba mengurai apa yang dirasakannya. Kepedihan bergayut di wajahnya yang pucat. Menyadari Wijan mengucapkan kata cinta, Jatmiko bertanya kepada dirinya. Apakah rasa takut kehilangan itu juga adalah rasa cintanya kepada Anjani? Cinta tersembunyi yang tersamarkan oleh kehadiran Nilam yang memukau, tapi ternyata itu bukan cinta. Kekhawatiran yang ada dipuncak kecelakaan itu, hanya pada Anjani. Karenanya dia menubruk tubuh Anjani lalu menggendongnya, menyusul Wijan yang telah lebih dulu membawa Nilam ke pinggir.
Apakah rasa cinta akhirnya muncul ke permukaan setelah petaka itu?
Kedua anak muda itu menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi.
Akhirnya rasa mengagumi, rasa kasihan, rasa tertarik, adalah bukan cinta yang sesungguhnya. Ternyata cinta yang sesungguhnya sedang menyembunyikan diri, seiring dengan napas-napas kehidupan yang berjalan, lalu dia muncul ketika kesadaran tentang cinta itu ada.
Dan petaka lalu lintas itu benar-benar menyadarkan mereka.
“Nilam …..” Wijan berlari ketika melihat seorang perawat keluar dari ruangan.
“Suster, bagaimana keadaan_”
“Mereka sedang ditangani, sabarlah menunggu dan berdoa,” kata perawat itu memotong perkataan Wijan yang belum terselesaikan.
Jatmiko yang menyusulnya, segera menarik tangan Wijan agar kembali duduk.
***
Dering itu datangnya dari ponsel Anjani, rupanya Daniel menelponnya. Jatmiko terkejut, dan panik. Bagaimana menjelaskan kepada Daniel tentang terjadinya kecelakaan itu? Bagaimana kalau Marjono mendengarnya dan membuatnya syok?
Tapi dering itu terus berbunyi. Wijan menoleh ke arah Jatmiko, memberi isyarat agar mengangkatnya.
“Hallo,” jawab Jatmiko.
“Ini pak Miko? Mana mbak Anjani? Bapak menanyakannya, karena ini sudah malam.”
“Sebentar, apa kamu ada di dekat bapak?”
“Ya, saya di kamar.”
“Keluarlah.”
Daniel kemudian menjawab setelah berada di ruangan lain.
“Ada apa?”
“Anjani mengalami kecelakaan. Jangan berteriak. Rahasiakan dulu ini pada pak Marjono.”
“Lalu … ba … bagaimana saya mengatakannya?”
“Untuk sementara, katakan bahwa dia sedang menemani temannya dirumahnya, karena dia sendirian,” jawab Jatmiko sekenanya.
“Tapi mana mungkin bapak percaya, tadi hanya mengatakan bahwa ingin jalan-jalan.”
“Aku tidak ingin pak Marjono terkejut dan berpengaruh pada kesehatannya. Bagaimana menurutmu?”
“Apakah lukanya parah?”
“Sekarang belum sadar. Tolong jaga pak Marjono dan beri alasan agar dia tidak terkejut.”
Jatmiko menutup ponselnya. Masih merasa was-was, bukan hanya karena keadaan Anjani yang belum sadar, tapi bagaimana menjaga perasaan Marjono yang belum sembuh betul.
“Semoga Daniel bisa memberikan alasan yang terbaik,” gumamnya sambil menyimpan kembali ponsel Anjani di dalam tas nya.
Hatinya semakin tidak tenang, karena kekhawatirannya bertambah.
Tak lama kemudian perawat mengatakan bahwa dokter mengijinkan keduanya masuk untuk menemui dokternya. Wijan dan Jatmiko bergegas menuju ruangan.
Dokter mengatakan, bahwa mereka harus menunggu. Keduanya mengalami gegar otak, dan belum melewati masa kritis. Rupanya benturan pada mobil terlalu keras, dan kepala keduanya terbanting membentur aspal.
“Bapak boleh menunggu di sampingnya, semoga ibu Nilam dan ibu Anjani bisa melewati masa kritisnya."
