Wednesday, January 10, 2024

BUNGA UNTUK IBUKU 38

 BUNGA UNTUK IBUKU  38

(Tien Kumalasari)

 

Wijan kebingungan, ia memasuki kamar mandi, kosong, ia memanggil-manggil nama ‘ayahnya’, tak ada jawaban. Dengan gelisah dia bertanya kepada suster perawat, dan merekapun terkejut. Tak seorangpun melihat Bejo keluar dari kamarnya. Semuanya panik, sementara Wijan memarahi para perawat dan penjaga yang ada di sekitar ruang rawat ‘ayahnya’ yang dianggapnya bekerja teledor.

Pak Rangga terkejut ketika mendapat telpon dari Wijan, yang mengatakan bahwa Bejo menghilang. Ia meninggalkan pekerjaannya dan langsung pergi ke rumah sakit.

Wijan sedang menyusuri jalanan bersama sopirnya, berusaha mendapatkan kembali ‘ayahnya’.

Wijan juga menelpon bibik, menanyakan, apakah ‘ayahnya’ pulang kerumah. Tapi bibik justru kebingungan mendengarnya.

“Tidak Mas, bapak tidak pulang ke rumah. Bagaimana dia bisa pergi seorang diri?” tanya bibik yang ikut panik.

“Aku sedang keluar tadi, bukankah aku juga pulang untuk mengambil baju ganti untuk bapak?”

Bibik menghela napas penuh sesal. Diam-diam dia menyalahkan Wijan yang dengan sembrono meninggalkan Bejo sendirian.

“Kabari aku kalau bapak pulang kemari ya Bik, dan jangan boleh pergi lagi.”

“Baiklah Mas.”

Pak Rangga juga kebingungan. Ia tak tahu harus bagaimana. Pihak rumah sakit sudah berusaha mencarinya. Ia menelpon Wijan yang tampaknya juga sudah keluar untuk berusaha menemukan ‘ayahnya’.

Kemudian pak Rangga pun keluar dari rumah sakit itu, sambil menelpon Wijan setiap kali tiba di suatu tempat tanpa hasil.

Kemanakah perginya Bejo? Mengapa dia pergi?

***

 

Bejo berjalan tak tentu arah, dengan perasaan bingung.

Tadi Bejo terbangun tak lama setelah Wijan pergi. Ia bangkit dari ranjangnya, lalu duduk merenung disana,

“Kok aku jadi tidur di sini ya? Biar aku ingat-ingat. Anak laki-laki bernama Wijan, dan orang yang katanya tangan kanan pak Raharjo, membujukku agar aku mau dibawanya berobat, lalu aku disarankan menginap sehari di sini untuk pemeriksaan lebih lanjut. Tapi aku bingung, kenapa bisa berada diruangan sebagus ini. Padahal semua biayanya nanti kan aku harus membayarnya. Mereka bilang tak apa-apa .. tak apa-apa .. itu kan kata mereka, bagaimana dengan aku yang nanti harus terbebani utang atas semua ini? Aku hanya anak mbok Supi, tidak punya apa-apa selain gubug reyot dan tanaman sayur di belakang rumah, yang tidak begitu menjanjikan kecuali hanya cukup untuk membeli sebungkus nasi. Alangkah berat beban hidupku kalau harus menanggung hutang begitu banyak yang entah berapa, aku juga belum tahu. Yang jelas pasti mahal. Kenapa juga mereka memberikan kamar sebagus ini untuk aku?” gumamnya sambil mengamati ruangan rawat inap yang bukan main besar dan bagusnya.

Bejo bangkit dari tempat tidur. Bahkan pakaian yang dipakainya juga dapat pinjam dari pakaian yang katanya milik Raharjo.

“Lebih baik aku pergi saja dari sini, biarlah aku tak ingat apa-apa, asalkan hidupku tidak dibebani oleh hutang.”

Bejo bersiap mencopot bajunya, tapi diurungkannya.

