Saturday, January 6, 2024

BUNGA UNTUK IBUKU 35

 BUNGA UNTUK IBUKU  35

(Tien Kumalasari)

 

Wijan menatap Bejo yang tampak sudah merasa lega, mengira tugas menyerahkan dompet kepada yang punya sudah selesai, karena si dompet sudah diterima oleh anak Raharjo.

“Ya sudah Nak, bawalah dompetnya, dan serahkan kepada ayahmu kalau dia sudah kembali. Aku sudah tidak punya beban, karena amanah simbok sudah terlaksana dengan baik. Terima kasih sudah mau datang ke gubug simbok. Tapi ngomong-ngomong kok sampeyan berdua ini datang kemari, ada apa ya. Atau … barangkali memang tahu bahwa dompet Raharjo ada di rumah ini?”

Wijan dan bibik saling pandang. Mereka sendiri tidak tahu, mengapa datang ke rumah gubug ini. Hanya ingin bertemu Bejo, dan membuktikan kalau wajahnya persis dengan ayahnya?

Bejo tampak tersenyum.

“Rupanya yang namanya Raharjo itu orang baik, sehingga Gusti Allah menuntun sampeyan berdua untuk datang kemari, demi dompet yang ditemukan simbok,” kata Bejo dengan mata berbinar.

“Bapak mirip sekali dengan ayah saya,” kata Wijan, dengan tatapan sedih.

Bejo tertawa lebar.

“Ya ampun Nak, saya hanya orang kampung, sedangkan ayahmu orang yang kaya raya. Masa iya wajah saya mirip?” Bejo mengelus wajahnya.

Wijan menghela napas. Bahkan saat tertawapun, Bejo sangat mirip ayahnya. Hal itu membuat Wijan masih terus menatapnya.

“Sebentar Pak, Bapak kan belum bercerita, bagaimana simboknya Bapak bisa menemukan dompet itu.?” bibik bertanya, sementara Wijan yang terus menerus menatap Bejo yang ingin menanyakan hal yang sama, belum sempat menanyakannya.

“Aku juga ingin menanyakan hal yang sama Bik.”

“Pada suatu hari,  simbok menemukan saya terdampar di tepi sungai. Kata simbok, tadinya saya sedang mencari ikan. Karena hujan deras dan sungai banjir, saya hanyut. Untunglah kemudian simbok menemukan saya, lalu menyeretnya ke rumah. Dompet itu ditemukan di dekat saya terbaring pingsan. Barangkali Raharjo hanyut bersama-sama saya, entah sekarang ada di mana.”

Bejo tampak seperti prihatin.

“Setelah hanyut itu, saya jadi tak ingat apa-apa, kecuali nama saya Bejo, anaknya simbok,” lanjutnya.

Mata Wijan berbinar. Perkataan Bejo bahwa dia tak ingat apa-apa, menumbuhkan sebuah harapan. Bejo adalah ayahnya, tapi hilang ingatan. Tapi mengapa ada simbok, mengapa Bejo anaknya simbok?

“Ada yang lucu ketika saya ditemukan simbok,” kata Bejo yang kemudian terkekeh geli.

“Kenapa Pak, apa yang lucu?” tanya bibik.

“Entah bagaimana, saya mengenakan sepatu hanya sebelah.”

“Apa?” Wijan berteriak.

“Saya memakai sepatu hanya sebelah, simbok kalau ingat juga selalu terkekeh geli. Ia mengira saya menemukan sepatu hanya sebelah. Tapi sepatu itu pas di kaki saya. Simbok menyuruh saya membuangnya saja, tapi setiap kali saya ingin membuangnya, ada rasa sayang, begitu. Entah kenapa,” Bejo menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Sepatu itu masih Bapak simpan?” kata Wijan bersemangat.

“Ada, tuh, dipojokan,” kata Bejo sambil menunjuk ke arah sudut rumah, dimana sepatu dan kaos kaki masih teronggok di sana.

Wijan memburu ke arah sepatu sebelah yang ditaruh di pojokan rumah. Ia mengambilnya, lalu merangkul Bejo dengan sangat erat.