Nilam dan Anjani terbaring di ruangan yang hanya dibatasi sebuah korden. Wijan menuju ke arah Nilam, sedangkan Jatmiko ke tempat Anjani berbaring. Keduanya belum sadar.
Mata Wijan kembali berlinang melihat Nilam tergolek diam. Ia menunduk ke telinga Nilam, dan berbisik pelan.
“Nilam, kamu gadis yang kuat. Kamu akan segera melewati masa kritis ini, bukan? Lalu kamu akan sembuh, lalu aku akan mengatakannya, bahwa aku mencintai kamu. Apa kamu bisa mendengarnya? Aku ternyata juga mencintai kamu, seperti kamu mengatakan bahwa kamu cinta pada kakakmu ini. Nilam, kamu harus kuat. Aku akan menunggui kamu sampai kamu sadar, dan bisa mendengar apa yang aku katakan. Kuat, Nilam. Kamu tak pernah menyerah dalam hal apapun. Kali ini juga, kamu tidak boleh menyerah.”
Wijan mengusap air matanya, kemudian meletakkan kepalanya di sisi ranjang, bertumpu kepada kedua tangannya.
Sementara itu Jatmiko tak jauh bedanya dengan Wijan. Ia mengajak bicara Anjani dengan ucapan lirih, dengan lugas menyatakan isi hatinya.
“Anjani, aku tahu kamu menaruh perhatian terhadapku, lebih dari seorang sahabat masa kecil. Bahagia dan manisnya masa lalu, tak terasa menaburkan benih-benih cinta di hati kita. Jangan lagi kesal kalau aku selalu menyebut nama Nilam di dekatmu. Nilam hanyalah gadis yang aku kagumi. Dia cerdas, cekatan, sedikit galak. Itu memang menarik, tapi aku ternyata lebih menyukai kelembutan yang ada padamu. Anjani, sadarlah, ada yang ingin aku katakan, kamu harus mendengarnya. Ini suara hatiku. Sadar dan sembuhlah Anjani. Kamu gadis yang lembut, tapi kuat, bukan? Buka matamu dan lihatlah aku. Jangan membuatku takut, Anjani. Sadarlah.”
***
Marjono menunggu Daniel yang sedang menerima telpon. Agak kesal, kenapa menjawabnya harus keluar ruangan.
Begitu masuk kembali ke kamar, Daniel sudah siap dengan jawabannya.
“Nak Daniel, kenapa lama sekali menjawab telponnya? Bagaiman dan ke mana Anjani perginya?”
“Maaf, Pak. Tadi setelah menelpon, saya ke kamar mandi dulu, perut saya sakit.”
“Aku bertanya tentang Anjani.”
“Mbak Anjani baik-baik saja.”
“Mengapa tidak segera pulang? Ini sudah jam berapa?”
“Begini Pak, mbak Anjani baik-baik saja, tapi dia sedang menemani temannya yang sakit. Jadi sekarang mbak Anjani ada di rumah sakit.”
“Temannya itu siapa?”
“Yang itu pak … yang tadi … jalan-jalan sama mbak Anjani.”
“Nak Nilam?”
“Ya, mungkin Pak, saya tidak tahu namanya.”
Daniel agak tertegun mendengar nama itu, ia seperti mengenalnya, tapi hanya nama, entahlah, Daniel kemudian tak lagi melanjutkan pembicaraan itu. Tapi ketika dia mau keluar, Marjono kembali memanggilnya.
“Nak, tadi itu kamu menelpon nomor Anjani kan?”
“Iya Pak.”
“Mengapa Anjani tidak menerima sendiri panggilannya, lalu berbicara denganku?”
“Itu Pak, rupanya mbak Anjani ada di dalam, sedangkan ponselnya dipegang oleh mas Jatmiko.”
“O, dia masih bersama nak Jatmiko juga? Tapi Anjani baik-baik saja kan?"
“Iya Pak. Tadi hanya berpesan, agar Bapak segera istirahat, besok kalau temannya sudah membaik, mbak Anjani akan menelpon, pasti.”