“Lha kalau baju ini aku lepas, celana aku lepas, masa iya aku keluar dari rumah sakit ini dengan telanjang?”

Bejo mengurungkan niatnya melepas baju.

:Besok saja kalau aku sudah sampai di rumah, aku akan mengembalikan baju ini.”

Bejo beranjak keluar dari kamar. Ia melihat serombongan orang yang tampaknya selesai membezoek keluarganya, lalu ikut keluar bersama mereka.

Ia terus berjalan keluar dari halaman rumah sakit, menyusuri jalan dengan perasaan bingung.

Ia baru sadar bahwa tak mengantongi uang sepeserpun. Ia bingung bagaimana caranya bisa naik kendaraan untuk pulang, sementara ia tak memiliki uang.

Tapi ia tak menghentikan niatnya. Ia terus berjalan, lalu sampai di sebuah pasar. Biarpun hari sudah sore, tapi pasar itu masih ramai orang belanja.

Ketika melihat seorang ibu sedang menjinjing belanjaan keluar dari pintu pasar, Bejo beranjak menghampiri. Ibu itu menyeret sekarung besar yang tampaknya berisi beras, dan dua tas besar yang entah isinya apa.

“Bu, bolehkah saya bantu membawa belanjaan ibu?”

Wanita itu meletakkan sebuah bungkusan yang tampaknya berat.

“Oh, boleh Pak, terima kasih banyak. Soalnya aku juga belanja beras juga hari ini.”

“Bejo mengangkat dua bungkusan besar yang berat, sedangkan wanita itu membawa sebuah bungkusan lain yang tidak seberapa berat. Salah satu bungkusan yang harus dibawa Bejo adalah sekarung beras, kira-kira dua puluh lima kilo beratnya. Bejo memanggul beras itu di pundaknya, sedangkan salah satu tangannya meraih bungkusan satunya, lalu mengikuti langkah wanita itu.

Wanita itu berhenti di pinggir jalan, Bejo meletakkan bawaannya di dekat wanita itu. Lalu dilihatnya wanita itu mengambil ponselnya.

“Saya baru memanggil taksi, nanti tolong diangkat ke dalam taksi sekalian ya Pak,” kata wanita itu sambil masih memegangi ponselnya, karena panggilannya ke taksi online belum tersambung.

“Baik Bu.”

Wanita itu adalah Suri, yang baru selesai belanja untuk kebutuhan dagangannya. Ia berangkat agak siang, sehingga tidak mengajak Nilam yang belum pulang dari sekolah.

“Jauhkah rumah Ibu?”

“Lumayan jauh, Pak, agak di pinggiran kota. Tapi aku kalau belanja pasti kemari, soalnya harganya lebih murah kalau belinya banyak.

“Iya Bu,” kata Bejo menjawab asal. Ia sedang menghitung-hitung, apakah upah membawa belanjaan itu akan cukup untuk membayar ongkos pulang? Ia menoleh ke kiri dan ke kanan, barangkali ada lagi orang yang keberatan membawa belanjaannya.

“Sampeyan rumahnya mana?” tanya Suri. Ia baru mengamati orang yang membantunya mengusung belanjaannya, ketika mengambil uang dari dompet untuk memberinya upah. Suri agak heran, karena pakaian orang di depannya cukup bagus, bukan seperti pakaian tukang membawa belanjaan yang biasanya lusuh dan kotor.

“Jauh Bu, di kampung. Tapi kampungnya juga ada di kota lain.”

“O, kota mana?”

“Di Jawa Timur Bu, daerah Malang, tapi saya di desanya, bukan kota.”

“Itu jauh. Kok bekerjanya sampai jauh?”

