SETANGKAI
BUNGAKU 26
(Tien
Kumalasari)
Pratiwi
menatap Susana tak berkedip. Ada rasa bakal kehilangan apa bila Susana
meninggalkannya. Ia juga merasa sendirian. Susana menatapnya, dan menyentuh
bahunya.
“Mengapa
kamu menatap aku seperti itu?”
“Mengapa
bu Susana pergi?”
“Ada
tugas di kantor pusat, hanya aku yang bisa melakukannya.”
“Apa
Ibu akan pergi lama?”
“Tidak,
paling hanya seminggu, atau sepuluh hari.”
“Ya
ampun, itu lama sekali.”
Susana
tertawa. Ia melihat, Pratiwi seperti anak kecil yang akan ditinggalkan ibunya.
Barangkali dia akan merengek-rengek, kalau saja hal itu pantas dilakukan.
“Pratiwi,
ada banyak teman di sini. Kalau ada yang kamu tidak mengerti, kamu bisa
bertanya kepada pimpinan kamu, langsung. Mereka akan membantumu dengan suka
cita. Aku akan berpesan kepada mereka.”
Pratiwi
mengangguk, hanya itu yang bisa dilakukannya. Ia hanyalah pegawai baru, yang
harus tunduk kepada aturan yang ada, dan juga dalam keadaan apapun. Jadi dia akan
menerima kepergian Susana yang katanya hanya untuk seminggu atau sepuluh hari,
tapi menurutnya terlalu lama.
“Baiklah
Pratiwi, aku akan bersiap-siap dan segera berangkat. Atau, kamu bisa menelpon
aku kalau memang perlu.”
“Baiklah.”
Pratiwi
menatap punggung Susana yang meninggalkan ruangannya, dengan perasaan tak
menentu. Entah kenapa, ia merasa ada yang membuatnya sedih.
“Kenapa
aku ini? Bu Susana kan punya tugas di kantor pusat, mengapa aku seperti merasa
ditinggalkannya sendirian? Ruangan ini, yang seharusnya ditempati oleh dua
orang lagi, yaitu kepala administrasi dan seorang pembantunya, setelah dua hari
aku di sini, juga tiba-tiba dipindahkan ke ruang lain. Sehingga aku
benar-benar sendirian sekarang. Ketika ada bu Susana, dia sering menengok aku
kemari, sekedar melihat pekerjaanku, lalu membetulkan mana yang salah, sehingga
ketika aku melaporkannya kepada pimpinan aku, sudah benar-benar sempurna,”
gumam Pratiwi sambil merenung.
***
Sepulang
dari bekerja, Pratiwi memerlukan belanja. Sebenarnya ia akan belanja sedikit
saja, hanya membeli keperluan yang mendesak, tapi karena tiba-tiba dia mendapat
gaji yang sebelumnya tidak diduganya, maka ia membeli keperluan rumah untuk
sebulan sekalian. Misalnya gula, teh, kopi, karena ibunya sering juga meminta
kopi, lalu bumbu-bumbu, dan sayuran yang akan dimasaknya sore ini sepulang
kerja. Ah ya, ia tersenyum teringat Nano, yang ingin makan buah-buahan seperti
diberikan oleh teman kakaknya. Yah, Pratiwi lupa bertanya pada Susana, apa yang
mengaku temannya itu dia, gara-gara tadi tiba-tiba mengatakan harus berangkat
ke Jakarta.
Pratiwi
membeli beberapa buah jeruk dan apel. Tak apa agak mahal sedikit, asal adiknya
senang. Pratiwi melupakan keterangan dari Ratih, bahwa perusahaan itu milik
Sony. Toh selama ini dia tidak pernah bertemu, dan Sony tidak pernah muncul di kantornya.
Pratiwi
pulang dengan banyak belanjaan, yang diletakkan pada keranjang yang memang
dipasang di depan sepedanya, karena ia menempatkan barang-barang di situ dulu,
setiap kali dia belanja ke pasar. Ia tersenyum sendiri, membayangkan adiknya
akan kegirangan dibelikan buah-buah yang diinginkannya.