“Bapak ….” suara Wijan bergetar ketika mengucapkannya. Bibik melongo melihatnya.

Tapi Bejo mendorong tubuh Wijan sambil berteriak.

“Hei, apa katamu? Aku belum pernah menikah, bagaimana bisa punya anak? Sebesar kamu pula?”

“Bapak adalah ayahku, aku sangat yakin.”

“Hanya karena wajahku mirip? Mana mungkin aku ayahmu. Kamu bingung karena sudah lama kehilangan ayah kamu, lalu mengira orang yang mirip adalah benar-benar ayahmu.”

Wijan mengambil ponselnya, ia menunjukkan sebuah gambar sepatu. Sepatu sebelah milik ayahnya dan kaos yang ditemukannya saat dia menyusuri sungai itu.

“Lihatlah ini. Ini sepatu yang sebelah lagi. Milik Bapak yang tercecer. Pasangan sepatu yang itu,” kata Wijan yang merasa menyesal karena tadi tidak membawa sepatu itu. Soalnya dia juga tak berpikir akan mencocokkan sepatu yang ditemukan sebelah lagi.

Bejo tampak bingung.

“Bukankah itu sepatu bagus? Mana mungkin simbok membelikan aku sepatu sebagus itu,” Bejo masih belum bisa menangkap perkataan Wijan tentang foto sepatu yang ditunjukkannya.

“Bapak, waktu itu mobil Bapak mengalami kecelakaan. Terjerumus ke jurang didekat sungai. Bapak mungkin tercebur ke sungai dan hanyut, karena waktu itu hujan lebat dan sungai di sana banjir."

“Saya menyusuri sungai itu untuk mencari Bapak, pertama-tama menemukan kaos kaki, kemudian menemukan sepatu hanya sebelah. Saya yakin itu sepatu Bapak. Masa anaknya tidak mengenali sepatu bapaknya?”

“Lalu apa? Yang sebelah lagi aku temukan saat memancing, aku pakai, lalu aku hanyut, begitu?” sela Bejo yang merasa Wijan hanya mendongeng.

Wijan tiba-tiba merasa sedih, karena orang yang diyakini sebagai ayahnya tetap tak bisa menerima apa yang diuraikannya. Ia mengusap air mata yang menetes, dengan punggung tangannya.

Bibik yang merasa iba, juga ikut bingung harus mengatakan apa.

“Pak, sesungguhnya Bapak itu bukan anaknya mbok Supi. Bapak itu orang kaya, pengusaha besar di sebuah kota, yang menghilang dalam sebuah kecelakaan mobil. Lalu Bapak hilang ingatan, sehingga tidak ingat bahwa mas Wijanarko ini adalah putra Bapak.”

“Bu, Ibu ini bagaimana? Katakan saya hilang ingatan,  memang betul, karena tak banyak yang saya ingat dalam hidup saya ini, tapi simbok saya kan tidak hilang ingatan juga? Nama saya Bejo, belum menikah, hanyut ketika sedang mencari ikan di sungai. Kurang jelas apa?””

Wijan kembali mengusap air matanya. Ia mendekap sepatu sebelah dengan kaus kaki di dalamnya itu, ke dadanya.

“Nak Wijanarko, jangan sedih. Barangkali ayah kamu akan ditemukan di tempat lain. Saya akan ikut mendoakan,” kata Bejo, tulus.

“Oh, iya Nak, coba dompetnya itu dibuka dulu, apa isinya sudah benar. Saya lihat dari tadi nak Wijanarko belum membuka isinya secara utuh. Saya tidak mengambil apa-apa dari dompet itu, meskipun saya pernah membuka dan mengeluarkan isinya, tapi hal itu saya lakukan karena saya mencoba ingin tahu, barangkali ada petunjuk tentang pemilik dompet itu, karena sebelum meninggal, simbok wanti-wanti agar saya bisa mengembalikan dompet itu ke pemilliknya. Tapi saya  hanya bisa membaca sebuah nama di KTP, yang sebenarnya sudah tidak jelas. Raharjo. Dan alamatnyapun tulisannya putus-putus. Saya menemukan alamatnya setelah meminta tolong kepada setiap orang yang saya temui, agar ikut mengeja alamat yang ada di KTP itu. Sayang tidak menemukan penghuni rumah besar itu,” Bejo menceritakannya dengan panjang lebar.