Bejo kebingungan untuk menjawab. Ia melihat hari mulai sore. Wanita itu memberinya uang dua puluh ribu. Bejo mengucapkan terima kasih, tapi sebenarnya ia sedang menghitung-hitung. Cukupkah uang itu untuk pulang? Pasti tidak. Ia menoleh kembali ke arah pasar. Barangkali ada lagi orang yang bisa ditolongnya, sehingga uangnya bisa bertambah.

“Sampeyan kelihatan bingung sih Pak.”

Bejo menunduk tersipu.

“Sesungguhnya saya sedang mencari pekerjaan lagi, supaya mendapatkan uang untuk ongkos pulang,” katanya lirih.

“Kalau sore begini, sudah tidak begitu banyak orang belanja.”

Bejo terdiam.

Suri merasa kasihan, tampaknya laki-laki di depannya seperti orang kebingungan.

“Bagaimana kalau sampeyan mengantarkan saya sampai ke rumah, nanti saya tambah uangnya,” kata Suri tanpa ragu.

“Benarkah?” mata Bejo berbinar.

“Iya, nanti sampeyan bisa pulang dari sana. Rumah saya dekat pemberhentian bis. Justru kalau dari sini jauh, harus ganti angkot sampai dua kali.”

“Baiklah, saya mau Bu.”

“Bagus kalau begitu. Nama sampeyan siapa?”

“Saya Bejo.”

“Sebenarnya tadi dari mana? Kok pergi begitu jauh? Menengok cucu?”

Bejo tersipu.

“Saya belum menikah.”

“Oh, maaf,” kata Suri yang agak heran. Laki-laki yang sudah tidak lagi muda, tapi belum menikah? Bukankah orang kampung kebanyakan menikah muda?

Taksi yang dipanggil Suri sudah datang. Bejo membantu mengangkut lagi belanjaan Suri, dimasukkan ke dalam bagasi taksi.

“Ayo pak, duduklah di samping pak sopir,” kata Suri ketika barangnya sudah terbawa semua. Agak beruntung ketemu orang yang bisa menolongnya. Tadi dia belanja terlalu banyak, lupa bahwa sedang belanja sendirian.

***

 Pak Rangga akhirnya ketemu Wijan di rumah Raharjo. Keduanya masih berharap, Bejo akan kembali ke rumah itu.

Wijan tak henti-henti menyesali kebodohannya, dengan meninggalkan Bejo sendirian. Bukankah apapun bisa terjadi saat tak ada yang menemani? Apalagi sejak awal Bejo selalu merasa ragu dengan tindakannya yang memaksa Bejo untuk mau berobat. Mereka mengira setelah dibujuk-bujuk, Bejo akan mengikuti kemauannya, ternyata tidak.

Bibik yang menghidangkan minuman hangat juga tampak murung. Ia ingin mengomeli Wijan, tapi merasa kasihan melihat Wijan tertunduk lesu. Tampaknya anak muda itu juga menyesal telah meninggalkan ‘ayahnya’ sendirian.

“Mungkinkah pak Bejo pulang ke kampungnya?” tanya Wijan dengan suara letih.

“Apakah pak Bejo punya uang untuk pulang?”

“Tampaknya tidak.”

“Berarti dia masih berada di kota ini. Kemungkinan kembali ke rumah ini, memang ada. Jadi sebaiknya kita menunggu saja.”

“Saya sangat menyesal.”

“Sebenarnya apa yang membuatmu meninggalkan ‘ayah kamu’, Wijan?” tanya pak Rangga hati-hati, karena bagaimanapun juga Wijan pasti juga menyesalinya.

“Sebetulnya tadi siang, dalam perjalanan ke rumah sakit, saat Sardi menambah bahan bakar, saya melihat seorang gadis.”

“Gadis cantik yang sangat menarik?” ejek pak Rangga diantara rasa kesalnya.

“Gadis itu sangat mirip Nilam. Tampaknya dia sedang menunggu angkutan umum. Tapi ketika saya turun dan mencarinya, dia tiba-tiba sudah tak ada. Saya kembali ke mobil karena harus segera pergi ke rumah sakit.”