Dan
itu benar, begitu melihat kakaknya datang, Nano segera memburunya, berjalan
tertatih dengan tongkatnya, karena melihat buah-buahan yang ada dikeranjang
sepeda kakaknya.
“Mbak
Tiwi sudah gajian? Kok belanja banyak sekali?” pekik Nano sambil mengambil bungkusan
buah yang kebetulan terletak di tempat yang paling atas.
“Nano,
kamu itu hati-hati dong, kalau berjalan tidak usah tergesa-gesa.”
“Ini
biasa saja kok Mbak, Nano sudah cukup kuat. Minggu depan Nano harus sudah masuk
sekolah.”
“Iya,
tapi tetap harus hati-hati. Sudah, itu saja yang kamu bawa masuk, ingat, dicuci
dulu sebelum dimakan. Bisa nggak?”
“Bisa
Mbak,” kata Nano sambil kembali masuk ke dalam rumah. Bungkusan buah
ditentengnya dengan gembira.
Pratiwi
mengambil belanjaan dari keranjang sepedanya, dibawanya masuk ke rumah.
“Ini
jam berapa Wi, kenapa kamu baru pulang?”
“Sepulang
dari bekerja, Pratiwi belanja Bu. Untuk kebutuhan rumah. Ini ada makanan buat Ibu.
Nanti Ibu akan Tiwi buatkan kopi kesukaan Ibu.”
“Kamu
sudah punya uang?”
“Kebetulan,
sudah menerima gaji Bu.”
“Syukurlah.
Jangan lupa menyisihkan untuk biaya sekolah adik kamu.”
“Iya
Bu, Tiwi sudah tahu. Tiwi akan ganti baju dulu, lalu membuatkan kopi untuk Ibu.
Kemudian Tiwi ingin memasak untuk makan malam kita.”
“Wah,
sudah lama tidak mendengar suara kamu senyaring ini. Pasti kamu senang bisa
belanja macam-macam.”
“Iya
Bu,” jawab Pratiwi sambil menata belanjaan di meja dapur.
“Jeruknya
manis sekali,” teriak Nano yang tak sabar sudah mengupas jeruk dan melahapnya.
“Nano,
kalau makan sambil duduk dong. Masa makan sambil jalan begitu.”
“Iya
Mbak, maaf.”
***
Ardian
dan Roy terkejut, mendengar Pratiwi memilih bekerja dan meninggalkan
pekerjaannya menjual sayur. Mereka teringat tawaran Ratih waktu itu tentang
pekerjaan di kantor temannya, yang ternyata adalah milik Sony.
“Apakah
Pratiwi bekerja di sana?” tanya Roy.
“Entahlah,
aku belum sempat menemuinya dalam waktu hampir sebulan ini, karena pekerjaan di
kantor cukup menyita waktu, dan kita selalu pulang malam.”
“Aku
pernah menanyakannya pada Ratih, tapi Ratih juga tidak tahu. Hanya saja Pratiwi
pernah menanyakan tentang pekerjaan itu, lalu Ratih berterus terang bahwa
perusahaan itu milik Sony. Harusnya Pratiwi mundur kan, Ratih juga sudah
mengingatkannya, agar Pratiwi tak usah menerima tawaran itu.”
“Berarti
dia bekerja di tempat lain. Syukurlah kalau itu membuatnya nyaman,” kata
Ardian.
“Hari
Minggu ini coba temui dia, karena aku ada janji dengan Ratih.”
“Iya,
aku sudah tahu. Baik, aku akan menemuinya. Semoga saja pekerjaan itu
benar-benar pekerjaan yang akan membuatnya senang dan dia akan baik-baik saja.
“Kalau
dia mau menjalaninya, dan sudah sebulan ini, berarti pekerjaan itu membuatnya
nyaman.”
“Entahlah,
bukankah setiap pekerja harus melalui masa percobaan selama tiga bulan? Belum
tentu juga dia kerasan.”
“Iya
sih.”
“Tapi
bagaimanapun, yang terbaik adalah menanyai dia.”
***
Malam
itu bu Juwono menemani Ratih yang sedang menonton televisi sambil mengunyah
cemilan yang disediakan simbok.
“Tih,
boleh ibu bertanya?” tanya ibunya tiba-tiba.