“Kecuali itu, kartu-kartu lain yang tampaknya seperti kartu bank, sudah rusak. Barangkali sudah terendam air selama berhari-hari,” lanjutnya.

Wijan menatap Bibik.Ada rasa heran, seorang dusun yang lugu, bisa tahu kartu bank. Tidak mungkin kan, simbok punya kartu ATM atau sebangsanya? Keyakinan bahwa Bejo adalah ayahnya semakin kuat. Ia harus membawanya dan mengajaknya pulang. Butuh penanganan dokter untuk membuat ingatannya kembali utuh.

“Bagaimana kalau pak Bejo kita bawa pulang ke rumah Bapak? Kita akan membawanya ke dokter,” kata Wijan meminta pendapat bibik.

“Ya Mas, saya setuju. Kita ajak pak Bejo pulang ke rumah bapak.”

“Apa? Sampeyan akan mengajak saya ke mana? Tidak bisa. Simbok menitipkan ladang di belakang agar saya memetik sayuran untuk dijual ke pasar. Kalau tidak, saya harus makan apa?”

Wijan merasa sangat sedih. Ia memegang tangan Bejo dengan lembut.

“Begini Pak, Bapak tadi kan bilang bahwa Bapak tidak ingat apa-apa? Bagaimana kalau kami mengajak Bapak ke kota, lalu bapak akan saya bawa ke dokter.”

“Tidak … tidak … saya tidak punya cukup uang. Untuk makan besok saja saya harus menjual lembayung yang akan saya petik besok pagi,” katanya lugu, membuat Wijan kembali menitikkan air mata.

“Pak, untuk ke dokter Bapak tidak perlu mengeluarkan uang. Di dompet ini ada uang yang banyak. Nanti Bapak berobat dengan uang ini.”

“Tunggu. Kamu itu tidak bisa sembarangan memakai uang yang bukan milik kamu. Walaupun itu milik bapakmu, tapi tanpa seijin dia, mana bisa kamu memakai uangnya?”

Wijan menghela napas panjang, sedih dan kesal.

“Begini, Bapak kan sudah menemukan dompet ini. Nah, sebagai imbalannya, saya akan membawa Bapak ke dokter.”

“Sama saja. Apapun alasannya, dompet itu harus sampai ke tangan bapakmu dulu.”

“Tidak. Saya yang akan bayar biayanya.”

“Kamu, anak kecil, punya uang?”

“Pak, mas Wijan ini anaknya orang kaya. Jadi sudah tentu punya uang sendiri yang cukup banyak. Menurut saya, mas Wijan ini maksudnya baik. Dia ingin membalas budi karena kebaikan Bapak. Lagipula apa Bapak tidak ingin ingatan Bapak kembali seperti semula? Satu lagi Pak, orang lupa ingatan itu, lama-lama kalau dibiarkan bisa menjadi penyakit gila lho,” kata bibik mencoba menakut-nakuti.

“Apa? Bisa menjadi gila?”

“Sekarang Bapak masih bisa bicara dengan baik, mengatakan segala sesuatu dengan baik, tapi kalau dibiarkan, otak akan rusak, lama-lama bisa menjadi gila. Lha kalau orang gila itu kan polahnya nggak karuan. Bicara nggak karuan, tingkah lakunya ya nggak jelas. Mau, Bapak seperti itu?”

Bejo terdiam. Gambaran yang dikatakan bibik membuatnya berpikir. Dia lupa segalanya, masa lalunya. Yang dia tahu hanya ketika sadar dan melihat simbok, dan merasa bahwa dia anaknya simbok. Selebihnya entahlah.

“Apa Bapak nggak ingin sembuh?”

“Mau ya Pak, ini sudah sore. Sebelum gelap kita pergi. Bapak tidak usah khawatir tentang makanan. Di sana, semuanya tersedia, makanan, pakaian. Dan Bapak akan mendapat pengobatan yang baik. Apa tidak senang, bisa mengingat masa lalu Bapak?”