“Lalu kamu mencarinya lagi?”

“Ketika melihat bapak tertidur, saya bermaksud mencari gadis itu lagi. Maksud saya, karena tadi melihat gadis itu berseragam sekolah SMA, saya bermaksud mencari sekolahan di sekitar tempat itu, barangkali bisa menemukan Nilam. Tapi saya tidak menemukan sebuah sekolahpun di sekitar tempat itu. Entah gadis itu datang dari mana.”

“Bisa jadi kamu hanya berhalusinasi, karena kamu juga memikirkan Nilam.”

“Saya kira tidak. Itu seperti nyata. Benar-benar saya melihat gadis seperti Nilam. Barangkali mirip, tapi saya ingin mengetahui kebenarannya dengan menemukan sekolahnya. Dengan bertanya apakah ada nama Nilamsari di sekolah itu, saya yakin kalau itu adalah Nilam. Tapi ternyata tak ada sekolahan di sekitar tempat itu.”

“Berarti lumayan lama kamu meninggalkan bapak?” sesal pak Rangga.

“Saya juga masih mampir ke rumah untuk mengambil baju ganti untuk bapak,” Wijan menjawab sedih, Air matanya nyaris menetes keluar.

“Baiklah, yang bisa kita lakukan hanya menunggu. Kalau sampai besok bapak tidak kembali, kita akan melaporkannya pada polisi, meskipun barangkali pihak rumah sakit sudah melakukannya juga.”

Wijan mengangguk. Udara mulai meredup, senja telah hampir tiba. Langit diujung barat menampakkan warna kemerahan. Wijan melangkah keluar halaman, berdiri di depan gerbang. Menunggu, sambil menepis kegelisahan yang tak berhasil dilakukannya. Ia seperti sedang menangkap ikan di sebuah sungai, kemudian ikan itu melesat pergi dan lenyap dari tangannya.

“Bapak, pulanglah … " bisiknya lirih. Tak urung air mata itu juga meleleh membasahi pipinya. Rasa sesal benar-benar telah memukul dadanya hingga terasa sakit dan nyeri.

“Bapaaaak,” rintihnya.

Pak Rangga mendekat, menepuk bahunya lembut.

“Bapak pasti akan kembali,” bisiknya.

***

Di perjalanan pulang, Suri masih menanyakan kenapa Bejo pergi begitu jauh sehingga tak bisa pulang karena kehabisan bekal.

Tapi Bejo bingung untuk mengatakannya. Terlalu panjang kalau dia bercerita dari awal. Kisahnya sangat rumit, susah untuk diceritakan.

Melihat Bejo ragu, Suri tidak mendesaknya. Ia mengira, Bejo sedang mendapat masalah dalam kehidupannya. Jadi diapun diam, tak ingin memaksa Bejo untuk mengatakan apapun. Ia berjanji akan memberinya uang yang cukup untuk membawa Bejo pulang ke kampungnya.

“Ini sudah sore, saya ragu apakah nanti sampeyan masih bisa mendapat kendaraan.”

Bejo terdiam, banyak yang dipikirkannya. Kalaupun masih ada kendaraan,  cukupkah uangnya? Tampaknya ia harus mencari uang lagi besok pagi. Tapi bagaimana dengan malam ini?

“Pak Bejo, nanti sampeyan menginap di rumah tetangga saya saja, baru besok melanjutkan perjalanan.”

“Tetangga Ibu?”

“Saya tidak bisa menerima sampeyan menginap di rumah, karena saya seorang janda, anak saya seorang gadis. Apa kata orang nanti, kalau saya membawa masuk laki-laki asing ke rumah saya.”

“Saya pergi saja Bu, saya bisa menginap di mana saja,” kata Bejo mengerti.

“Jangan. Sebentar lagi malam tiba. Nanti saya bilang ke tetangga, yang anaknya laki-laki. Dia baik, pasti mau menerima pak Bejo menginap di sana.”