“Ya,
ada apa?”
“Apa
kamu serius, dekat dengan Roy?”
“Serius
bagaimana sih Bu, kami hanya berteman.”
“Tidak.
Menurut ibu, itu lebih dari pada teman. Dulu Roy juga berteman sama almarhumah kakak
kamu, tapi tidak pernah bepergian berdua, apalagi sesering yang kamu lakukan.”
“Menurut
Ibu bagaimana? Apakah Ibu keberatan seandainya Ratih pacaran sama mas Roy?”
“Kamu
itu sudah dewasa, jangan lagi sekedar pacaran. Pacaran itu sering hanya
main-main, dan belum tentu serius. Ibu ingin kamu memilih teman yang serius
memacari kamu, artinya serius untuk nanti akan menikahi kamu. Ibu tidak suka
pacar-pacaran begitu.”
“Iya
Bu, Ratih mengerti. Apakah menurut Ibu mas Roy itu baik?”
“Kok
tanya sama Ibu, kamu dong yang menilai. Kan kamu yang sering ketemu,
jalan-jalan.”
“Menurut
Ratih, dia baik. Tadinya Ratih kurang suka, karena dia sepertinya galak,
begitu. Tapi dia penuh pengertian. Jadi kalau dia cinta sama Ratih, Ratih akan
menerimanya. Bagaimana menurut Ibu?”
Ratih
dan ibunya memang begitu dekat. Sebagai anak bungsu, sang ibu selalu mengajaknya
berbincang tentang banyak hal, sehingga Ratih tak pernah menyembunyikan apa
yang ada di dalam hatinya. Itu sebabnya dia berterus terang tentang perasaannya
kepada Roy.
“Sejauh
ini ibu melihatnya baik.”
“Terima
kasih Bu. Senang Ratih mendengarnya. Besok Minggu kami juga akan jalan bersama,
Ibu boleh tanya sama dia, bagaimana perasaannya sama Ratih.
“Baiklah,
nanti akan ibu tanyakan.”
Ratih
memeluk ibunya, dan merasa senang.
***
Malam harinya Susana menginap di hotel yang sudah disediakan,
dan merasa senang karena Sony menemaninya. Sony sengaja tidak menanyakan
tentang Pratiwi, agar tidak merusak suasana hati Susana, yang dianggapnya
cemburu.
Tapi justru Susana yang bertanya, mengapa tidak
menanyakan Pratiwi.
“Kamu ini aneh, mengapa kamu bertanya begitu? Bukankah
kamu tidak suka kalau aku bertanya tentang dia?”
“Tidak, bukan aku tidak suka. Aku hanya menduga-duga,
apa yang sebenarnya ada di dalam hati kamu.”
“Kamu selalu menuduh aku jatuh cinta sama dia kan?
Susan … masa selera aku begitu rendah? Dia hanya penjual sayur, udik, dan
pastinya kampungan.”
“Dengan seragam kerja, dia punya penampilan berbeda.”
“Berbeda?”
“Dia tampak cantik, anggun, menarik. Kamu pasti suka.”
Sony tertawa. Sebenarnya dia sudah tahu dari salah
seorang staf yang diperintahkan untuk memata-matainya, lalu diminta
mengirimkan foto Pratiwi saat bekerja. Sony kagum dan benar terpesona, karena
Pratiwi tampak berpenampilan berbeda. Bukan tukang sayur yang lusuh dan bau.
Bukan anak tukang pijit yang mengantarkan ibunya ke mana-mana. Tapi di depan
Susana dia pura-pura tidak tahu.
“Benarkah?” tanyanya sambil tertawa.
“Itu benar. Tapi aku tidak suka kalau kamu_”
“Tidak, jangan khawatir, aku tak akan suka sama dia.”
“Aku tidak ingin kamu mempermainkannya. Dia gadis yang
pantas dikasihani.”
“Ya, tentu saja. Pantas dikasihani, itu sebabnya aku
membantunya. Bukankah kamu juga mengerti?”
“Hanya membantunya dalam financial, bukan menginginkan
yang lain kan?”
“Susan, hanya kamu kesayangan aku.”