Marjono mengangguk. Barangkali karena rasa setia kawan, Anjani harus menemani teman atau boleh dikatakan atasannya yang sedang sakit. Marjono merasa lega. Ia kemudian memejamkan mata, dan terlelap tak lama kemudian.
Daniel menghela napas lega. Ia bisa berbohong sementara, dan berharap Anjani benar-benar bisa menelpon ayahnya, besok pagi, seperti perkataannya, tadi.
***
Raharjo pun terpaksa menelpon Wijan, karena sudah malam belum juga pulang. Jawaban bahwa Nilam dan Anjani kecelakaan, bahkan sampai belum sadar, membuatnya cemas. Ia keluar dari kamar, membangunkan bibik.
“Ya, Pak,” kata bibik agak terkejut. Setengah sadar dia mendekati sang majikan, yang siap dengan pakaian rapi.
“Bapak mau ke mana? Malam-malam begini?”
“Ke rumak sakit. Nilam kecelakaan.”
Bibik terbelalak.
“Kecelakaan bagaimana?”
“Ceritanya belum jelas, katanya Nilam dan Anjani kecelakaan, sampai sekarang belum sadar.”
“Apa bibik harus ikut?”
“Tidak usah. Kamu siap-siap saja. Kalau mereka membutuhkan sesuatu, aku akan menelpon kamu.”
“Baik, Pak. Ya Tuhan, semoga mbak Nilam tidak apa-apa. Kok bisa kecelakaan, padahal perginya sama mas Wijan juga. Terus mas Wijan bagaimana, apa dia juga terluka?” gumam bibik terus menerus, sambil mengantarkan Raharjo sampai ke halaman, dan kemudian mengunci pintu rumah.
***
Berbeda dengan keluarga Marjono dan Raharjo yang panik atas belum pulangnya anak-anak mereka, Suri tampak lebih tenang, karena mengira Nilam menginap di rumah ayahnya.
Tapi pagi-pagi ketika sudah siap masuk sekolah dan sarapan, Nugi bingung mencari kakaknya.
“Mana mbak Nilam?”
“Mbak Nilam menginap di rumah pak Raharjo. Jadi semalam tidak pulang ke rumah ini.”
“Untunglah, kemarin Nugi tidak jadi ikut. Kalau ikut, pasti disuruh menginap di sana juga.”
“Memangnya kenapa kalau menginap di sana? Rumah pak Raharjo kan lebih bagus dari rumah ibu ini.”
“Mana mungkin Nugi mau tidur di sana? Biarpun rumahnya bagus, Nugi tidak bisa tidur kalau tidak mendengar dongeng dari ibu.”
“Bukankah mbak Nilam bisa juga mendongeng?”
“Nggak mau. Mbak Nilam ndongengnya nggak asyik. Bukan dongeng Putri yang tinggal di istana Raja.”
“Dongeng apa, kalau mbak Nilam yang ndongeng?”
“Nyeritain teman-teman sekolahnya waktu masih kecil. Nggak asyik,” kata Nugi dengan mulut cemberut.
“Ya sudah, sekarang Nugi sudah siap? Ibu panggilkan ojol langganan saja ya?”
“Nanti dijemput ibu?”
“Belum tahu, kalau ibu sekalian belanja, nanti ibu jemput. Kalau nggak ya dijemput mas Ojol lagi.”
“Ya sudah, terserah ibu saja.”
Suri yang sangat menyayangi Nugi, mengelus kepalanya, kemudian menelpon ojol langganan agar mengantarkannya ke sekolah.
***
Hari masih pagi. Wijan tertidur dengan kepala di pinggiran ranjang Nilam. Pasti sangat letih, karena hampir semalaman tak bisa tidur, menunggu Nilam tersadar sehingga bisa menyapanya. Raharjo yang datang semalam, tak tega membangunkannya. Ia bersandar di sofa, dan tertidur di sana. Nilam belum melihatnya.