“Saya jadi merepotkan.”

“Tidak apa-apa. Senang kalau saya bisa membantu.”

Taksinya sudah sampai di rumah kontrakan Suri. Bejo membaca sebuah tulisan, WARUNG AYAM PANGGANG NILAMSARI.

“O, rupanya ibu punya warung?”

“Baru mau buka Pak, ini juga lagi siap-siap,” kata Suri sambil turun.

Bejo mendahului turun, dan mengangkut semua belanjaan ke depan rumah.

Dari dalam tiba-tiba terdengar teriakan.

“Ibu sudah pulang? Kenapa tadi tidak menunggu Nilam pulang sih?”

“Kelamaan. Nggak apa-apa, ada yang membantu kok.”

Bejo menatap gadis yang keluar dari dalam rumah, lalu teringat pada bayangan atau khayalannya saat berdiri di gerbang rumah Raharjo. Mengapa gadis itu mirip dengan bayangannya waktu itu?

Nilam ingin membantu mengangkat bungkusan, karena karung berasnya pasti berat. Tapi ketika ia menatap laki-laki yang membantu ibunya, ia langsung berteriak.

“Bapaaaak?” Nilam menghambur memeluknya.

***

Besok lagi ya.

 

 

 

87 comments:

  1. 🌸🩷🌸🩷🌸🩷🌸🩷
    BeUI_38 yg di tunggu2
    sdh hadir. Alhamdulillah..
    Matur nuwun Bu Tien
    Mendoakan selalu
    semoga Bu Tien & kelg
    sehat & tetap smangats.
    Aamiin. Salam hangat
    dari Jatibening 🦋🌹
    🌸🩷🌸🩷🌸🩷🌸🩷

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Allahumma Aamiin
      Matur nuwun ibu Sari

      Delete
    2. Jd deg2an saat Nilam kaget bukan main melihat bapaknya ada di depan mata... Gimana selanjutnya...lagi2 Bu Tien bikin penisirin di akhir cerita dg tulisan 'Besok lagi ya'. 😁🤭

      Delete
  2. Maturnuwun sanget Bu Tien...
    🙏🙏

    ReplyDelete
  3. Matur nuwun mbak Tien-ku Bunga Untuk Ibuku tayang

    ReplyDelete
  4. Senangnya, sudah tayang. Terima kasih bu Tien cantiiik. Sehat selalu yaa...💕💕

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah Maturnuwun Bunda.semoga selalu sehat wal afiat

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah BUNGA UNTUK IBUKU~38 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat dan bahagia senantiasa bersama keluarga.
    ‌Aamiin yra..🤲

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah
    Terimakasih bunda Tien
    Semoga bunda Tien selalu sehat aamiin

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah , maturnuwun bunda Tien semoga sehat walafiat

    ReplyDelete
  9. Alhamdulillah... maturnuwun bu Tien.
    Salam sehat buuu

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah.... Maturnuwun Ibu. . Sehat2 terus agar selalu bisa berkarya

    ReplyDelete
  11. Makiin seruuu... sngat² menegangkan dan hmpir serasa tak bernapas saat mmbaca nya... terima kasih Mbu tien.. sehat sllu bersama keluarga tercnta....

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillah.
    Bunga Untuk Ibuku 38 sudah tayang. Matur nuwun Bunda Tien, semoga Bunda tetap Semangat, selalu Sehat wal Afiat bersama Keluarga di Sala.
    Aamiin

    Mantab...Bejo Raharjo, menjauhi Wijan, tapi malah mendekati Nilam..🌻🌹😁

    Salam Kejora nan Aduhai nggeh Bunda Tien

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Allahumma Aamiin
      Matur nuwun pak Munthoni

      Delete
  13. Terimakasih Ibu... 🙏
    Salam Sehat...💪

    ReplyDelete
  14. Alhamdulilah BUI 38 sdh tayang terima kasih bu Tien..
    Smg ibu dan bapak selalu sehat dan bahagia ..salam hangat dan aduhai bun