Dan Susana tak pernah bisa terus menerus melawannya,
karena Sony adalah lelaki yang dipujanya.
Tapi saat sedang berduaan itu, tiba-tiba ponsel Sony
berdering. Dari Ratih.
“Ada apa? Kangen ya sama aku?” sapa Sony.
“Kenapa suaramu seperti orang sedang lomba lari
begitu? Napas kamu hampir putus kah?”
“Kamu itu jahat atau apa, mendoakan napas aku putus,
mati dong aku.”
“Habis, sore-sore begini napasnya ngos-ngosan.”
“Aku tuh orang sibuk, tapi tidak pernah melupakan olah
raga, agar aku selalu sehat dan perkasa. Ada apa menelpon?”
“Mau nanya saja, apa mbak Pratiwi jadi bekerja sama
kamu?”
“Apa? Kamu baru menanyakannya sama aku? Apa dia tidak
cerita sama kamu? Iya lah, itu kan berkat kamu.”
“Ya Tuhan, akan aku suruh dia berhenti.”
“Kenapa kamu itu Tih? Mana bisa berhenti tiba-tiba?”
“Aku akan mencarikan dia pekerjaan lain. Biar gajinya
tidak sebanyak yang kamu berikan, tapi itu lebih aman.”
“Memangnya di tempat aku tidak aman?”
“Aku tidak percaya sama kamu, Mas. Biarkan dia pergi.”
“Mana bisa Tih. Dia terikat kontrak.”
“Apa?”
“Ya sudah, tanyakan saja sama dia, aku akan
melanjutkan oleh raga aku.”
Dan Sony dengan segera penutup pembicaraan itu.
***
Saat itu Roy sedang berada di rumah Ratih. Sepulang
kerja dia langsung ke sana, hanya untuk
menanyakan tentang pekerjaan Pratiwi. Siapa tahu Ratih mengetahuinya. Tapi kemudian
Roy terkejut, mendengar penuturan Ratih, setelah Ratih menelpon Sony.
“Jadi benar, dia bekerja di sana? Kenapa kamu tidak
melarangnya?”
“Mbak Tiwi tidak bilang apa-apa sampai sekarang,
bahkan ketika sudah sebulan dia menjalaninya. Aku jadi menyesal dulu menawarkan
pekerjaan itu. Habis mas Sony mendesak terus.”
“Harusnya kamu curiga, mengapa dia mendesak untuk memperkerjakan
seseorang. Biasanya yang mengejar tuh yang cari kerja, itu malah sebaliknya.
Pasti ada niat dibalik semua itu.”
“Tampaknya mbak Pratiwi juga tidak tahu waktu melamar,
soalnya ketika dia menelpon, dia sepertinya sudah terlanjur bekerja. Ia baru
menanyakan perusahaan yang aku tawarkan itu milik siapa. Entah bagaimana
perasaannya ketika aku beri tahu dia, bahwa itu milik mas Sony. Waktu itu aku
juga melarangnya, lebih baik jangan bekerja di situ. Tak tahunya sudah
terlanjur.”
“Kalau sudah terikat kontrak, susah untuk berhenti.
Harus dengan membayar kerugian yang pastinya berlipat-lipat.”
“Nanti malam aku mau menelpon mbak Tiwi.”
“Tanyakan kemungkinan berhenti, berapa yang harus
dibayar.”
“Baiklah.”
***
Hari itu tanpa sepengetahuan Susana, Sony terbang ke
kantor cabang. Tentu untuk menemui Pratiwi yang sudah lama diincarnya. Ia turun
dari pesawat, dan melenggang dengan wajah riang.
Tapi dia terkejut, ketika mendengar seseorang menyapanya.
“Sony !!”
Sony menoleh dan terkejut melihatnya.
“Kamu pulang? Ini bukan hari libur kan?” tanya Sony.
“Aku mengambil cuti, supaya bisa agak lama di rumah. Heran. Kita satu pesawat, kok aku tidak melihatmu tadi?”
“Iya, tidak mengira kita bisa satu pesawat, tapi baru sadar ketika sudah turun.”
“Mereka berjalan berdampingan dan berbincang akrab.