Karena nyenyak, Wijan tak tahu kalau Nilam membuka matanya perlahan. Dengan heran ia melihat ke sekeliling ruangan, lalu merasakan ada infus terpasang di lengannya. Belum sadar akan kejadian yang menimpanya, ia heran sedang berada di rumah sakit. Pikirannya melayang ke arah semalam, di mana dia sedang berjalan-jalan berempat, lalu Wijan dan Jatmiko pergi menyeberang untuk membeli sate lontong, lalu dirinya dan Anjani menyusulnya karena tak sabar menunggu, lalu sesuatu menabrak tubuhnya, dan dia tak ingat apa-apa lagi. Ya Tuhan, mana Anjani? Hal itulah yang pertama kali diingatnya, karena waktu itu tangannya bergandengan dengan Anjani.
Ia menatap ke arah samping, seseorang tertidur dengan kepala terletak di samping ranjang. Apakah dia Jatmiko? Nilam ingin menyentuhnya untuk membangunkannya, tapi kepalanya terasa berdenyut.
Ia menatapnya terus, tapi wajahnya tak kelihatan. Jatmiko? Di mana Wijan?
Tapi itu bukan rambut Jatmiko. Rambut Jatmiko lurus, sedangkan rambut Wijan agak ikal seperti rambutnya. Jadi, apakah ini Wijan?”
Nilam memegangi kepalanya. Terasa sakit. Ada luka di siku kanannya, yang dibalut perban.
“Mas Wijan,” mulutnya berbisik lemah.
Tiba-tiba Wijan mendengar panggilan itu. Sepelan apapun, tapi ia selalu berharap ada suara dari Nilam terdengar memanggil, dan sekarang dia mendengarnya.
Ia mengangkat kepalanya, dan hampir bersorak melihat mata Nilam terbuka.
“Nilam … kamu sudah sadar?”
Hati Nilam terasa hangat. Rasa pusing itu hampir lenyap. Kebahagiaan ditunggui seseorang yang selalu singgah dihatinya itu, mengurangi sebagian besar rasa sakit yang menderanya.
“Mas Wijan, apa yang terjadi?”
Wijan mengelus kepala Nilam lembut. Ada binar di matanya, ketika mata mereka saling bertatapan.
“Mana yang sakit? Berikan padaku rasa sakit itu, biar aku saja yang merasakannya,” bisik Wijan lembut. Nilam mendengar ucapan itu seperti sebuah kidung yang mengalun dari atas sana. Begitu indah dan membuatnya sangat bahagia.
“Mengapa aku ada di sini? Mengapa mas Wijan tidur di sini?”
“Karena kamu kecelakaan, semalaman tidak sadar. Sekarang aku merasa lega, kamu sudah bisa menyapaku.”
“Apakah mas Wijan mengkhawatirkan aku?”
“Pertanyaan bodoh.”
“Di mana Anjani? Dia bersamaku waktu itu.”
“Mas Jatmiko menjaganya.”
“Mengapa bukan Mas yang menjaga Anjani? Bukankah_”
“Anjani sudah ada yang menjaga. Aku mengkhawatirkan kamu, aku takut kamu meninggalkan aku.”
“Mengapa takut? Takut kalau aku mati?” dalam keadaan sakitpun Nilam selalu bicara ceplas ceplos.
“Tentu saja Nilam, karena aku mencintai kamu.”
Dan kidung yang mengalun itu masih mengumandangkan lengkingan indah, semakin indah, karena ada cinta merayapinya. Namun Nilam masih merasa seperti bermimpi.
***
Besok lagi ya.
Matur nuwun mbak Tien-ku acdr tayang
ReplyDelete☘️๐ชด๐ด๐ฟ๐น๐ฟ๐ด๐ชด☘️
Delete๐๐ญ๐ฉ๐ข๐ฎ๐ฅ๐ถ๐ญ๐ช๐ญ๐ญ๐ข๐ฉ ๐๐๐ฆ๐๐ฆ๐ฆ๐_34 ๐ด๐ถ๐ฅ๐ข๐ฉ ๐ต๐ข๐บ๐ข๐ฏ๐จ ๐ต๐ฆ๐ฑ๐ข๐ต ๐ธ๐ข๐ฌ๐ต๐ถ.