“Tapi nanti setelah sembuh, saya boleh kembali kemari kan?”

“Kalau Bapak sudah sembuh, Bapak boleh melakukan apa saja yang Bapak inginkan. Kemari atau ke manapun yang Bapak mau.”

Dengan Wijan dan Bibik yang bergantian membujuknya, akhirnya Bejo mau mengikuti kata-katanya. Tak lupa, Wijan menyuruh bibik membungkus sepatu dan kaos kaki ayahnya. Wijan bersedia pulang ke rumah ayahnya, setelah mendengar bahwa rumah itu kosong setelah ibu tirinya ditahan polisi.

Wijan menelpon taksi, yang biarpun agak lama datangnya, tapi dengan cepat bisa membawanya ke rumah Raharjo. Tidak usah menunggu angkutan umum yang belum tentu ada, mengingat hari mulai senja.

***

Sudah malam ketika taksi yang membawa Bejo bersama Wijan dan bibik sampai di depan rumah. Mereka turun, dan Bejo langsung berteriak.

“Ini rumah Raharjo, aku pernah datang kemari. Mau apa kita ke sini?” kata Bejo sambil menujuk ke arah rumah.

“Kita akan menunggu kepulangan pak Raharjo di sini,” kata bibik, sementara Wijan sedang mencari nomor pak Rangga yang semula sudah di buangnya. Untunglah masih tersimpan di ponselnya, biarpun nomor sudah berubah.

Pak Rangga heran menerima nomor tak dikenal. Ia tak ingin mengangkatnya, tapi dering panggilan itu terus berbunyi.

“Hallo,” akhirnya pak Rangga menjawabnya.

“Selamat malam pak Rangga, saya Wijanarko.”

“Wijanarko?” pak Rangga berteriak.

“Iya. Saya ada di depan rumah, tapi gerbang digembok, apa Bapak menyimpan kuncinya?”

“Tentu saja. Aduh, kemana saja kamu Wijan? Kejadian yang menimpa keluarga kamu sungguh membuat saya prihatin.”

“Iya Pak. Saya sudah membawa bapak pulang.”

“Apa?” pak Rangga berteriak kembali.

“Iya. Iya ini kami masih di luar gerbang.

“Tunggu, aku akan ke situ. Secepatnya.” Pak Rangga langsung menutup ponselnya.

“Bisa mendapatkan kuncinya Mas?” tanya bibik.

“Bisa.pak Rangga sendiri yang akan membawanya kemari.”

Bejo menatap rumah itu tak berkedip. Lampu teras yang selalu menyala itu membuat rumah kosong tak berpenghuni itu tampak terang, tapi lengang. Tiba-tiba Bejo teringat pada sebuah bayangan beberapa hari yang lalu. Dua orang sedang bercanda di teras itu. Seorang gadis kecil, dan pemuda yang …. Bejo menatap Wijan. Ia melihat anak muda yang bercanda itu seperti Wijan. Bejo mengerjapkan matanya berkali-kali. Heran atas apa yang pernah dilihatnya dalam bayangan yang tak jelas, karena tiba-tiba bayangan itu hilang.

Bejo mengusap wajahnya dengan kedua tangan.

“Ada apa Pak,” tanya Wijan.

“Tidak. Tidak apa-apa.”

Sebuah mobil berhenti, Wijan mendekat, dan melihat pak Rangga turun dari mobil, yang segera merangkulnya erat.

“Syukurlah kamu sudah kembali. Mana pak Raharjo?”

Wijan menoleh ke arah Bejo yang masih menatap ke arah rumah. Pak Rangga melihatnya agak heran, karena pakaian Raharjo yang tampak aneh. Ia menyerahkan kunci kepada bibik. Kemudian dia bergegas mendekati Raharjo, dan merangkulnya.

“Alhamdulillah, Pak Raharjo, akhirnya Bapak kembali,” katanya penuh haru.

Bejo mendorong tubuh pak Rangga.

“Bapak salah, saya bukan Raharjo. Saya Bejo.”

Pak Rangga terpaku di tempatnya berdiri.