Laki-laki penyapa itu adalah Bondan.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah
ReplyDeleteMtrnwn
ReplyDeleteHoree
ReplyDeleteAlhamdulillaj
ReplyDeleteMatur nuwun
ReplyDelete🌸🍃🌸🍃🦋🍃🌸🍃🌸
ReplyDeleteAlhamdulillah SB 26 telah
hadir. Matur nuwun Bunda
Tien. Semoga sehat selalu
dan tetap smangaaats...
Salam Aduhai...
🌸🍃🌸🍃🦋🍃🌸🍃🌸
Alhamdulilah
ReplyDeleteTerimakasih cerbungnya bunda Tien
Semoga bunda Tien sekeluarga selalu sehat wal'afiat aamiin
maturnuwun bunda
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku, Tiwi sudah tayang.
ReplyDeleteAlhamdulilah matur nuwun
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun bu
No 11 lumayann
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien
ReplyDeleteSugeng ndalu bu Tien matur nuwun
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien
Alhamdulillah Maturnuwun
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeletealhamdulillah maturnuwun
ReplyDelete
ReplyDeleteAlhamdulillah SETANGKAI BUNGAKU~26 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏
Alhamdulillah, SETANGKAI BUNGAKU (SB) 26 telah tayang ,terima kasih bu Tien salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Terimakasih bunda Tien, salam sehat selalu dan aduhai
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien.
ReplyDeleteAlhamdulillah SB-26 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semoga bunda sehat selalu.
Aamiin
Alhamdulillah mksh Bu Tien salam sehat selalu
ReplyDeleteAlhamdulillah ... terima kasih Bu Tien.
ReplyDeleteSemoga Pratiwi ada yg melindungi entah itu Ardian atau Bondan.....
Salam sehat selalu Bu Tien
Yesss tayang makasih bunda
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien cantik, salam sehat selalu ❤🌹❤
ReplyDeleteAlhamdulillah ... trimakasih bu Tien ... semoga selalu sehat
ReplyDeleteMatur nuwun bu Tien, salam sehat
ReplyDeleteKehebohan Ratih dan Roy membicarakan dimana Pratiwi bekerja; bener bener bikin curiga Roy bahkan lebih, mana gaji yang diterima nggak selayaknya, biasanya yang butuh itu pekerja, ini kelihatan sekali kalau ada sesuatu yang mengikat pakai perjanjian kerja lagi, waduh biasanya kalau itu putus kontrak pakai berlipat-lipat kembaliannya.
ReplyDeleteNah ini kesempatan; Ratih yang sewot sama Sony dan sama sekali tidak percaya dipastikan ada maksud dibalik itu, Bondan yang datang bisa di pasti kan ingin ketemu Pratiwi, bisa malah sekalian lihat kantor cabang milik Sony nggak tahu kalau Pratiwi kerja di kantor nya Sony, semakin panas hati Sony, gara gara kalau Pratiwi ngomong sama Bondan beda, lebih enjoy dibandingkan kalau bicara sama dia, sama bos gitu lho.
Ya beda tå yå wong kok seneng banding bandingké.
Trus Ardian gimana nich, apa mau dijadikan pelengkap penderita.
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Setangkai bungaku yang ke dua puluh enam sudah tayang
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga yang tercinta
🙏
Alhamdulillah, matur nuwun buTien.
ReplyDeleteSemoga bu Tien tetap sehat dan selalu dlm lindungan Allah SWT. Aamiin
Seru n aduhaiii nih
Maturnuwun mbak Tien
ReplyDeleteTrims Bu Tien...sudah menghibur...salam sehat selalu
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien ...sehat selalu
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteDuh..akhirnya Pratiwi sama Ardian , Bondan apa Soni ya?
ReplyDeleteYg penting Pratiwi selamat dan bahagia.
Makasih mba Tien.
Salam sehat selalu. Aduhai
Alhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteAlhamdulillah telat buka tayangan, semoga MB Tien Kumalasari sehat2, Tiwi terhindar dari godaan Sony
ReplyDeleteAlhamdulillah, matursuwun buTien.
ReplyDeleteSalam sehat selalu bu Tien