    Pak Bejo terdampar di rumah nilam dan bu suri .. alhamdulilah.. bejo bikin bingung wijan dan pak rangga sabar ya tunggu pulihnga ingatan pak bejo besok

    ReplyDelete
  15. Alhamdulillaah akhirnya pasti ketemu antara wijan, Nilam, pa Raharjo dsb
    Makasih Bunda

    ReplyDelete
  16. Nah... perasaanku juga begitu. Bejo ketemu Nilam. Tapi Bejo kan bukan Raharjo. Pasti Bejo menolak lagi disebut sebagai Raharjo.
    Wijan dapat bertanya tanya tentang SMA yang paling dekat dengan SPBU tempat mobilnya tambah BBM.
    Apa kepikiran ya, Suri atau Nilam kabar kabar entah kepada siapa tentang 'penemuan' atas Bejo Raharjo. Mungkin ada berita tentang pasien yang kabur dari Rumah Sakit.
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  17. Aamiin Allahumma Aamiin
    Sami2 ibu Ting

    ReplyDelete
  18. Matur Nuwun episode 38nya.... Semoga Suri berjodoh sama pak Rahardjo....
    Senantiasa Sehat njiih Mbaak...
    Salam Aduhai dr Surabaya 🙏😘😍❤️

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Allahumma Aamiin
      Hehee... gitu ya?
      Sami2 jeng Dewi.

      Delete
  19. Waah...
    Kisah Pak Raharjo yang amnesia dan kabur, tlisibannya Wijan dengan Nilam, sungguh seperti Film. Dulu, saya nonton film "Di Mana Kau Ibu", pemainnya Rano Karno saat kanak-kanak. Iiih gemeez, sudah dekat, tapi nggak ketemu-ketemu, bikin seru.
    Pak Raharjo sudah ketemu dengan orang-orang terdekatnya, tapi amnesia.
    Menakutkan ya amnesia itu...pasti sangat bingung dan cemas.
    Ihhiir...besok pasti tambah seru... (besok malam aku membacanya di Kebumen..)
    Maturnuwun mbak Tien sayang
    ..

    ReplyDelete
  20. Alhamdulillah ketemu Nilam ..
    Syukron nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  21. Terima kasih bu Tien ... Be U I ke 38 sdh tayang ..... Lagi babak sedih ni , pak Bejo Raharjo kabur dari Rumah Sakit ... Syukurlah ketemu Nilam di rmh bu Suri ...
    Smg bu Tien & keluarga sll happy n sehat wal'afiat . Salam Aduhai .

    ReplyDelete
  22. Hadeeh Nilam teriak Bapaaak dan langsung memeluk
    Wah seru nih

    Mksh bunda Tien sehat selalu doaku

    ReplyDelete
  23. Nilam bahagia ketemu bapaknya. Kasihan Wijan bingung dan sedih pak Raharjo hilang.Bagaimana kabar Hasti? Terimakasih bunda Tien salam sehat, semangat dan aduhai selalu

    ReplyDelete
  24. Ceritanya makin asik dan menggemaskan. Trima kasih Ibu Tien untuk episodenys yg ke 38.
    Salam sejahtera selalu dari jauh.

    ReplyDelete
  25. Alhamdulillah Bejo ketemu Nilam
    Matursuwun Bu Tien, semoga sehat selalu bersama klg. Salam ADUHAI 😙💖

    ReplyDelete

  26. Alhamdullilah
    Bunga untuk ibuku 38 telah hadir
    Matur nuwun bu Tien
    Semoga sehat selalu dan bahagia bersama keluarga
    Aamiin...