๐๐ข๐ต๐ถ๐ณ ๐ฏ๐ถ๐ธ๐ถ๐ฏ ๐ฃ๐ถ ๐๐ช๐ฆ๐ฏ, ๐ด๐ข๐ญ๐ข๐ฎ ๐๐๐๐๐๐.
๐๐ข๐ฅ๐ถ๐ฉ ๐ฎ๐ฆ๐ญ๐ฆ๐ด๐ฆ๐ต ๐ด๐ฆ๐ฎ๐ถ๐ข ๐ข๐ฏ๐จ๐ข๐ฏ ๐ฑ๐ฆ๐ฎ๐ฃ๐ข๐ค๐ข, ๐บ๐ข๐ฏ๐จ ๐ด๐ฆ๐ฎ๐ถ๐ญ๐ข ๐ฎ๐ฆ๐ฏ๐ฅ๐ถ๐จ๐ข ๐๐ช๐ซ๐ข๐ฏ & ๐๐ฏ๐ซ๐ข๐ฏ๐ช ๐ฅ๐ข๐ฏ ๐๐ข๐ต๐ฎ๐ช๐ฌ๐ฐ & ๐๐ช๐ญ๐ข๐ฎ.... ๐ฅ๐ฆ๐ฏ๐จ๐ข๐ฏ ๐ฑ๐ฆ๐ณ๐ช๐ด๐ต๐ช๐ธ๐ข ๐ด๐ฆ๐ฎ๐ข๐ญ๐ข๐ฎ ๐ฅ๐ข๐ฏ ๐ข๐ฑ๐ข ๐บ๐ข๐ฏ๐จ ๐ต๐ฆ๐ณ๐ด๐ช๐ณ๐ข๐ต ๐ฅ๐ช๐ฆ๐ฑ๐ช๐ด๐ฐ๐ฅ๐ฆ 34 ๐ช๐ฏ๐ช, ๐ฃ๐ช๐ด๐ข² ๐ต๐ถ๐ฌ๐ข๐ณ ๐ฑ๐ข๐ด๐ข๐ฏ๐จ๐ข๐ฏ.. ๐๐ฑ๐ข๐ฑ๐ถ๐ฏ ๐บ๐ข๐ฏ๐จ ๐ต๐ฆ๐ณ๐ซ๐ข๐ฅ๐ช ๐ฌ๐ข๐ฎ๐ช ๐ด๐ฆ๐ณ๐ข๐ฉ๐ฌ๐ข๐ฏ ๐ฌ๐ฆ ๐ด๐ข๐ฏ๐จ ๐ด๐ถ๐ต๐ณ๐ข๐ฅ๐ข๐ณ๐ข.....
๐ ๐ข๐ฏ๐จ ๐ฎ๐ฆ๐ฎ๐ฃ๐ช๐ฌ๐ช๐ฏ ๐ด๐ฆ๐ฎ๐ถ๐ข ๐ฑ๐ฆ๐ฎ๐ฃ๐ข๐ค๐ข ๐ฑ๐ฆ๐ฏ๐ข๐ด๐ข๐ณ๐ข๐ฎ......
☘️๐ชด๐ด๐ฟ๐น๐ฟ๐ด๐ชด☘️
Matur nuwun mas Kakek
Delete๐ฆ๐ธ๐ฆ๐ธ๐ฆ๐ธ๐ฆ๐ธ
ReplyDeleteAlhamdulillah ๐
ACeDeeR_34 sdh hadir.
Suwun nggih Bu Tien
yang baik hati.
Akhirnya Wijan maupun
Jatmiko menemukan
cintanya. Alhamdulillah.
Ikut deg2an menanti
Nilam dan Anjani sadar.
Besok mau bezoek ah...
Di RS mana yaa? hehe..