***

Besok lagi ya.

54 comments:

  1. Matur nuwun mbak Tien-ku Bunga Untuk Ibuku tayang

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nahh... Wijan sudah berhasil membawa pulang si Bejo Raharjo ayahnya. Kebetulan pula Bejo Raharjo ingat beberapa hal tentang rumahnya. Mudah mudahan cepat sembuh, ingatan normal kembali.
      Tinggal menunggu Nilam yang sudah masuk SMA. Semoga lancar, dan 'ibunya' bisa buka Resto yang mapan.
      Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

      Delete
  2. πŸŒΈπŸ’πŸŒΈπŸ’πŸŒΈπŸ’πŸŒΈπŸ’
    Alhamdulillah...
    BeUI_35 sdh hadir.
    Matur nuwun nggih.
    Semoga Bu Tien
    sehat selalu dan
    tetap smangaats
    Aamiin.
    Salam aduhai πŸ¦‹πŸŒΉ
    πŸŒΈπŸ’πŸŒΈπŸ’πŸŒΈπŸ’πŸŒΈπŸ’

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah.
    Bunga Untuk Ibuku 35 sudah tayang. Matur nuwun Bunda Tien, semoga Bunda tetap Semangat, selalu Sehat wal Afiat bersama Keluarga di Sala.
    Aamiin

    Semoga Kel pak Raharjo bisa bersatu lagi. Bejo Raharjo orang jujur, polos, gemati marang Kel nya, semoga Allah sembuhkan penyakit nya.

    Aamiin

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah...terimakasih Bunda, semoga sehat selalu

    ReplyDelete
  5. Maturnuwun sanget Bu Tien...
    πŸ™πŸ™

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah ,,,, Maturnuwun bunda Tien

    ReplyDelete

  7. Alhamdullilah
    Bunga untuk ibuku 35 telah hadir
    Matur nuwun bu Tien
    Semoga sehat selalu dan bahagia bersama keluarga
    Aamiin...

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillaah,
    Salam aduhai dari Jogja bunda 🀩

    ReplyDelete
  9. Alhamdulillah .... bunga utk ibuku telah hadir
    Salam aduhai

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah
    Terimakasih bunda Tien
    Semoga bunda Tien selalu sehat aamiin

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillaah tayang, semoga pa Raharjo ingat kembali, makasih Bunda

    ReplyDelete
  12. Alhamdulilah terima kasih bunda tien... semoga bunda selalu sehat dan bahagia...salam hangat dan aduhai bun

    Bejo sdh mulai ada bayang bayang ingatan anaknya ..sebentar lagi ingatannya pulih

    ReplyDelete
  13. Alhamdulillah maturnuwun Bu Tien Kumalasari, salam sehat selalu

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillah....smg semuanya segera terbongkar...Terimakasih bunda Tien...terharu saat Wijan memeluk Pak Raharjo ....

    ReplyDelete
  15. Sugeng dalu bu Tien.. sg istirohat.. matur nuwun bu

    ReplyDelete
  16. Alhamdulillah.. Trm ksh bu Tien. BUIssh terbit. Semoga sehat sll ibu..

    ReplyDelete
  17. Alhamdulillah Pak Bejo pulang kerumah Pak Raharjo,Maturnuwun Bunda semoga tetap sehat wal afiat dan titip salam u/Baskoro + Rusmi hehehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin
      Matur nuwun pak Herry, salam disampaikan. Hehee

      Delete
  18. Alhamdulillah ...Bejo mau ke Dokter ntuk berobat smg kembali ingat ... Aamiin.
    Syukron nggih Mbak Tien .. semoga kita semua sehat Aamiin.🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  19. Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien BuI sdh tayang. Semoga Bu Tien & klg sehat dan bahagia selalu...... salam ADUHAI ✋πŸ’–

    ReplyDelete
  20. Akhirnya Wijan dapat berjumpa dg Bapaknya meskipun sang Bapak masih belum ingat siapa dirinya. Sungguh jalan Tuhan penuh dg misterius, sehingga dudah untuk menerkanya.
    Trima kasih Ibu Tien sudah membawa kita kedunia yg lain, dan membawa kita kembali ke alam yg nyata.
    Salam hangat dan sehat selalu.