    ReplyDelete
  27. Aamiin Allahumma Aamiin
    Matur nuwun pak Wedeye

    ReplyDelete
  28. Alhamdulillah...
    Sugeng Dalu, salam sehat selalu...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Matur nuwun pak Suprawoto Sutedjo
      Salam sehat ugi

      Delete
  29. Matur suwun bu Tien, salam sehat dari mBantul

    ReplyDelete
  30. Hayuh bingung tuh, Suri ngaku janda anak satu, anaknya panggil bapak.
    Siapa yang bingung, sopir taksi, Bejo juga bingung; mau nggak ngakui anak; bayangan itu selalu tampak jelas, bahkan ada wajah Wijan juga.
    Bisakah Nilam sedikit cerewet menceritakan bapaknya hanyut disungai sampai sekarang nggak ketemu.
    Kok sungai lagi, tuh mulai si Bejo pusing; simbok bilang sepatu yang terpakai tinggal sebelah, simbok juga nggak yakin itu sepatu Bejo.
    Wauw, asyik kalau Bejo mau jujur cerita dari mana bersama siapa, Bejo tuh nggak mau utang nya tambah banyak jadi melarikan diri dari rumah sakit.
    Sama mas Wijan ya kerumah sakitnya.
    Lha wong Bejo itu kehilangan password, jadi ngomong nggak nyambung; intinya nurut simbok Supi, bejo masih bujang, belum menikah, ya bejo memang lupa ingatan, tapi kan; simbok kan nggak lupa..
    ADUHAI

    Terimakasih Bu Tien
    Bunga untuk ibuku yang ke tigapuluh delapan sudah tayang
    Sehat sehat selalu
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Allahumma Aamiin
      Matur nuwun dongeng crigisnya.
      Salam hangat dari solo, pak Nanang

      Delete
  31. Kok Bejo di RS tdk pakai baju pasien ya? Jadi bisa keluar ikut pengunjung lain... Waktu baca nama warung Nilamsari, ga teringat nama anaknya...syukurlah, akhirnya lepas dari Wijan eh, ketemu Nilam yg sama2 'anaknya'. Ibu Tien memang piawai menjalin kisah deh... Terima kasih ya, bu...salam sehat selalu.🙏😘😊

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sami2 ibu Nana,
      Salam sehat juga.
      Belum pakai baju pasien, keluar berbaur sama rombongan pembezoek

      Delete
  32. Alhamdulillah Pak Bejo ketemu Nilam. Tetapi pasti masih kekeuh membejokan diri. Matur nuwun Bu Tien, tetap sehat bersama keluarga....aamiin....

    ReplyDelete
  33. Bapaaakk...😭😭

    Matur nuwun bunda..🙏

    ReplyDelete
  34. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  35. Cerbung Mbak Tien ini makin lama makin terasa pendek...
    Terimakasih Mbak Tien...

    ReplyDelete
  36. Wah mbak Tien bener2 bikin pembaca semakin menanti2 hari besok.Mantep tenan mbak Tien kalau bikin cerbung .
    Salam aduhai mbak Tien,Tks dari Neni Tegal.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Halloooww ibu Nani, apa kabar? Lama nggak komen nih.
      Trims perhatiannya

      Delete
  37. Semoga tersadar ya Pak Rahardjo dg dipeluk Nilam,,, mengharap ,hehe😁😁
    Wijan lg bersedih krn lalai ,,
    Alhamdulillah, Matur nuwun bu Tien, sehat wal'afiat selalu ya 🤗🥰,
    Makin aduhaiii,,,,, 👍❤️👍

    ReplyDelete
  38. Terima kasih... Bu Tien semoga sehat selalu

    ReplyDelete
  39. Sambil menunggu ikut komen ah. Semoga Nilam menghubungi pak Rangga sehingga Wijan, Nilam bisa kumpul Bejo lagi. Ngarep.com

    ReplyDelete

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 49

  CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  49 (Tien Kumalasari)   Ketika menemui Sinah di rumah sakit, mbok Manis tidak pernah sendiri. Dewi yang tid...