Semoga Bu Tien sehat2
selalu bersama kelg
tercinta. Salam aduhai๐
๐ฆ๐ธ๐ฆ๐ธ๐ฆ๐ธ๐ฆ๐ธ
Aamiin Allahumma Aamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sari
Alhamdulillah , Terima kasih bunda Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Endah
DeleteAlhamdulillah ACeDeeR 34 tayang
ReplyDeleteMksh bunda Tien sehat selalu doaku
Salam sayang dari Jogja
Ttp semangat dan
ADUHAI ADUHAI ADUHAI
ADUHAI ADUHAI ADUHAI
DeleteJeng In
Sugeng ndalu Bunda Tien.
ReplyDeleteAntara Wijan dengan Nilam juga Anjani dengan Jatmiko, mereka sdh mengenal sedari kecil. Semoga Asmara mereka tumbuh dan saling melengkapi.
Hamdallah cerbung Ada Cinta di Balik Rasa..34 telah tayang.
Alhamdullilah
Semoga ALLAH memberikan..kesehatan yang sempurna kagem Bunda Tien
๐คฒ❤
Aamiin Allahumma Aamiin
DeleteMatur nuwun pak Munthoni
Alhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Salamah
DeleteAlhamdulillah..
ReplyDeleteWadouuueww.. tebakan salah ..kirain Wijan dg Anjani dan Nilam dg Jatmiko ... e e e .. ternyate๐
Syukron nggih Mbak Tien ๐น๐น๐น๐น๐น
Sami2 ibu Susi
Delete
ReplyDeleteAlhamdullilah
Ada Cinta Dibalik Rasa 34 telah. hadir
Matur nuwun bu Tien
Semoga sehat bahagia bersama keluarga
Aamiin...
.
Aamiin Allahumma Aamiin
DeleteMatur nuwun pak Wedeye
Alhamdulillah...
ReplyDeleteMaturnuwun Bu Tien ๐
Sami2 ibu Indrastuti
DeleteAlhamdulilah, sampun tayang episode terbaru matur nuwun inggih mbakyuku Tienkumalasari sayang, salam kangen dan sayang dari Tanggamus, Lampung
ReplyDeleteSami2 jeng Sis
DeleteKangen juga dari Solo
Matur nuwum bu Tien...Ada Cinta Di Balik Rasa 34...
ReplyDeleteSami2 ibu Atiek
Deletealhamdulillah
ReplyDeletematurnuwun bunda
Sami2 ibu Nanik
DeleteHatur nuhun
ReplyDeleteSami2 ibu Yati
DeleteAlhamdulillah.semoga Bunda selalu sehat wal afiat.semoga Nilam+Anjani berbahagia ๐ Maturnuwun ๐น๐น๐น๐
ReplyDeleteAamiin Allahumma Aamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Naah...akhirnya terungkap juga rasa masing-masing. Sebenarnya dari awal sudah tersirat bahwa Nilam akan berjodoh dengan Wijan, tapi yang jadi pikiran kan mereka statusnya saudara tiri, walaupun ga sedarah, secara etika biasa terjadi di masyarakat kita kah? Hmm...apalagi mereka tumbuh bersama sedari kecil sebagai saudara, kakak adik. Terserah ibu Tien bagaimana mengakhiri dengan 'happy' seperti biasanya...sabar menanti. Trmksh, ibu. Sehat selalu.๐๐
ReplyDeleteAamiin
DeleteTerima kasih ibu Nana
Alhamdulillah matur nwn bu Tien, semoga sehat selalu
ReplyDeleteAamiin Allahumma Aamiin
DeleteMatur nuwun pak Bams
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
DeleteAlhamdulilah acdr 34 sdh tayang ....wah bu Tien memang jago mempermainkan dN mengaduk aduk persaan pembaca he he he ..
ReplyDeleteHabis kecelakaan bertukar patner... maturnuwun bu Tien salam sehat dan aduhai bun
Sami2 ibu Sri
DeleteAduhai deh
Alhamdulillah ... maturnuwun Bu Tien semoga sehat selalu
ReplyDeleteAamiin Allahumma Aamiin
DeleteMatur nuwun ibu Endang
Hore,,,,,Wijan jadian sama Nilam
ReplyDeleteHoreeee....mbak Yaniiikk
DeleteSemoga Nilam dan Anjani segera sembuh, segera jelas siapa berjodoh dengan siapa. Kasian pak Marjono yang sedang labil kesehatannya.