    ReplyDelete
  21. LakonΓ© bejo tenan.
    Terpaksa Wijan menjelaskan Rangga; dirayu sampai lama jadi malam baru sampai rumah.
    Yaitu, masih membejokan diri nggak mau jadi Rahardjo.
    Bibik ya bikin ketakutan Bejo kalau nggak mau diperiksa bisa gila, Hua ha ha ha ha masih seperti yang dulu...
    Masuk lagi...
    Terpaksa Rangga berperan jadi bapak Wijan, tahu Rangga pergi malah grenengan; itu bapakmu malah pergi, punya rumah bagus malah nggak tidur dirumah sendiri.
    Oalah Djo Bedjo..
    ADUHAI

    Terimakasih Bu Tien
    Bunga untuk ibuku yang ke tigapuluh lima sudah tayang
    Sehat sehat selalu doaku
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    πŸ™

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin
      Matur nuwun pak Nanang
      Salam membejokan diri

      Delete
  22. Matur nuwun bunda Tien..πŸ™πŸ™
    Salam sehat selalu kagem bunda..
    🀲🀲

    ReplyDelete
  23. Sabar menanti sampai hari Senin. Matur nuwun Bu Tien, semoga Ibu sekeluarga tetap sehat, aamiin....

    ReplyDelete
  24. Alhamdulillah, matur nwn bu Tien, salam sehat dari mBantul

    ReplyDelete
  25. Alhamdulillah, Suwun Bu Tien. Sehat selalu

    ReplyDelete
  26. Alhamdulillah...
    Matur nuwun Budhe, BeUI_35 sampun tayang mestine tambah rame critane...
    Sugeng dalu sugeng aso salira.

    ReplyDelete
  27. Alhamdulillah BUNGA UNTUK IBUKU~35 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat dan bahagia senantiasa bersama keluarga.
    ‌Aamiin yra..🀲

    ReplyDelete
  28. Alhamdulillah
    Terima kasih bu tien
    Semoga Allah SWT memberikan Rahmad & Barokahnya untuk bu tien sekelg, sehat2 selalu, senantiasa dlm lindungan n bimbingan Nya .... aamiin yra

    ReplyDelete
  29. Cerita semakin menarik . Terimakasih Bu Tien semoga sehat selalu

    ReplyDelete
  30. Alhamdulillah , matur nuwun bu Tien
    Salam sehat wal'afiat & bahagia selalu bersama keluarga tercinta πŸ€—πŸ₯°

    Senangnya ,terharu campur aduk , Wijan sdh bw pak Rahardjo pulang walaupun msh blm ingat ,, besok keseruan apalagi yg bu Tien suguhkan ,,aduhaiii pasti nya
    Selamat beristirahat bu Tien πŸ€—πŸ˜

    ReplyDelete
  31. Maturnuwun bu Tien, semakin aduhai ceritanya

    ReplyDelete
  32. Hehe...si Bejo kok ngeyelan ya...bukti2 sudah mengarah bahwa dia adalah pak Raharjo, tapi tetap belum ingat. Memang orang amnesia begitu sih...semoga cepat tertolong ya...herannya kok para penduduk desa yang mengenal Bejo asli tidak membantu menjelaskannya setelah simbok meninggal...dan Bejo anak yg taat sekali pada pesan simboknya.

    Terima kasih, bu Tien...salam sehat.πŸ™πŸ˜€

    ReplyDelete
  33. Terimakasih Bu Tien cerbungnya dah tayang, sehat2 selalu ya Bu... πŸ™πŸ˜˜πŸŒΉ

    ReplyDelete
  34. Terimakasih bunda Tien, telat baca..

    ReplyDelete
  35. Terima kasih Bu Tien, eps 35 sudah baca, semakin menarik dan kami eps berikut. Srmoga Ibu dan Kel sehat sehat selalu.

    ReplyDelete

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 48

  CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  48 (Tien Kumalasari)   Satria tertegun. Tentu saja dia mengenal penjual kain batik itu. Ia hanya heran, ba...