ReplyDeleteSalam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Allahumma Aamiin
DeleteMatur nuwun pak Latief
Alhamdulillah ADA CINTA DIBALIK RASA~34 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
ReplyDeleteAamiin yra..๐คฒ
Aamiin Allahumma Aamiin
DeleteMatur nuwun pak Djodhi
Aduhai....betapa indahnya rangkaian kalimat cinta yg terukir.
ReplyDeleteMtr nwn Bu Tien, sehat sll.
Aamiin Allahumma Aamiin
DeleteMatur nuwun ibu Endah
Makasih mba Tien.
ReplyDeleteSalam sehat,tetap semangat.
Selalu aduhai.
Sami2 ibu Sul.
DeleteSelalu aduhai deh
Alhamdulillah,sdh tayang ACDR 34
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien semoga selalu sehat semangat dan bahagia bersama keluarga tercinta.
Aamiin Allahumma Aamiin
DeleteMatur nuwun Anrikodk
Alhamdulilah ACDR sdh tayang
ReplyDeleteSuwun bu Tien. Sehat sll ya bu.
Aamiin Allahumma Aamiin
DeleteMatur nuwun ibu Handayaningsih
Ternyata kembali kenangan lama, yang membekas di hati.
ReplyDeleteTetep aja masih ada keraguan mengapa tidak menunggui Anjani, kan Wijan kakakmu Nilam.
Pernyataan itu yang masih ada.
Anjani pun merasa lega ditungguin Miko, adem, teringat bapaknya.
Bisa jadi kembali, persahabatan lama dengan tanda gelang monte berlanjut ke pelaminan mereka, Mardjono pun lega, anak semata wayangnya bahagia bersama sahabat kecilnya.
Bu Suri kecewa Jatmiko nggak jadi menantu nya.
Malah memergoki sang mantan yang berpakaian ora ganep, padake wong edan, yรฅ kan pancรจn kedanan.
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Ada cinta dibalik rasa yang ke tiga puluh empat sudah tayang
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
๐
Aamiin Allahumma Aamiin
ReplyDeleteMatur nuwun pak Nanang
Sami2 ibu Anik
ReplyDeleteAlhamdulillah mendapat cerita cinta yang menyentuh hati dari Bu Tien. Matur nuwun Bu....mugi tansah sehat barakalh, aamiin...
ReplyDeleteAamiin Allahumma Aamiin
DeleteMatur nuwun ibu Reni
Alhamdulillah, sehat selalu mbakyu ๐๐
ReplyDeleteAamiin
DeleteMatur nuwun ibu Kun
Alhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteTerima kasih bu tien atas tayangan acdr 34
Semoga bu tien sehat2 n selalu dlm lindungan n bimbingan Allah SWT .... aamiin yaa rabbal'alamiin
Aamiin Allahumma Aamiin
DeleteMatur nuwun pak Arif
Terimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteSami2 MasMir a
ReplyDeleteCinta karena mereka terbiasa dari kecil
ReplyDeleteTerimakasih Bunda Tien sehat kuat semangat selalu
Terimakasih Bunda Tien ...ceritanya sungguh menyentuh dan dikemas sangat bagus .
ReplyDeleteSemoga sehat² selalu nggih....
Akhirnya rasa mengagumi, rasa kasihan, rasa tertarik, adalah bukan cinta yang sesungguhnya. Ternyata cinta yang sesungguhnya sedang menyembunyikan diri, seiring dengan napas-napas kehidupan yang berjalan, lalu dia muncul ketika kesadaran tentang cinta itu ada...
ReplyDeleteWaduh rumit bin sulit bila berbicara soal CINTA...๐
Matur nuwun bunda Tien ๐๐
Cinta..cinta..sebegitu membingungkannya..๐